Dalam waktu beberapa hari ke depan, mungkin sekitar 3 sampai 5 hari, Author sarankan kalian tabung dulu bab untuk dibaca. Soalnya, author akan update satu per harinya dulu ya. Ada alasan kesehatan dan juga pribadi untuk perubahan jadwal GCSP. Selagi menunggu, mungkin bisa juga mampir ke cerita author yang lalinnya, Di Bawah Kuasa sang Direktur Arogan di GoodNovel juga yaa~
“Diandra … tidak membunuh dirinya sendiri, melainkan dibunuh.”Pernyataan tersebut membuat seisi ruangan itu diselimuti aura dingin yang menusuk. Evelyn menoleh ke sebelahnya, dan dia pun menyadari bahwa ekspresi Adam telah berubah menjadi sangat gelap.“Apa … buktinya?” tanya Adam dengan suara rendah.“Adam Dean, ibumu adalah wanita yang seperti apa, kamu—sebagai putranya—jelas tahu,” balas suara dari ponsel tersebut, membuat Adam mengerutkan kening. “Diandra bukanlah orang egois yang akan dengan tega meninggalkan putra semata wayangnya sendirian di dunia ini,” tegas orang tersebut. “Terutama ketika dia tahu bahwa nyawamu dalam bahaya dengan kehadiran Keluarga Smith.”Ucapan orang tersebut membuat pandangan Adam menjadi sedikit tidak fokus. Benaknya terlempar ke pagi hari itu, hari di mana dia mengunjungi ruangan sang ibu di rumah sakit, hanya untuk mendapati tubuh Diandra telah bergelantung di tengah ruangan.Adam ingat bahwa pada saat itu, ada lebam dan luka panjang yang menghiasi
“Adam! Adam, tahan emosimu!” Teriakan Evelyn bergema di teras gedung utama. Dari suaranya, kentara bahwa dia sangat panik. Dengan dua tangan menggenggam erat lengan Adam, Evelyn berusaha menahan pria itu dari menerjang dan menerobos kediaman Henry. Akan tetapi, kekuatan wanita tersebut tentunya tidak sebanding dengan kekuatan Adam. Beruntung, pria tersebut lebih khawatir Evelyn akan berakhir terjatuh dalam usaha untuk menahan dirinya. Alhasil, Adam pun menghentikan langkahnya dan berbalik. Raut wajah Adam memancarkan amarah menggebu-gebu, netra birunya tidak sekadar memancarkan aura dingin seperti biasa. Kali ini, dia jelas ingin membunuh seseorang. “Wanita itu telah membunuh ibuku!” ucap Adam dengan suara tertahan. Jari pria tersebut terarah ke kediaman Henry, jelas sedang merujuk ke ruangan Helen. “Evelyn, aku tidak mungkin diam saja setelah mengetahui bahwa ibuku dibunuh dengan begitu keji hanya untuk ... untuk harta dan kuasa!” Pria itu mengepalkan tangannya. “Paling tidak, pri
“Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Sembari menghadap ke luar jendela, menatap bulan yang bersinar terang malam tersebut, Noah bertanya sembari memasang ekspresi kesulitan. “Kenapa kamu berubah pikiran dan berujung melibatkan Evelyn dan Adam?” Dari ujung telepon yang lain, suara merdu pun terdengar membalas, “Tidakkah kamu mendengar ucapan putriku tadi?” Mendengar balasan Rosa, Noah mengerutkan kening. “Aku akui bahwa tindakan Evelyn berada di luar dugaanku,” ucap pria tua itu sembari menutup mata dan menyandarkan punggung ke sofa. “Menghubungi ketua Pentagram Merah untuk mencari tahu tentang dirimu, sebuah tindakan yang sangat berani mengingat pengalamannya dengan grup tersebut.” Namun, Noah kemudian mendengus. "Akan tetapi, tidak mungkin hanya karena itu, terlebih karena pada akhirnya kamu tidak mengakui apa pun di depan mereka tadi.” Selama sesaat, Rosa terdiam. Dia menghela napas dan berujung menjawab, “Cucumu menemui Tom Smith.” “Apa?” Noah terlihat terkejut. “Kapan?” Sembar
“Pernah menjadi bagian dari mereka, aku yakin kamu tahu bahwa sekali menginjakkan kaki di dunia bawah, maka selamanya kamu tidak akan pernah sepenuhnya lepas, bukan begitu?” Pertanyaan Adam membuat bukan hanya Evelyn, tapi Julian yang berada di kursi depan terkejut. “Apa maksud ucapanmu?” tanya wanita itu dengan mata membelalak, jantungnya berdetak sangat kencang. “Bagian dari mereka?” ulangnya dengan manik bergetar. Ketegangan sekejap menyelimuti seisi mobil itu, terutama ketika sopir dan Julian melihat bagaimana intensnya pandangan yang Evelyn lemparkan kepada Adam. Alhasil, Julian pun memberikan isyarat kepada sang sopir untuk menaikkan dinding partisi. Dia tidak ingin terlibat dengan perdebatan antara dua orang itu. Begitu dinding partisi sepenuhnya naik, barulah Adam membuka mata dan menoleh untuk menatap Evelyn. Tatapan mata pria itu terlihat santai, seakan tidak tergubris sedikit pun oleh pandangan yang Evelyn berikan padanya. “Evelyn, telah begitu lama mengenalku, apa kamu
“Nyonya Evelyn, Tuan Adam,” sapa Sienna kala Adam dan Evelyn telah tiba di rumahnya. Dia tersenyum sopan sembari mempersilakan keduanya untuk masuk. “Mohon maaf apabila kediamanku tidak begitu layak untuk menerima tamu.” Evelyn mengerjapkan matanya, sedikit terkejut dengan ucapan Sienna yang begitu merendah. “Rumahmu indah,” pujinya. Walau memang tidak bisa dibandingkan dengan kediaman mewah Adam atau bahkan rumah Keluarga Aditama dulu di Nusantara, tapi rumah sederhana Sienna sangatlah nyaman untuk ditempati. Namun, jujur saja, Evelyn merasa sedikit aneh dengan betapa sederhananya kediaman wanita tersebut. Mengingat dirinya adalah keturunan Smith, seharusnya Sienna bisa memiliki rumah yang jauh lebih megah dan mencolok dibandingkan ini. “Nyonya Sienna—” Evelyn memulai ucapannya, tapi segera terhenti ketika melihat tangan Sienna terangkat. “Panggil aku Sienna saja,” ujar wanita tersebut sembari tersenyum. Mendengar hal itu, Evelyn pun tersenyum dan menganggukkan kepala. Karena mem
“Ibumu … dibunuh?” Evelyn mengulangi kalimat yang dilontarkan Sienna dengan wajah tak percaya.Sienna yang baru saja menyelesaikan alasan kebenciannya pada sang ayah menganggukkan kepala. “Pernikahan antara Ayah dan ibuku bukan didasari cinta, Evelyn. Mereka dijodohkan oleh Kakek,” terang wanita tersebut sembari melirik ke luar, pada anaknya yang sedang bermain di kamar. “Itulah alasan Ayah tega menyingkirkannya agar bisa bersama wanita yang merupakan kekasihnya sebelum menikah dengan Ibu.”Evelyn memandang Sienna dengan sedikit bingung. “Sebagai putri dari kalangan atas, tidakkah keluarga ibumu menyelidiki tentang kematiannya?”Sebuah dengusan terdengar dari Sienna. Wanita itu menutup mata dan memasang senyuman mengejek.“Menyelidiki kematiannya?” ulang Sienna. Dia pun membuka mata dan ekspresinya sekejap berubah dingin. “Orang-orang itu mengakui diri mereka keluarga hanya ketika Ibu meninggal! Dan itu semua untuk mendapatkan bagian dari warisan!”‘Warisan?’ pikir Evelyn dengan bingu
“Pernikahan putriku, tentu saja aku harus menghadirinya.” Mendengar hal ini, Sienna menatap Rosa dengan bingung. “Bibi, Bibi Helen dan Ayah pasti akan berada di sana.” “Lalu?” Rosa memiringkan kepalanya. “Apa masalahnya?” Sienna terlihat khawatir. Kalaupun Rosa memiliki latar belakang yang tidak lagi lemah seperti dulu, tapi kalau sang ayah tahu tentang keberadaannya di Capitol, bisa-bisa bibinya itu akan berada dalam bahaya! “Kalau Bibi datang ke sana, maka bukankah itu sama saja dengan bunuh diri? Ayah dan Bibi Helen tidak mungkin membiarkan Bibi hidup!” tegas Sienna. Rosa mungkin bukan ibu kandungnya, tapi wanita itulah yang membantu Sienna untuk keluar dari keterpurukan. Dengan bantuan Rosa, Sienna berhasil mendapatkan sebagian warisan ibunya dan berujung menikah dengan orang biasa, bukan menjadi alat Keluarga Smith untuk menjalin hubungan seperti yang telah direncanakan Tom dan istri keduanya. Demikian, Sienna memiliki ikatan yang cukup dalam dengan Rosa dan mengkhawatirkan k
“Hanya dengan ini, kamu berharap aku merestui hubunganmu dengan putriku?”Pertanyaan Rosa sukses membuat seisi ruangan menjadi tegang. Evelyn dan Sienna memandang Adam dan Rosa secara bergantian, khawatir di antara keduanya malah terjadi perkelahian.“Ibu,” panggil Evelyn dengan tangan mengepal. “Hubunganku dengan Adam bukan—"Adam mengangkat tangannya, menghentikan Evelyn dari membelanya. Pria itu menggenggam tangan sang calon istri, sebuah cara untuk mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Kalau Ibu Mertua lebih suka menganggapnya demikian, maka tidak masalah,” balas Adam singkat terhadap pertanyaan Rosa sebelumnya.Selama sesaat, Evelyn memperhatikan sosok Rosa terdiam. Pandangan tajam wanita itu sukses membuat Evelyn menguatkan pegangannya pada tangan sang calon suami. Dia takut ibunya itu menjadi semakin tidak suka dengan Adam karena sikap pria itu yang terlewat dingin.Namun, tidak Evelyn sangka bahwa tawa keras malah berujung mengisi ruangan tersebut.“Ha ha ha! Luar bi
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p