"Loh, kenapa? Umur Amora dan Vincent hanya beda beberapa tahun. Apa salahnya kita jodohkan?" ujar Sergio. Andre berjalan ke arah Sergio dan Elvano yang masih sibuk dengan bahan-bahan barbeque. "Mana mau Rubby dan Elvano menjodohkan Amora kepada anakmu, huh? Elvano takut jika Vincent akan menjadi Casanova seperti dirimu, Gio!" ujar Andre. "Aaaaa!" disaat Andre sedang berbicara, Amora menyuruh Andre membuka mulutnya karena Amora hendak menyuapi sebutir coklat di mulut Andre. Andre menoleh ke arah Amora yang masih berada di dalam gendongannya. "Terima kasih, Sayang!" ucap Andre lalu membuka mulutnya. Tangan mungil Amora dengan hati-hati memasukkan butir coklat yang dia pegang ke dalam mulut Andre. Rubby dan Vina yang duduk di pinggir kolam renang tersenyum melihat adegan manis antara Andre dan Amora."Rubby, kamu benar-benar memiliki putri yang cantik. Walaupun Amora hanya anak adopsi, lambat laun, wajahnya mirip seperti Elvano dan dirimu," ucap Vina saat memandang ke arah Amora dan
"Aku akan memeriksa keadaanmu terlebih dulu," ucap Andre dengan raut wajah panik."Silakan masuk, Dokter Andre," Gina mempersilakan Andre untuk masuk.Andre segera melangkah masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, lirikan matanya tidak sengaja menangkap toples selai kacang yang penutupnya sedikit agak longgar."Silakan duduk, Dokter," ucap Gina.Andre mengabaikan apa yang dia lihat, kemudian mempersiapkan alat-alat medisnya dan mulai memeriksa keadaan Gina. "Apakah kamu ingin bunuh diri?" tanya Andre dingin sambil tangannya melepaskan alat tensi darah.Gina tercengang dengan apa yang dikatakan oleh Andre. "Ma-maksud Dokter?" tanyanya dengan tatapan polos.Tek!Andre menyentil dahi gadis itu. "Jangan berpikir kalau aku bodoh. Kamu sengaja memakan selai kacang lagi? Mana ada orang bodoh seperti kamu yang menyiksa diri sendiri untuk memintaku datang?" cerca Andre yang sedikit kesal dengan sikap Gina.Gina tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya. "Ma-maafkan aku, Paman Dokter. Aku me
"Olivia, apa kamu tidak ingin mencari pengganti Toni? Lihat Rubby, walaupun wanita itu mandul dan tidak akan pernah melahirkan anak, dia begitu bahagia dengan suami konglomerat seperti Elvano. Dan lihat dirimu yang menyedihkan ini?" Olivia yang sedang sarapan pagi itu di kediaman Almero pun menghentikan sendoknya. Wanita itu menatap tajam ke arah Soraya. Sudah beberapa kali ibunya terus menerus menyinggungnya perihal jodoh. "Bu, aku sedang tidak ingin membicarakan masalah ini. Ibu tahu? Aku sedang sibuk menyusun skripsi ku. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal semacam itu," jawab ketus Olivia. Soraya memutar bola matanya malas mendengar ucapan putrinya. Sejak meninggalkan kediaman Anderson, Soraya, Almero dan Olivia menetapkan di sebuah perumahan elite. Dan sejak itu pula, Soraya meminta Oliva untuk berhenti berkuliah karena putrinya itu sudah tidak akan pernah menjadi penerus jadi untuk apa membuang waktu menjadi sarjana
"Anda siapa? Kenapa kita harus bertemu di hotel seperti ini?" Olivia bertanya saat ia menemui pria misterius yang menelponnya. Pria paru baya yang duduk di kursi kulit mengenakan handuk kimono itu berjalan ke arah Olivia yang duduk di pinggir ranjang. Olivia tampak gelisah saat pria tua itu mendekatinya dengan ekspresi cabul yang pria itu berikan kepada Olivia. "Tenang Olivia, aku tahu masalah yang kamu hadapi sekarang. Apakah kau ingin seperti kakak tirimu, Rubby? Jika demikian, aku bisa mengabulkannya," ucap pria itu yang kini sudah duduk di samping Olivia. Dengan sedikit menggeser tubuhnya, Olivia menatap ragu kepada pria tua yang jelas belum dia ketahui namanya itu. "Maaf, Om. Kalau boleh tahu, Om siapa? Kenapa anda berpikir jika aku ingin seperti Rubby?" tanyanya dengan hati-hati. Bibir pria itu tampak melengkung, memberikan senyuman penuh maksud dan tujuan. "Bukankah kau terusir dari keluarga Anderson?" Olivia tertunduk, dia me
Setelah memandikan peluh dari aktivitas kenikmatan yang telah mereka lakukan, pria yang masih menyembunyikan nama dan identitasnya itu menatap ke arah Olivia dengan kepuasan atas apa yang pria itu terima dari Olivia. "Kamu lumayan liar di atas ranjang, Olivia," ucap pria itu sambil menggunakan pakaiannya kembali. Olivia yang masih menutupi tubuhnya dengan selimut tebal menatap ke arah pria paruh baya itu dengan wajah datar. "Ku harap, anda tidak lupa dengan kesempatan yang telah kita berdua buat," ucap Olivia. Pria itu duduk di atas ranjang sambil mencengkram lembut pipi Olivia, pria itu menatap ke dalam mata wanita itu. "Aku bukan pria yang mudah lupa dengan janji, Olivia," ucap pria itu dengan nada memprovokasi.Olivia menggigit bibirnya, mencoba untuk mengendalikan kekesalannya. Ia menarik selimut lebih erat ke tubuhnya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman yang muncul setelah apa yang terjadi beberapa waktu yang mereka berdua lakukan.
"Amora, Nak, Maam dulu, yuk. Mama suapin," seru Rubby saat melihat putrinya tengah bermain di dalam ruangan yang dikhususkan untuk tempat Amora bermain. "Tidat mau, Mam. Mola mau main," jawab gadis kecil itu tidak memperdulikan Rubby yang menempelkan bubur yang dia blender dengan sayur dan hati ayam. "Nanti mainnya dilanjut lagi, ya, Sayang. Sekarang, Mora maam dulu. Katanya mau cepat besar?" bujuk Rubby. Amora menggelengkan kepalanya, mencoba menghindari sendok yang menempel di bibirnya. "Tidat mau, Mola beyum lapal!" tolak Amora sambil memanyunkan bibirnya. Rubby menghela nafas berat, dia berdiri lalu menonjok-nonjok boneka yang ada di sekitar Amora. Amora yang melihat itu pun terkejut. Gadis kecil segera berdiri. "Mama napa? Napa Mama memutul Doly?" tanya Amora dengan mata berkaca-kaca melihat boneka kesayangannya dipukul oleh Rubby. "Mama kesal, Mama sudah lelah buatin Mora makanan. Tapi Mora tidak menghargai Mama dan juga makana
Elvano tengah berkutat dengan berkas-berkasnya. Hari ini, sepertinya laporan perusahaan begitu menumpuk. Padahal, Elvano sudah berjanji kepada Amora untuk mengajak keluarga kecil mereka jalan-jalan. "Sampai kapan pekerjaan ini selesai?" Elvano melirik jam di pergelangan tangannya. Rasa rindu dengan kepada Rubby dan Amora membuat Elvano merasa semakin tergesa-gesa. Dia merasa waktu berjalan begitu lambat, seolah-olah jam di pergelangan tangannya berhenti bergerak.Elvano menghela nafas panjang, mencoba meredakan rasa frustrasinya. Dia meraih secangkir kopi yang sudah dingin di meja kerjanya, menyeruputnya pelan sambil menatap tumpukan berkas yang masih harus dia selesaikan.Tok tok tokElvano terperanjat mendengar suara ketukan ruangan. "Masuk!" Perintah Elvano. Pintu pun terbuka, dan Mark melangkah masuk ke dalam ruangan di mana Elvano berada. "Tuan, Nona Olivia ingin bertemu dengan anda." lapor Mark. Elvano mengerutkan alisny
"Kamu kenapa, Monster Kecil? Kenapa terlihat sangat cemas?" tanya Elvano yang kini sedang duduk di gazebo belakang kediaman ditemani oleh Rubby.Dengan meremas kedua tangannya gelisah, Rubby pun menjawab, "tadi siang Amy, ibu kandung Amora menelpon, Paman. Wanita itu meminta uang 50 juta. Jika kita tidak memberikan uang tersebut, mereka akan mencabut hak adopsi Amora." "Apa?!" Elvano terkejut. "Tapi mengapa mereka meminta uang sebesar itu? Bukankah kita sudah membayar biaya adopsi dengan jumlah yang sudah ditentukan?"Rubby menghela nafas berat. "Mungkin ada masalah keuangan di pihak mereka, Paman, atau mungkin mereka memanfaatkan situasi untuk mendapatkan lebih banyak uang karena mereka tahu jika Paman adalah seorang Presdir di sebuah perusahaan terbesar," jawab Rubby.Elvano yang mendengar jawaban Monster Kecilnya pun tersenyum sinis. "Mereka pikir dengan statusku sebagai presdir, mereka bisa meminta uang dengan seenaknya udel mereka? Dikira me