Para reporter terkejut saat pintu terbuka dan seorang pria berkulit coklat berlari ke arah balkon. Di balkon, pria itu terlihat ragu-ragu untuk melompat. Pria yang diduga pria sewaan itu pun memutar tubuhnya.
"Apakah kau dibayar untuk melecehkan Nona Ruby?""Beritahu kepada kami dan para media!"Pria itu hanya membisu. Elvano yang melihat sikap pria tersebut sudah mulai mengerti. "Mark!" panggil Elvano kepada asistennya.Mark segera datang lalu membungkuk. "Ada apa, Tuan?""Urus dia dan segera kembali!""Baik, Tuan."Setelah menjawab, Mark segera mengurusi pria tersebut. Dan Elvano, ia kembali ke kamarnya bersama Ruby tanpa menanggapi pertanyaan para reporter. Sesampainya di dalam kamar, Elvano menatap Ruby yang terduduk di bibir ranjang tanpa ekspresi.Seketika, bulu halus di tubuh Ruby meremang ketika dirinya melihat ekspresi Elvano. Cepat-cepat, Ruby berdiri dan dengan kesadaran hati, Ruby segera membungkukkan tubuhnya di hadapan Elvano."Paman, terima kasih atas pertolonganmu saat ini. Jika Paman membutuhkan bantuanku, aku akan melakukan apapun untuk membalas budi," ucap Ruby seraya membungkuk.Mendengar kata Paman, alis Elvano bergetar. 'Anak ini, bisakah dia tidak memanggilku Paman? Apakah aku setua itu?' Elvano membatin kesal."Ekhem!"Elvano berdehem sambil mengatur posisi berdirinya agar terlihat seperti pria intelektual, berkharisma dan tentu lebih berwibawa. Elvano tidak menjawab rasa terima kasih Ruby, ia melewati tubuh Ruby yang membungkuk begitu saja.Ruby memutar kepalanya, mengikuti tubuh Elvano yang berlalu dengan acuh tanpa sepatah kata pun.'Astaga, dasar gorila tua! Setidaknya, berikan jawaban. Kenapa aku seperti makhluk tak kasat mata yang tak terlihat? Dia melewatiku begitu saja?' Ruby mengumpat di dalam hati."Huacimm!"Tiba-tiba Ruby bersin. Tanpa disengaja, cairan kental dari hidungnya pun ikut keluar. Ruby dengan buru-buru mengusap hidungnya. Tanpa Ruby sadari, Elvano menghentikan langkahnya lalu menatap Ruby dengan raut wajah yang begitu jijik."Sudah jelek, jorok lagi!" cibir Elvano.Ruby terkejut mendengar cibiran yang dilontarkan oleh Elvano. Dengan segera, Ruby pun mengangkat wajahnya lalu berdiri dengan tegak, menatap ke arah Elvano."Paman, aku jelas terkena flu karena tadi aku terkena gerimis dan hanya memakai pakaian yang tipis—""Huacim!"Ucapan Ruby harus terpotong karena dirinya kembali bersin. Dengan rasa kesal, Ruby menggosok hidungnya dengan kuat karena merasa sangat gatal.Elvano berjalan ke arah gantungan pakaian. Diambilnya jaket panjang seperti blazer. Ia kemudian menutupi pundak Ruby yang terlihat masih menggosok hidungnya sampai terlihat merah.Ruby tertegun dan seketika berhenti menggosok hidungnya saat mendapatkan perlakuan seperti itu. Ruby pun memberanikan diri menatap wajah Elvano dari samping saat Elvano berlalu setelah memakaikan jaket kepadanya.'Walaupun sikap Paman ini kadang dingin dan menyebalkan, dia cukup perhatian.' Ruby membatin.Elvano kini melangkah ke arah meja kecil yang berada di sisi kepala ranjang. Elvano, mengambil ponselnya yang tergeletak asal di atas meja kecil tersebut.[Mark, jika kamu sudah mengurusi pria tadi, segera belikan pakaian untuk Nona Ruby.] Titah Elvano saat sambungan teleponnya tersambung.[Segera, Tuan.] Jawab Mark dari seberang.Mark segera memutuskan sambungan teleponnya. Ruby yang merasa sikap Elvano berubah begitu hangat, membuat hatinya berdisko. Ruby segera berjalan ke arah Elvano dengan senyuman yang terus terukir di bibir mungil milik Ruby."Paman, terima kasih. Karena aku sudah merepotkan Paman. Ternyata, Paman sungguh baik," ucap Ruby semangat."Aku hanya tidak ingin jika aku terjangkit virus flu darimu," jawab Elvano sambil mengangkat satu alisnya."Uhuk!"Ruby terbatuk dengan air liurnya sendiri saat mendengar jawaban Elvano. Bisa-bisanya Ruby sempat berpikir jika pria yang duduk di hadapannya itu memiliki hati yang manis. Ternyata, dugaan Ruby salah. 'Oke, aku tarik kalimatku kembali. Ternyata, Paman ini sungguh menyebalkan,' ucapnya dalam hati."Maaf, Paman, jika kondisi tubuhku membuat Paman tidak nyaman.""Maka menjauhlah dariku! Karena aku sudah terkena masalah darimu, dan haruskah aku menerima penyakit darimu?"Ruby hanya menundukkan kepalanya saat Elvano berkata demikian. Kini pikirannya tertuju kepada adik tiri—tunangannya itu. Masih janggal dengan apa yang dirinya alami saat ini.Ruby kini menatap Elvano dengan lekat. 'Paman ini sangat berpengaruh. Kira-kira, jika aku meminta bantuan untuk menyelidiki masalah yang aku alami ini, apakah dia akan bersedia?' pikirnya.Elvano yang menyadari diperhatikan oleh Ruby seperti itu membuat dirinya kikuk setengah mati. Karena Elvano adalah tipe pria yang akan salah tingkah jika seseorang menatapnya lebih dari 5 detik. Apalagi, yang menatapnya adalah seorang wanita, sudah pasti membuat Elvano gugup.Ruby tanpa berdosanya, mencengkram paha Elvano saat melihat Elvano tengah melamun. Mungkin dengan begitu Elvano akan menjadi lebih hangat dan lebih memberikan perlindungannya kepada Ruby."Apa yang kamu lakukan?" Elvano menjerit kaget hingga hampir melompat, ketika Ruby tiba-tiba memegangi pahanya."Paman...!" Panggil Ruby manja disertai bola matanya mengiba.Alis Elvano seketika menyatu melihat ekspresi gadis kecil di depannya."Paman yang baik hatinya, bisakah Paman mengantarku pulang?" Ucap manja Ruby kepada Elvano."Tidak!" sergah Elvano dengan cepat.Ruby tidak menyangka jika Elvano menjawab permintaannya itu dengan begitu cepat. Pokoknya, Ruby harus berhasil merayu Elvano agar Ruby mempunyai naungan jika sewaktu-waktu ibu tiri dan adik tirinya itu memiliki rencana jahat kepadanya."Paman, tolong, ku mohon! Tolong antar aku pulang, ya!" Rengek Ruby."Ku bilang tidak, ya tidak! Pulang naik taksi, sana!" sentak Elvano dengan tegas menolak.Ruby pun duduk di atas lantai, ia selonjoran seraya menendang-nendang udara dengan asal seperti seorang anak kecil yang merengek ketika tidak dibelikan main."Ah... Paman, bagaimana jika Toni masih di luar dan dia menyakitiku? Apa paman begitu tega?" Rengek Ruby semakin menjadi-jadi.Elvano membuang nafas kasar saat menatap tingkah wanita itu. Sebenarnya, Elvano tidak ingin terlalu jauh mencampuri urusan Ruby. Seharusnya, Ruby bersyukur karena tadi, Elvano telah menolongnya dari para reporter."Kau dengar, aku sudah tidak ingin terlibat. Dan itu adalah masalahmu dan bukan menjadi urusanku. Seharusnya, kau berterima kasih karena aku sudah membantumu. Bukannya tidak tahu diri seperti ini!" Sindir Elvano mencibir.Ruby mengerucutkan bibirnya. Harus bagaimana lagi merayu bapak-bapak ini. Tiba-tiba, satu pikiran terlintas di dalam benak Ruby. 'Apakah, Paman ini sudah menikah? Sehingga dia takut mengantarku pulang? Tapi ... Dilihat dari caranya menghadapi para reporter, sepertinya Paman ini belum menikah. Atau jangan-jangan, istrinya disembunyikan?' Ruby bermonolog dengan pikirannya sendiri. Ia takut jika kehadirannya menjadikan rumah tangga orang lain akan rusak.Elvano harus kembali menerka-nerka wajah Ruby yang selalu penuh dengan tanda tanya. Apakah gadis di hadapannya ini sering sekali berpikir atau berhalusinasi?"Paman...!"Untuk kesekian kalinya Elvano dibuat sport jantung oleh Ruby yang selalu berteriak memanggilnya Paman. Itu sungguh mengganggu. Karena Elvano sudah terbiasa dipanggil dengan sebutan "Tuan"."Apa? Mengapa kau selalu mengagetkanku?""Maaf, jika Paman merasa demikian. Aku hanya ingin bertanya. Apakah Paman sudah mempunyai istri?""Apakah aku terlihat seperti seorang bapak-bapak? Aku ini belum menikah!"Mendengar jawaban Elvano, Ruby merasa lega. Karena jawaban itu yang Ruby inginkan. Sebab, Ruby tahu jika ibu—adik tirinya ingin sekali menyingkirkan Ruby, agar adik tirinya itu dapat menguasai aset Anderson."Paman, kamu setuju, 'kan, mengantarku pulang?""Tidak! Pulang sendiri, sana!"Ruby mendengus. Dia pikir, Paman ini sudah luluh. Nyatanya, masih saja keras seperti batu. Tidak ada pilihan lain, Ruby harus melakukan jurus terakhirnya.Ruby segera bangkit dari lantai lalu menatap tajam ke arah Elvano. "Baiklah, jika Paman menolak." Ruby memutar tubuhnya lalu berjalan ke arah pintu sambil melepaskan selimut dan jaket yang diberikan oleh Elvano untuk menutupi tubuhnya.Elvano yang melihat tingkah gadis gila itu pun tercengang saat Ruby melangkah hanya dengan mengenakan lingerie tipis terusan yang transparan."Hei … apa kau gila? Kau ingin keluar dengan penampilan seperti itu, hah?"Dengan panik, Elvano beranjak d
Ruby terkejut bukan main saat dirinya mendapatkan tamparan telak di pipinya. Ia sontak memegangi pipi yang terasa amat perih."Kau dari mana, hah!"Soraya, ibu tiri Ruby, kini sudah berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. Wanita yang sudah membuat kekacauan di dalam keluarga Ruby. Sehingga, ibu Ruby yang bernama Emily harus tersingkir dan hidup di rumah yang kumuh."Kau berani menamparku?" Sentak Ruby memegangi pipinya menatap nyalang ke arah Soraya.Soraya mendelik, "Kenapa? Ingin melapor? Memangnya, ayahmu akan percaya? Ingat Ruby, ibumu saja bisa ku tendang dari keluarga Anderson. Apalagi hanya kamu!"Ruby tampak murka mendengar penuturan ibu tirinya itu. Tentu, semuanya ada sangkut pautnya dengan jebakan yang Toni lakukan.'Aku harus sabar, aku harus mencari bukti terlebih dulu untuk membuktikan semuanya. Jika wanita ini benar bersekongkol dengan Toni dan Olivia, demi Tuhan, aku akan menyeret mereka semua ke pengadilan,' Ruby membatin geram."Jangan bertanya
"Aku harus ke rumah ibu. Ku harap, aku yang berada di hotel bersama paman aneh itu belum beredar. Bagaimana nanti aku akan pergi ke kampus jika aku sekarang terkait skandal?"Tapak kaki Ruby menyusuri trotoar, pikirannya kusut memikirkan insiden satu hari yang lalu hingga malam ini ia ditemukan terbaring di sebuah kamar hotel. Sesekali, Ruby memeluk tubuhnya sendiri dari udara malam yang membelai lembut tubuh gadis itu.Malam ini, kota tidak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Entah jam berapa ini, Ruby tidak tahu yang ia tahu, ia harus tiba di rumah orang tuanya."Aku harus bertemu dengan paman aneh itu. Meminta dirinya untuk menghapus berita sebelum seluruh kota tahu. Jika tahu, aku harus bagaimana menghadapi publik?"Kegelisahan kini merajai diri Ruby. Tidak tahu harus bagaimana dirinya keluar dari situasi ini. Sedangkan dirinya hanya anak kuliahan yang menumpang di rumah ayahnya. Walaupun Ruby adalah seorang pewaris, kemampuannya dalam mengelola perusahaan
"Apa aku harus menunggu?" tanya Elvano saat mobil hitam yang dikendarai oleh Elvano menepi di mulut gang. Ruby menggeleng pelan. "Tidak perlu, Paman boleh pulang. Tapi, bisakah aku meminta uang?" "What? Kamu pikir, aku ini adalah ayahmu? Enak sekali meminta uang!" Ruby menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sebenarnya, dia tidak punya uang sama sekali. Maka dari itu, ia berjalan kaki dari kediaman ayahnya menuju ke rumah ibunya. Karena tas yang ia bawa saat itu, tidak tahu dimana. "Ini. Dan segera turun dari mobilku!" Elvano memberikan beberapa lembaran uang kertas kepada Ruby. Ruby dengan wajah memerah meraih uang tersebut. "Terima kasih, Paman. Aku pamit," ucap Ruby yang kemudian turun dari mobil Elvano. Ruby mematung di depan gang sampai mobil yang membawanya benar-benar menghilang ditelan sunyi dan pekatnya malam. Ruby, melangkah kaki menelusuri gang menuju ke tempat ibunya berada. Ruby menatap rumah kumuh dengan cat yang sudah pudar itu dengan getir. Jika Soraya tidak hadir da
"Kakak, aku mengajakmu ke acara pesta ulang tahun temanku karena kau selalu sibuk belajar. Saat itu, aku ke toilet setelah kembali, kau sudah tidak ada!" Ruby yang mendengar penjelasan Olivia, memutar tubuhnya. Ia berjalan ke arah kursi sofa lalu duduk di kursi tersebut seraya melipat kaki dan kedua tangannya di dada. Ruby, memberikan tajam ke arah Olivia.“Olivia, dasar kau Anak pelakor. Kecil-kecil tapi pandai mengadu domba orang lain. Kau punya hubungan, 'kan dengan Toni?” tanya Ruby kepada Olivia.“Ruby, kau ini. Kau yang mempunyai Video di Hotel bersama Elvano, dan kau malah melempar batu sembunyi tangan kepada Adikmu. Demi Tuhan, aku benar-benar menyesal mempunyai Anak seperti dirimu Ruby! Kau Membuat ku malu dengan caramu menjual diri kepada Elvano!” murka Almero hendak menuju ke arah Ruby yang duduk di sofa.Ruby mengangkat satu Alisnya, menjelaskan jika dirinya kini sungguh membenci Ayahnya. “Aku pun demikian, Ayah. Aku sekarang malah berpikir. Sepertinya, aku ini bukan Ana
"Nona, anda sudah ditunggu oleh Tuan Elvano, mari!"Pukul 09.42 Pagi, waktu setempat. Ruby memasuki kafe yang sudah ditentukan oleh Elvano. Sesampainya di dalam kafe tersebut, Ruby sudah disambut oleh dua pelayan. "Terima kasih, tuan Elvano ada di mana?" tanya Ruby."VVIP Room, Nona." Ruby tidak bertanya lagi. Ia hanya mengikuti kemana langkah pekerjaan itu berjalan. Pelayan wanita itu kini menuntun Ruby ke sebuah ruangan. Ruby hanya menatap kagum karena baru pertama kali ia memasuki kafe yang elegan seperti ini. 'Tidak dipungkiri, jika Elvano adalah pria yang memiliki uang yang banyak,' batin Ruby dengan pandangan kagum melihat interior ruas bangunan yang sedang ia tapaki. "Silahkan, Nona. Tuan ada di dalam," ucap Karyawan itu mempersilahkan. Ruby dengan hati-hati membuka pintu kaca gelap yang ada di hadapannya. "Deg!" suasana dalam ruangan tampak remang. Bau cerutu begitu mengganggu penciuman saat pintu itu terbuka. Dan, seorang pria duduk di sebuah kursi. Perawakannya begitu
Tanda Tangan (21+)—-----------------"Lakukan saja apa yang ingin Paman lakukan. Aku tidak peduli dengan isi kontrak yang sudah tertulis. Terpenting, aku sudah tahu jika aku akan menjadi Istri Paman selama Paman meraih kursi Presdir." Memang dari dulu, Toni lebih memilih Adik-tirinya. Selama ini, Ruby pikir Toni benar-benar mencintainya. Nyatanya, dialah yang melakukan jebakan malam itu. Malam itu, Olivia mengajak ke pub malam. Tanpa sengaja, Ruby melihat pesan masuk dari Toni di layar ponsel Olivia yang tergeletak di atas meja. Saat Ruby hendak meraih ponsel tersebut, tiba-tiba, Olivia datang dan memberikan segelas koktail. Dan setelahnya, Ruby tidak mengingat apa-apa lagi. Ruby menutup matanya. 'Aku tidak peduli lagi. Saat ini, aku hanya ingin melupakan sakit hatiku dan membalas semua yang mereka lakukan,' Ruby membatin. "Oh, kau menangis? Aku bahkan belum melakukan apa-apa. Dan sekarang aku harus melihat gadis kecilku menangis?" Elvano menyeka air mata yang keluar dari kedua su
Di sebuah stand minuman di pinggir jalan. Seorang wanita tengah sibuk membersihkan meja-meja pengunjung yang baru saja digunakan. Hiruk-pikuk suasana kota, membuat tempat penjulan minuman sederhana itu sangat ramai dikunjungi oleh pejalan kaki yang sekedar mampir menghilangkan dahaga mereka. "Nona Vina," panggil seorang pria berkacamata hitam dengan setelan jas hitam berdiri di belakang tubuh wanita itu. Vina, gadis yang sedang mengelap meja itu pun menoleh ketika namanya dipanggil. "Iya, ada apa? Apa anda ingin memesan minuman? Jika iya, silahkan ke bagian sana," ucap gadis itu sambil menunjuk ke arah kasir. "Aku ingin berbicara dengan anda. Apakah anda mempunyai waktu?" tanya Pria misterius itu. "Oh, tunggu sebentar." jawab gadis itu melepaskan celemek kerja yang ia kenakan. "Ayo!" ajak Vina. Pria berjas itu membawa Vina ke sebuah gang yang nampak sunyi. "Apa yang ingin kamu bicarakan— Hummpp!" Pupil mata Vina melebar lalu meredup saat sapu tangan yang mengandung Afrodisiak m
Di ballroom hotel, Rubby, Elvano, Vina dan Sergio. Dua pasangan suami istri itu sedang menunggu dengan antusias. Mereka membawa anak-anak mereka, Amora dan Vincent, di gendongan mereka. Mereka ingin melihat Lisa dan Andre yang akan menikah tidak sabar melihat penampilan ratu dan raja untuk hari ini.Elvano, memeluk tubuh istrinya dari belakang. "Monster kecil, kita pernah melewati banyak halangan. Mulai dari sebuah ikatan kontrak hingga berjanji untuk bersama selamanya. Maaf, jika selama ini aku belum bisa membahagiakanmu," bisak Elvano ketika dia melihat dekorasi pernikahan Andre dan Lisa yang tampak begitu mewah. Rubby menggendong Amora yang sedang tertidur pun menjawab, "Kita sudah berkomitmen, Paman. Pernikahan yang kita lakukan di dekat pantai juga cukup manis dan berkesan untukku. Dan sekarang, aku bahagia memilikimu, Paman. Semoga kebahagiaan kita terus terjaga hingga akhir hayat kita." Elvano mengecup lembut pipi Monster Kecilnya. "Terima kasih, Monster Kecil. Karena sudah m
Pagi itu, matahari bersinar terang di langit biru. Di ballroom hotel, dekorasi pernikahan sudah siap. Bunga-bunga putih dan merah muda menghiasi meja dan kursi tamu. Di panggung, ada pelaminan yang megah dengan tirai-tirai putih dan lampu-lampu berkilau. Di sana, Andre dan Lisa akan mengucapkan janji suci mereka sebagai suami istri.Di ruang rias, Lisa duduk di kursi roda dengan gaun pengantin putih yang indah. Rambutnya yang pendek dihiasi dengan mahkota bunga. Wajahnya yang pucat tampak berseri-seri dengan senyum bahagia. Hari ini, ia akan menikah dengan Andre, dokter yang telah menemaninya selama ia menderita kanker otak. Andre adalah cinta pertama dan terakhirnya. Ia tidak peduli jika hidupnya tidak akan lama lagi. Yang penting, ia bisa merasakan cinta sejati dari Andre.Lisa menatap wajahnya di pantulan cermin dengan senyuman yang selalu terbit dibibirnya. "Hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu. Aku akan menikah dengan Andre, pria yang paling aku cintai di dunia ini.
Rubby dan Vina berjalan masuk ke gedung pernikahan yang megah dan mewah. Mereka adalah sahabat dari Lisa, mempelai wanita yang akan menikah besok dengan Andre. Mereka datang untuk membantu mengurus persiapan acara, seperti dekorasi, catering, dan undangan."Wow, lihat itu!" Vina menunjuk ke langit-langit yang dipenuhi dengan balon berwarna-warni. "Ini pasti ide Lisa. Dia suka sekali balon.""Ya, dia memang anak kecil yang besar." Rubby tertawa. "Tapi aku suka dekorasinya. Simpel tapi manis. Seperti Lisa dan Andre.""Mereka memang pasangan yang serasi. Aku senang mereka akhirnya menemukan jodoh masing-masing." Vina menghela napas. "Aku harap mereka bahagia selamanya.""Amin." Rubby mengangguk. "Eh, tapi kita juga harus bahagia, lho. Kita punya suami yang sayang dan anak-anak yang lucu.""Iya, iya. Kita juga beruntung." Vina mengakui. "Tapi kadang aku kangen masa-masa kita masih single dan bebas.""Ha, ha. Kau masih ingat malam terakhir kita sebelum menikah?" Rubby mengingatkan. "Kita b
"Aku pasti bisa!" Seru Andre mencoba menyemangati dirinya sendiri. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum menekan bel rumah Lisa. Dia merasa gugup dan deg-degan, karena hari ini Andre akan menemui orang tua Lisa untuk meminta restu pernikahan mereka. Setelah lamaran yang Andre lakukan beberapa hari yang lalu, Andre memutuskan untuk menemui orang tua Lisa menyampaikan perihal pernikahan yang akan dilangsungkan. Setelah mendapatkan izin, akhirnya Lisa hanya menjalani rawat jalan. Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka, dan Andre disambut oleh seorang wanita paruh baya yang ramah. Dia adalah ibu Lisa. "Andre, selamat datang. Kami sudah menunggumu," kata ibu Lisa. Wanita paruh baya itu memeluk Andre erat. "Ayo, Nak. Masuk! Ayah Lisa sudah menunggu." wanita tersebut mengajak Andre masuk ke dalam rumah setelah melepaskan pelukannya. "Terima kasih, Bu. Maaf jika saya mengganggu," kata Andre sopan."Tidak mengganggu sama sekali. Ayo, masuk. Suamiku dan Lisa sudah menunggu di ruang
"Paman, apakah Andre dan Lisa akan bahagia? Atau ... Ada di antara satu yang akan menghilang di antara mereka?" tanya Rubby. Saat ini, Rubby dan Elvano sudah kembali ke kediaman setelah merayakan acara lamaran Andre dan Lisa. Rubby, mengelus-ngelus jakung suaminya itu dengan manja. Elvano yang sedang memainkan helaian rambut istrinya itu pun menjawab, "kita do'akan mereka yang terbaik. Semoga, saat Lisa menikah dengan Andre, penyakit Lisa diangkat oleh Tuhan." Rubby mengangguk, dia membenamkan wajahnya di dada Elvano. "Paman, apakah cintamu tetap utuh untukku?" tanya Rubby. Elvano medekap tubuh monster kecilnya semakin erat ke dalam pelukan. "Satu saja aku belum bisa membahagiakannya, bagaimana bisa cintaku dapat terbagi?"Rubby merasakan getaran baik dari tubuh Elvano dan mengabaikan gejolak dalam hatinya. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Elvano dengan mata sayu. "Terima kasih, paman. Aku merasa sangat beruntung memiliki paman sepertimu."Elvano tersenyum, menepuk ringan pipi
"Yey! Selamat untuk kalian berdua!"Setelah Andre selesai melamar Lisa, para sahabatnya yang merupakan bagian dari rencana keluar dari persembunyian mereka. Mereka merasa senang dan gembira seperti Andre karena rencana tersebut sukses dilakukan. Sergio, Elvano, Vina, dan Rubby bergabung dengan Andre dan Lisa. "Wah, bro, selamat, ya! Semoga acara ke depannya lancar seperti jalan tol bebas hambatan!" ucap Elvano sambil mengulurkan tangannya ke arah Andre. Andre tersenyum bahagia, dia tidak menyangka jika momen tersebut terlaksana juga. Andre pun menyambut uluran tangan Elvano. "Thanks, ya! Tanpa kalian acara lamaran ini mungkin tidak akan berjalan dengan lancar," ucap Andre. Sergio menepuk-nepuk pundak Andre dengan gembira. "Jadi, kita sudah tidak akan berebutan wanita lagi ya, Ndre. Semoga bahagia!" ucap Sergio dengan semangat. Andre mengalihkan pandangannya ke arah Sergio. "Thanks bro. Aku merasa bersyukur memiliki kalian," jawab Andre. Sergio dan Elvano pun memeluk tubuh Andre.
Vina, Rubby, Sergio, dan Elvano berjalan menuju taman yang akan mereka dekorasi untuk acara lamaran Andre dan Lisa. Mereka membawa berbagai peralatan seperti balon, lilin, bunga, dan spanduk bertuliskan "Will You Marry Me?"."Ayo, cepat-cepat! Kita harus selesai sebelum Andre dan Lisa datang. Ini adalah hari yang sangat penting bagi mereka," ucap Vina sambil menggenggam erat sejumlah balon warna-warni. Rubby menimpali dengan senyum ceria, "Tentu saja, Vina. Kita akan membuat taman ini menjadi tempat yang tak terlupakan bagi keduanya."Sergio membuka kotak berisi lilin-lilin indah. "Kita perlu menyusunnya dengan rapi. Lilin-lilin ini akan memberikan sentuhan romantis saat malam tiba," kata Sergio seraya meletakkan lilin-lilin di meja yang telah mereka siapkan.Elvano menggantungkan spanduk dengan hati-hati. "Semua harus terlihat sempurna. Andre dan Lisa pasti akan terkejut dan bahagia melihat usaha kita," ujarnya penuh semangat.Saat mereka sibuk merapikan dekorasi, Vina menyelipkan p
"Andre!" Lisa berteriak saat melihat kekasihnya itu menampar pipi Gina. Andre sudah cukup sabar menghadapi sikap Gina selama ini. Seumur hidup, baru kali ini Andre mendaratkan tangannya kepada wanita. Dada Andre tampak naik turun, sedangkan Gina, tertunduk memegangi pipinya yang terasa perih. Gina tidak menyangka jika dirinya akan mendapatkan tamparan dari Andre. "Gina, selagi aku masih punya kesabaran, tolong tinggalkan ruangan ini," ujar Andre. Gina mengangkat wajahnya, menatap Andre dengan mata berkaca-kaca. "Paman, kau lebih memilih wanita kanker itu daripada aku, hah?! Selama kita berhubungan, kau tidak sekasar ini! Kenapa kau menamparku?!" ujar Gina di sela tangisnya. Lisa, wanita yang terkena kanker otak itu pun mencoba untuk bangun, dia mengusap punggung Andre, pria yang kini sedang dilanda amarah. "Ndre, kuasai dirimu," bisik Lisa lemah. Andre memijat pelipisnya sebelum menjawab, "Gina, hubungan kita sudah berakhir." Andre pun berlutut di hadapan Gina. Hal tersebut me
Dua bulan kemudian..."Apakah Kamu sekarang merasa lebih baik?" tanya Andre ketika pria itu menemani Lisa di taman belakang rumah sakit. Setelah mengambil keputusan yang berat, akhirnya Lisa diterbangkan ke Jakarta. Setelah menjalani perawatan intensif dan mencari dokter kanker yang bagus, kondisi Lisa pelan-pelan membaik. Walaupun kini kepala wanita itu telah botak akibat kemo. Namun, kecantikannya masih bisa terpancar dari wajahnya yang pucat. Lisa tersenyum lebar, "Terima kasih, Andre. Aku memang merasa lebih baik sekarang."Andre mengambil tempat di samping Lisa dan mengamati wajahnya. Meskipun terlihat lelah, Lisa tetap terlihat cantik dengan alis mata yang rapi dan senyum manis di bibirnya."Apa kabar yang lain?" tanya Lisa sambil menatap Andre.Andre mengedarkan pandangannya ke sekitar taman, "Semua orang baik-baik saja." "Syukurlah jika mereka semua baik-baik saja." "Kamu jangan terlalu lama-lama di luar, ya. Nanti kalau kamu kena angin dan sakit lagi bagaimana?" ucap Andr