Judul bab ini mewakili kondisi author saat ini wkkwkwk. Kalo kalian gimana?? Oh iyaa, tahun baru, bulan baru, jangan lupa untuk meninggalkan komentar baru di halaman depan buku ini. Jangan lupa juga like dan votenya juga~ Thanks pembaca setia GCSP! Lope lope!
“Ada orang lain yang mengawasi Helen,” ujar Dominic dengan kening berkerut. Dia terduduk di kursi kebesarannya sembari berulang kali menonton rekaman kecelakaan di layar komputernya—sesuatu yang dia dapatkan dari informannya. “Mobil ini jelas menabrakkan diri untuk menghentikan truk tersebut.” Selena yang tengah berdiri di hadapan Dominic menganggukkan kepalanya. “Aku sudah menyelidiki latar belakang pengemudi mobil tersebut, tapi dia hanyalah seorang pekerja kantoran biasa tanpa hubungan dengan pihak tertentu,” jelas wanita tersebut sembari mengetik dan menggesekkan jarinya pada layar tablet di tangannya. “Walau aku berasumsi serupa, tapi aku khawatir kita tidak memiliki bukti sama sekali.” “Interogasi dia begitu keluar rumah sakit, apa sulitnya?” balas Dominic sembari mendengus. Kepala Selena menggeleng. “Lalu, mengambil risiko melibatkan diri kita dengan kecelakaan tersebut?” tanyanya sembari mendengus. “Walau memang sopir tersebut telah berjanji membungkam mulutnya, tapi kamu ta
“Setelah menjelek-jelekkanku di depan Evelyn, apa dia kira dia bisa tidur enak begitu saja di hotelku?” ujar Dominic dengan wajah tak senang, terlebih ketika mengingat bagaimana gadis di hadapan itu seakan selalu menantang ucapannya. Pria itu menepiskan tangan Selena dan kembali berusaha membangunkan Rena, kali ini dengan mengguncang tubuh gadis tersebut. Melihat Dominic melakukan hal tersebut, Selena menghela napas. Paling tidak, pria itu tidak berusaha menampar-nampar wajah gadis malang itu lagi. Kemudian, Selena pun berkata, “Kamu tidak takut adikmu akan semakin marah kalau sesuatu terjadi pada asistennya?” Mendengar ucapan Selena, Dominic pun mematung. Dia membayangkan wajah marah Evelyn, lalu mengalihkan pandangan pada Rena. Alis gadis itu tertaut erat, tanda akan terbangun. Namun, satu detik kemudian, ekspresinya kembali tenang … kentara tidur nyenyak. Pria tersebut mengerutkan kening dan berujar, “Justru itu, bukankah aku seharusnya memulangkannya?” Dia memperhatikan secara
“Begitu?” Evelyn mengerutkan kening. Kemudian, dia menghela napas. “Baiklah kalau kamu bilang begitu,” lanjutnya. “Bilang padanya, kalau aku tidak melihatmu jam sembilan besok pagi nanti, maka dia akan tahu akibatnya.” Setelah mengatakan hal tersebut, Evelyn mematikan panggilan tersebut. Adam yang terduduk di sebelah wanita itu dengan tangan menopang sisi kepalanya bertanya, “Bagaimana?” “Dia baik-baik saja,” ujar Evelyn. “Kakak membiarkannya menginap untuk satu malam dan akan mengantarnya ke kantor besok,” jelas wanita itu sembari menghela napas. Kalimat Evelyn membuat Adam sedikit memicingkan matanya, waspada kalau-kalau Dominic melakukan hal tersebut untuk terlihat baik di depan wanita tersebut. “Kita bisa menjemputnya sekarang kalau kamu khawatir,” usul pria tersebut, mendorong beberapa helai rambut Evelyn ke belakang telinganya. Netra hitam Evelyn melirik Adam. “Sudah begitu malam, para sopir pasti sudah tidur,” ujarnya. “Aku yang antar.” Mendengar ucapan Adam, Evelyn sediki
Waktu menunjukkan lewat pukul tiga pagi. Langit terlihat begitu gelap dan awan hitam yang sejak tengah malam berkumpul perlahan menangis deras. Hujan badai menimpa Capitol, mengakibatkan petir dan gemuruh yang hadir berselingan mengganggu tidur sejumlah orang. Salah satu dari mereka yang terganggu adalah gadis kecil kesayangan Keluarga Dean saat ini. “Liam … Liam … Lili nggak bisa tidur,” rengek Lili yang telah terduduk di ranjang Liam. Kilatan petir yang tampak dari luar jendela disertai gemuruh menggelegar membuat bayi kecil Evelyn dan Adam itu memekik sembari menenggelamkan kepalanya di bawah selimut saudaranya. “Huaaa Liaam!” Teriakan dan gerakan besar pada kasurnya membuat Liam mengerjapkan mata. Bocah kecil itu mengerjapkan mata sesaat, lalu menyadari adanya gundukan pada selimut di sebelahnya yang disertai tangisan pilu. Hal tersebut menyebabkan Liam terkejut dan menjauh cepat, dan hal tersebut berujung dengan dirinya terjatuh ke lantai dengan keras. “Aw …,” gerutu bocah keci
“Astaga, Nyonya memang begitu cantik,” puji seorang perias kala menatap mahakarya di hadapannya. Matanya berkaca-kaca, begitu bangga terhadap hasil karya dirinya sendiri dan tersanjung karena diberikan izin untuk menyentuh wanita sang pewaris keluarga terkaya Capitol. “Tidak heran Tuan Adam takluk di bawah pesonamu.” Di hadapan cermin meja riasnya, bibir Evelyn yang dipoles dengan lipstik merah menyala membentuk senyuman. Rona merah samar di wajahnya menjadi semakin kentara karena harus dirinya akui, dia tidak pernah terlihat secantik ini. Rambut panjangnya diangkat ke atas membentuk sanggul bunga selagi beberapa helai dibiarkan tidak terikat untuk membingkai wajahnya. Saat Evelyn berdiri, gaun merah yang melilit tubuhnya dengan model duyung di bagian bawah terlihat memukau dan elegan. Hal tersebut membuat sejumlah pelayan dan penata rias yang berada di sana terkagum-kagum. Mendadak, semua orang mendengar ketukan pada pintu yang diikuti dengan suara dalam nan rendah yang berkata, “S
“Tunangan Evelyn Erlangga … aku menyukai panggilan tersebut.” Adam berbisik, membuat wajah Evelyn bersemu merah. Tahu bahwa pria itu seharusnya turun terlebih dahulu, Evelyn pun berkata, “Sudah waktunya bagimu untuk turun menyambut para tamu, bukan?” Wanita itu tersenyum tipis. “Pergilah, aku akan turun sebentar lagi.” Ucapan Evelyn membuat Adam menarik diri. Dari pandangan matanya, kentara bahwa pria itu enggan berpisah dengan wanita tersebut. “Kalau begitu, aku pergi dulu.” Pria tersebut pun mendaratkan sebuah kecupan di punggung tangan Evelyn, lalu berkata sebelum menutup pintu, “Jangan terlalu lama, Nyonya Dean.” *** Langit malam itu terlihat terang akibat hadirnya bulan purnama. Ditambah dengan gemerlap lampu-lampu yang menghiasi beberapa tiang dan semak bunga, taman kediaman Dean malam itu tampak begitu mempesona. Sejumlah meja dan kursi terjajar rapi dengan alat makan tertata di atasnya. Sebagian besar tamu undangan yang berasal dari keluarga besar Dean juga telah hadir, s
‘Sepertinya, malam ini akan menjadi malam yang sangat menarik.’ Selagi Helen memikirkan hal itu, dia mendengar percakapan Jenna dengan para wanita lain masih berlanjut. “Kalau kamu tahu tentang hal itu, maka kamu seharusnya juga tahu bahwa anak-anak itu hadir karena sebuah kecelakaan yang tidak disengaja,” bela wanita bergaun kuning dengan kerutan tipis di wajahnya. “Tanpa mengetahui situasi sebenarnya, ada baiknya kamu tidak menilai orang lain semudah itu.” Jenna melirik wanita bergaun kuning dengan tatapan nyalang. “Kamu bermaksud untuk mengungkit rumor bahwa wanita itu dijebak saudarinya? Kamu percaya? Ha ha ha!” Tawa menggelegar wanita tersebut menarik perhatian beberapa orang di sekeliling. “Bodoh sekali kamu, Stacy!” Dia pun menjelaskan, “Asal kamu tahu, itu pasti hanya alasan untuk menarik simpati agar dirinya direstui oleh Noah dan Henry!” Dari tempatnya terduduk, Helen menampakkan sebuah senyuman yang dia tutupi dengan kipasnya. Dia bisa mengenali lawan bicara Jenna yang s
‘Kalau dia masih nekat, maka bisa jadi posisinya sebagai pewaris akan ditarik paksa keluarga besar!’ batin Helen dalam hati, menjadi semakin bersemangat. ‘Ini kesempatan emas untuk Daniel!’ Karena berada tidak jauh dari Helen, Daniel bisa melihat ekspresi sang ibu yang tersembunyi di balik kipas. Dia, yang memperhatikan kelakuan ibunya, hanya bisa terdiam di tempat dengan tubuh membeku. Ingin sekali dirinya membela Evelyn dan Adam dengan membenarkan informasi yang dilontarkan Helen, tapi melakukan itu akan membuat ibunya dipermalukan di depan keluarga besar Dean. Mengetahui hal itu, haruskah dia bersikap durhaka dan membela saudara tirinya? Kala melihat Jenna berjalan menghampiri Noah, Daniel dengan cepat menarik lengan ibunya yang berniat mengikuti wanita tersebut. “Ibu! Berhenti berbuat onar!” desis pemuda tersebut. “Jangan membuat orang lain salah paham dengan Kak Evelyn!” tegurnya. Wajahnya menampakkan ekspresi terluka, tahu jelas sang ibu selalu menargetkan Evelyn dan Adam
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p