Ooff, jadi karena Adam Dominic bisa tahu tentang Evelyn? Dari pada telat ngucapinnya, aku ucapin sekarang untuk para pembaca setia GCSP, selamat tahun baru peeps! Semoga di tahun berikutnya, berkah terus menyertai kita semua yaa. Aminnn.
“Lagi pula, alasan diriku berakhir mengetahui tentangmu … adalah karena salah satu orang suruhannya tengah menyelidiki rumah bordil tempat Reyhan membelimu,” jelas Dominic, tidak hanya membuat Evelyn terkejut, tapi juga Adam. Adam mengepalkan tangannya, memaki bawahannya dalam hati karena begitu lalai dalam penyelidikan. ‘Pria ini …,’ geramnya, tidak suka dengan sikap Dominic yang seakan berusaha membentuk jurang antara dirinya dan Evelyn. Mengabaikan pandangan Adam pada dirinya, Dominic menaikkan alis kanannya kala melihat sang adik menatapnya dengan wajah kaget. “Evelyn, ada begitu banyak hal yang pria ini sembunyikan darimu,” tuturnya dengan suara dalam. “Tidak hanya itu, dia juga tidak mampu menjagamu,” imbuh Dominic. “Mengetahui semua hal ini, kamu sungguh ingin menikahinya?” Pertanyaan Dominic membuat tubuh Adam bergetar. Dia berdiri dan menatap pria tersebut dengan tatapan mengancam. “Hubunganku dengan Evelyn bukanlah urusanmu,” geramnya. “Evelyn adalah adikku,” balas Domini
Di tempatnya, Dominic bisa melihat bahwa Adam tidak mampu mengelak. Lagi pula, apa yang dia ucapkan adalah kebenaran. Akhirnya, Dominic pun kembali angkat suara, “Oleh karena itu, aku—" “Cukup.” Sebuah suara berkumandang, membuat Dominic mengalihkan pandangan dengan terkejut. Terlihat Evelyn tengah berdiri dari kursinya untuk kemudian menghadap sosok Dominic. “Hari ini, aku sudah sangat merepotkan dirimu,” ujarnya sembari tersenyum. Kemudian, senyuman itu menghilang, digantikan dengan wajah datar tak berekspresi. “Namun, aku rasa cukup sampai di sini.” Wanita itu mengalihkan pandangan kepada Adam, lalu menggenggam tangan pria itu. “Kita pulang.” Kening Dominic berkerut, tidak menyangka Evelyn akan bereaksi sedemikian rupa. “Apa kamu tidak mendengar semua yang baru saja aku katakan?” tanyanya, dengan cepat berdiri dari kursinya kala melihat adiknya itu menarik Adam melangkah pergi menghampiri pintu keluar. “Pria itu berbahaya untukmu!” Teriakan Dominic menghentikan langkah Evelyn.
“Aku bertemu dengannya sebagai Evelyn Erlangga, dan aku akan menikah dengannya untuk menjadi Evelyn Dean.” Kalimat yang terlontar dari bibir Evelyn beberapa saat lalu membuat Adam termenung di kursi mobilnya. Netra birunya terpaku pada sosok wanita yang sekarang tengah duduk di seiu9belahnya. Evelyn, yang sedang menatap keluar jendela mobil, mampu melihat cara Adam memandangnya dari pantulan pada kaca. Wanita itu menatap pantulan sosok pria yang jelas memiliki segudang pertanyaan untuknya. Tidak lagi tahan dengan kesunyian di antara mereka berdua, Evelyn pun menekan tombol untuk menaikkan partisi kabin penumpang dengan bagian depan mobil. Hanya setelah dinding partisi telah naik, barulah wanita itu bersuara—tidak sedikit pun memandang Adam. “Aku masih marah padamu,” tegas Evelyn dengan dua tangan mencengkeram bantalan kursi. “Aku tidak peduli dengan rahasiamu yang lain, tapi perihal diriku? Aku rasa aku memiliki hak untuk tahu, bukan begitu?” Adam memandang Evelyn dengan sedih, me
“Demikian, sebagai saudara sepupumu, hanya aku yang bisa menggantikanmu menyembuhkan luka pada hatinya, bukan?” tanya Helen dengan wajah mengejek. Sedetik kemudian, mata Helen memancarkan amarah. “Namun, kebahagiaanku harus terganggu karena wanita yang mirip denganmu itu!” Dia membayangkan bagaimana Adam memojokkan dirinya untuk membela Evelyn. ‘Salahmu berani mengancamku, Adam! Sekarang, wanitamu yang harus merasakannya!’ Tepat ketika memikirkan hal tersebut, fokus Helen teralihkan pada dering ponsel dari dalam tasnya. Ekspresi wanita itu berubah lebih santai, tapi kentara bahwa dirinya tidak suka ada yang mengganggu waktunya menghibur diri. Helen berdiri dan mengeluarkan ponselnya, menatap nomor yang tidak terlihat asing pada layar. “Ada apa, Kak?” sahut wanita tersebut ketika mengangkat telepon, penasaran kenapa Tom—saudara prianya—memanggil. “Kamu di mana?” tanya Tom. Alis kanan Helen terangkat. Dia pun melirik ke arah makam Rosa untuk yang terakhir kalinya sebelum melangkah me
“Kamu ….” Helen merasa tenggorokannya tercekat, tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia hanya bisa menatap wanita di hadapan dalam diam, seorang wanita dengan sweter merah anggur berkerah tinggi yang dilapisi jaket panjang berwarna hitam. Setengah wajah wanita itu tidak terlihat lantaran dirinya mengenakan sebuah masker hitam. Setelah sekian lama menatap wajah Helen, mata wanita tersebut melirik ponsel Helen yang terjatuh. Dengan santai, wanita itu membungkuk dan meraih benda pipih tersebut, menatap sebentar layarnya—mungkin untuk memastikan tidak ada yang rusak—lalu memberikannya kembali pada Helen. “Berhati-hatilah kalau berjalan.” Suara wanita itu terdengar sangat merdu, tapi mendominasi. “Jaga pandanganmu, terlebih karena bertelepon hanya perlu menggunakan mulut,” ujarnya sembari menekan ponsel tersebut ke telapak tangan Helen. Tanpa menunggu balasan Helen, wanita itu pun memutar tubuhnya dan melangkah pergi. Helen hanya termenung di tempatnya, menatap kepergian wanita itu. Eks
“Ahhh!!!” Suara hantaman kencang besi dengan besi dan kaca pecah terdengar memekakkan telinga. Namun, Helen, yang kala itu menutup mata dengan tangan menyilang guna melindungi diri, tidak merasakan apa pun. Hal tersebut membuat wanita itu membuka mata. Detik dirinya terfokus pada pemandangan di depan mata, Helen membeku. Dia melihat sebuah mobil lain telah menabrak truk tersebut, menghentikan kecelakaan yang seharusnya menimpa dirinya. Mata Helen mendarat pada sosok sopir truk yang tidak sadarkan diri di kursinya, darah mengalir turun menghiasi wajahnya. Helen tidak bisa melihat kondisi pengemudi mobil sedan hitam yang menabrak truk tersebut, tapi dari kondisi sopir truk, kentara bahwa tabrakan itu sangat kencang. Mengesampingkan kondisi pengemudi truk dan sedan tersebut, Helen hanya mementingkan satu hal. “Aku selamat ….” “H-halo? S-saya ingin melaporkan kecelakaan di jalan—” Mendengar panggilan yang dilakukan sopirnya, Helen mendelik dan langsung berteriak, “Apa yang kamu lakuk
“Apa?!” Suara Evelyn memekik tinggi. “Lalu?! Apa dia baik-baik saja?!” Pertanyaan Evelyn membuat Adam mengerutkan dahi. “Dominic? Tentu saja.” Bola mata Evelyn berputar. “Ibu tirimu, Bodoh!” maki wanita itu, refleks karena merasa emosinya telah mencapai puncak. Sadar bahwa dirinya baru saja memaki Adam, wanita itu langsung menutup mulutnya. “Oh!” Adam mengerjapkan mata, sedikit terkejut. Namun, dia pun tak elah tertawa rendah. “Kamu baru saja memakiku?” tanyanya dengan nada menggoda. Dengan wajah memerah, Evelyn membela diri. “Salahmu tidak mengerti maksudku.” Dia pun menegaskan, “Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Ekspresi Adam kembali tenang, tapi sebuah senyuman menghiasi bibirnya. “Sudah kubilang, wanita itu hampir kecelakaan. Dia baik-baik saja,” jawabnya. Adam mengusap kepala Evelyn, sebuah kebiasaan yang tidak dia sadari telah terbentuk. “Tidak perlu khawatir, tindakan bodoh kakakmu tidak berhasil.” Mendengar hal tersebut, Evelyn menghela napas. Walau dirinya baru saja men
“Ada orang lain yang mengawasi Helen,” ujar Dominic dengan kening berkerut. Dia terduduk di kursi kebesarannya sembari berulang kali menonton rekaman kecelakaan di layar komputernya—sesuatu yang dia dapatkan dari informannya. “Mobil ini jelas menabrakkan diri untuk menghentikan truk tersebut.” Selena yang tengah berdiri di hadapan Dominic menganggukkan kepalanya. “Aku sudah menyelidiki latar belakang pengemudi mobil tersebut, tapi dia hanyalah seorang pekerja kantoran biasa tanpa hubungan dengan pihak tertentu,” jelas wanita tersebut sembari mengetik dan menggesekkan jarinya pada layar tablet di tangannya. “Walau aku berasumsi serupa, tapi aku khawatir kita tidak memiliki bukti sama sekali.” “Interogasi dia begitu keluar rumah sakit, apa sulitnya?” balas Dominic sembari mendengus. Kepala Selena menggeleng. “Lalu, mengambil risiko melibatkan diri kita dengan kecelakaan tersebut?” tanyanya sembari mendengus. “Walau memang sopir tersebut telah berjanji membungkam mulutnya, tapi kamu ta
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p