[Cepat keluar! Aku sudah menunggu di depan gerbang. Jangan lama-lama, karena aku sudah tidak tahan menahan rindu!] ujar Elvano dari seberang telepon. Rubby tersenyum malu saat Elvano menggodanya. [Paman Suami bisa saja! Tapi, sejak kapan Paman berada di gerbang?] tanya Rubby.[Sejak Firaun pakai popok! Cepat kembali. Kita harus menghadiri acara Sergio!] jawab Elvano. [Aku akan segera menemuimu, Paman Suami!] ucap Rubby, dan panggilan pun terputus. Wajah Almero memerah padam. Dia seperti diabaikan ketika dia melihat Rubby menerima telepon entah dengan siapa. Melihat wajah Rubby yang begitu bahagia, rahang Almero pun mengeras. Rubby memutar tubuhnya. Dia merasa, jika urusannya dengan Almero telah selesai. Karena tidak ada hal penting yang dibahas oleh Ayahnya itu. "Rubby Anderson!" Elvano berteriak. Kaki Rubby terhenti ketika dia hendak mencapai pintu ruangan. Dia, memutar tubuhnya dan menatap ke arah Almero. Dari hidung Ayahnya itu, Rubby dapat menyimpulkan jika Ayahnya sedang mu
"Paman Suami, aku mau bertanya," ucap Rubby, dia kini sedang menggosok punggung Elvano. Kini dua manusia itu berada dalam satu bathup, mereka sedang menikmati momen mandi berdua. Katanya, demi menghemat waktu agar mereka dapat tepat waktu untuk datang ke acara Sergio. "Kalau ingin bertanya, bertanya saja. Apa yang ingin kau tanyakan?" ucap Elvano. "Masalah Anderson, apakah Paman yang melakukannya?""Menurutmu?" "Aku serius, Paman. Apakah itu pekerjaan Paman yang menjatuhkan saham perusahaan Anderson?" Elvano memutar tubuhnya sementara Rubby masih menggosok punggungnya. Setelah bertatap, Elvano menarik tubuh monster kecilnya agar menempel menjadi satu saat mereka berdua kini berada di dalam bathup. Ditatap elok wajah Rubby, yap panas dari air membuat kedua wajah dua orang itu memerah. Elvano mengusap lembut pipi Rubby. "Apakah kau begitu peduli dengan Anderson? Bukankah kau ingin menghancurkannya?" Elvano bertanya, kali ini, wajahnya tampak serius. "Umm … iya sih, Paman. Tapi ak
"Bestie, ini yang kamu katakan murahan itu, ya?" seorang wanita berpakaian balerina membuka suara. Anna menoleh ke arah teman yang berbicara itu. "Bukan dia, ini teman wanita yang merebut tunanganku!" jawab Anna. Wanita itu menelisik dia mengamati Vina dengan pandangan mencemooh. "Dan sekarang, dia ingin menggoda Tuan Andre? Wah ... Wah! Hebat sekali, ya! Sepertinya, golongan dia dan wanita yang merebut tunanganmu memang sama-sama gatalnya, Anna!" sindir wanita itu. Vina tertunduk, dia tahu posisinya. Posisi anak yang tidak punya. Beda dengan mereka yang berdiri di hadapannya itu. Tentu orang-orang yang memiliki kedudukan. Daripada harus berdebat dan menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan, Vina memilih bungkam dan pasrah saat dihina. Andre yang sedari tadi diam, kini melangkah dan mencoba melindungi Vina. Dia berdiri di depan tubuh Vina sambil menyilangkan tangannya di dada, dia menatap tajam kepada tiga orang wanita di depannya. "Apa-apaan kalian ini? Apakah kalian tidak ada
Ruby dan Elvano tiba di tempat acara. Dan Malam ini, langit penuh dengan bintang-bintang yang bersinar terang, menciptakan suasana yang sempurna untuk pesta yang diselenggarakan oleh Gio. Udara segar bercampur dengan semilir angin yang menambah keindahan malam spesial ini. Sebuah orkestra mungil sedang memainkan musik yang menghidupkan suasana tatkala Rubby dan Elvano tiba. Sontak, sorot kamera media menyoroti pasangan tersebut. "Kau ini habis ngapain, sih? Ngecat langit? Kenapa kau baru tida jam begini?" Sambut Gio dengan wajah yang menekuk. Elvano tersenyum lebar menanggapi ucapan Sergio. "Maaf, tadi habis bermain lumpur dulu. Baru kesini!" celetuk Elvano. Gio menyikut perut sahabatnya itu. "Sialan! Kau membuat semua tamu-tamu yang berada di sini merasa bosan! Untuk kau Investor terbesar di perusahaanku!" ketus Gio. Rubby hanya berdiam diri. Dia tidak ingin basa-basi dengan pria seperti Gio, hal itu hanya membuang-buang waktunya saja. Andre terkekeh melihat ekspresi Rubby, waja
"Sialan, kenapa aku harus mendapatkan kejutan yang menyebalkan seperti ini?" gerutu Rubby, dia terus melangkah cepat tanpa memperdulikan teriakan Elvano. Vina yang melihat Elvano terus mengejar, menyusul pasangan itu. Vina dengan beraninya mencoba menghadang Elvano, Elvano yang sifatnya hanya baik kepada Rubby pun terhenti langkahnya menatap tajam kepada Vina yang berdiri di hadapannya. "Apa yang kau lakukan? Menyingkir!" sentak Elvano kepada Vina. "Maaf, Tuan. Masalah Rubby, biar aku saja yang membujuknya." Elvano terdiam, mungkin lebih baik begitu karena Rubby tentu masih emosi dan kecewa padanya. "Ya sudah! Tolong bujuk dia," ucap Elvano. Vina membungkuk, dia kemudian memutar tubuhnya dan berlari menyusul Rubby. Sementara di area taman yang sunyi yang hanya ada lampu taman yang temaram, Rubby mengambil nafas dalam-dalam setelah dia habis berlari. "Owh ... Setelah ini, apa yang harus aku lakukan? Tentu aku menjadi cibiran satu kampus!" kini Rubby terduduk sambil menopang kepal
"Rubby, jawab! Kau dimana?"Kepanikan itu jelas marajai Elvano. Walau dalam keadaan gelap sekali pun, Elvano berusaha mencapai panggung. Tak lama, lampu dinyalakan kembali, dan semua orang lega. Namun, kelegaan itu tak berlaku untuk Elvano. Rubby, yang sebelumnya berdiri bersama Vina di atas panggung, kini tak ada lagi di sana. Desakan kebingungan gempar menyeruak di benak Elvano. "Apakah ini bercanda? Mungkinkah ini hanya bagian dari pertunjukkan?" pikirnya. Namun tak ada personil yang menandakan bahwa hal ini adalah bagian dari rencana.Elvano lebih tercengang saat melihat Vina telah pingsan di atas panggung. Elvano memutar tubuhnya sorot matanya mengarah ke arah tempat duduk di mana Gio dan Andre berada. Di sana hanya ada Andre yang berlari ke arah Elvano. Namun tidak ada Gio."Shit!" umpat Elvano, dia terlibat begitu gusar menyadari ini bukan dari bagian pertunjukan. Para petugas keamanan kini sedang mengamankan para tamu undangan malam ini pesta tersebut berjalan dengan tidak s
Rubby membuka matanya, ada sesuatu yang aneh di dalam pengelihatannya. Gelap, itu yang dirasakan oleh Rubby. Bukan karena dirinya berada di suatu tempat atau ruangan. Namun, matanya di ikat. Hidung Rubby mengendus dia dapat mencium bau bunga lavender. Dan suara laki-laki yang tengah bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar di tape mobil. 'Aku dimana? Apakah ada orang menculikku? Haruskah adegan seperti ini terulang lagi? Lantas siapa yang membawaku?' Rubby membantin.Saat dirinya menggerakkan pergelangan tangan, kedua tangannya terikat dari belakang. "Ummm ... Ummm!" Rubby berteriak saat mulutnya disumpal lalu di lakban. "Oh, kau sudah sadar Nyonya Anderson," ucap pria yang tidak diketahuinya itu. Rubby terdiam mencoba memfokuskan pendengarannya. 'Sial, dia menggunakan pengubah suara.' Rubby berbicara dalam hati. Tiba-tiba, mobil yang membawa Rubby pun berhenti. Terdengar pria itu turun dari mobil sambil terus melantunkan lagu dari mulutnya. "Keluar!" Sentak pria misteri
"Keparat! Rupanya kau ingin bermain-main denganku?" Elvano mengumpat di tengah dia menyetir. Hujan turun dengan derasnya ketika Elvano mengebutkan mobilnya. Setiap tetes air yang mengenai kaca mobil menyampaikan kegundahan yang sama dengan hati pria yang teguh itu. Sedari tadi Elvano mengeluh tak henti, mencoba mengatasi perasaan cemas dan bersumpah akan menemukan Rubby."Oh ... Monster kecil, tunggu aku. Jika aku menemukan siapa yang lancang telah membawanu, aku bersumpah, akan mengeluarkan isi perutnya dengan tanganku sendiri." Elvano bermonolog di sela kepanikannya. Tak terasa malam mulai larut. Di tengah jalanan yang basah kuyup, sisa-sisa keharuman hujan masih terselip di udara. Elvano mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, tak peduli akan resiko atau bahaya yang mungkin dihadapinya. Hanya satu yang ada dalam pikiran Elvano: Rubby.Beberapa jam sebelumnya, Elvano menerima kabar buruk dari petugas pemantauan CCTV bahwa ada mobil mencurigakan melaju ke arah utara. Dalam sekeja