"Tentu, aku akan membawamu hari ini juga! Sebelum itu makanlah, kau butuh tenaga untuk mendengar kenyataan yang sebenarnya. Walaupun nantinya kau akan percaya atau tidak."Setelah menghabiskan makanannya. Lembayang dan Bima serta dua orang lainnya mengantar Ananta ke tempat yang dituju. Perjalanan yang mereka tempuh membutuhkan waktu sekitar dua jam lamanya. Empat ekor kuda terus melaju melewati medan yang menanjak dan kadang menurun. Udara dingin dan lembab dapat Ananta rasakan walau pun matanya tertutup oleh kain hitam.Mbah Sarinah yang mendengar derap kuda, segera berjalan cepat ke halaman. Ia bisa melihat kedatangan Bima beserta rombongan. Namun, pandangannya tertuju pada orang yang seluruh kepalanya di tutupi oleh kain."Bima ... kau datang?" sapa mbah Sarinah setelah Bima mengikat tali kudanya di pohon sukun yang berbuah lebat."Aku datang, Mbah. Bersama teman-temanku, dua orang ini namanya Wasi dan Basit, mereka bekerja pada Aminah." Dua pemuda yang namanya disebut segera meny
Malam itu setelah Bima kembali ke rumah persembunyian, Ananta di tempatkan kembali di ruangan yang sama. Gundah gulana Ananta terdiam, gigi geliginya gemeretak, dua sungai air mata yang hangat mengalir di pipinya. Sedetik kemudian ia tertawa, seperti malam kemarin.Hatinya terasa diremas oleh sesuatu yang kasat mata, tulisan ibunya berkali-kali ia baca. Isi hati yang tidak bisa diungkapkan semasa hidup, tersimpan rapi berwujud curahan hati di sebuah buku dengan kertas yang menguning.Bima masuk membawakan beberapa batang linting romok. Ia duduk tepat di samping Ananta, menawarkan pada pemuda itu yang langsung diterimanya."Terkadang, hidup memukulmu dengan kenyataan yang berat. Dan membuat kita kehilangan keyakinan," ucap Bima."Hal yang paling sulit dari hidup ini adalah menerima kenyataan pahit. Apakah, Paman, pernah membaca buku ibuku?"Bima memandang Ananta sekilas setelah mendengar pemuda itu menyebutnya ibunya. "Tidak, menyentuh seujung jari pun aku tidak berani. Itu adalah raha
Wasi mengetuk jendela kamar Ananta, pria itu sudah memastikan keamanan dirinya lebih dahulu sebelum menyelinap ke tempat ini. Ia memakai baju pangsi hitam, senada dengan kain penutup wajahnya agar tidak dikenali banyak orang."Siapa di sana?" Suara Ananta terdengar dari dalam, cahaya bulan yang masuk melalui selah ventilasi di atas jendela. Bayangan Ananta membuat siluet hitam."Wasi, bukalah jendelanya, aku ada pesan untukmu," pinta Wasi yang segera dituruti Ananta."Kau gila? Bagaimana kalau penjaga rumah ini melihatmu!" sentak Ananta, ia terkejut atas tindakan nekat yang Wasi lakukan dengan mendatanginya. Ia kira Bima dan yang lain sudah pulang ke rumah persembunyian setelah mengantar ia pulang."Aku hanya ingin menyampaikan pesan. Paman Bima berharap kau bisa mendapatkan informasi keberadaan Bumi. Apa ia masih hidup atau sudah mati."Mata Ananta tidak fokus, sibuk memperhatikan keadaan. "Aku akan berusaha, tapi di mana aku bisa menemui kalian kalau aku sudah mendapat informasi?"
Wasi meletakkan bakul dagangan tepat di samping saung. "Aku bahkan butuh seratus kali berpikir sebelum memutuskan penyamaran ini, Kang. Bisa saja anak ini malah melawan dan menangkap kita.""Sudah kukatakan kalau dia tidak akan berbuat seperti itu."Wasi hanya memandang Ananta dengan sengit sebelum ketiganya duduk di tengah saung. Bagaimanapun ia belum mempercayai lelaki yang saat ini tengah bersama mereka. Hati manusia tidak ada yang tahu. Apalagi orang yang sudah berkhianat kepada orang dari bangsanya sendiri."Kau sudah menemukannya?" Bima memulai pembicaraan mereka dan membakar sebatang rokok."Bumi saat ini berada di Stadhuis Batavia, tepatnya penjara bawah tanah Raad Van Justitie.""Kau yakin? Bukannya dia di bawa ke rumah tahanan Bantjeujweg?" tanya Bima memastikan."Tidak, mereka telah dipindahkan sebulan yang lalu ke Batavia, Paman.""Aku tidak mempercayainya, Kang! Bisa saja ini sebuah jebakan untuk menangkap kita semua!" sela Wasi.Ananta tidak kalah memandang Wasi dengan s
Letnan itu memberi kabar ke petugas yang berada di Raad Van Justitie melalui radio yang ada di truk mereka. "Kami memutar lewat hutan, jembatan penghubung kota rusak karena air sungai yang meluap."Rencana pertama Bumi berjalan dengan lancar, dua truk iring-iringan yang membawa Bumi memilih jalur melewati hutan. Gelapnya malam dan rapatnya pohon-pohon besar menghalangi sinar rembulan. Satu-satunya cahaya yang dapat menerangi jalan, berasal dari lampu sorot mobil truk yang mereka kendarai. Tanpa prajurit KNIL itu sadari, di balik rerimbunan pohon, beberapa pasang mata memfokuskan penglihatannya untuk membidik titik vital mereka. Orang-orang itu sudah terlatih menembak di minimnya pencahayaan.Salah satu pemuda mengangkat tangan sebagai tanda bahwa ia yakin bidikannya akan tepat sasaran, disusul dengan yang lainnya. Bima yang melihat anggotanya siap untuk menembak, memulai aksinya.Beberapa detik kemudian, suara letusan senjata api lantang terdengar. Bima melepaskan satu tembakan tepa
Seorang gadis yang baru berusia 16 tahun, terlihat ketakutan saat pahanya diremas oleh seorang tamu penginapan. Ia tidak bisa melawan, laki-laki yang ada di hadapannya ini menatap dengan seringai yang menakutkan. Tubuhnya gadis itu sedikit bergetar, dan kulitnya menjadi dingin. Maniknya bergerak ke kiri dan ke kanan karena merasa panik. Ia berharap bisa lepas dari situasi ini, ingin langsung pergi, tapi gadis itu tahu kalau pria ini adalah tamu penting."Kau cantik, temani aku malam ini," ucap pria berkulit putih itu dengan nafas yang memburu."Tu–tuan, aku di sini untuk bekerja, aku hanya seorang pelayan." Gadis itu berkata dengan suara yang bergetar. Ia meremas sisi seragam hotel yang ia kenakan."Justru kau seorang pelayan, bukankah tugasmu salah satunya untuk melayani tamu yang menginap?" tanya si pria asal Rotterdam itu dalam bahasa Melayu yang fasih.Tiba-tiba, lengan pria itu menarik pinggang si gadis hingga terduduk di pangkuannya, saat ia hendak menyingkap rok pelayan terseb
Diah tersadar dari lamunannya ketika Bena menepuk pipinya yang basah oleh air mata, gadis itu mengerjap beberapa kali dan menghapus bulir bening yang sedari tadi mengalir. Semua mata memandang dengan tatapan sinis—termakan hasutan. Jari-jari Diah mencengkram erat keranjang pakaian untuk mengurangi kesedian."Maafkan aku. Aku akan kembali ke sungai untuk mencuci baju-baju ini lagi," ucap Diah lemah."Pergilah, dasar gadis lemah!" ejak Bena, ia segera membalikkan badan dan berlalu pergi bersama gadis yang lain. Saat tiba di rumah yang menjadi tempat tinggal mereka, Bena melihat Dara yang tengah berdiri di sisi beranda. Wanita itu sedang memandang lurus ke arahnya. Entah kenapa, Bena tidak menyukai tatapan gadis itu. Bola mata yang berbentuk buah badam—tajam, indah, dan terlihat hidup."Di mana Diah?" tanya Dara pada mereka yang baru saja tiba.Bena melirik sekilas, tetapi mengacuhkan pertanyaan Dara. Ia sibuk menjemur pakaiannya di tali yang terikat di kedua sisi pohon di halaman.Dara
Roanna kembali ke dalam kamarnya. Ia membuka seluruh pakaiannya sampai tidak ada sehelai benang pun yang tersisa. Di depannya terdapat sebuah cermin besar setinggi satu setengah meter, Roanna menatap pantulan wajah dan tubuhnya. Ia meraba wajahnya yang cantik dengan sorot mata yang dingin, perlahan turun ke leher, buah dada yang bulat, dan perutnya yang rata.Saat wanita itu berbalik dan menampakkan bagian punggungnya, terdapat bekas luka yang cukup kentara dan mungkin tidak akan bisa hilang. Bersebrangan dengan cermin—terdapat bathtub berukuran besar, air panas mengeluarkan uap tipis, dan tercium aroma mawar dari kelopak yang mengambang di permukaan.Perlahan, Roanna masuk ke dalam bathtub. Airnya yang terasa hangat cendrung panas, ditambah aroma mawar, seketika dapat menghilangkan lelah di tubuh wanita itu. Ia memejamkan matanya, dari luar terdengar suara musik yang mengalun dari piringan hitam yang sedang diputar. Roanna hanyut ke dalam dunianya untuk beberapa saat. Sampai ketuka