Lili, Lili, kamu kok pinter sih, Dek?
Pertanyaan Lili sukses membuat Evelyn menganga selagi Julian menahan tawa. Di sisi lain, Adam hanya terdiam, sedang menimang-nimang jawaban apa yang tepat diberikan kepada gadis kecil itu. Agar tidak membuat masalah lagi, Evelyn segera menghampiri Adam dan berusaha meraih putrinya kembali. “B-biar Lili saya bawa, Pak. Maaf merepotkan,” ujarnya sembari merentangkan tangan. Karena tangan Evelyn sudah terbuka dan siap menerima putrinya, Adam pun memberikan gadis kecil itu kembali kepada ibunya. Entah kenapa, ada rasa enggan dalam diri pria tersebut ketika diminta mengembalikan Lili, seakan menyayangkan tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan bocah menggemaskan itu. Sebuah perasaan yang cukup aneh dan asing, terutama karena Adam Dean tidak pernah suka dengan anak kecil sebelumnya. Di saat dirinya memberikan Lili kembali kepada Evelyn, tanpa sengaja tangan Adam bersentuhan dengan tangan wanita itu. Kejadian tersebut membuat kedua orang itu terkejut, merasakan adanya sengata
Sebuah dengusan terdengar dari sisi Adam. “Kalau kamu memang bisa, maka anak-anak kamu tidak akan hampir hilang,” balasnya dengan terus-terang. Julian yang awalnya hanya terdiam sembari tersenyum langsung mengerjapkan mata mendengar ucapan atasannya. Dalam satu kedipan mata, perubahan emosi dua orang di hadapannya itu bisa dirasakan. Suasana yang awalnya biasa-biasa saja sekarang kentara berubah tegang. ‘Kenapa … jadi bertengkar?’ batin Julian, merasa sedikit aneh dengan Adam. Atasannya itu memang memiliki sifat seenaknya dan sangat terus-terang dalam berbicara. Akan tetapi, sifat itu akan keluar hanya ketika ada hal-hal yang bersangkutan dengan dirinya. Bukan hanya Julian seorang, Liam dan Lili juga mulai merasakan ketegangan yang terbentuk di antara Evelyn dan Adam. Alhasil, Liam pun langsung melangkah maju ke hadapan Evelyn, menengahi sang ibu dengan Adam. “Mama sangat baik! Mama sangat bertanggung jawab! Om Jutek nggak boleh omelin Mama!” tegur Liam seraya berdiri di depan
“Saya sungguh minta maaf, Bu,” ujar seorang gadis sembari membungkuk rendah di hadapan Evelyn. Mata merah gadis itu menunjukkan bahwa dia sempat menangis. “Saya sudah benar-benar lalai,” lanjutnya lagi, mengakui kesalahan yang telah dia perbuat kepada sang majikan. Evelyn menghela napas. “Saya harap hal ini nggak terulang lagi, Heni,” tegas wanita itu selagi duduk di sofa yang berseberangan dengan sang gadis muda, pengasuh yang dia pekerjakan untuk menjaga Liam dan Lili selama dirinya bekerja. “Tujuan saya mempekerjakan kamu adalah untuk menjaga kedua anak saya, jadi saya harap lain kali kamu lebih berhati-hati.” Heni mengangkat kepalanya, terkejut dengan ucapan Evelyn. “Ibu nggak pecat saya?” Gadis itu memandang Evelyn dengan mata membesar. Dia heran dengan kenyataan bahwa bukan hanya wanita itu tidak menuntutnya, Evelyn malah masih memberikannya kesempatan! Sebuah senyuman tipis pun terlukis di wajah Evelyn. “Selama kamu berjanji nggak akan mengulangi kesalahan yang sama, saya
“… Velyn, Mbak Evelyn!” Panggilan yang ditemani dengan lambaian tangan di depan wajah membuat Evelyn tersadar dari lamunannya. “R-Rena?” Wanita itu mengerjapkan mata, sedikit terkejut dengan kemunculan tiba-tiba kolega mudanya itu di kantin. “Halo?” sapanya dengan nada ragu. Sapaan Evelyn membuat Rena tersenyum tak berdaya, merasa sekretaris baru itu selalu saja termenung. Sembari berbaris di belakang Evelyn untuk mengambil makan siangnya di kantin kantor, Rena berkata, “Gimana hari pertamanya kemarin, Bu?” Pertanyaan yang diajukan Rena membuat Evelyn memaksakan sebuah senyuman. Dia menunjuk salah satu makanan kepada pelayan kantin dan berkata, “Cukup … baik, rasanya?” Teringat kejadian dengan Linda wanita itu membenarkan kalimatnya. “Ya, walau seperti yang kamu bilang, Bu Linda cukup … sulit.” Rena berterima kasih kepada pelayan kantin, lalu mengikuti Evelyn duduk di salah satu meja. Dia melambai kepada teman sekantornya, mengisyaratkan dia akan menemani sang sekretaris baru. “Sem
“Nggak perlu, Mbak. Orangnya langsung pergi waktu itu, kartunya dikembalikan,” balas Julian. Mendengar hal itu, Evelyn menghela napas. Paling tidak, Andre tidak mempersulit Julian dan mengakibatkan dirinya harus membayar pria tersebut. “Syukurlah kalau kayak gitu,” ucap wanita cantik itu sembari tersenyum. Walau tidak berutang apa pun pada Julian, tapi pria itu sudah membantu dirinya lepas dari Andre. Evelyn pun berpikir untuk memberikan hadiah pada pria itu. “Pak Julian suka makan apa?” tanya Evelyn, mengejutkan Julian dan juga Rena. ‘Wah, kejar Bu Evelyn, saya dukung!’ puji Rena, ingin bertepuk tangan, mengira kalau Evelyn sedang berusaha mendekati Julian. Walaupun Julian tidak bisa dibandingkan dengan Adam, tapi penampilan pria itu tidak kalah tampan. Tubuh tinggi dan wajah tampan khas Nusantara itu tetap mampu memukau sejumlah wanita. Ditambah dengan sikapnya yang humoris dan ramah, banyak wanita yang merasa Julian pria yang lebih nyaman diajak bicara dibandingkan atasan tampa
[KerRea10: Oh, jadi ini kenapa Linda si asisten Pak Reza dipecat? Cantik sih, jadi dibela] [Gulali29: Kayaknya emang Lindanya aja yang gak beres deh. Lagian lempar tugas ke orang lain, kena deh lo] [Renata123: @KerRea10 Emang Linda aja yang nggak bener kalo kerja. Dipecat ya wajar. Kenapa jadi salahin orang gara-gara cantik? Sirik bilang] [Gulali29: @Renata123 Sirik kali gara-gara Pak Julian udah ada target! Aku juga iri, tapi tahu diri nggak selevel kayak sekretaris baru] [Renata123: @Tria22 Hahaha, semoga beneran jodoh dua-duanya] Melihat rentetan komentar dari post akun Inst*gram itu membuat Julian melotot. “Loh, kok bisa gini?!” Dia menggertakkan gigi, bisa-bisanya akun inst*gram yang memang sering memuat gosip panas anggota internal Eden Entertainment itu sekarang menyebarkan isu tentang dirinya! “Saya akan cari pelakunya!” Adam menarik paksa ponselnya dari tangan Julian, kesal pria itu salah menangkap tegurannya. “Aku nggak peduli siapa pelakunya, aku lebih peduli apakah pe
“Dasar cucu nggak tahu sopan santun! Ini kakekmu jauh-jauh telepon dari Capitol, dan kamu malah jawab dengan nada ketus begitu!” Suara parau seorang pria tua bisa terdengar membentak Adam. Baru saja memutar tubuhnya, Julian yang masih berada di depan meja Adam hanya bisa menggelengkan kepalanya kecil. ‘Pak Noah lagi,’ batinnya sembari berjalan dan kembali ke mejanya. Noah Dean, mantan presiden direktur dari dinasti bisnis raksasa Grup Dean. Seorang pria yang juga menyandang status sebagai kakek dari sang Adam Dean. Sebagai tetua, semua anggota Keluarga Dean sangat menghormatinya. Hanya saja … Adam sedikit berbeda. Alih-alih mengubah sikapnya, nada bicara Adam menjadi semakin dingin. “Jadi, kenapa Kakek telepon?” tanyanya ketus, seakan sudah menebak kalau apa pun yang pria tua itu katakan tidak akan dia sukai. Pria tua yang sedang bersandar pada kursi santainya yang berada di teras rumah megah itu lanjut berkata dengan suara tinggi, “Kenapa kamu mendadak pergi ke Nusantara, hah?! B
“Apa?! Siapa calon—" Tidak lagi memiliki kesabaran, Adam langsung mematikan panggilan tersebut. Kesal, dia pun meletakkan ponselnya ke atas meja dan lanjut bekerja. Di tempatnya, Julian hanya terdiam memerhatikan Adam. ‘Pak Adam … punya calon?’ Walau ekspresi pria tersebut begitu datar, tapi sejumlah pertanyaan yang membuat kepalanya pening sedang berkumpul di benaknya. ‘Siapa? Kenapa aku tidak tahu?!’ Di saat Julian sedang sibuk mengkhawatirkan atasannya itu, Adam menggeser maniknya dan memberikan sang asisten pandangan mematikan. “Apa pekerjaanmu ada di wajahku?” Dengan cepat Julian pun mengalihkan pandangan pada dokumen di tangannya, menghindari tatapan sang CEO. Hanya saja, walau tidak ingin mencari masalah dengan atasannya itu, pria tersebut berakhir membuka mulut. “Pak Adam sejak kapan punya calon?” ujarnya dengan lirikan mata penuh tanya. Adam yang sedang mengerjakan sebuah dokumen terlihat tidak terusik dengan pertanyaan tersebut. Dia hanya terdiam selagi menggoyangkan pen
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p