"Bajingan ini, bisakah kau menjaga mulutmu? Apa kau ingin ku suntik mati sekalian!" Sebuah bogem Andre layangkan ke rahang Gio. Membuat tubuh Gio hampir terjerembab jatuh. Sebelum tubuh itu jatuh, Andre mencengkram kerah baju Sergio dengan wajah berapi-api penuh angkara."Mulutmu yang kurang ajar ini memang tidak pernah berubah! Coba katakan lagi jika Vina adalah pelacur? Aku benar-benar tidak keberatan jika aku harus merontokkan gigimu!" sentak Andre. Tidak ingin kalah, Gio balas mencengkram kerah baju Andre. Tatapannya menusuk, ini akan menjadi pertarungan sengit antara Gio dan Andre. Vina tercengang tidak menduga jika dirinya yang menyebabkan terjadinya prahara antara Gio dan Andre. Yang dihina adalah Vina, akan tetapi, Andre yang seperti kesetanan. "Andre, hanya karena satu jalang kau menonjok rahangku yang berharga ini? Apa kau sudah bosan hidup, hah?" tatapan mata Gio menusuk ke dalam mata Andre. "Hahaha…! Dasar penjahat kelamin! Kau mengancam siapa? Kau pikir gampang merebu
"Ssstt … aakkhh!" rintih Vina. "Ke atas, coba diangkat lebih tinggi lagi!" pinta Andre."Umm … di tusuknya pelan-pelan, Tuan, Sakit." lagi-lagi Vina merintih. "Iya, ini juga aku melakukannya dengan pelan-pelan. Kamu tahan, ya! Ini juga mau selesai." "Umm…!" jawab Vina dengan mulut terkatup. Andre terus menggerakan alat "forceps hidung" dia mencoba membersihkan darah di lubang hidung Vina dengan hati-hati agar Vina tidak kesakitan. "Kau kenal dengan Gio sudah berapa lama, Vina?" tanya Andre sambil tangannya sibuk mengobati hidung Vina. "Pas aku dan Rubby diculik. Malam itu aku benar-benar tidak berniat menggoda Gio. Aku terpengaruh oleh Afrodisiak. Dan, ya … Tuan Andre pasti tahu apa yang aku dan Gio lakukan," ucap Vina berterus terang. Tangan yang tadinya aktif, terhenti sejenak saat mendengar penuturan Vina. Setelahnya, bibir Andre tersenyum. "Sungguh terbuka sekali, ya!" ucapnya dan kembali melanjutkan mengobati hidung Vina. Vina tidak menjawab, dia hanya menikmati setiap ca
"Hey Vina, apakah kau sudah lebih baik?" Andre menyapa saat melihat wanita itu tengah memakai sepatu. Masih sibuk dengan mengikat tali sepatunya, Vina pun menjawab, "Aku jauh lebih baik, sekarang. Hanya saja, di bagian batang hidungku masih terasa begitu sakit." Kini Andre sudah berdiri di hadapan Vina yang sedang berjongkok. "Maafkan aku, semalam aku benar-benar tidak sengaja." Vina pun mendongak wajahnya, tersenyum ramah lalu berdiri tepat di depan Andre. "Seharusnya aku yang berterima kasih, Tuan Dokter. Karena Tuan Dokter sudah mengobati hidungku," ucapnya. "Sama-sama, Vina!" jawab Andre. "Oh … iya, apakah kamu sudah sarapan?" tanya Andre. Vina menggeleng. "Belum.""Kalau begitu, ayo sarapan bersama. Kebetulan aku juga belum sarapan." Dengan senyum merekah di bibir, Vina mengangguk. "Baik," jawabnya. Andre dan Vina segera melangkah menuju ke arah ruang makan. Sementara Gio yang melihat keakraban Vina dan Andre hanya bisa tersenyum getir saat dia sedang membawa segelas kopi d
"Kakek, aku dan Rubby kembali, ya!" Pamit Elvano saat dirinya bertatap dengan Lawrence. Lawrence yang sudah duduk di kursi kebesarannya pun mengangguk. Dia tentu sedih, karena kediamannya akan sepi. Namun dia harus berlapang dada karena ada tugas yang lebih penting yang harus dikerjakan oleh cucunya itu. "Kalian berdua hati-hati, ya! Jaga Istrimu dengan baik, Vano. Dan segera urus masalah perusahaan," ucap Lawrence. "Baik, Kek. Mohon doanya," ucap Elvano, bersalaman dengan Lawrence. "Kakek, aku dan Paman Vano pamit ya, Kakek jaga kesehatannya. Kalau Kakek rindu, Kakek main, ya!" pamit Rubby. Lawrence mengusap punggung Rubby. "Iya, Cucu Menantu. Kamu juga baik-baik. Kalau Elvano jahat, katakan pada Kakek. Biar biji salaknya, Kakek sentil!" Elvano mendelik ke arah Lawrence. "Ih … masa begitu? Kalau tidak dapat berkembang biak lagi bagaimana, Kek?" celetuknya. "Hahaha … pasti akan terus kisut seperti ulat yang sedang jalan!" Rubby terkekeh. "Heh, Rubby! Undur-undur kerdil, mana
"Vin, aku mau tanya sesuatu. Tapi, harus dijawab dengan jujur, ya?" Rubby membuka pembicaraan saat mereka sedang mengudara menuju ke negara xxx. Vina yang menutup matanya dengan "Sleep Eye Maks" itu pun membuka penutup matanya, dia menoleh ke arah Rubby yang sedang menatapnya. "Apa yang ingin kau tanyakan?" tanyanya. "Hm … jadi begini, sebenarnya ... kau dan Gio ada hubungan apa? Jangan disimpan-simpan. Kau temanku dan aku ingin kita saling buka-bukaan," ujar Rubby penuh semangat. Leher Vina seperti tercekat mendengar permintaan Rubby. Apa dia harus menceritakan semuanya? Ini memalukan. Dia ingin terbuka dengan sahabatnya itu. Biar bagaimanapun, dia juga ingin berbagi. Jika terjadi sesuatu dengannya, Rubby tentu tidak akan terkejut mengenai dirinya."Kamu ingat? Waktu kita diculik?" tanya Vina, kali ini dia terlihat bersemangat. Rubby memasukan popcorn ke dalam mulutnya sambil mengangguk. "Umm … aku ingat. Yang kita diberikan obat perangsang, kan?" "Yups! Dan aku … dan Gio malah b
Begitu tiba di depan rumah Emily, Almero tak mampu menutupi perasaan emosinya. Dia memperhatikan rumah yang tampak lesu, pintu rumah berlapis chipping cat yang pudar itu tampak seperti menyentil luka lamanya.Emosi yang dibawanya membuat Almero membanting pergelangan tangannya ke pintu rumah, menggedor-gedor hingga pintu di hadapan Almero terbuka. Emily sudah berdiri dan menatap raut muka Almero yang kesal. Emily, yang melihat kunjungan Almero, tak kalah emosinya. "Almero, kau datang ke rumahku untuk apa?" tanya Emily dengan nada tak suka."Ikut campur urusan anakmu sendiri, kau mengerti?!" jawab Almero, meminta penjelasan tentang Rubby. "Dia membuat perusahaan Anderson hancur! Anak tidak tahu diri itu harus bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan!"Emily mencibir mendengarnya. "Oh, Anderson kini berbuntung, apa? Itu karma, Almero. Aku sudah bekerja begitu keras. Aku yang membangun perusahaan itu, dan dengan tega kau menceraikan aku dan menendangku seperti anjing jalanan."Waja
"Vina lama sekali, apa yang dia lakukan?" Rubby melepaskan Earphonenya, dia segera bangkit dari kursi. Saat Rubby memutar tubuhnya, dia begitu terkejut ketika wajahnya menabrak dada Gio yang ingin lewat. "Jalan, pakai mata. Bukan hanya mata kaki saja yang digunakan!" cetus Gio. Rubby mendongkak wajahnya. Memberikan tatapan tajam kepada Gio. "Kau yang buta, apakah kau tidak melihat aku berdiri, hah!" pekiknya. "Menyingkir, sebelum aku bertindak lebih jauh!" Mata Rubby mendelik. Benar-benar menyebalkan pria yang satu ini. Dari kedua pria yang berteman dengan Elvano hanya pria yang berdiri di depan Rubby yang begitu agak-agak. Agak aneh dan tentunya, sikapnya itu sungguh tidak bisa diprediksi. "Apa yang ingin kau lakukan, hah!" sentak Rubby, matanya melotot. Dia ingin memberitahukan kepada Gio. Bahwa dirinya tidak akan pernah takut dengan ancaman Gio. Tangan kekar Gio mencengkram pipi Rubby. "Jangan berpikir kau adalah Istri Presdir Grup Patrice sehingga kau menjadi besar kepala!"
"Nyonya, aku akan menemanimu," ucap Mark saat dia melihat Rubby turun dari mobil. "Tidak perlu, Mark. Aku bisa sendiri. Kau temani Vina di mobil. Aku tidak akan lama," jawab Rubby. "Rubby, kamu yakin? Aku takut jika Olivia dan ibu tirimu menyakitimu." kali ini, Vina yang berbicara. Rubby membuang pandangannya ke arah Vina. "Kau tidak perlu khawatir, ya! Aku sudah biasa menghadapi masalah ini." Dengan cemas Vina pun mengangguk. "Baik, kamu hati-hati," ucapnya. Seutas senyum Rubby berikan. Dia memutar tubuhnya kemudian melangkah ke arah bangunan yang dulu adalah milik Kakeknya itu. Sedikit membuang nafas panjang dan Rubby melangkahkan kakinya ke dalam bangunan itu. "Oh … Rubby, akhirnya kau datang juga!" seru Soraya, wanita itu berlari dengan kedua tangan direntangkan. Dia seperti ingin menyambut Rubby dengan sebuah pelukan. Wajah Rubby sontak datar saat melihat gelagat Soraya yang ditujukan. "Jangan mendekat! Aku itu alergi dengan wanita penyakitan," sergah Rubby dengan suara te