Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Dalam sorot cahaya petir yang membelah langit dengan gemuruh yang dahsyat, sosok Adam Hart tampak semakin misterius dan gelap. Kilat itu seolah mengungkap semua rahasia masa lalu Adam yang kelam dan penuh kesuraman. Namun, seperti dalam banyak kisah, selalu ada alasan yang mendorong seorang pria yang dulunya terhormat menjadi seseorang yang menjijikkan seperti sekarang.Masa lalu Adam Hart adalah bagian dari sejarah kelam dan tragis dari keluarga Rossie. Nyonya besar bahkan tak sudi menganggapnya sebagai bagian dari keluarga besarnya. Adam Hart adalah pria yang dikucilkan oleh mereka. "Aku ada urusan dengan putriku. Aku tidak ada urusan denganmu, Nenek tua!" teriaknya dengan ejekan. Adam telah melupakan Nyonya Rossie yang dulunya adalah mertuanya. "Dasar brengsek!" umpat Nyonya besar, yang kali ini berdiri di depan sang cucu. Ia tidak akan membiarkan cucu berharganya itu terluka barang sedikit pun. Selaras dengan Nyonya besar, tim pengawal juga tampak bersiaga. Mereka mengokang sen
Tiba-tiba, petir menyambar lagi, menerangi wajah-wajah tegang yang tengah terlibat dalam konfrontasi berbahaya ini. "Dengar baik-baik, Clark!" ucap Adam sambil menekan senjatanya, ia mengarahkan moncong logam itu ke dahi Clark dengan beringas. "Jangan menguji kesabaranku!"Namun, pandangan dingin Clark dan senyum misteriusnya, membuat Adam semakin naik pitam. Clark tampak bermain-main dengan Adam, sembari mengungkit kenangan masa lalu ketika Adam adalah seorang pria yang paling dihormati di wilayah Rossie ini. "Apakah Anda lupa masa-masa kejayaan Anda, singa Rossie?" Clark berkata dengan nada merendahkan. Pertanyaannya terasa seperti pukulan yang menusuk hati Adam.Suasana menjadi semakin tegang, dengan setiap detik terasa seperti sebuah waktu yang merambat. Para penembak runduk masih bersiaga, sambil menunggu perintah Adam untuk mengeksekusi para tawanan. Namun, hal itu masih belum diputuskan. "Anak kecil sepertimu tahu apa?" Adam, dengan mata yang menyala api, tidak terlihat ingin
'Hai, Adam. Kau masih mengenali suaraku, kan?' tanya seseorang dari rekaman yang dimainkan oleh Clark. Suara tersebut berhasil membuat bulu kuduk Adam meremang. Kedua matanya membeliak saat ia mendengar suara rekan lamanya, Kevin Costner."Ke--Kevin?" gumamnya terkejut. Adam tidak pernah membayangkan bahwa Clark memiliki akses ke suara Kevin. "I--ini tipuan, kan?" tanyanya dengan nada ragu, namun Clark hanya tersenyum sinis tanpa memberikan jawaban. Rekaman itu terus berputar, mengungkap fakta-fakta yang mencengangkan. Adam tidak pernah mengira akan mendengarkan pengakuan yang mengejutkan seperti ini. 'Jika kau tahu sebab-musabab nasib sialmu sejak awal, itu semua adalah rencana jahat Abigail yang ingin menguasai seluruh harta keluarga Rossie. Wanita itu cerdik dan licik. Keluargaku juga menjadi korban, tapi setidaknya aku tidak terlalu bodoh untuk memuja musuhku sendiri.'Adam terdiam, tak mampu berkata-kata. Ia mendengarkan setiap kata penjelasan dari Kevin dengan napas memburu, s
Keadaan di lokasi kecelakaan sudah cukup sunyi, hujan juga sudah berhenti, semuanya benar-benar berada dalam kendali. Petugas medis yang baru tiba segera bergerak cepat. Mereka membentangkan tenda darurat untuk menangani para korban yang terluka. Lampu sorot dinyalakan, memberikan cahaya terang di tengah kegelapan malam.Sementara itu, petugas polisi yang juga baru datang mulai melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang kecelakaan tersebut. Mereka mengatur lalu lintas di sekitar area kejadian untuk memastikan keselamatan semua orang yang ada di sana.Suasana di area kecelakaan terasa sangat kacau. Lampu-lampu darurat berkedip-kedip, menciptakan perasaan gelap dan misterius di tengah malam. Suara-suara sibuk petugas medis yang memberikan pertolongan pertama kepada korban tercampur dengan suara-suara saksi yang memberikan laporan kepada petugas polisi.Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengungkapkan identitas Adam Hart, atas perintah dari Clark. Adam disembunyikan, agar tidak
Matahari telah terbit di ufuk timur, kicau burung turut memberikan kesejukan yang menyegarkan. Arren terbangun dalam keadaan bugar. Rasanya, sudah lama sekali, ia tidak merasa sesegar ini, ketika bangun pagi."Astaga, sudah pagi," gumamnya sambil menggeliat perlahan. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah memasuki mobil, kemudian tertidur pulas. Entah siapa yang menggendongnya hingga ke atas ranjang malam itu, Arren benar-benar tidak mengingat apapun."Selamat pagi, Nona. Mari, saya bantu mandi dan bersiap," ucap pelayan pribadinya sambil memandu Arren menuju ke kamar mandi."Baik," sahut Arren, kemudian beranjak dari ranjangnya. Cuaca pagi itu sangat cerah, Arren bisa merasakan kedamaian di dalam hatinya. Untuk beberapa saat, pandangannya menyapu ke arah jendela. Ia memandangi suasana di luar kamarnya yang tenang. Arren benar-benar merasa nyaman."Air mandinya sudah siap, Nona. Mari..."Arren bergegas menuju ke bak mandi dan memulai rutinitas paginya. "Anda cantik sekali, Nona," puji s
Sementara itu, di pusat kota, Leon dan beberapa anak buahnya baru saja tiba setelah perjalanan panjang dengan mobil. Mereka telah melewati perbukitan untuk mencapai pusat kota Rossis, setelah menghabiskan satu malam di penginapan dekat pelabuhan.Matahari baru terbit, dan cahayanya perlahan menembus kabut pagi yang menggantung rendah di atas kota. Mereka segera melanjutkan perjalanan, memacu kendaraan melalui jalan-jalan yang masih lengang.Suasana pagi yang tenang menciptakan rasa heran dalam benak Leon. Seharusnya, pusat kota tampak ramai meski masih awal hari. Namun, pusat kota itu tampak berbeda. "Apakah kota Rossie memang sepi seperti ini?" tanya Leon pada salah satu anak buahnya yang terbiasa pulang-pergi ke wilayah ini."Seharusnya tidak, Tuan. Saya juga heran," sahutnya.Suasana yang biasanya ramai dan penuh dengan aktivitas kini terasa lebih sunyi. Namun, rasa heran mereka terpecahkan ketika mobil melintasi jalanan yang masih berdebu dan penuh kekacauan pasca-kerusuhan.Ruas-
Kelompok pria itu memancarkan aura yang tidak ramah. Sejumlah tato yang terlihat di lengan mereka menunjukkan bahwa mereka mungkin adalah anggota dari kelompok tertentu di kota itu. Beberapa di antara mereka sedang merokok dengan santai, sementara yang lain menatap Leon dan anak buahnya dengan tatapan yang menantang. "Apakah ada yang bisa kami bantu?" tanya Leon dengan nada yang dingin. Meskipun ia merasa perlu menjaga ketenangan, namun Leon tidak bisa mengabaikan situasi ini. Salah satu dari pria itu, yang tampaknya menjadi juru bicara kelompok itu, melangkah maju dengan teriakan, "Tunjukkan identitas kalian!” ulangnya. Salah seorang anak buah Leon maju dengan gesit dan menarik kerah orang yang tidak sopan itu. "Jaga bicaramu di hadapan Tuan Leon!" ancamnya dengan nada yang keras. Suasana yang tadinya tegang kini semakin mencekam, dengan adanya tarik-menarik kerah dan makian yang keluar dari kedua belah pihak. “Bajingan!” Orang yang ditarik itu merasa terkejut dan geram. Ia men
"Apa yang kau lakukan?!" teriak gadis itu, yang hanya mendapatkan dorongan keras, tanpa jawaban, sehingga ia tiba-tiba terjatuh ke tanah. "Akh!""Gadis bodoh! Berbelanja sendirian. Kau tidak tahu, orang-orang sedang kelaparan? Haha!" seloroh pria yang mendorong gadis itu dengan jumawa."Kembalikan makananku!""Tidak mau! Makanan ini untuk kami saja!" teriak pria itu lantang, diiringi gelak tawa dua orang lainnya yang berada di belakang."Pergilah, Nak. Sebelum paman itu menyakitimu," ucap pria yang berbadan lebih besar dari pria penyerang tadi."Tidak! Itu satu-satunya makananku! Aku tidak punya uang lagi untuk membeli makanan lain!”"Pergi, kataku!" Seketika, suasana di gang kecil itu berubah menjadi kacau. Teriakan dan tangisan gadis itu pecah, sehingga mengundang Leon dan para anak buahnya untuk mendekat. “Hentikan!”, teriak Leon lantang, sambil mendekat ke arah gadis remaja yang tengah mengalami penjarahan itu. Sekelompok pria kasar telah mengepungnya dan merampas makanannya de
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.