Hari terpenjara Keina pun dimulai, tanpa ponsel, tanpa apapun yang bisa membuatnya bisa menghubungi Alden, Keina merasa sangat tersiksa. Bukan hanya ponsel, bahkan Keina tidak diizinkan untuk keluar rumah selama beberapa hari. Saat ayahnya terlihat akan pergi menuju restoran, Keina merasa cukup bersemangat. Jika ayahnya tidak ada di sini, setidaknya ia bisa keluar sebentar jika hanya ibunya yang mengawasinya. Namun, apa yang ia harapkan jauh dari kenyataan, Handika tiba-tiba membawa seorang pria dewasa ke hadapannya."Namanya Amer, dia akan mengawasi kamu di rumah ini."Keina terhenyak mendengarnya, kegilaan ayahnya rupanya sudah melebar kemana-mana, Handika bahkan menempatkan seseorang untuk mengawasi dirinya agar tidak keluar rumah sembarangan."Apa Papa harus melakukan ini?" pekik Keina tidak percaya."Jangan membantah! Papa tahu kamu pasti mencari kesempatan menemui Alden saat Papa tidak ada di rumah, jadi Papa harus menempatkan orang lain untuk mengawasimu karena Mama pasti berpi
Keina terperangah mendengar ucapan Adrian, "Apa? Menikah denganmu? Apa kau tidak salah bicara, Adrian?" Tanyanya tidak percaya, saat ini ia sedang ingin menjalin hubungannya kembali dengan Alden, lalu kenapa Adrian malah mengajukan syarat seperti itu?"Apa yang salah? Aku memang ingin menikah denganmu sejak dulu.""Kau tahu aku sama sekali tidak bisa menikah denganmu, Adrian. Kau tahu bagaimana perasaanku pada Alden,""Ya, aku tahu. Lalu kenapa? Kau bisa menghapus perasaanmu untuk Alden dan mulai memunculkan perasaanmu untukku.""Apa kau pikir menghapus dan memunculkan sebuah perasaan itu semudah membalikkan telapak tangan, Adrian?" ujar Keina dengan ketus."Kau bisa memulainya dari sekarang, kau bisa jika berusaha.""Aku sudah memiliki perasaan kepada Alden selama seumur hidup, kau juga tahu beberapa bulan aku mencoba menghapus perasaanku ini, tapi selalu saja gagal.""Itu karena kau tidak berusaha lebih keras Keina." Adrian tiba-tiba menghentikan mobilnya lalu mendekatkan wajahnya k
"Gawat, itu Adrian. Bagaimana ini?" ucap Keina dengan panik.Alden terlihat berpikir keras, jika mereka ketahuan sekarang, Adrian pasti akan memberitahu Handika tentang pertemuan mereka dan membuat restu itu semakin sulit didapat. Matanya kemudian menangkap bagian bawah toilet yang cukup muat untuk ia sebrangi. Kepalanya mulai mendapat suatu ide, ia akan menyebrang ke bilik toilet lain lewat celah itu."Aku akan pergi, jaga dirimu."Dengan cepat Alden mengecup kening Keina, Keina hanya bisa terkejut melihat langkah demi langkah Alden yang terburu lalu masuk ke dalam bilik toilet lain lewat bawah."Keina, apa yang sedang kau lakukan?""Sebentar," balas Keina dengan berteriak. Saat ia yakin Alden sudah masuk ke dalam bilik toilet lain, Keina segera menghela nafasnya lega, ia membuka pintu toiletnya dengan raut wajah kesal, "Ada apa sih? Kenapa kau heboh sekali?""Kau tidak berniat melarikan diri, bukan?" tanya Adrian dengan nada curiga."Astaga, memangnya aku akan melarikan diri kemana?
Handika segera bergerak ke tempat dimana Adrian sudah menunggu. Saat ia sampai di tempat itu, terlihat Adrian yang melambaikan tangan ke arahnya, "Om disini."Handika terlihat mengangkat alis saat melihat ada orang lain yang berada di sampingnya. Seorang perempuan muda yang cantik, apa maksudnya? Kenapa Adrian datang bersama seorang perempuan?Handika segera berjalan menghampiri mereka lalu duduk di sana."Sudah menunggu lama?""Tidak juga Om, Om mau pesan makanan?""Tidak, minum saja. Om tidak bisa lama-lama, kamu tahu sendiri jika Om harus menjaga Keina.""Ah baiklah, kita akan memberikan penjelasan singkat kepada Om." Adrian terlihat mengalihkan tatapannya ke arah perempuan di sampingnya, "Ini Clara, dia adalah kekasih Alden sekarang."Mata Handika seketika melebar mendengar ucapan Adrian, "Apa maksud kamu? Alden memiliki kekasih saat ini?" Tanyany dengan raut wajah terkejut."Ya, dia memiliki kekasih. Alden bahkan membawa Clara kesini untuk diperkenalkan kepada keluarganya, benar
Keina terhenyak saat mendengar suara Handika yabg berteriak dengan kuat. Pelukannya bersama Alden seketika terlepas.Handika terlihat merangsek maju lalu buughh!"Papa!"Keina seketika berteriak, tidak percaya jika Handika akan memukul Alden dengan tinjunya hingga Alden jatuh tersungkur.Handika hendak memukul Alden kembali, namun tangannya seketika ditahan oleh Keina, "Hentikan Pa, tolong hentikan." ujarnya dengan tangis yang mulai berderai."Minggir kamu Keina, Papa harus menghajar pria ini agar dia bisa sadar.""Tidak, jangan. Keina memohon.""Papa! Jangan Pa!"Tiana yang mendengar keributan segera ikut menahan tangan Tiana. Handika segera menepis tangan mereka, "Diam! Kalian berdua sama saja!" Handika terlihat menatap tajam ke arah Tiana, ia tidak menyangka jika istrinya sendiri akan mengkhianati dirinya seperti ini."Mama pasti yang mengizinkan pria ini masuk, ini pasti ulah Mama, iya kan?""Maafkan Mama, Pa. Mama tidak tega melihat Alden dan Keina." Balas Tiana dengan takut-taku
"Pa..." Meski susah payah Alden terlihat membuka mulutnya."Pa, Alden sepertinya ingin bicara Pa," ujar Audrey.Reymand yang terlihat sangat marah segera mendekat ke arah Alden, "Ada apa Alden? Ada yang ingin kamu katakan?""Jangan berbuat apapun pada Papa Handika," ujar Alden dengan suara terbata."Tapi dia sudah membuat kamu seperti ini, Papa tidak terima."Alden segera menarik tangan Reymand lalu meremasnya dengan perlahan, "Alden tidak apa-apa. Demi Alden, tolong Papa jangan berbuat gegabah, Alden mohon."Melihat kondisi Alden, Audrey segera menyentuh tangan Reymand, "Kita pikirkan ini nanti, sebaiknya kita obati dulu luka-luka Alden."Reymand menghela nafasnya panjang mendengar penuturan Audrey, "Baiklah, aku akan menelepon dokter untuk mengobatinya."Reymand segera beranjak lalu memanggil dokter. Setelah itu ia menghela nafasnya kembali, kenapa hubungan keluarga mereka dengan Keluarga Handika menjadi sangat buruk seperti ini sekarang?****"Pinjam ponsel Mama." ujar Keina dengan
Alden yang segera sadar dari pingsannya seketika bangkit saat dirinya kembali teringat dengan Keina. Namun, levam-lebam di tubuhnya yang masih belum sembuh benar membuat Alden seketika meringis kesakitan. Audrey yang tengah tertidur seketika bangun saat mendengar suara Alden."Alden, Nak? Kamu sudah sadar?" Ia beralih pada Reymand yang juga terlihat menelungkupkan wajah di sampingnya, "Pa bangun Pa, Alden sudah sadar."Reymand langsung terjaga, ia menatap Alden yang terlihat hendak berdiri, "Alden, kamu mau kemana? Jangan bergerak dulu, kamu baru saja diobati."Alden yang merasa tubuhnya masih terasa sangat sakit segera mengikuti saran ayahnya, "Pa, sudah berapa lama aku tidak sadar?""Hampir sehari penuh,"Mata Alden seketika melebar sempurna mendengar balasan ayahnya, "Aku harus menemui Keina sekarang. Keina pasti sangat khawatir,"Alden bangkit, tidak perduli lagi dengan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Namun, baru saja kakinya hendak melangkah, Alden kembali ambruk karena nyeri y
Sejenak Audrey hanya tertegun mendengar penuturan Keina, namun ia segera menyadarkan dirinya. Audrey menarik tangan Keina untuk masuk ke dalam rumah dengan cepat."Astaga, hujan di luar lebat sekali, kenapa kamu datang ketika hujan?"Keina tersenyum tipis tidak menyangka jika Audrey akan menyambutnya."Sebentar, Mama akan ambilkan baju ganti."Keina terdiam sejenak, menunggu hingga Audrey datang lalu membawa sebuah kemeja."Mama hanya menemukan kemeja Alden yang ini. Baju-baju Mama tidak cocok untuk badan kamu yang mungil,"Keina menerima kemeja itu lalu memakainya dengan cepat."Ayo kita masuk ke dalam,"Keina terlihat mengedarkan pandangannya, Audrey terlihat mengamati tindakan Keina lalu berujar, "Alden sedang pergi ke dokter bersama ayahnya."Keina tersentak mendengar ucapan Audrey, "Apa kemarin luka-lukanya parah? Kenapa Alden sampai harus pergi ke dokter?""Ah tidak, itu karena Papa Reymand memaksa untuk memeriksakan luka-luka Alden, ia sangat khawatir jika itu akan berbekas."