Malam itu, pelita-pelita kecil yang dihasilkan dari biji jarak, berpendar menerangi setiap sudut rumah yang paling mewah. Di langit, bulan menggantung pada puncaknya, kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan, cahayanya menciptakan bayangan temaram di halaman.
Angin kemarau di malam hari terasa dingin memeluk tubuh Senja yang tengah berdiri kaku. Gadis itu meremas jari-jemarinya karena merasa takut dan cemas. Di depan sana, kedua kakanya terlihat sedang menyelidiki satu per satu para penjaga rumah mereka.Satu dokumen penting telah hilang dari ruang kerja ayahnya. Di dalam benak Senja, terlintas satu nama yang memungkinkan menjadi pelaku utama. Namun, Senja hanya bisa menggigit bibir, seakan dia takut untuk berbicara.Kakak pertama Senja—Bumi, meraup wajahnya dengan frustasi, sedangkan kakak keduanya—Lembayang, menggelengkan kepalanya dengan lemah. Para penjaga terlihat hanya berdiri bergeming, pandangan mereka menyapu pada bebatuan yang menyembul dari balik tanah yang kering dan padat.Senja semakin dilanda keresahan, ia berpikir kalau ini semua adalah sebagian dari kesalahannya. Meski demikian, kedua kakaknya yang mendapati Senja sedang memperhatikan mereka dari selasar, memberikan seulas senyuman—seolah itu adalah sebuah isyarat untuk menenangkan adiknya."Ayo kita masuk, Lembayang," ajak Bumi pada adiknya, ia berjalan lebih dulu, diikuti Lembayang di belakangnya."Senja terlihat sangat sedih, Raka," ucap Lembayang, ia berkata dengan suara yang rendah—dekat telinga kanan Bumi."Kita harus menenangkannya."Saat kedua kakaknya berjalan dengan langkah yang tenang ke arahnya, Senja semakin menangis. Diraihnya tubuh Senja ke dalam pelukan Bumi. Lelaki itu menepuk-nepuk punggung Senja dengan sentuhan lembut. Tidak ada satu pun kata yang keluar, tetapi perlakuan Bumi mampu membuat gadis itu sedikit lebih tenang."Tidak apa-apa, Senja, kita pasti akan menemukannya," ucap Lembayang seraya mengelus rambut panjang Senja.Gadis itu melepaskan pelukan Bumi, ia beralih pada kakak keduanya, dan Lembayang segera menghapus jejak air mata di pipi ranum Senja dengan telapak tangannya yang lebar."Sebaiknya kita masuk ke dalam, udaranya semakin dingin di luar sini," ajak Bumi. Ia merangkul Senja dan membawanya masuk ke dalam rumah—tepatnya ke ruang kerja ayah mereka.Dari ambang pintu, Senja melihat ayahnya tengah duduk berhadapan dengan ibunya. Kedua tangan ayahnya berada di atas meja dengan siku sebagai tumpuan, rasa lelah tercetak jelas saat sang ayah mulai memijit pelipisnya yang terasa berdenyut."Bapak," sapa Lembayang.Lembayang mulai memasuki ruangan tersebut, sontak ayah dan ibunya menoleh, saat melihat anak-anak mereka, buru-buru keduanya memasang wajah tegar."Ah, kalian, ayo-ayo masuklah. Kenapa hanya berdiri di depan pintu?"Bumi tetap tidak melepaskan genggamannya pada tangan Senja, ia menuntun adiknya masuk."Bumi percaya pada para penjaga kita, Pak, mereka tidak mungkin melakukan semua ini. Lagipula, Bumi dan Lembayang ada bersama mereka saat itu.""Bapak sendiri merasa heran, Nak, kenapa surat-surat berharga kita bisa hilang. Bapak tidak mungkin menaruh dokumen sepenting itu di sembarang tempat.""Apa orang lain yang melakukan ini, Pak?" tanya ibunya yang sedari tadi diam."Entahlah, Bu, semoga saja dokumen itu bisa ditemukan. karena kalau tidak, bukan hanya kita saja yang akan rugi, tetapi banyak keluarga yang akan kehilang pekerjaan," ujar ayah mereka, lelaki itu berusaha untuk tenang agar suaranya tidak bergetar.Tiba-tiba saja, terdengar suara Gerungan dari beberapa mobil yang beriringan melaju di jalanan desa, suara itu semakin dekat dan tampaknya berhenti di pekarangan rumah Senja—membuat gadis itu semakin merasa tegang.Beberapa truk Belanda—lengkap dengan tentara yang sudah dipersenjatai, turun satu-persatu dan membentuk setengah lingkaran. Seorang prajurit yang lebih dulu turun, berbicara dengan gayanya yang arogan sambil menenteng senapan."Panggilkan tuanmu, bilang Mayor Rutger ingin bertemu!"Para penjaga saling pandang, mereka menguatkan genggamannya pada golok yang terselip di pinggang."Ada apa, Meneer, ingin bertemu dengan juragan kami?""Bukan urusanmu! panggilkan saja tuan kalian atau kami akan menorobos masuk ke dalam," ucap salah satu dari mereka dengan penuh penekanan."Tidak ada yang bisa memaksa masuk ke dalam untuk menggangu ketenangan juragan, selama kami yang menjaga!" Salah satu penjaga, yang menjadi ketua berkata tegas dan dengan nada yang tak kalah dingin.Mereka semua tidak merasa takut, bahkan dengan senjata yang tentara bawa. Sedangkan para tetangga tidak berani ke luar. Mereka hanya mengintip di balik celah jendala dan reregan carang. Tentara Belanda tersulut emosi—merasa tidak terima kalau ada pribumi yang menentang.Pada akhirnya perkelahian tidak bisa dihindari, tentara Belanda yang tadi bertanya mulai memancing keributan, dan ia menghantamkan sebuah tinju ke arah penjaga. Namun, berhasil dihalau dengan mudah. "Verdomme!" Tentara mengumpat dalam bahasa ibunya. Kemudian ia mengarahkan senjatanya ke arah penjaga tadi, ia menarik pelatuk.Sedetik kemudian—bersamaan suara letusan dari senapan, tubuh itu jatuh ke tanah dengan lubang di dada yang terus mengeluarkan darah.Suara itu membuat Senja semakin menguatkan praduganya ke orang yang ia curigai, tidak akan ada asap jika tidak ada api. Tanpa membuang waktu, ia segera berlari ke arah Jendela. Ia menyibak gorden dan memperhatikan kondisi di luar sana."Di luar banyak tentara Belanda, Pak!" seru Senja."Senja dan ibu sebaiknya menunggu di dalam. Jangan ada yang ke luar sampai keadaan aman!" perintah ayahnya dengan tegas.Ayah dan kakaknya memeluk Senja sebelum pergi memastikan. Meski enggan, ia dengan terpaksa melepas kepergian ketiga lelaki yang sangat ia sayangi. Senja merasakan firasat buruk malam itu, ia menatap satu-persatu punggung mereka sampai hilang di balik lorong rumahnya.Ibunya sudah menangis dan terkulai lemas di lantai. Senja segera membawa ibunya duduk di kursi, gadis itu memberikan segelas air—berharap agar ibunya sedikit tenang. Jantung Senja berdebar lebih kencang dari biasanya, sehingga ia merasa mual dan ingin memuntahkan sesuatu. Senja kembali ke jendela untuk mengawasi apa yang selanjutnya akan terjadi.Di luar sana, Senja melihat susana semakin memanas, ayahnya memulai percakapan. Namun, setiap perkataan yang ayahnya ucapkan—seolah hanya dianggap angin lalu oleh si pimpinan tentara. Entah apa yang memicu situasi semakin panas? Senja tidak dapat mendengar keributan di luar sana dengan jelas dari ruang kerja ayahnya.Tiba-tiba, Bumi dan Lembayang melawan, mereka balik menyerang. Tendangan, pukulan, dan serangan bertubi-tubi mengenai para tentara. Sebuah hantaman dari gagang senapan berhasil mendarat di tengkuk ayahnya dan Bumi, Membuat keduanya merasakan kepalanya berat dan pandangannya menjadi gelap.Senja menyaksikan itu semua dengan perasaan yang kalut, ia membekap mulutnya sendiri, air mata sudah berderai seakan tiada habisnya."Bapakkkkk!"Suara teriakan dari Lembayang membuat Senja mengabaikan perintah dari sang ayah. Ia dan ibunya berhamburan lari ke luar untuk memastikan. Senja melihat Bumi diseret dalam keadaan tidak sadarkan diri dan diangkut ke dalam truk, amarah membuatnya sesak nafas, suaranya bertenaga penuh kemurkaan."Mau kalian bawa ke mana saudaraku, bedebah?!"Senja melawan, gadis itu mendorong dan memukuli satu tentara yang berada paling dekat dengan jangkauannya, satu hal yang sia-sia karena kekuatannya tidak seimbang.Mayor Rutger yang sedari tadi hanya diam—kini memperhatikan. Terpesona dengan kecantikan dan keberanian gadis muda yang sedang memberontak di hadapannya."Bawa gadis itu ke dalam Jeepku!"Dengan satu perintah, tubuh Senja ditarik paksa memasuki mobil jeep Rutger yang tengah memimpin operasi penangkapan. Ibunya dan ayahnya melawan, mencoba menghalangi tentara Belanda, sedangkan Lembayang tidak berdaya di bawah todongan moncong senapan.Teriakan lolongan sumpah serapah menggema di malam yang menjadi saksi kehancuran keluarga Senja. Bersamaan dengan suara dua letusan senjata api yang menggelegar, tubuh ibu dan ayahnya ambruk ke tanah.Lembayang dan Senja bergetar menahan amarah, pandangan mereka menjadi nanar, nafas mereka tercekat, dan akhirnya tangis dua kakak-beradik itu semakin pecah."Ibuuuu!" Senja berteriak dan mencoba terus memberontak. Ia terus diseret menjauh dari keluarganya."Kalian bajingan, kalian biadab, tidak akan aku maafkan kalian semua!" Lembayang memaki. Ia mengamuk dan meraih moncong senapan yang sedari tadi di arahkan kepadanya."Raka, tolong aku! Lepaskan, lepaskan tangan kalian dari tubuku, aku tidak Sudi, mau dibawa ke mana aku?!"Senja meraung meluapkan perasaannya. Kakinya yang bebas, berusaha untuk menendang.Tiba-tiba waktu berputar lebih cepat, lebih berat, dan lebih menekan saat sebuah hantaman keras dari gagang senapan mengenai pelipis Lembayang. Sesuatu yang hangat dan kental mengalir dari kepalanya. Lembayang berkedip.Di akhir kesadarannya, Lembayang mendengar samar-samar suara senjata api yang saling bersahutan. Teriakan-teriakan kesakitan tentara Belanda dalam bahasanya, dan teriakan orang-orang dari bangsanya.Senja duduk meringkuk dalam ruang tahanan yang luasnya hanya lima meter persegi, tempat itu gelap tanpa ada pencahayaan. Udaranya terasa pengap karena berada tiga meter di bawah tanah.Jeruji besi yang mengurung kebebasannya sebagian sudah berkarat. Bersama Senja, ada beberapa tahanan lain. Semuanya adalah wanita, mulai dari yang muda sampai yang sudah tua. Mereka terlihat kurus dan suram.Suara langkah kaki yang menuruni anak tangga terdengar menggema di lorong yang sunyi itu. Cahaya dari obor, menciptakan bayangan dua sosok lelaki yang memantul dan membesar pada dinding-dinding yang sudah berlumut. Pintu sel Senja dibuka, menimbulkan suara berkerit dari besi yang menggesek lantai. Semua tahanan wanita menengadah dengan perasaan takut. Di depan mereka, mayor Rutger berdiri dengan sikap arogan. Senter di tangan kanannya menyoroti satu persatu para tahanan, mukanya menunjukkan ekspresi jijik saat cahaya senter menerpa wajah yang kotor dan kumal. Sampai di satu titik, ia tersenyum puas
Ada sesuatu kenyataan luar biasa yang patut direnungkan, yakni bahwa setiap manusia ialah rahasia dan misteri besar bagi sesamanya. Setidaknya itulah yang dipikirkan Senja, gadis itu terkantuk-kantuk, tetapi otaknya dipenuhi dengan kepingan praduga yang berusaha ia susun. Sampai detik ini, Senja masih mencari tahu kenapa ia bisa berada di tempat terkutuk ini. Dalam kungkungan orang-orang berkulit pucat yang sama sekali tidak ia kenal, dan siapa orang yang sudah melakukan ini semua pada keluarganya.Sekali lagi, Senja dipindah ke tempat yang baru, meski demikian, kenyataannya tidak berubah sama sekali, ia tetap berada di dalam sel penjara. Namun, penghuninya hanya tiga orang wanita muda, termasuk dirinya. Senja memperhatikan dengan seksama, sel ini memiliki satu buah jendela kecil, lengkap dengan teralis dan hampir menyentuh atap, dua buah lilin yang berpendar lemah—di sisi kanan dan kiri dekat pintu sel, dan didapatinya kalau ruangan ini begitu kuat, kukuh, aman, dan sunyi. Pikiran u
Lelaki yang tadi menyapa Xander langsung membawa pria itu menuju sebuah ruangan. Sebelum Xander masuk, ia menarik sudut bibirnya. Ia teringat kemarin, saat ia mendatangi markas yang menjadi wilayah kekuasaan Rutger. Xander yang ingin bertemu dengan Senja tidak diizinkan untuk melihat gadis itu, ia diminta untuk datang keesokan harinya, tapat hari ini. Xander yang sudah hafal dengan tabiat rekan sejawatnya, mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Dan ternyata semua itu berguna, tepat pada tempatnya. Xander membawa sebuah dokumen penting yang ia selipkan di pinggang—di balik seragam militernya."Kapten Xander, masuklah, maaf karena Anda melihat keributan ini." Rutger mempersilahkan Xander masuk saat pria itu baru membuka pintu. Xander hanya menganggukkan kepalanya, ia berjalan dan memberi hormat kepada lelaki yang notabene menjadi atasannya. "Maaf, Kapten Xander, telah terjadi hal yang tidak terduga di tempat ini, soldat bodoh itu melakukan kecerobohan sehingga menyebabkan warga
Dari sekian banyak wajah yang ada dalam mimpi Senja, wajah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan muncul dalam alam bawah sadarnya. Ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu saat bertemu dengan Senja terlihat puas dan bahagia. Gadis itu sama sekali tidak menyukainya, lelaki itu datang bersama Rutger tepat saat Senja ingin meraih batang lilin di dekat pintu sel. Ia yang saat itu sedang tidak fokus dan dalam suasana hati yang kacau, tidak menyadari kedatangan dua orang yang sangat ia benci sampai ke urat nadinya. Rutger mencengkram pergelangan tangan Senja dan membuang lilin sejauh yang ia bisa, rencana untuk bunuh diri pun kandas.Si lelaki tertawa melihat Senja yang menderita—padahal, dulu ia sangat mendambakan gadis itu untuk menjadi bagian dari keluarganya. Meskipun sudah menduga, Senja masih saja merasa sakit di bagian jantungnya, bagai ada sebuah pedang yang menghujam dan menembus berkali-kali. Gadis itu sampai tidak bisa menangis lagi karena terlalu kecewa dan marah. "Kamu pas
"Ik mis je echt, Xera." Lengan kekar Xander melingkari pinggang ramping Xera—saudari satu ayah beda ibu. "Ik mis jou ook, Kakak." Xera membalas pelukan kakaknya dengan kaki yang berjinjit. "Apa yang, Kakak, bawa?" Ia memandang dengan mata yang berbinar pada kotak berwarna merah muda yang Xander bawa, berharap kakak pertamanya yang sangat tampan ini, membawakan ia hadiah seperti biasanya."Dit is een cadeau voor jou, van Leon." Xander menyerahkan kotak itu pada Xera. Namun, adiknya memasang wajah cemberut yang cendrung menggemaskan di matanya. "Ada apa, hmm?" "Aku kira hadiah ini dari, Kakak, belakang ini kau jarang membawakan aku sesuatu." Xera mengeluh, tetapi ia tetap menerima hadiah yang diserahkan kepadanya."Maaf, Liev, belakang ini aku senang banyak pekerjaan, lain kali aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan." "Benarkah? Dank je, Broer." Xera menggelayut manja di tangan Xander. Bahkan, gadis berparas cantik nan ceria itu mengerlingkan matanya beberapa kali, membuat
Leon memijit pelipisnya yang terasa pusing, kali ini sahabatnya—Xander, telah memberikan tugas yang sulit. Membawa tahanan ke rumahnya, dan sekarang gadis itu baru saja berulah dengan rencana ingin melarikan diri. Leon bersandar pada tembok berkapur putih bersih, memandangi Senja yang tidk sadarkan diri dan kini berbaring di atas kasur, rambut panjangnya terurai di bantal.Beruntung kain yang membebat tubuh ramping Senja terikat kuat, sehingga Leon berhasil menarik gadis itu kembali. Namun, kepala Senja cukup keras membentur dinding batu, sehingga gadis itu tidak sadarkan diri—untuk kedua kalinya. Leon berharap agar Senja tidak mengalami amnesia. Lelaki itu mengambil sebuah kotak cigarettes dari saku piyamanya, menghidupkan satu batang dan menghisapnya.Leon telah mengabarkan kejadian ini kepada Xander, dan sahabatnya itu berpesan untuk menyampaikan sesuatu pada Senja, agar gadis itu tidak melakukan hal-hal yang ceroboh dan tidak berguna. Leon menyipitkan matanya saat melihat gerakan
Ananta berdiri di tengah kebun teh yang terlihat bagai permadani hijau membentang tiada ujung, tetapi ia merasa sedang berdiri di tengah Padang gurun. Dari luar, tampilannya tampak rapi—memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Namun dari dalam, hatinya hancur bak sebuah guci yang terpecah beberapa bagian. Fokusnya terganggu oleh rambut Senja yang berkibar tertiup angin musim kemarau, dan berkilau diterpa sinar matahari. Untuk beberapa waktu, mereka berdua hanya berdiri bergeming tanpa suara. Namun, isi kepala mereka dipenuhi dengan pertanyaan dan penjelasan yang tertahan di ujung lidah.Ananta mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat karena gugup. Setelah menormalkan tekanan perasaannya yang naik-turun, sekali lagi ia menatap ke dalam bola mata milik Senja. Tangan Ananta refleks menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga karena sedikit menutupi waja. Gadis itu segera menunduk, kelopak matanya sedikit bergetar."Apa benar kalau ayahmu membatalkan pertunangan kita?" Suara
Eeden menelisik penampilan wanita yang ada di hadapannya. Dari kepala hingga kaki, tanpa melepaskan cengkraman dari rambut Senja, wanita berpempilan anggun itu sangat kontras dengan wanita lainnya, ia berjalan mendekat dan mencoba mengalihkan perhatian."Mijn naam is Sundari, Meneer. Ik ben een zanger dan saya diundang langsung oleh Kolonel Damyon Van Devivere," jelas Sundari."Benarkah hanya penyanyi? Atau kau juga seorang gundik papan atas milik kolonel Devivere?" Eeden berkata seraya menyeringai, melontarkan kalimat ejekan.Sundari masih memasang wajah tenang. Bukan sekali dua kali ia menerima penghinaan seperti itu, apa yang dikatakan Eeden tidak sepenuhnya benar. Tetapi, tidak sepenuhnya salah. Bukan tanpa alasan Sundari melakukan semua ini. Ada alasannya yang tidak bisa ia ungkapkan. Saat tadi ia melihat Senja yang melawan tanpa rasa takut para tentara, Sundari seperti melihat sosok adik perempuannya—Mentari, yang telah hilang sepuluh tahun silam. Sundari mendekatkan bibirnya
Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,
"Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se
Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad
Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t
"Kenapa betah ada di dalam telaga duka kalau kau bisa bahagia, Dara? Kau harus membuka lembaran baru. Aku bisa menjadi penghapus untuk menghilangkan guratan luka di hatimu. Aku bisa menjadi pena untuk menulis kisah bahagiamu. Tapi percuma, kau selalu terlalu lama menutup bukumu hingga berdebu."Kata-kata yang diucapkan Bara bagai embun yang menyejukkan hati Dara yang selama ini kering."Kau harus mulai melangkah. Bebaskan dirimu, kau harusnya bersyukur dengan kehidupan baru yang kau miliki. Di luar sana, banyak orang yang tak seberuntung dirimu."Sekali lagi, apa yang dikatakan Bara adalah kebenaran. Untuk apa terus bersedih dan terpuruk, mengurung diri dalam penjara luka yang tercipta oleh kenangan buruk. Selama tujuh bulan setelah kepergian Xander, Bara acapkali memberikan perhatian lebih untuk gadis cantik itu.Membantu membuka hati dan menata hidupnya kembali.Bara dan Xander bagai panorama yang memiliki keindahannya sendiri. Jika Xander seperti lautan—yang lewat tatapan matanya m
Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m
Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb