Malam itu setelah Bima kembali ke rumah persembunyian, Ananta di tempatkan kembali di ruangan yang sama. Gundah gulana Ananta terdiam, gigi geliginya gemeretak, dua sungai air mata yang hangat mengalir di pipinya. Sedetik kemudian ia tertawa, seperti malam kemarin.Hatinya terasa diremas oleh sesuatu yang kasat mata, tulisan ibunya berkali-kali ia baca. Isi hati yang tidak bisa diungkapkan semasa hidup, tersimpan rapi berwujud curahan hati di sebuah buku dengan kertas yang menguning.Bima masuk membawakan beberapa batang linting romok. Ia duduk tepat di samping Ananta, menawarkan pada pemuda itu yang langsung diterimanya."Terkadang, hidup memukulmu dengan kenyataan yang berat. Dan membuat kita kehilangan keyakinan," ucap Bima."Hal yang paling sulit dari hidup ini adalah menerima kenyataan pahit. Apakah, Paman, pernah membaca buku ibuku?"Bima memandang Ananta sekilas setelah mendengar pemuda itu menyebutnya ibunya. "Tidak, menyentuh seujung jari pun aku tidak berani. Itu adalah raha
Wasi mengetuk jendela kamar Ananta, pria itu sudah memastikan keamanan dirinya lebih dahulu sebelum menyelinap ke tempat ini. Ia memakai baju pangsi hitam, senada dengan kain penutup wajahnya agar tidak dikenali banyak orang."Siapa di sana?" Suara Ananta terdengar dari dalam, cahaya bulan yang masuk melalui selah ventilasi di atas jendela. Bayangan Ananta membuat siluet hitam."Wasi, bukalah jendelanya, aku ada pesan untukmu," pinta Wasi yang segera dituruti Ananta."Kau gila? Bagaimana kalau penjaga rumah ini melihatmu!" sentak Ananta, ia terkejut atas tindakan nekat yang Wasi lakukan dengan mendatanginya. Ia kira Bima dan yang lain sudah pulang ke rumah persembunyian setelah mengantar ia pulang."Aku hanya ingin menyampaikan pesan. Paman Bima berharap kau bisa mendapatkan informasi keberadaan Bumi. Apa ia masih hidup atau sudah mati."Mata Ananta tidak fokus, sibuk memperhatikan keadaan. "Aku akan berusaha, tapi di mana aku bisa menemui kalian kalau aku sudah mendapat informasi?"
Wasi meletakkan bakul dagangan tepat di samping saung. "Aku bahkan butuh seratus kali berpikir sebelum memutuskan penyamaran ini, Kang. Bisa saja anak ini malah melawan dan menangkap kita.""Sudah kukatakan kalau dia tidak akan berbuat seperti itu."Wasi hanya memandang Ananta dengan sengit sebelum ketiganya duduk di tengah saung. Bagaimanapun ia belum mempercayai lelaki yang saat ini tengah bersama mereka. Hati manusia tidak ada yang tahu. Apalagi orang yang sudah berkhianat kepada orang dari bangsanya sendiri."Kau sudah menemukannya?" Bima memulai pembicaraan mereka dan membakar sebatang rokok."Bumi saat ini berada di Stadhuis Batavia, tepatnya penjara bawah tanah Raad Van Justitie.""Kau yakin? Bukannya dia di bawa ke rumah tahanan Bantjeujweg?" tanya Bima memastikan."Tidak, mereka telah dipindahkan sebulan yang lalu ke Batavia, Paman.""Aku tidak mempercayainya, Kang! Bisa saja ini sebuah jebakan untuk menangkap kita semua!" sela Wasi.Ananta tidak kalah memandang Wasi dengan s
Letnan itu memberi kabar ke petugas yang berada di Raad Van Justitie melalui radio yang ada di truk mereka. "Kami memutar lewat hutan, jembatan penghubung kota rusak karena air sungai yang meluap."Rencana pertama Bumi berjalan dengan lancar, dua truk iring-iringan yang membawa Bumi memilih jalur melewati hutan. Gelapnya malam dan rapatnya pohon-pohon besar menghalangi sinar rembulan. Satu-satunya cahaya yang dapat menerangi jalan, berasal dari lampu sorot mobil truk yang mereka kendarai. Tanpa prajurit KNIL itu sadari, di balik rerimbunan pohon, beberapa pasang mata memfokuskan penglihatannya untuk membidik titik vital mereka. Orang-orang itu sudah terlatih menembak di minimnya pencahayaan.Salah satu pemuda mengangkat tangan sebagai tanda bahwa ia yakin bidikannya akan tepat sasaran, disusul dengan yang lainnya. Bima yang melihat anggotanya siap untuk menembak, memulai aksinya.Beberapa detik kemudian, suara letusan senjata api lantang terdengar. Bima melepaskan satu tembakan tepa
Seorang gadis yang baru berusia 16 tahun, terlihat ketakutan saat pahanya diremas oleh seorang tamu penginapan. Ia tidak bisa melawan, laki-laki yang ada di hadapannya ini menatap dengan seringai yang menakutkan. Tubuhnya gadis itu sedikit bergetar, dan kulitnya menjadi dingin. Maniknya bergerak ke kiri dan ke kanan karena merasa panik. Ia berharap bisa lepas dari situasi ini, ingin langsung pergi, tapi gadis itu tahu kalau pria ini adalah tamu penting."Kau cantik, temani aku malam ini," ucap pria berkulit putih itu dengan nafas yang memburu."Tu–tuan, aku di sini untuk bekerja, aku hanya seorang pelayan." Gadis itu berkata dengan suara yang bergetar. Ia meremas sisi seragam hotel yang ia kenakan."Justru kau seorang pelayan, bukankah tugasmu salah satunya untuk melayani tamu yang menginap?" tanya si pria asal Rotterdam itu dalam bahasa Melayu yang fasih.Tiba-tiba, lengan pria itu menarik pinggang si gadis hingga terduduk di pangkuannya, saat ia hendak menyingkap rok pelayan terseb
Diah tersadar dari lamunannya ketika Bena menepuk pipinya yang basah oleh air mata, gadis itu mengerjap beberapa kali dan menghapus bulir bening yang sedari tadi mengalir. Semua mata memandang dengan tatapan sinis—termakan hasutan. Jari-jari Diah mencengkram erat keranjang pakaian untuk mengurangi kesedian."Maafkan aku. Aku akan kembali ke sungai untuk mencuci baju-baju ini lagi," ucap Diah lemah."Pergilah, dasar gadis lemah!" ejak Bena, ia segera membalikkan badan dan berlalu pergi bersama gadis yang lain. Saat tiba di rumah yang menjadi tempat tinggal mereka, Bena melihat Dara yang tengah berdiri di sisi beranda. Wanita itu sedang memandang lurus ke arahnya. Entah kenapa, Bena tidak menyukai tatapan gadis itu. Bola mata yang berbentuk buah badam—tajam, indah, dan terlihat hidup."Di mana Diah?" tanya Dara pada mereka yang baru saja tiba.Bena melirik sekilas, tetapi mengacuhkan pertanyaan Dara. Ia sibuk menjemur pakaiannya di tali yang terikat di kedua sisi pohon di halaman.Dara
Roanna kembali ke dalam kamarnya. Ia membuka seluruh pakaiannya sampai tidak ada sehelai benang pun yang tersisa. Di depannya terdapat sebuah cermin besar setinggi satu setengah meter, Roanna menatap pantulan wajah dan tubuhnya. Ia meraba wajahnya yang cantik dengan sorot mata yang dingin, perlahan turun ke leher, buah dada yang bulat, dan perutnya yang rata.Saat wanita itu berbalik dan menampakkan bagian punggungnya, terdapat bekas luka yang cukup kentara dan mungkin tidak akan bisa hilang. Bersebrangan dengan cermin—terdapat bathtub berukuran besar, air panas mengeluarkan uap tipis, dan tercium aroma mawar dari kelopak yang mengambang di permukaan.Perlahan, Roanna masuk ke dalam bathtub. Airnya yang terasa hangat cendrung panas, ditambah aroma mawar, seketika dapat menghilangkan lelah di tubuh wanita itu. Ia memejamkan matanya, dari luar terdengar suara musik yang mengalun dari piringan hitam yang sedang diputar. Roanna hanyut ke dalam dunianya untuk beberapa saat. Sampai ketuka
Dara mengerjapkan matanya beberapa kali. Dadanya terasa sesak, air terus keluar dari mulut dan rongga hidungnya. Sedangkan wajahnya basah oleh airmata yang bercampur dengan air sungai. Ia mengambil nafas dalam dan panjang. Saat sudah sepenuhnya tersadar, ia mengalihkan pandangan pada orang telah menyelamatkannya."Tuan Xander, Anda–"Xander terpaku pada wajah Dara yang kini ada di pangkuannya. Bulu mata panjang yang membingkai mata indah Dara, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang tampak menggoda. Tiba-tiba saja ia merasakan desiran aneh di dalam dadanya."Tuan," panggil Dara yang merasa canggung ada di dalam posisi seperti itu."Apa kau baik-baik saja?" tanya Xander. Keduanya saling pandang, mulut mereka terkuci setelah mendengarkan pertanyaan Xander. Dara kira pria ini akan ketus seperti biasanya. Sedangkan Xander sendiri merasa aneh kepada dirinyalah sendiri. Untuk apa dia menanyakan keadaan gadis pembuatan masalah ini.Xander mendorong tubuh Dara sedikit kasar, ia merasa cang
Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,
"Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se
Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad
Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t
"Kenapa betah ada di dalam telaga duka kalau kau bisa bahagia, Dara? Kau harus membuka lembaran baru. Aku bisa menjadi penghapus untuk menghilangkan guratan luka di hatimu. Aku bisa menjadi pena untuk menulis kisah bahagiamu. Tapi percuma, kau selalu terlalu lama menutup bukumu hingga berdebu."Kata-kata yang diucapkan Bara bagai embun yang menyejukkan hati Dara yang selama ini kering."Kau harus mulai melangkah. Bebaskan dirimu, kau harusnya bersyukur dengan kehidupan baru yang kau miliki. Di luar sana, banyak orang yang tak seberuntung dirimu."Sekali lagi, apa yang dikatakan Bara adalah kebenaran. Untuk apa terus bersedih dan terpuruk, mengurung diri dalam penjara luka yang tercipta oleh kenangan buruk. Selama tujuh bulan setelah kepergian Xander, Bara acapkali memberikan perhatian lebih untuk gadis cantik itu.Membantu membuka hati dan menata hidupnya kembali.Bara dan Xander bagai panorama yang memiliki keindahannya sendiri. Jika Xander seperti lautan—yang lewat tatapan matanya m
Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m
Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb