Reaksi author pas baca ulang lagi: 0.0 Whoaat?? Kenapa intens sekaleeh?! Dua babang ganteng berhadapan. Udah kayak mau showdown. Apa kalian merasakan hal yang sama pas baca ini?! Coba tulis di komen! Btw, ada banyak yang bilang Dominic bisa jadi saudara Evelyn. Kalian bisa nebak gitu karena apaa??
Dari jendela bandara yang begitu besar, sebuah pesawat terlihat telah mengudara menuju tujuan. Dominic memandangi benda tersebut dengan saksama, bibirnya yang biasa tersenyum tampak membentuk garis datar tak terhibur. Netra hitamnya memancarkan pandangan yang sulit dimengerti, menggambarkan betapa rumitnya suasana hati pria tersebut. Tak lama, terdengar langkah kaki seseorang yang berjalan menghampiri. Namun, Dominic sama sekali tidak menoleh, tahu bahwa satu-satunya orang yang berani dengan begitu santai menghampirinya adalah sang bawahan. “Tuan Dominic, semuanya sudah selesai,” ucap seorang pria berpakaian serba hitam sembari memberi hormat kepada sang atasan, mengindikasikan bahwa tugas yang diperintahkan telah usai dikerjakan. “Kita sudah bisa berangkat.” Mendengar hal itu, Dominic pun menganggukkan kepala. Berdampingan dengan sang bawahan, dia langsung berjalan memasuki salah satu gerbang keberangkatan di terminal tersebut. Selagi melangkah melalui lorong penghubung bandara de
“Hei! Bangun kamu!” seru seorang wanita berseragam, menunjukkan identitasnya sebagai seorang sipir. Tubuhnya yang kekar dan terlihat telah melalui banyak pelatihan seakan memamerkan kemampuannya untuk mematahkan tulang siapa pun yang menentang. Seruan kasar sang sipir membuat sosok ramping yang sedang tertidur nyenyak di dalam selnya terbangun. Dengan wajah malas, wanita cantik tersebut melirik ke arah pintu sel yang sedang dibuka oleh petugas penjara yang lain. “Ada apa ini?” tanya wanita di dalam sel dengan raut wajah kebingungan. “Kok kalian asal menerobos kamar saya sih?” Nada bicaranya terdengar angkuh untuk seseorang yang sedang mendekam di penjara. Bagaimana tidak? Walau terjebak di penjara ini, tapi dia tetap putri kesayangan salah satu pebisnis kaya Nusantara. Karena uang sang ayah, dia pun bisa hidup enak di dalam sel, lengkap dengan pendingin ruangan, kasur yang empuk, sampai kamar mandi yang disediakan khusus untuk dirinya sendiri. Ya, wanita itu tak lain dan tak bu
Di dalam pesawat pribadi Adam, terlihat pria itu terduduk dengan kaki disilangkan. Berbeda dari biasanya, pria itu tidak menyandarkan punggungnya, melainkan meletakkan sikunya di tanganan kursi dan menggunakan telapak tangannya untuk menopang kepala. Pancaran mata Adam terlihat kosong, seakan menerawang ruang dan waktu. “Aku penasaran apa yang akan dilakukan oleh wanita itu kala dia tahu dirimu yang sebenarnya.” Ucapan Dominic terus terngiang di dalam benak Adam, mengungkap sejuta kemungkinan mengerikan yang mungkin mengancam hubungannya dengan Evelyn. Dan, hal tersebut membuat pria itu menimang-nimang apakah membawa ibu dari kedua anaknya itu ke Capitol merupakan sebuah keputusan yang baik. “…dam! Adam!” Panggilan yang diikuti dengan sebuah guncangan pada pundaknya membuat Adam sedikit tersentak. Pria itu mengangkat pandangannya, mendapati sosok Evelyn menatapnya dengan khawatir. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Evelyn yang mendudukkan diri di sebelah pria tersebut. Ekspresi kha
“Sepertinya, alih-alih dirimu, dirikulah yang harus lebih takut padamu, Evelyn.” Tidak hanya perkataan Adam membuat Evelyn terperangah, tapi jarak yang begitu dekat di antara kedua wajah mereka membuat wanita tersebut merona. Evelyn bahkan tidak bisa bernapas lantaran terkejut. Netra biru Adam menatap dalam wajah wanita itu, menikmati setiap inci perubahan yang terjadi di sana. Kerutan tipis di dahi Evelyn, bulu mata lentiknya yang bergetar, serta bibir mungilnya yang digigit terlihat begitu menggoda. ‘Kalau aku terus mendorongnya seperti ini, bisa-bisa dia akan lari,’ pikir Adam, tertawa dalam hati karena reaksi Evelyn. Pria itu menyandarkan punggungnya, lalu menjelaskan dengan ekspresi yang kembali datar, “Dominic telah menandaimu.” Pernyataan Adam membuat mata Evelyn membesar. “Kenapa?” Dia tidak merasa telah melakukan sesuatu yang telah menarik perhatian pria itu. “Tidak tahu dan tidak peduli,” balas Adam dengan tangan terlipat. “Yang jelas, kamu milikku, dan dia tidak akan pe
Mendengar cerita Adam, Evelyn sedikit kesulitan untuk mencerna semuanya. Dia kira bahwa cerita hidupnya sudah cukup menyedihkan, kisah bagaimana seorang manusia mampu mengesampingkan hatinya dan menggunakan orang lain untuk mencapai kekuasaan. Namun, begitu mendengar kisah hidup Dominic Grey, Evelyn tahu bahwa kisahnya tidak sebanding sama sekali. Berdasarkan cerita Adam, Dominic merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara—ketiganya pria. Berbeda dari persaudaraan biasa, tiga saudara Grey sama sekali tidak memiliki perasaan untuk satu sama lain lantaran mereka lahir dari tiga ibu berbeda. Dominic lahir dari seorang wanita penghibur, menjadikannya dipandang paling rendah oleh Keluarga Grey yang lain. "Demi membuktikan dirinya berguna, dia rela melakukan apa pun, termasuk mengkhianati pertemanan yang dia miliki,” ucap Adam, memasang sebuah ekspresi pahit di wajahnya kala mengenang ingatan tersebut. “Dirimu?" tanya Evelyn. Adam menganggukkan kepalanya dengan ragu. “Aku mulai bersek
“Kudengar ayahnya terlibat dengan dunia bawah dan berakhir mati di tengah jalan pagi tadi,” ujar seorang wanita paruh baya yang sedang memotong daging di piringnya. “Tidak hanya itu, adik keduanya mendekam di penjara.” Wajah wanita tersebut terlihat angkuh, tapi gerakannya memang anggun, mencerminkan statusnya sebagai anggota keluarga terkaya Capitol. “Adam memang punya kemampuan luar biasa dalam hal bisnis, tapi sepertinya tidak dalam memilih wanita.” Sebuah ekspresi tak berdaya terlukis di wajah wanita itu, seakan menyayangkan keputusan sang pewaris keluarga. “Diam kamu, Helen,” balas seorang pria tua di kursi tetua dengan tatapan nyalang. “Tidak berhak kamu mengomentari keputusan Adam dan latar belakang calon istrinya,” geram Noah Dean dengan wajah tidak suka. Bentakan Noah membuat Helen, istri kedua Henry dan juga ibu tiri dari Adam, memasang wajah sendu. Kesedihannya membuah Noah mendecakkan lidah, seakan muak dengan kepura-puraan yang selalu ditunjukkan wanita itu. Namun, sang
“Wah, rumahnya besar sekali!!” seru Lili dengan mata bulatnya menyapu pemandangan kediaman Keluarga Dean di Capitol. Walau tidak menyuarakan pikirannya seperti Lili, tapi Liam juga menatap tempat tersebut dengan ekspresi kagum. Kediaman di hadapannya bak istana, terlebih karena tempat tersebut terdiri dari empat gedung berbeda yang saling terhubung. Hal tersebut membuat bocah kecil itu penasaran dengan apa perbedaan setiap gedung. “Saat ini kita sedang mengarah ke gedung utama, kediaman tetua Keluarga Dean, kakek buyut kalian.” jelas Charles, menangkap rasa penasaran Liam. “Di tempat tersebut, biasanya para anggota Keluarga Dean akan berkumpul untuk makan siang dan malam bersama di tiap hari Sabtu.” Lili langsung menatap Charles dan berseru, “Hari ini hari Sabtu!” Charles menampakkan senyuman lembut seraya menganggukkan kepala. “Benar sekali, Nona Muda. Demikian, hari ini semua anggota Keluarga Dean sedang berkumpul di sana.” Pria paruh baya itu pun melanjutkan, “Selain itu, kedia
Di saat itu, Lili dan Liam langsung menganggukkan kepala dan berkata, “Terima kasih, Kakek Noah!” Ucapan terima kasih Lili dan Liam membuat fokus Noah kembali. Dia tersenyum kepada kedua bocah itu, merasa senang karena cicit-cicitnya sangat patuh dan manis, tidak seperti cucu pertamanya—Adam. “Salam kenal, Pak Noah. Saya Evelyn Erlangga,” sapa Evelyn seraya membungkuk sopan. Ketika fokusnya teralihkan pada sosok Evelyn, Noah melihat bekas luka di beberapa sisi wajah wanita itu. Dia langsung tahu itu adalah bekas luka yang dihasilkan kecelakaan beberapa waktu lalu. ‘Seorang adik yang ingin membunuh kakaknya sendiri, juga seorang ayah tidak bertanggung jawab yang menelantarkanmu hanya karena sebuah kecelakaan yang tidak kamu kehendaki. Begitu pahit hidupmu, Nak,’ batin Noah, merasa prihatin. Dia pun membulatkan sebuah tekad dan bergegas menarik tangan Evelyn untuk menepuk punggung tangan wanita itu dengan lembut. “Jangan begitu kaku, Evelyn. Panggil aku Kakek! Kamu akan segera me
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p