Beranda / Romansa / Gadis yang Tertawan / Gadis yang Tertawan bab 3

Share

Gadis yang Tertawan bab 3

Penulis: Mariposa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ada sesuatu kenyataan luar biasa yang patut direnungkan, yakni bahwa setiap manusia ialah rahasia dan misteri besar bagi sesamanya. Setidaknya itulah yang dipikirkan Senja, gadis itu terkantuk-kantuk, tetapi otaknya dipenuhi dengan kepingan praduga yang berusaha ia susun.

Sampai detik ini, Senja masih mencari tahu kenapa ia bisa berada di tempat terkutuk ini. Dalam kungkungan orang-orang berkulit pucat yang sama sekali tidak ia kenal, dan siapa orang yang sudah melakukan ini semua pada keluarganya.

Sekali lagi, Senja dipindah ke tempat yang baru, meski demikian, kenyataannya tidak berubah sama sekali, ia tetap berada di dalam sel penjara. Namun, penghuninya hanya tiga orang wanita muda, termasuk dirinya.

Senja memperhatikan dengan seksama, sel ini memiliki satu buah jendela kecil, lengkap dengan teralis dan hampir menyentuh atap, dua buah lilin yang berpendar lemah—di sisi kanan dan kiri dekat pintu sel, dan didapatinya kalau ruangan ini begitu kuat, kukuh, aman, dan sunyi. Pikiran untuk melarikan diri pun seketika lenyap.

Bayang-bayang yang terpantul dari cahaya lilin terlihat mengerikan bagi Senja, sekaan berbentuk beraneka wujud akibat pikiran dan ketakutannya sendiri. Setidaknya ini sedikit lebih baik.

Melalui jendela kecil itu, kini ia bisa tahu kapan matahari tenggelam digulung malam, dan kapan matahari terbit untuk membawa cerita baru. Namun, angin malam yang masuk melalui celah sempit itu, membuat badannya menggigil karena kedinginan.

"Siapa namamu?"

Senja menengok, gadis yang bertanya padanya memiliki wajah lembut dan terlihat lebih dewasa.

"Namaku Senja, Mbak."

"Aku Arini dan dia adalah Tumina."

Senja memperhatikan satu lagi gadis yang dikenalkan Arini—Tumina lebih muda dari mereka berdua, dan matanya menyorotkan sikap kekanak-kanakan yang alami. Senja tersenyum pada gadis itu.

"Aku Senja."

Kedua gadis itu kini masing-masing mengambil tempat di sisi kiri dan kanannya. Arini menyandarkan kepalanya ke dinding sel dan meyelonjorkan kakinya.

"Aku sudah berada di sel ini lebih dari tiga bulan lebih, ya, begitulah kurasa."

"Mba Senja, apa baru dipindah ke tempat ini?" tanya Tumina, ia duduk dengan menekuk lututnya seperti Senja.

"Ya, aku baru empat hari, tetapi sebelumnya aku ditempatkan di penjara bawah tanah," jawab Senja.

"Tidak heran kalau, Mbak, dipindahkan ke sel ini," ujar Tumina seraya tersenyum lembut.

"Maksudnya?" Senja memiringkan kepalanya karena merasa penasaran dan tidak mengerti ucapan gadis ini.

"Wajahmu itu terlalu mencolok, Senja. Aku, Tumina, dan kamu sendiri, kita adalah tahanan yang sudah ditandai. Cepat atau lambat, kita akan menjadi peliharaan dia. Entah bagaimanapun caranya." Arini mengendikkan bahunya seraya tersenyum getir.

Senja terkesiap mendengarkan jawaban Arini, peliharaan? Oleh dia, dia siapa? Apakah jadi peliharaan lebih baik dari menjadi tahanan? Tidak! Senja membenci gagasan itu. Saat gadis itu hendak membuka mulutnya untuk bertanya, terdengar suara tapak kaki yang berjalan mendekat, diiringi suara gemerincing seperti ikatan uang logam yang sering ayahnya berikan dulu.

Satu sosok lelaki berseragam tentara dengan pangkat soldat datang membawa satu baki makanan. Senja melirik, di baki itu terdapat satu buah tempat makan dari kaleng yang memiliki beberapa sekat, dan diisi oleh satu porsi bubur encer, satu per empat potong telur, dan setumpuk sayuran yang sudah tidak segar—lebih layak diberikan untuk pakan ternak.

Tentara tadi mengeluarkan seikat kunci dan memilih yang pas, ia membuka sel dan memberikan kotak makan itu pada Senja dengan berjongkok.

"Ini makananmu, makanlah! Habiskan dan jangan ada yang tersisa, Mayor sedang berbaik hati, ia memberikanmu telur."

Ia berdiri berkacak pinggang, dan setelah memperhatikan Senja serta kedua gadis lainnya, ia menjadi bernafsu.

Senja hanya bergeming, tidak melakukan gerakan atau satu patah kata pun, melihat itu, Tumina berinisiatif untuk membawakan kotak makan pada Senja.

"Ini, Mbak, makanlah, kau butuh tenaga meskipun untuk sekedar berpikir."

"Terima kasih, Meneer," ucap Arini mewakili Senja.

"Kalian berdua ikut denganku sekarang."

Tentara itu meraih lengan Arini dan Tumina untuk berdiri, kemudian membawanya keluar dan mengunci pintunya kembali.

"Mau kalian bawa ke mana mereka?" tanya Senja, ia bangkit dari duduknya dan berdiri memegangi jeruji besi.

"Tidak perlu khawatir, Senja. Kami akan baik-baik saja dan segera kembali." Arini tersenyum. Namun, matanya menyimpan kesedihan dan keengganan.

"Kau belum tahu, Nona? kedua gadis ini akan bertugas menghibur kami semua," ucap tentara itu.

"Menghibur?" tanya Senja, meskipun ia dapat menebak apa maksudnya, ia tetap menolak pikiran itu.

"Mereka akan memuaskan kebutuhan kami, kebutuhan laki-laki, mereka akan memanjakan kami dengan tubunya."

Si tentara kini mengambil sejumput rambut Tumina yang terurai dan menciuminya dengan kurang ajar. Gadis itu terlihat ketakutan meski ini bukan pertama kalinya, kini Senja bisa membayangkan kalau ia berada di posisi seperti itu.

"Tidak! Kalian brengsek! Bajingan busuk, rendahan, lebih baik berikan hati kalian pada anjing yang lapar!"

Senja berteriak memaki, suaranya menggema di sepanjang lorong penjara. Tentara itu menyeringai mendengarkan perkataan Senja.

"Tidak perlu sesenang itu, Nona, nanti malam giliranmu."

"Tidak! Mulutmu busuk, lebih baik aku mati daripada harus menyerahkan tubuhku pada kalian!"

Si tentara tertawa terbahak-bahak, kemudian ia melepaskan botol minuman berbentuk persegi dan pipih yang tergantung di sabuknya, di dalamnya berisi minuman keras yang mengandung alkohol.

"Kau akan lebih berguna bagi kami kalau kau tetap hidup, jangan sia-siakan wajah cantikmu itu, Nona. Ini ambilah, hadiah dariku."

Ia melempar ke arah Senja dan botol itu mendarat di lantai, kemudian ketiganya berlalu begitu saja. Saat ia sudah keluar dari ruang tahanan, ia menyerahkan Arini dan Tumina pada temannya yang lain, sedangkan dirinya melangkahkan kaki menuju ruang lain yang terlihat seperti kantor.

Ketika ia menemukan orang yang dicari, tentara itu memberikan sebuah kode berupa anggukan, mengisyaratkan kalau rencananya berhasil.

Senja meraih botol minum berukuran cukup besar yang dilemparkan tentara tadi, ia membuka dan mencium aromanya. Ini bahan bakar, bukan alkohol yang tentara tadi katakan. Apakah ini memang jalan untuknya? Jalan keluar untuk setiap luka dan permasalahannya? Melalui kematian? Atau merusak wajahnya sendiri?

Senja terkulai lemas, hatinya terasa sakit, ia bukan hanya merasa lelah secara fisik, tetapi juga secara batin. Pikirannya berkecamuk, mempertanyakan keadaan ayah dan ibunya yang tertembak, serta kedua kakaknya.

Senja mengharapkan ada keajaiban yang datang padanya. Namun, melihat lagi kondisi dan situasi ia dan para tahanan, membuat hatinya menciut takut. Ia berharap akan bertemu dengan keluarganya lagi, tapi entah kapan?

Senja sendiri tidak tahu. Ancaman Rutger yang ingin menjadikan ia sebagai miliknya, dan perkataan tentara tadi—bahwa sebentar lagi ia akan mengalami nasib yang sama dengan Arini dan Tumina, membuat ia bergejolak. Senja tidak ingin menyerahkan tubuhnya satu jengkal pun untuk mereka. Maka, dengan perasaan sesak, gadis itu membaluri badannya dengan bahan bakar, diraihnya lilin yang melekat pada tempatnya.

Keesokan paginya, saat Arini dan Tumina berjalan kembali ke selnya, dengan kondisi tubuh mereka yang terlihat dan acak-acakan—kancing kebaya bagian atas yang terlepas, beberapa luka lebam di wajah, dan mata yang begitu sayu.

Kedua wanita itu mencium bau hangus, seperti bau daging yang terbakar, sangat tajam dan membuat mual. Pikiran mereka tertuju pada Senja, berharap gadis itu baik-baik saja. Saat semakin mendekati sel mereka, dari ujung mata Arini dan Tumina dapat melihat seonggok mayat, hangus dan tidak dapat dikenali seandainya mereka tidak berkenalan sebelumnya, serta sisa jelaga yang menempel di lantai.

"Senjaaaaaaa!" Arini memekik dan berteriak. Lututnya bergetar karena merasa ngeri, akhirnya ia terjatuh lemas.

"Tidak mungkin, ke–kenapa bisa seperti ini?"

Tumina menangis sesenggukan. Ia tidak mengira keinginan mati Senja akhirnya menjadi kenyataan.

"Verdomme!" umpat tentara Belanda yang terlihat masih muda, ia segera berlari memanggil teman-temannya.

Arini dan Tumina berpelukan, mereka sangat terkejut dengan kejadian memilukan ini, belum genap 24 jam mereka berkenalan, Senja sudah meregang nyawa. Arini yang lebih dewasa berjalan mendekat ke mayat Senja.

"Ini pakaiannya, Mina, kamu ingat? Ini adalah baju yang Senja kenakan," ucapnya dengan pasti.

Tumina dengan keberanian yang dipaksakan, melihat apa yang ditunjukkan oleh Arini.

"Benar, Mbak, jadi mayat ini benar Senja?"

Sekelompok tentara mendekat. Di antara mereka, ada satu orang yang mencolok dan belum pernah Arini atau Tumina lihat selama berada di tempat itu. Kulit wajahnya putih bersih, Alisnya terlihat lebat, bulu matanya mencolok karena berwarna gelap, tulang pipinya menonjol dan dagunya runcing.

Mulutnya tampak keras—karena bibir atas lebih kecil dari bibir bawah yang penuh agak cemberut. Di dahi– tegak lurus dengan alis, tepat di atas hidung yang mancung sempurna—ada bekas luka yang sudah samar. Yang paling menarik adalah bola netranya yang berwarna biru keabu-abuan.

Lelaki itu memperlihatkan dengan seksama kondisi mayat Senja. Ia menelisik tanpa rasa ngeri sama sekali.

"Ini bukan gadis itu!" ucapnya mantap, semua orang yang berada di sana merasa terkejut.

"Luka ini tidak terlihat baru untuk orang yang meninggal dengan cara terbakar." Pria itu berdiri dan menatap Arini dalam-dalam. "Kau satu sel dengannya?"

"Ya, Meneer. Dia bernama Senja, dan baru datang ke sel ini kurang dari 24 jam," jawab Arini.

"Kelihatannya kau baru kembali dari suatu tempat?" tanya pria itu.

Arini dan Tumina mengangguk.

"Artinya semalam kalian tidak di sini, bersama gadis ini?"

"Benar, Meneer, kami baru saja kembali, dan mendapati Senja sudah terbakar seperti itu," jawab Arini dengan berderai air mata.

"Baiklah."

Pria itu berbalik dan menatap tajam pada tentara-tentara yang berkumpul untuk menyaksikan. Wajahnya menjadi dingin, dan rahangnya mengeras, ia berjalan ke arah mereka, menunjukkan roman mukanya yang kaku dan serius dalam bekerja.

"Jadi, kalian sengaja mengulur waktuku untuk menemui gadis ini? Agar bisa merencanakan semua ini?"

Mereka semua bungkam, menunduk dengan perasaan sedikit takut, sorot matanya yang cemerlang seakan seperti menelanjangi mereka dengan tatapan tajamnya. Hening, sampai seorang tentara masuk dan memecah suasana yang canggung.

"Kapten Xander, Anda sudah datang?"

Bab terkait

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 4

    Lelaki yang tadi menyapa Xander langsung membawa pria itu menuju sebuah ruangan. Sebelum Xander masuk, ia menarik sudut bibirnya. Ia teringat kemarin, saat ia mendatangi markas yang menjadi wilayah kekuasaan Rutger. Xander yang ingin bertemu dengan Senja tidak diizinkan untuk melihat gadis itu, ia diminta untuk datang keesokan harinya, tapat hari ini. Xander yang sudah hafal dengan tabiat rekan sejawatnya, mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Dan ternyata semua itu berguna, tepat pada tempatnya. Xander membawa sebuah dokumen penting yang ia selipkan di pinggang—di balik seragam militernya."Kapten Xander, masuklah, maaf karena Anda melihat keributan ini." Rutger mempersilahkan Xander masuk saat pria itu baru membuka pintu. Xander hanya menganggukkan kepalanya, ia berjalan dan memberi hormat kepada lelaki yang notabene menjadi atasannya. "Maaf, Kapten Xander, telah terjadi hal yang tidak terduga di tempat ini, soldat bodoh itu melakukan kecerobohan sehingga menyebabkan warga

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 5

    Dari sekian banyak wajah yang ada dalam mimpi Senja, wajah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan muncul dalam alam bawah sadarnya. Ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu saat bertemu dengan Senja terlihat puas dan bahagia. Gadis itu sama sekali tidak menyukainya, lelaki itu datang bersama Rutger tepat saat Senja ingin meraih batang lilin di dekat pintu sel. Ia yang saat itu sedang tidak fokus dan dalam suasana hati yang kacau, tidak menyadari kedatangan dua orang yang sangat ia benci sampai ke urat nadinya. Rutger mencengkram pergelangan tangan Senja dan membuang lilin sejauh yang ia bisa, rencana untuk bunuh diri pun kandas.Si lelaki tertawa melihat Senja yang menderita—padahal, dulu ia sangat mendambakan gadis itu untuk menjadi bagian dari keluarganya. Meskipun sudah menduga, Senja masih saja merasa sakit di bagian jantungnya, bagai ada sebuah pedang yang menghujam dan menembus berkali-kali. Gadis itu sampai tidak bisa menangis lagi karena terlalu kecewa dan marah. "Kamu pas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 6

    "Ik mis je echt, Xera." Lengan kekar Xander melingkari pinggang ramping Xera—saudari satu ayah beda ibu. "Ik mis jou ook, Kakak." Xera membalas pelukan kakaknya dengan kaki yang berjinjit. "Apa yang, Kakak, bawa?" Ia memandang dengan mata yang berbinar pada kotak berwarna merah muda yang Xander bawa, berharap kakak pertamanya yang sangat tampan ini, membawakan ia hadiah seperti biasanya."Dit is een cadeau voor jou, van Leon." Xander menyerahkan kotak itu pada Xera. Namun, adiknya memasang wajah cemberut yang cendrung menggemaskan di matanya. "Ada apa, hmm?" "Aku kira hadiah ini dari, Kakak, belakang ini kau jarang membawakan aku sesuatu." Xera mengeluh, tetapi ia tetap menerima hadiah yang diserahkan kepadanya."Maaf, Liev, belakang ini aku senang banyak pekerjaan, lain kali aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan." "Benarkah? Dank je, Broer." Xera menggelayut manja di tangan Xander. Bahkan, gadis berparas cantik nan ceria itu mengerlingkan matanya beberapa kali, membuat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 7

    Leon memijit pelipisnya yang terasa pusing, kali ini sahabatnya—Xander, telah memberikan tugas yang sulit. Membawa tahanan ke rumahnya, dan sekarang gadis itu baru saja berulah dengan rencana ingin melarikan diri. Leon bersandar pada tembok berkapur putih bersih, memandangi Senja yang tidk sadarkan diri dan kini berbaring di atas kasur, rambut panjangnya terurai di bantal.Beruntung kain yang membebat tubuh ramping Senja terikat kuat, sehingga Leon berhasil menarik gadis itu kembali. Namun, kepala Senja cukup keras membentur dinding batu, sehingga gadis itu tidak sadarkan diri—untuk kedua kalinya. Leon berharap agar Senja tidak mengalami amnesia. Lelaki itu mengambil sebuah kotak cigarettes dari saku piyamanya, menghidupkan satu batang dan menghisapnya.Leon telah mengabarkan kejadian ini kepada Xander, dan sahabatnya itu berpesan untuk menyampaikan sesuatu pada Senja, agar gadis itu tidak melakukan hal-hal yang ceroboh dan tidak berguna. Leon menyipitkan matanya saat melihat gerakan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 8

    Ananta berdiri di tengah kebun teh yang terlihat bagai permadani hijau membentang tiada ujung, tetapi ia merasa sedang berdiri di tengah Padang gurun. Dari luar, tampilannya tampak rapi—memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Namun dari dalam, hatinya hancur bak sebuah guci yang terpecah beberapa bagian. Fokusnya terganggu oleh rambut Senja yang berkibar tertiup angin musim kemarau, dan berkilau diterpa sinar matahari. Untuk beberapa waktu, mereka berdua hanya berdiri bergeming tanpa suara. Namun, isi kepala mereka dipenuhi dengan pertanyaan dan penjelasan yang tertahan di ujung lidah.Ananta mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat karena gugup. Setelah menormalkan tekanan perasaannya yang naik-turun, sekali lagi ia menatap ke dalam bola mata milik Senja. Tangan Ananta refleks menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga karena sedikit menutupi waja. Gadis itu segera menunduk, kelopak matanya sedikit bergetar."Apa benar kalau ayahmu membatalkan pertunangan kita?" Suara

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 9

    Eeden menelisik penampilan wanita yang ada di hadapannya. Dari kepala hingga kaki, tanpa melepaskan cengkraman dari rambut Senja, wanita berpempilan anggun itu sangat kontras dengan wanita lainnya, ia berjalan mendekat dan mencoba mengalihkan perhatian."Mijn naam is Sundari, Meneer. Ik ben een zanger dan saya diundang langsung oleh Kolonel Damyon Van Devivere," jelas Sundari."Benarkah hanya penyanyi? Atau kau juga seorang gundik papan atas milik kolonel Devivere?" Eeden berkata seraya menyeringai, melontarkan kalimat ejekan.Sundari masih memasang wajah tenang. Bukan sekali dua kali ia menerima penghinaan seperti itu, apa yang dikatakan Eeden tidak sepenuhnya benar. Tetapi, tidak sepenuhnya salah. Bukan tanpa alasan Sundari melakukan semua ini. Ada alasannya yang tidak bisa ia ungkapkan. Saat tadi ia melihat Senja yang melawan tanpa rasa takut para tentara, Sundari seperti melihat sosok adik perempuannya—Mentari, yang telah hilang sepuluh tahun silam. Sundari mendekatkan bibirnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 10

    Tidak langsung menjawab, Xander memaksa Senja untuk mengikuti langkahnya. Sampai tiba di sebuah ruangan yang paling ujung, Xander membuka pintunya dan melemparkan Senja ke atas kasur."Kau ingin menjadi pahlawan? Harusnya kau urus saja dirimu sendiri, jangan campuri urusan orang lain!" bentak Xander."Seharusnya itu yang kau lakukan, Tuan. Aku tidak mengenalmu, tapi kau tiba-tiba menyeret dan mengatakan hal-hal yang tidak aku pahami!""Kalau bukan karena kepedulian nyai Asna, mungkin kau saat ini sudah mati atau menjadi tawanan mayor Rutger! Bahkan sudah dijual ke pria hidung belang!""Ba–bagaimana kau bisa tahu?""Karena aku yang merencanakan semua ini! aku yang membebaskanmu, dan aku yang mengirimmu kemari!"Senja mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Xander, dan satu hal yang ia sadari, kalau ini bukan rencana nyai Asna, seperti apa yang dikatakan oleh Leon. Senja berdiri tegap di depan Xander, ia menatap Netra biru keabu-abuan Xander."Jadi ini semua bukan rencana nyai? Kau

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 11

    Xander menoleh pada suara yang menyapanya, kemudian ia mendapati seorang pria yang diperkirakan berusia lima puluhan, mengenangkan seragam Koninklijke Marine berwarna putih. Pada bagian lengan terdapat empat garis stripe, juga sebilah pedang tersemat di sisi pinggangnya. Xander menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang nakhoda."Anda terlalu sungkan, Kapten. Xander ... Anda dapat memanggilku dengan nama itu," jawab Xander.Sang nakhoda terkekeh dan mengeluarkan sebatang cigarette dari kotaknya yang terbuat dari kaleng segi empat, mengambil satu batang—menghidupkannya, lalu menawarkan pada Xander. "Pindah tugas juga?""Saya akan di tempatkan di pabrik gula Marienburg selama beberapa bulan. setelah itu akan ke Netherland.""Keluargamu cukup terkenal Groningen, Xan. Apakah kau akan berkunjung ke sana?" tanya nahkoda."Tidak, Kapten. Saya akan ke Deen Haag untuk menjalankan beberapa formalitas." Xander mengambil satu batang dan ikut menyalakan cigarettenya."Aa, begitu rup

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 80

    Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 79

    "Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 78

    Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 77

    Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 76

    POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 75

    "Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 74

    "Kenapa betah ada di dalam telaga duka kalau kau bisa bahagia, Dara? Kau harus membuka lembaran baru. Aku bisa menjadi penghapus untuk menghilangkan guratan luka di hatimu. Aku bisa menjadi pena untuk menulis kisah bahagiamu. Tapi percuma, kau selalu terlalu lama menutup bukumu hingga berdebu."Kata-kata yang diucapkan Bara bagai embun yang menyejukkan hati Dara yang selama ini kering."Kau harus mulai melangkah. Bebaskan dirimu, kau harusnya bersyukur dengan kehidupan baru yang kau miliki. Di luar sana, banyak orang yang tak seberuntung dirimu."Sekali lagi, apa yang dikatakan Bara adalah kebenaran. Untuk apa terus bersedih dan terpuruk, mengurung diri dalam penjara luka yang tercipta oleh kenangan buruk. Selama tujuh bulan setelah kepergian Xander, Bara acapkali memberikan perhatian lebih untuk gadis cantik itu.Membantu membuka hati dan menata hidupnya kembali.Bara dan Xander bagai panorama yang memiliki keindahannya sendiri. Jika Xander seperti lautan—yang lewat tatapan matanya m

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 73

    Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m

  • Gadis yang Tertawan   Gadis yang Tertawan bab 72

    Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb

DMCA.com Protection Status