Lelaki yang tadi menyapa Xander langsung membawa pria itu menuju sebuah ruangan. Sebelum Xander masuk, ia menarik sudut bibirnya. Ia teringat kemarin, saat ia mendatangi markas yang menjadi wilayah kekuasaan Rutger.
Xander yang ingin bertemu dengan Senja tidak diizinkan untuk melihat gadis itu, ia diminta untuk datang keesokan harinya, tapat hari ini. Xander yang sudah hafal dengan tabiat rekan sejawatnya, mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Dan ternyata semua itu berguna, tepat pada tempatnya. Xander membawa sebuah dokumen penting yang ia selipkan di pinggang—di balik seragam militernya."Kapten Xander, masuklah, maaf karena Anda melihat keributan ini."Rutger mempersilahkan Xander masuk saat pria itu baru membuka pintu. Xander hanya menganggukkan kepalanya, ia berjalan dan memberi hormat kepada lelaki yang notabene menjadi atasannya."Maaf, Kapten Xander, telah terjadi hal yang tidak terduga di tempat ini, soldat bodoh itu melakukan kecerobohan sehingga menyebabkan warga pribumi meninggal dengan cara tragis, kami tidak menyangka kalau gadis itu nekat bunuh diri," ujar Rutger memberikan penjelasan."Anda sengaja memalsukan kematian gadis itu, mayat yang ada di dalam sel bukan Senja, melihat luka bakarnya saja saya bisa tahu kalau luka itu sudah berhari-hari. Anda mungkin bisa menipu orang-orang, tapi tidak dengan saya, Mayor, apa Anda akan menjadikan gadis itu sebagai gundikmu? Atau menjualnya ke luar negeri? Seperti apa yang sudah sering Anda lakukan?"Xander berbicara dengan tenang, tetapi nadanya penuh dengan penekanan, lelaki itu mengabaikan segala formalitas dan hirarkinya sebagai tentara. Rutger terkesiap, keringat dingin menetes dari dahinya yang lebar, ia pun bangkit dari duduknya."Omong kosong! Apa yang kau bicarakan, Kapten? Kau terlalu kurang ajar dan menuduhku macam-macam, aku bisa membuat karirmu hancur!""Saya tidak akan membahas mayat siapa itu sebenarnya, karena kalau saya sudah mencari tahu, saya bisa melaporkan Anda atas kejahatan perang." Xander mengambil dokumen yang ia bawa dan menghempaskan ke hadapan Rutger.Rutger membaca setiap kata dan angka pada kertas salinan yang Xander berikan, wajahnya menjadi pucat pasi seolah tidak ada aliran darah yang mengalir. Ia tidak bisa berkutik lagi."Aku akan membawa tahanan itu, katakan ke mana Anda membawa Senja?!" Xander mencondongkan tubuhnya ke depan, dengan kedua tangan bertumpu di atas meja kerja Rutger.Rutger meremas surat itu dengan kuat."Ke salah satu rumahku yang ada di batas kota selatan, meskipun kamu membawanya, dia adalah tahanan makar! Kemana pun ia pergi, ia akan diburu dan dihukum mati! Aku bisa memberikan solusi, asalkan kau mau memberikan salinan asli dari laporan ini!"Xander menegakkan kembali tubuhnya. "Katakan, Mayor!""Aku memang sengaja menukar Senja dengan gadis bernama Dara yang mengalami luka bakar tiga hari yang lalu. Dengan begitu, orang-orang akan mengira Senja sudah tiada, Senja sudah kujual pada pengusaha yang ada di Amsterdam, dan orang itu mengetahui identitas Senja yang sebenarnya. Satu-satunya jalan adalah membiarkan Senja menjalini kehidupan sebagai Dara, dan kirim dia ke luar negeri, dia tidak akan memiliki tempat di negeri ini, bahkan di lubang semut sekali pun! Gadis itu bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja. Aku tidak tahu motifmu yang sebenarnya? Tapi, jika identitasnya terungkap, bukan aku saja yang akan dalam bahaya, kau juga akan demikian karena telah menyembunyikan tahanan besar. Kita tidak perlu naif, kita sama-sama memiliki kepentingan pribadi atas gadis itu, bukan?"Wajah Xander mengeras sehingga sulur-sulurnya terlihat jelas."Anda tidak perlu mengetahui motif saya, Mayor, cukup jaga rahasia ini dan bungkam orang-orang yang menjadi bawahan Anda! Saya akan membawa laporan aslinya setelah mendapatkan gadis itu!"Xander berlalu dan keluar dari ruangan itu.Rutger meraup wajahnya dengan frustasi, ia tidak menyangka sama sekali kalau orang yang pangkatnya berada di bawahnya, bisa menjadi ancaman besar bagi karir dan kehidupannya.Ia memang telah melakukan kejahatan dengan menjual Senja, tetapi laporan yang dimiliki Xander lebih berbahaya kalau sampai pada atasannya. Rutger membanting semua barang yang ada di meja kerjanya dengan hati dan perasaan yang kalut, sehingga Xander yang jalan belum terlalu jauh, dapat mendengar keributan itu.Saat Xander sampai di tempat parkir, kedua temannya—Leenjte dan Leon sudah menunggu di dalam mobil masing-masing. Untuk mempersingkat waktu, Xander memutuskan pergi bersama Leenjte guna menemui seseorang yang bisa diandalkan, sedangkan Leon bertugas untuk menjemput Senja di kediaman Rutger yang ada di batas kota selatan.Xander diberkati dengan pemikiran yang cerdas dan kritis sehingga dapat memikirkan cara dengan cepat. Saat mereka melewati garis demarkasi yang dijaga oleh beberapa tentara, kedua mobil itu terpisah dan mengambil jalan masing-masing.Xander dan Leenjte bertolak ke kota Batavia. Dalam perjalan, mereka mampir terlebih dahulu ke rumah pribadi Xander untuk mengambil sesuatu yang bernilai mahal dan dapat berguna. Meskipun memakan waktu yang cukup lama, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.Leenjte segera memarkirkan mobilnya di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Setelah itu mereka berjalan dengan tegap melewati koridor panjang dengan pilar-pilar yang tinggi menjulang. Beberapa kali mereka harus memberi hormat saat bertemu dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi, atau sekedar menganggukkan kepala saat bawahannya menyapa.Sampai mereka akhirnya berada di depan sebuah ruangan—tertera nama Kolonel Paul Lieberman pada pintu yang berwarna cokelat manggis.Leentje mengetuk pintu itu dan terdengar seruan dari dalam."Kom binnen."Kedua lelaki itu tanpa membuang waktu langsung masuk ke dalam dan memberi hormat pada atasan mereka yang tak lain paman dari Leentje."Duduklah kalian berdua," perintah Paul.Leentje dan Xander duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Paul."Kau jarang sekali menemui paman belakangan ini, Leentje. Katakan, apa kalian memerlukan sesuatu?" tanya Paul.Leentje memberi isyarat pada Xander untuk meletakkan hadiah-hadiah yang mereka bawa ke atas meja kerja."Aku kemari memang sengeja ingin mengunjungi, Paman. Dan menyampaikan hadiah dari Xander.""Hadiah? Dalam rangka apa?" tanya Paul keheranan, ia menatap lekat kedua pemuda itu guna meminta penjelasan."Benar, Kolonel. Saya ingin meminta sedikit bantuan," jawab Xander dengan suaranya yang berat."Bantuan apa yang kau butuhkan, Xan, apakah masalah besar?"Paul menaruh kedua lengannya pada tumpuan kursi yang sedang ia duduki.Xander membuka sebuah kotak yang berisi dua botol wine mahal dengan kualitas terbaik dari perkebunan pribadi keluarganya, dan kotak lain berisi beberapa keping logam emas, membuat Paul menatap Xander dengan binar bahagia."Saya menginginkan seorang tahanan wanita inlander yang ada di camp mayor Rutger untuk menemani perjalanan saya ke suatu negara, gadis itu bernama Dara. Apa, Kolonel, bisa sedikit membantu saya?"Paul berdiri dari duduknya, berjalan ke arah jendela yang sedikit terbuka. Dari ruangannya yang ada di lantai dua, Paul bisa melihat kendaraan yang hilir mudik di jalanan Batavia."Mengapa begitu tiba-tiba? Ini akan sulit, apakah tahanan itu sudah mendapat keputusan dari Politierol?""Itulah alasan kami berdua datang kepada, Kolonel, kami sangat percaya kepada Anda. Dia adalah dwangarbeid dan hukumannya kurang dari satu tahun lagi, Anda cukup memberikan sebuah surat resmi untuk mengirim gadis itu sebagai hechtenis.""Ke negara mana kamu akan pergi bersama gadis itu, Xan, apa ke salah satu kota yang ada di Netherland?" tanya Kolonel Paul.Xander tersenyum seraya memutar globe—peta dunia berbentuk seperti bola yang ada di hadapannya."Bukan, Kolonel, aku akan membawa gadis itu ke sebuah tempat yang memiliki iklim yang sama dengan negara ini. Tentunya kita tidak bisa mengirim warga pribumi dengan identitas sembarangan, apalagi seorang tahanan ke negara kita, Kolonel, tapi tempat yang menjadi tujuanku itu, banyak budak dan buruh pribumi yang tinggal di sana."Paul mengernyitkan dahi dan memijit pangkal hidungnya, memikirkan ke mana Xander dan gadis yang dibicarakannya akan pergi. Ia membalikkan badan menghadap jendela, merasakan hembusan angin yang membawa kesejukan pada siang yang panas ini, menatap langit biru yang cerah dengan gumpalan awan yang berarak beriringan bagai permen kapas putih bersih. Langit yang sama dengan tempat Senja kini berada.***Menjelang tengah hari itu, tubuh Senja terikat tali tambang dengan simpul yang cukup kuat, mulutnya dibekap dengan kain putih, sehingga saat gadis itu mencoba untuk berbicara—yang keluar dari bibir indahnya hanyalah erangan yang nyaris tidak terdengar.Ia diangkut oleh kereta kuda agar tidak dicurigai, menghindari pos penjagaan yang akan memeriksa setiap kendaraan dinas yang melintas. kereta yang membawanya melaju lamban—tersentak, berderak, dan tersandung di perjalanan yang menjemukan.Di dalam kereta, setelah beberapa kali usaha, jari-jari Senja mencengkram pada sebuah tali kulit—menjaga agar tubuhnya tidak bertubrukan dengan dinding kayu setiap kali keretanya beguncang keras. Tiba-tiba saja, terdengar suara Gerungan mobil yang mendekat dan memotong jalan, membuat kuda meringkik karena panik dan tidak bisa dikendalikan oleh kusir.Kereta itu hilang keseimbangan dan jatuh terbalik, membuat Senja ikut terpental ke pojokan, darah mengalir dari pelipisnya yang sedikit sobek karena tergores sesuatu yang tajam, di akhir kesadarannya.Ia menangkap sosok pria berperawakan seperti orang Belanda membuka pintu kereta, berkali-kali Senja mengerjapkan kedua matanya, sampai semua yang dilihatnya menjadi gelap, dan gadis itu tidak sadarkan diri.Dari sekian banyak wajah yang ada dalam mimpi Senja, wajah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan muncul dalam alam bawah sadarnya. Ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu saat bertemu dengan Senja terlihat puas dan bahagia. Gadis itu sama sekali tidak menyukainya, lelaki itu datang bersama Rutger tepat saat Senja ingin meraih batang lilin di dekat pintu sel. Ia yang saat itu sedang tidak fokus dan dalam suasana hati yang kacau, tidak menyadari kedatangan dua orang yang sangat ia benci sampai ke urat nadinya. Rutger mencengkram pergelangan tangan Senja dan membuang lilin sejauh yang ia bisa, rencana untuk bunuh diri pun kandas.Si lelaki tertawa melihat Senja yang menderita—padahal, dulu ia sangat mendambakan gadis itu untuk menjadi bagian dari keluarganya. Meskipun sudah menduga, Senja masih saja merasa sakit di bagian jantungnya, bagai ada sebuah pedang yang menghujam dan menembus berkali-kali. Gadis itu sampai tidak bisa menangis lagi karena terlalu kecewa dan marah. "Kamu pas
"Ik mis je echt, Xera." Lengan kekar Xander melingkari pinggang ramping Xera—saudari satu ayah beda ibu. "Ik mis jou ook, Kakak." Xera membalas pelukan kakaknya dengan kaki yang berjinjit. "Apa yang, Kakak, bawa?" Ia memandang dengan mata yang berbinar pada kotak berwarna merah muda yang Xander bawa, berharap kakak pertamanya yang sangat tampan ini, membawakan ia hadiah seperti biasanya."Dit is een cadeau voor jou, van Leon." Xander menyerahkan kotak itu pada Xera. Namun, adiknya memasang wajah cemberut yang cendrung menggemaskan di matanya. "Ada apa, hmm?" "Aku kira hadiah ini dari, Kakak, belakang ini kau jarang membawakan aku sesuatu." Xera mengeluh, tetapi ia tetap menerima hadiah yang diserahkan kepadanya."Maaf, Liev, belakang ini aku senang banyak pekerjaan, lain kali aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan." "Benarkah? Dank je, Broer." Xera menggelayut manja di tangan Xander. Bahkan, gadis berparas cantik nan ceria itu mengerlingkan matanya beberapa kali, membuat
Leon memijit pelipisnya yang terasa pusing, kali ini sahabatnya—Xander, telah memberikan tugas yang sulit. Membawa tahanan ke rumahnya, dan sekarang gadis itu baru saja berulah dengan rencana ingin melarikan diri. Leon bersandar pada tembok berkapur putih bersih, memandangi Senja yang tidk sadarkan diri dan kini berbaring di atas kasur, rambut panjangnya terurai di bantal.Beruntung kain yang membebat tubuh ramping Senja terikat kuat, sehingga Leon berhasil menarik gadis itu kembali. Namun, kepala Senja cukup keras membentur dinding batu, sehingga gadis itu tidak sadarkan diri—untuk kedua kalinya. Leon berharap agar Senja tidak mengalami amnesia. Lelaki itu mengambil sebuah kotak cigarettes dari saku piyamanya, menghidupkan satu batang dan menghisapnya.Leon telah mengabarkan kejadian ini kepada Xander, dan sahabatnya itu berpesan untuk menyampaikan sesuatu pada Senja, agar gadis itu tidak melakukan hal-hal yang ceroboh dan tidak berguna. Leon menyipitkan matanya saat melihat gerakan
Ananta berdiri di tengah kebun teh yang terlihat bagai permadani hijau membentang tiada ujung, tetapi ia merasa sedang berdiri di tengah Padang gurun. Dari luar, tampilannya tampak rapi—memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Namun dari dalam, hatinya hancur bak sebuah guci yang terpecah beberapa bagian. Fokusnya terganggu oleh rambut Senja yang berkibar tertiup angin musim kemarau, dan berkilau diterpa sinar matahari. Untuk beberapa waktu, mereka berdua hanya berdiri bergeming tanpa suara. Namun, isi kepala mereka dipenuhi dengan pertanyaan dan penjelasan yang tertahan di ujung lidah.Ananta mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat karena gugup. Setelah menormalkan tekanan perasaannya yang naik-turun, sekali lagi ia menatap ke dalam bola mata milik Senja. Tangan Ananta refleks menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga karena sedikit menutupi waja. Gadis itu segera menunduk, kelopak matanya sedikit bergetar."Apa benar kalau ayahmu membatalkan pertunangan kita?" Suara
Eeden menelisik penampilan wanita yang ada di hadapannya. Dari kepala hingga kaki, tanpa melepaskan cengkraman dari rambut Senja, wanita berpempilan anggun itu sangat kontras dengan wanita lainnya, ia berjalan mendekat dan mencoba mengalihkan perhatian."Mijn naam is Sundari, Meneer. Ik ben een zanger dan saya diundang langsung oleh Kolonel Damyon Van Devivere," jelas Sundari."Benarkah hanya penyanyi? Atau kau juga seorang gundik papan atas milik kolonel Devivere?" Eeden berkata seraya menyeringai, melontarkan kalimat ejekan.Sundari masih memasang wajah tenang. Bukan sekali dua kali ia menerima penghinaan seperti itu, apa yang dikatakan Eeden tidak sepenuhnya benar. Tetapi, tidak sepenuhnya salah. Bukan tanpa alasan Sundari melakukan semua ini. Ada alasannya yang tidak bisa ia ungkapkan. Saat tadi ia melihat Senja yang melawan tanpa rasa takut para tentara, Sundari seperti melihat sosok adik perempuannya—Mentari, yang telah hilang sepuluh tahun silam. Sundari mendekatkan bibirnya
Tidak langsung menjawab, Xander memaksa Senja untuk mengikuti langkahnya. Sampai tiba di sebuah ruangan yang paling ujung, Xander membuka pintunya dan melemparkan Senja ke atas kasur."Kau ingin menjadi pahlawan? Harusnya kau urus saja dirimu sendiri, jangan campuri urusan orang lain!" bentak Xander."Seharusnya itu yang kau lakukan, Tuan. Aku tidak mengenalmu, tapi kau tiba-tiba menyeret dan mengatakan hal-hal yang tidak aku pahami!""Kalau bukan karena kepedulian nyai Asna, mungkin kau saat ini sudah mati atau menjadi tawanan mayor Rutger! Bahkan sudah dijual ke pria hidung belang!""Ba–bagaimana kau bisa tahu?""Karena aku yang merencanakan semua ini! aku yang membebaskanmu, dan aku yang mengirimmu kemari!"Senja mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Xander, dan satu hal yang ia sadari, kalau ini bukan rencana nyai Asna, seperti apa yang dikatakan oleh Leon. Senja berdiri tegap di depan Xander, ia menatap Netra biru keabu-abuan Xander."Jadi ini semua bukan rencana nyai? Kau
Xander menoleh pada suara yang menyapanya, kemudian ia mendapati seorang pria yang diperkirakan berusia lima puluhan, mengenangkan seragam Koninklijke Marine berwarna putih. Pada bagian lengan terdapat empat garis stripe, juga sebilah pedang tersemat di sisi pinggangnya. Xander menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang nakhoda."Anda terlalu sungkan, Kapten. Xander ... Anda dapat memanggilku dengan nama itu," jawab Xander.Sang nakhoda terkekeh dan mengeluarkan sebatang cigarette dari kotaknya yang terbuat dari kaleng segi empat, mengambil satu batang—menghidupkannya, lalu menawarkan pada Xander. "Pindah tugas juga?""Saya akan di tempatkan di pabrik gula Marienburg selama beberapa bulan. setelah itu akan ke Netherland.""Keluargamu cukup terkenal Groningen, Xan. Apakah kau akan berkunjung ke sana?" tanya nahkoda."Tidak, Kapten. Saya akan ke Deen Haag untuk menjalankan beberapa formalitas." Xander mengambil satu batang dan ikut menyalakan cigarettenya."Aa, begitu rup
Seorang gadis yang lebih muda dari Dara datang dan menghampiri, ia mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Diah, terima kasih karena telah membantuku, dan maaf karena sudah membuat, Mbak, susah. Aku berhutang budi pada, Mbak."Dara menatap gadis yang ada di sampingnya, mencoba mengingat. Saat ia mendapat ingatannya, ia tersenyum tipis dan menerima jabatan tangan gadis itu. "Senj–" Dara menghentikan kalimat yang akan dia ucapkan.Dara menghela nafas. "Dara, namaku Dara. Tidak usah sungkan, mungkin kemarin hari sialku." Saat menyebutkan nama lain yang bukan namanya, ada rasa sakit dan perasaan tidak nyaman dalam hatinya."Tidak ... tidak, kemarin itu, Mbak, telah menolongku dengan sangat berani.""Sudah kubilang, kemarin adalah hari sialku," jawab Dara malas. Ia terlalu lelah untuk mengingat dan membahas peristiwa kemarin."Ahh, ngomong-ngomong tentang nasib sial. Kita semua yang terkurung dan terombang-ambing selama enam puluh hari belakangan ini semuanya bernasib sial, Nona–" Seorang le
Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,
"Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se
Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad
Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t
"Kenapa betah ada di dalam telaga duka kalau kau bisa bahagia, Dara? Kau harus membuka lembaran baru. Aku bisa menjadi penghapus untuk menghilangkan guratan luka di hatimu. Aku bisa menjadi pena untuk menulis kisah bahagiamu. Tapi percuma, kau selalu terlalu lama menutup bukumu hingga berdebu."Kata-kata yang diucapkan Bara bagai embun yang menyejukkan hati Dara yang selama ini kering."Kau harus mulai melangkah. Bebaskan dirimu, kau harusnya bersyukur dengan kehidupan baru yang kau miliki. Di luar sana, banyak orang yang tak seberuntung dirimu."Sekali lagi, apa yang dikatakan Bara adalah kebenaran. Untuk apa terus bersedih dan terpuruk, mengurung diri dalam penjara luka yang tercipta oleh kenangan buruk. Selama tujuh bulan setelah kepergian Xander, Bara acapkali memberikan perhatian lebih untuk gadis cantik itu.Membantu membuka hati dan menata hidupnya kembali.Bara dan Xander bagai panorama yang memiliki keindahannya sendiri. Jika Xander seperti lautan—yang lewat tatapan matanya m
Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m
Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb