"Nona, anda sudah ditunggu oleh Tuan Elvano, mari!"Pukul 09.42 Pagi, waktu setempat. Ruby memasuki kafe yang sudah ditentukan oleh Elvano. Sesampainya di dalam kafe tersebut, Ruby sudah disambut oleh dua pelayan. "Terima kasih, tuan Elvano ada di mana?" tanya Ruby."VVIP Room, Nona." Ruby tidak bertanya lagi. Ia hanya mengikuti kemana langkah pekerjaan itu berjalan. Pelayan wanita itu kini menuntun Ruby ke sebuah ruangan. Ruby hanya menatap kagum karena baru pertama kali ia memasuki kafe yang elegan seperti ini. 'Tidak dipungkiri, jika Elvano adalah pria yang memiliki uang yang banyak,' batin Ruby dengan pandangan kagum melihat interior ruas bangunan yang sedang ia tapaki. "Silahkan, Nona. Tuan ada di dalam," ucap Karyawan itu mempersilahkan. Ruby dengan hati-hati membuka pintu kaca gelap yang ada di hadapannya. "Deg!" suasana dalam ruangan tampak remang. Bau cerutu begitu mengganggu penciuman saat pintu itu terbuka. Dan, seorang pria duduk di sebuah kursi. Perawakannya begitu
Tanda Tangan (21+)—-----------------"Lakukan saja apa yang ingin Paman lakukan. Aku tidak peduli dengan isi kontrak yang sudah tertulis. Terpenting, aku sudah tahu jika aku akan menjadi Istri Paman selama Paman meraih kursi Presdir." Memang dari dulu, Toni lebih memilih Adik-tirinya. Selama ini, Ruby pikir Toni benar-benar mencintainya. Nyatanya, dialah yang melakukan jebakan malam itu. Malam itu, Olivia mengajak ke pub malam. Tanpa sengaja, Ruby melihat pesan masuk dari Toni di layar ponsel Olivia yang tergeletak di atas meja. Saat Ruby hendak meraih ponsel tersebut, tiba-tiba, Olivia datang dan memberikan segelas koktail. Dan setelahnya, Ruby tidak mengingat apa-apa lagi. Ruby menutup matanya. 'Aku tidak peduli lagi. Saat ini, aku hanya ingin melupakan sakit hatiku dan membalas semua yang mereka lakukan,' Ruby membatin. "Oh, kau menangis? Aku bahkan belum melakukan apa-apa. Dan sekarang aku harus melihat gadis kecilku menangis?" Elvano menyeka air mata yang keluar dari kedua su
Di sebuah stand minuman di pinggir jalan. Seorang wanita tengah sibuk membersihkan meja-meja pengunjung yang baru saja digunakan. Hiruk-pikuk suasana kota, membuat tempat penjulan minuman sederhana itu sangat ramai dikunjungi oleh pejalan kaki yang sekedar mampir menghilangkan dahaga mereka. "Nona Vina," panggil seorang pria berkacamata hitam dengan setelan jas hitam berdiri di belakang tubuh wanita itu. Vina, gadis yang sedang mengelap meja itu pun menoleh ketika namanya dipanggil. "Iya, ada apa? Apa anda ingin memesan minuman? Jika iya, silahkan ke bagian sana," ucap gadis itu sambil menunjuk ke arah kasir. "Aku ingin berbicara dengan anda. Apakah anda mempunyai waktu?" tanya Pria misterius itu. "Oh, tunggu sebentar." jawab gadis itu melepaskan celemek kerja yang ia kenakan. "Ayo!" ajak Vina. Pria berjas itu membawa Vina ke sebuah gang yang nampak sunyi. "Apa yang ingin kamu bicarakan— Hummpp!" Pupil mata Vina melebar lalu meredup saat sapu tangan yang mengandung Afrodisiak m
Suasana bibir pantai kini dihiasi oleh bunga-bunga segar dengan tirai-tirai putih melambai pada tiang-tiang penyangga. Tiang-tiang itu, membentuk seperti lorong menuju ke arah altar, dimana janji suci antara Ruby dan Elvano akan di langsungkan. Di dalam ruangan Make-over paviliun yang berada di pulau Dewi, telah duduk Ruby dengan gaun pengantin putih yang sederhana namun terlihat begitu elegan ketika gaun itu menempel pada tubuh mungil milik Ruby. Disertai make-up natural yang membuat wajah Ruby tampak imut dan fresh."Ruby kamu cantik sekali!" Seru Vina tercengang melihat penampilan Sahabatnya itu. Kali ini, Vina juga ikut ke acara pernikahan tersembunyi sahabatnya Ruby. Elvano sengaja membawa Vina agar menjadi saksi untuk Ruby dan tentu, agar Ruby tidak merasa kesepian karena ada Vina yang akan menemani. "Aku merasa sangat gugup, Vina," ucap Ruby menggenggam tangan Vina dengan gelisah. Vina menepuk punggung tangan Ruby sambil tersenyum. "Semua akan baik-baik saja. Aku lihat, Elva
Di dalam kamar bernuansa remang dengan lilin-lilin Aromaterapi disertai kelopak bunga mawar yang bertaburan di atas tempat tidur membuat suasana kamar itu kian romantis. Ruby, tengah membuka resleting gaun pengantinnya di depan cermin. "Biar ku bantu," Elvano menarik tubuh Ruby dalam pelukannya dari arah belakang. "Um… Paman, biar aku saja. Aku bisa sendiri," tolak Ruby dengan lembut. "Aku tidak akan membiarkan pengantin wanitaku melepaskan pakaiannya sendiri," Desis Elvano sambil menarik resleting gaun itu ke bawah. Gaun yang melekat di tubuh Ruby pun merosot hingga punggung Ruby yang mulus pun terekspos. Elvano, menepis rambut Ruby yang panjang itu ke bahu sebelah. Ia, mengecup lembut ceruk leher putih, jenjang dan mulus itu. "Ukh… Paman," erangan lolos dari mulut Ruby, merasakan geli akibat kecupan yang Elvano berikan pada lehernya. Elvano melepaskan pengait bra yang Ruby kenakan. Membuat Ruby spontan menyilangkan tanganya di dada. Elvano, meraih kedua tangan itu lalu mengunc
Ruby menelan ludah saat menatap pria yang kini berada di antara kedua pahanya. Ruby tidak pernah bermimpi maupun membayangkan jika pria yang berbeda 14 Tahun itu, kini sedang menggagahinya. Ruby tidak mengatakan jika dia tidak suka dengan pria ini. Walaupun secara umur Elvano jauh lebih tua, wajah pria itu layaknya pria berusia 20 Tahun. Yang membedakan, Elvano memiliki rahang kokoh dengan tatapan yang selalu tajam. Membuat wajah Baby Face itu tidaklah nampak. “Baby, jika sakit, katakan. Aku aku mencoba memasukannya pelan-pelan,” Ucap Elvano saat ujung tombaknya itu masih terlihat ragu menusuk ke goa yang masih sempit tersebut.“Umm… Iya Paman,” jawab Ruby dengan suara sedikit meringis.Elvano mulai menggerakkan kelaki-lakiannya dengan tempo yang pelan. Sedikit demi Sedikit, Elvano memaju—mundurkan hingga sedikit masuk. “Aakh… Pa–man…—” Ruby menjerit, mencengkram kuat kain sprei saat benda milik Elvano mencoba menerobos.Elvano menghentikan aksinya. Ia mengusap pipi Ruby dengan lemb
"Emily!" Suara lantang terdengar dari ambang pintu rumah kumuh yang berada di pinggiran kota. Emily yang sedang berkutat di dapur pun terhenti aktivitasnya saat mendengar teriakan itu. "Sebentar!" Emily berlari dengan tergesa-gesa menuju ke arah pintu utama. Ia membuka pintu tersebut. Plak!Saat pintu itu terbuka, Emily mendapatkan sebuah tamparan telak di pipinya. Hingga pipi itu terhempas saat telapak tangan Soraya menamparnya. "Katakan, dimana kau sembunyikan anakmu?" Soraya memekik. Emily memutar kepalanya dengan tangan terangkat di udara, saat dirinya ingin menampar balik wanita itu. "Jangan kau pikir aku tidak berani—" "Berani apa? Apa kau ingin dituntut karena berani menampar Istri Almero, hah!" Soraya melipat kedua tangannya di dada—mata mendelik membumbung, kan dadanya menantang Emily yang ingin menamparnya. Tangan Emily terhenti di udara terkepal. Dirinya tidak mungkin melawan wanita ini. Semuanya tentu karena uang yang berbicara. Kepala Emily pun tertunduk. "Mengap
"Apa? Dia pergi menggunakan speedboat? Cari dia dan seret dia kemari!" Elvano geram mendengar dokter pribadinya itu tidak sedang berada di paviliun. Andre, merupakan dokter muda yang Elvano pekerjaan sejak dua tahun yang lalu. Dokter yang hobinya keluyuran dan suka semaunya. Bagaimana tidak? Dokter itu merupakan teman Elvano sendiri."Vano, aku bukan Asistenmu. Panggil saja Asistenmu, Mark. Suruh dia yang mencari keberadaan Andre," Celetuk Sergio. "Kau, aku minta tolong. Apa salahnya, kau menghubungi Andre—""Hah…, kau ini seorang Suami, rawatlah Kakak Ipar dengan baik. Mengapa wanita cantik seperti Kakak Ipar mendapatkan suami yang tidak berguna seperti dirimu, Elvano?" cibir Sergio.Elvano mengerang mendengar celotehan Sergio. Jika tidak ada Ruby di dalam gendongannya, pria di hadapannya ini, tentu sudah Elvano sumbangkan gratis ke tempat pesugihan agar dijadikan tumbal kekayaan. "Bedebah! Aku hanya meminta bantuanmu!" Elvano memekik.Wajah Sergio nampak acuh melihat reaksi Elvano