“Dokter bilang … untuk sementara waktu Mama harus banyak beristirahat dulu. Selama satu minggu ini beliau akan memeriksa kondisi jantung Mama secara lebih terperinci. Untung saja Tuan Franklin cepat membawanya ke rumah sakit. Jadi bisa segera dilakukan tindakan yang tepat.” Henry menjelaskan kondisi ibunya kepada Amora. Emma Adams sudah siuman, tetapi ia tidak bisa banyak bicara. Wajahnya masih terlihat sangat pucat. Kondisinya masih dalam pengawasan para perawat dan dokter. Manik mata Amora menatap wajah sayu Emma yang sedang terbaring di atas brankar. Hatinya terasa sangat pilu melihat wajah wanita paruh baya itu terpasang masker oksigen yang digunakan untuk membantu pernapasannya. Beberapa selang juga terpasang di dada Emma yang terhubung dengan alat-alat medis yang tidak dimengerti oleh Amora. Rayden menghampiri Emma. Ia meraih jemari wanita paruh baya itu. Menggenggamnya dengan hati-hati. Manik mata mungil itu menatap Emma dengan sendu. “Nenek, cepat sembuh ya. Ray janji ti
Manik mata Amora terbelalak lebar. Ia memandang Hilde dengan dipenuhi kebingungan. “Apa maksudmu, Hilde? Jangan asal bicara! Sejak kapan aku pernah melakukannya?” balas Amora tidak kalah sengitnya. Ia mulai naik pitam karena mengira Hilde sengaja membuat pernyataan yang mengada-ada untuk menjelekkan nama baiknya.Sudut bibir Hilde terangkat sinis. “Kenapa? Kamu lupa kalau pernah jatuh di tangga dulu dan aku yang dituduh sebagai pelakunya?” Amora terkesiap. Ia kembali teringat dengan peristiwa yang terjadi beberapa belas tahun lalu. Amora memang pernah terjatuh di tangga sekolah hingga ia mengalami patah tulang di bagian pergelangan kakinya dan harus dirawat di rumah sakit. Selama hampir satu minggu Amora tidak masuk ke sekolah dan ketika ia masuk, ia hanya mendengar kabar kalau Hilde sudah pindah sekolah ke sekolah lain. Namun, ia tidak pernah menyangka jika alasan wanita itu dipindahkan ada kaitan dengan kecelakaan kecilnya itu!"Kenapa kamu bisa bicara seperti itu? Memangnya apa
“Maaf, Hilde. Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu mengalami hal seberat itu dulu,” ujar Amora dengan penuh rasa simpati.Ia benar-benar tulus meminta maaf dari hatinya yang terdalam atas peristiwa yang dialami Hilde beberapa belas tahun yang lalu. Meskipun Amora tahu permintaan maafnya ini sangat terlambat, tetapi ia perlu melakukannya.Hilde berdeham pelan. Ia merasa sedikit canggung karena ia tidak menyangka Amora akan mengakui kesalahan yang sempat dibantahnya beberapa waktu lalu. “Ka-kamu pikir meminta maaf akan ada gunanya,” ucap Hilde dengan gugup. Ia merasa aneh dengan sikap akrab Amora yang begitu tiba-tiba. Amora mengulum senyumnya. “Aku tahu tidak ada gunanya, tapi aku berharap kamu dapat menerimanya dan kalau kamu memang ingin melakukan sesuatu, aku rasa kamu sekarang sudah lebih mudah menindasku karena sekarang kamu memiliki segalanya. Bukankah begitu, Hilde Maven?” “Jangan memanggilku dengan nama keluarga itu lagi. Sekarang aku bukan keluarga Maven lagi,” tampik Hil
“Semua kondisi organ tubuhmu terbilang cukup baik. Tapi, sebaiknya kamu lebih memperhatikan pola makanmu, Regis. Asam lambungmu cukup tinggi. Jadi jaga pola makanmu dan beristirahat lebih awal setiap malam.” James Ritter—dokter pribadi keluarga Lorenzo menjelaskan hasil dari medical check up full body yang dilakukan Regis beberapa hari lalu. Dokter paruh baya itu mencatat beberapa poin penting di bagian arsip pasien miliknya, lalu menuliskan resep yang dapat ditebus oleh Regis di pusat farmasi. “Ini adalah resep obat lambung yang bisa kamu minum kalau kamu merasa kondisi lambungmu tidak baik. Saya juga memberikan vitamin tambahan yang bisa kamu minum rutin. Sebaiknya kamu teratur meminumnya.” Regis menghela napas panjang saat mendengar celotehan panjang yang biasa diberikan dokter pribadinya itu kepadanya. “Saya tahu, Professor Ritter,” sahut Regis dengan acuh tak acuh. James tersenyum tipis. “Kamu benar-benar tidak berubah sama sekali, Regis. Apa kamu perlu sesungkan ini dengan
Regis telah keluar dari ruangan James Ritter. Ia menyusuri koridor dan berjalan menuju lift. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok wanita yang memang ingin dicarinya. Amora Lysander berdiri di depan lift dengan wajah muram. Wanita itu tampak melamun hingga tidak menyadari kehadiran Regis yang telah berdiri di sampingnya. “Ehem!” Regis sengaja berdeham pelan untuk mengalihkan perhatian wanita itu. Namun, Amora masih saja berdiri diam dengan wajah tertunduk memandang gawai butut di tangannya. Netra elang Regis melirik wanita itu. Sudut bibirnya terangkat tipis. “Amora Lysander,” panggilnya. Refleks, Amora mendongak. Ia langsung mengangkat tangannya dan berseru, “Ya!” “Pfftt!” Regis berusaha menahan gelak tawanya melihat kekonyolan yang baru saja dilakukan oleh Amora. Ia tidak menyangka wanita itu akan terkejut dengan panggilannya. Pandangan Amora pun beralih kepada Regis. Melihat ekspresi kebingungan Amora, Regis tidak dapat lagi menahan tawanya. “Berhenti tertawa,
“Kamu bisa menghubungiku kalau membutuhkan bantuan untuk merawat Nyonya Adams, Henry. Aku akan membantumu semampuku.” Amora berpesan kepada putra Emma sebelum ia berpamitan untuk pulang bersama Rayden. Ia tidak bisa pergi tanpa merasa bertanggung jawab. Saat ini mereka berada di luar ruangan rawat Emma. Hilde berdiri di samping Henry dengan tatapan tajam, tetapi wanita itu tidak mengatakan apa pun. Amora juga tidak menghiraukannya karena tahu jika wanita itu tidak menyukai kehadirannya di sana. Meskipun kesalahpahaman mereka sudah selesai dibicarakan, tetapi Hilde masih belum bisa melepaskan amarah dan kebenciannya terhadap Amora. Tidak mudah baginya untuk menghapus kenangan buruknya tersebut. Amora juga tidak ingin memperpanjang keributannya dengan Hilde. Ia berpikir untuk tetap bersikap sewajarnya. Saat ini hal yang terlintas di dalam benak Amora adalah kondisi Emma. Meskipun ia tidak bisa membantu dalam hal keuangan, tetapi setidaknya ia memiliki ketulusan untuk menggunakan te
“Kenapa Paman masih ada di sini?” tanya Rayden dengan penuh rasa ingin tahu, tetapi juga terlintas kekhawatiran di dalam benaknya. Regis merasa senang dengan respon yang diberikan anak laki-laki itu.“Paman menunggu kalian,” sahut Regis seraya melirik Amora yang masih memasang wajah masam. Bola mata Rayden semakin membulat tak percaya atas jawaban yang didengarnya.Di satu sisi, Amora telah melayangkan tatapan tajamnya kepada Regis “Bukankah Anda bilang akan menunggu di lobi? Saya kira Anda berubah pikiran,” sindirnya dengan dingin. Suara kekehan kecil pun bergulir dari bibir Regis. Ia dapat merasakan kekesalan dari nada bicara wanita itu terhadap dirinya. Namun, hal itu membuat wanita itu semakin menarik di dalam benaknya.“Tadi aku mencari kalian di atas. Aku pikir kalian masih lama, tapi ternyata kalian sudah turun lebih dulu. Kita hanya berselisih jalan.” Mendengar penjelasan dari Regis, Rayden langsung menoleh ke arah ibunya seolah bertanya atas hal yang terjadi di luar sepen
“Waaahhh! Malam ini kita benar-benar akan tidur di sini, Ma?” Rayden berseru dengan penuh takjub dengan hal yang terpampang di depan matanya. Ia baru saja turun dari taksi bersama ibu dan paman super hero-nya. Mereka sedang berdiri di depan gedung pencakar langit yang berdiri dengan megah dan bercahaya dengan lampu-lampu yang menyala dengan indah. Gedung tinggi tersebut merupakan hotel bintang lima paling elit yang ada di Kota New York. Ini pertama kalinya bagi Rayden melangkahkan kakinya ke dalam gedung megah yang dipenuhi dengan interior dan dekorasi yang sangat berkelas. Lantai tempatnya berpijak terlihat sangat mengkilap hingga membuatnya takut jikalau sepatu lusuhnya akan mengotori lantai tersebut. “Mama.” Rayden menarik ujung lengan baju ibunya. Amora menoleh. Ia dapat melihat kekhawatiran putranya. Bagi mereka, datang ke tempat mewah seperti ini sangat berlebihan. Meskipun dulu Amora sering beberapa kali berkunjung ke gedung hotel ini, tetapi saat itu ia datang hanya untu
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi