"Apa Ayah yakin dengan keputusan Ayah? Membiarkan Rosa mencari pekerjaan di luar kota?" Mendengar pertanyaan Brian, membuat ia berhenti mentanda tangani berkas.
"Apa kamu menguping pembicaraan kami berdua?"
"Maaf Ayah, aku bukan bermaksud untuk menguping pembicaraan kalian berdua. Aku tidak sengaja mendengar saat aku ingin ke sini."
"Itu sama saja kamu menguping, kalau kamu enggak sengaja dengar seharusnya kamu bisa pergi!" Brian hanya bisa tertunduk malu. Ia jadi tidak enak ingin mengatakan tujuannya untuk menemui sang ayah.
“Mau apa kamu ke sini?" tanya Aska melanjutkan pekerjaannya. Bria terlihat ragu untuk meminta suntikan dana untuk perusahaannya, saat ini perusahaan Brian sedang tidak baik-baik saja.
“Kenapa kamu diam? Apa mulutmu sudah dijahit sehingga tidak bisa berbicara dengan Ayah. Atau kamu mau—“ Aska sengaja menghentikan ucapannya, ia ingin tahu reaksi dari anak sulungnya. Sebenarnya Aska sudah tahu tujuan Brian datang ke sini. Tapi Aska pura-pura tidak tahu.
"Aku ingin meminta suntikan dana dari Ayah. Karena perusahaanku sedikit bermasalah.” Tepat dugaan Aska ternyata anaknya ingin meminta bantuan uang lagi.
Aska menahan wajahnya dengan satu tangannya, sedangkan sikunya bertumpu pada meja kerjanya. "Kalau Ayah lihat dari perkembangan perusahaan kamu, kayanya yang salah bukan di perusahaanya deh. Akan tetapi dirimulah yang bermasalah! Kamu tidak becus mengelola perusahaan dengan baik!” Brian hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mengelek dari perkataan ayahnya. Yang dibilang ayahnya semuanya adalah benar, yang salah bukan dari perusahaannya melainkan dari Brian sendiri yang tidak bisa mempertahankan kinerja dalam mengelola.
"Sudahku berikan kesempatan berkali-kali, selalu saja gagal dalam menjalankan bisnis. Kalau seperti ini jadinya, bisa-bisa keluarga kita miskin mendadak!" Aska semakin kesal dengan putra pertama yang tidak becus mengurus beberapa perusahaan yang sudah Aska berikan padanya termasuk perhotelan. Itulah sebabnya Aska memilih Rosa untuk menjadi pewaris tunggal untuk perusahaannya.
“Padahal kamu adalah anak tertua di keluarga ini, tapi kenapa kamu tidak bisa memberi contoh yang baik terhadap semua adik-adikmu! Untung saja masih ada Rosa yang bisa membawa perusahaan Ayah semakin maju.” Aska terus saja mengomel membuat mental Brian terpental jauh entah ke planet mana.
“Maaf, aku memang tidak berguna sebagai seorang Kakak.”
“Kenapa baru menyadarinya sekarang? Kemarin ke mana aja Pak Brian Arjun Adhitama! Kok baru sadar sekarang? Kemarin kamu sibuk berfoya-foya ya?” sindir Aska membuat Brian semakin terpuruk. Jika Dibandingkan dengan anak yang lain, hanya Rosalah yang mampu membuat perusahaannya menjadi lebih maju. Walaupun umur Rosa masih terbilang muda. 28 tahun. Namun dia bisa membuat 1 perusahaan mendapatkan keuntungan besar bagi Ayahnya.
Sayangnya Aska melakukan satu kesalahan besar yang membuat Rosa tidak mau menjadi CEO di perusahaannya. Semenjak ibu Rosa meninggal ia tidak mau lagi menjadi seorang CEO Karena dirinya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, membuat ia menjadi jauh dari ibunya.
Rosa sangat menyesal, ia tidak bisa melihat wajah ibunya untuk yang terakhir kalinya. Waktu ibunya Rosa telah meninggal dia sedang berada di luar Negri untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan asing. Ayah Rosa sengaja tidak memberitahukan info ini pada Rosa, jika dia memberitahukan yang sebenarnya maka Rosa akan pulang ke Negaranya. Dan membatalkan perjanjian kerja samanya dengan perusahaan di luar negeri. Ayahnya takut akan merugi hingga ratusan juta Dollar.
Dari kejadian itu Rosa jadi sangat membenci ayahnya dan juga semua kakaknya. Ayahnya lebih takut kehilangan uang dibandingkan kehilangan istrinya. Mereka semua tidak ada yang peduli dengan kematian ibu mereka. Mereka semua hanya mementingkan urusan masing-masing dan juga uang.
"Ayah jahat! Kenapa Ayah tidak memberitahukan padaku, kalau Ibu sudah tiada?" teriak Rosa. Hatinya hancur mengetahui ibunya telah meninggal dunia. Parahnya lagi ibunya sudah di kubur di pemakaman.
"Maafkan Ayah Nak, maaf."
"Aku benci Ayah! Aku benci kalian semua, pergi kalian dari hadapanku!" Rosa berlari ke kamarnya, mengurung diri berhari-hari tanpa makan dan minum. Bahkan Rosa sempat melakukan tindakan di luar batas, yaitu mengakhiri hidupnya.
***
Rosa sudah bersiap-siap berangkat ke luar kota, Rosa sudah menyiapkan segalanya dari baju hingga uang. Ia sudah tidak sabar ingin melangkah keluar secepatnya sebelum ayahnya berubah pikiran. Setalah semua perlengkapan selesai ia segara keluar dari rumah tanpa adanya pengawal di sisinya.
"Rosa?" panggil Brian berlari ke arah Rosa.
Rosa menoleh ke arah kakaknya. "Ada apa Kak?"
"Kamu yakin mau kerja di tempat yang lain?”
"Kakak tahu dari mana kalau aku mau bekerja di luar kota? Pasti Ayah yang sudah memberitahukan? Cih, dasar mulut ember!" gerutu Rosa.
"Bukan Ayah yang memberitahukan. Kakak tahu sendiri kalau kamu mau kerja di tempat lain.”
“Terus sekarang Kak Brian mau ngapain?”
“Se-sebenarnya Kakak sedikit khawatir kalau kamu mau pergi dari rumah ini.” Suara Brian terdengar sangat pelan membuat Rosa tidak bisa mendengar ucapan kakaknya.
“Kalau ngomong tolong diperjelas! Aku enggak dengar apa yang Kakak omongin barusan.” Tiba-tiba saja wajah Brian memerah bagai buah tomat, untungnya Rosa tidak dengar apa yang tadi Brian bilang. Sebenarnya ia malu mengatakan pada Rosa bahwa dirinya mengkhawatirkan adik perempuannya ini.
“Lupakan yang tadi Kakak bicarakan, lagi pula itu enggak penting banget sih.”
“Dih! Enggak jelas nih orang.” Karena sudah tidak ada waktu lagi, Rosa bergegas pergi dari rumah ini menggunakan taksi Online, bisa saja sih ia membawa mobil pribadinya untuk pergi ke luar kota. Tapi Rosa tidak mau melakukannya.
“Rosa tunggu!” Rosa kembali membalikkan tubuhnya, tanpa ia duga Brian langsung memeluk dirinya. Dengan perasaan berat Brian melepaskan adiknya untuk pergi dari rumah ini, Brian terus memeluk adiknya sampai-sampai Rosa tidak merasa nyaman.
“Kak, tolong jangan peluk aku kaya gini, kalau pun meluk kira-kira dong. Aku enggap Kak,” eluh Rosa.
“Kakak tahu kamu bisa menjaga diri di luar sana, tapi perlu kamu ingat bahwa kamu seorang perempuan tulen. Kamu harus bisa menjaga tubuhmu dari laki-laki lain yang ingin mendekatimu. Kalau bisa jangan ubah penampilan kamu menjadi wanita, tetaplah berpenampilan seperti laki-laki.” ajaran sesat jangan ditiru.
Rosa mendongkakan kepalanya ke atas ia menatap kakaknya dengan wajah datarnya. "Sejak kapan Kakak jadi peduli pada Adiknya? Aku baru tahu jika Kakak punya rasa khawatir."
"Aku ini Kakakmu, wajar aja kalau aku khawatir dengan adik sendiri."
"Hoh." Sebenarnya Rosa masih memendam amarah besar kepada Brian, Rosa sangat membenci kakaknya ini. Karena dia, ibunya telah meninggal dunia. Andai Brian lebih peka dan perhatian terhadap ibunya. Rosa yakin ibunya tidak akan meninggal.
Brian kembali mengeratkan pelukannya "Maafkan Kakak, ini semua adalah kesalahan kakak. Andai kakak tidak mementingkan diri sendiri mungkin ibu masih hidup hingga sekarang," lirih Brian, dari awal Rosa sudah mengatakan padanya agar menjaga ibunya serta merawatnya dengan baik. Bagi Rosa kakak pertamalah yang dapat ia andalkan. Sayangnya ia abai dengan amanah yang sudah adiknya titipkan padanya. Brian lupa akan janjinya itu hingga ia mengabaikan kesehatan ibunya hanya untuk berfoya-foya dengan teman-temannya.
"Sudah cukup rasa penyesalanmu di depanku, semua itu sudah terlambat. Ibu sudah tidak ada di dunia ini!"
“Aku tahu, Kakak akan menebus semua kesalahan Kakak.”
“Sekarang lepaskan pelukan Kakak, aku sudah tidak punya banyak waktu lagi. Aku harus berangkat Kak.” Perlahan Brian melepaskan pelukannya, ia pun melepaskan adiknya untuk pergi dari rumah ini. Brian tidak tahu kapan adiknya akan kembali pulang ke rumah ini.
Rosa segara pergi meninggalkan kakak sendirian. Dengan rasa hancur di hatinya Rosa terus berjalan ke depan sambil meneteskan air matanya yang sudah jatuh di pipinya. Mila yang dari tadi menguping pembicaraan mereka berdua, merasa sangat puas dan juga senang. Ia tidak perlu cape-cape mengeluarkan tenaganya hanya untuk mengusir Rosa dari rumah ini, dan menjauhkannya dari suaminya.
Tanpa ia mengeluarkan tenaganya Rosa sudah pergi dari rumah ini dengan sendirinya. Mila bisa bebas untuk menguasai harta suaminya untuk berfoya-foya. Dengan teman-teman sosialitanya.
Akhirnya Rosa bisa terbebas dari zona yang membuatnya terkekang. Kini ia bisa pergi sesuka hati tanpa harus diikuti oleh pengawal ayahnya.
Akhirnya Rosa bisa terbebas dari zona yang membuatnya terkekang. Kini ia bisa pergi sesuka hati tanpa harus diikuti oleh pengawal ayahnya. Sebelum ia pergi ke luar kota, ia terlebih dahulu mampir ke sebuah kontrakan kecil untuk mengajak temanya. Yang dulu pernah menolong Rosa saat ia kabur dari rumah. Sampai di kontrakan ia pun mengetuk pintunya.Tok..tok.."Tunggu sebentar," ucap seorang wanita muda membuka pintu.Ceklek!"Dinda!” saat melihat temanya sudah ada di depan matanya Rosa langsung memeluk temannya yang bernama Dinda Lestari. Sudah lama sekali Rosa tidak bertemu dengan Dinda."Ya, ampun, Rosa. ini benaran kamu? Ya, Tuhan." Dinda begitu terkejut dengan kedatangan Rosa, ia yang sudah rindu dengan temannya langsung membalas pelukan dari Rosa."Sudah lama kita enggak ketemu, aku kangen banget sama kamu Din. Gimana kabar ka
“Dinda? Bagaimana? Apa kamu mau ikut denganku.” Rosa menatap mata Dinda dengan tatapan melas, agar ia mau menuruti keinginannya."Hmm, oke deh. Aku mau." Dalam sekejab mata Rosa langsung membinar, senyumnya mengembang lebar. "Good job, heheh." Rosa senang, akhirnya Dinda mau ikut dengannya ke luar kota, walau pun di hati Dinda ragu. ia pun mau mengikuti saran dari Rosa.Sebenarnya Dinda sudah lelah bekerja di sebuah pabrik plastik yang bayaran hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari, ditambah lagi masih ada adik yang butuh biaya yang cukup besar untuk sekolahnya. Untungnya lagi, ia masih mempunyai pekerjaan sampingan untuk keluarganya. Ini semua berkat Rosa.***Tiga hari kemudian Rosa dan Dinda telah sampai di Kota S. Mereka berdua pergi menggunakan kereta kelas eksekutif semua biaya sudah Rosa tanggung. Tugas Dinda hanya menuruti perkataan Rosa. Butuh waktu 8 jam untuk sampai
"Ada tamu rese! Masa minta kamar VVIP sama pihak hotel, udah gitu minta panggil atasan kita lagi.” Lia menunjuk ke arah Rosa dengan kepalanya sambil melipatkan kedua tangannya di dada.Mata Sri langsung menoleh ke arah Rosa dan juga Dinda, matanya terus memperhatikan penampilan Rosa dari atas kepala hingga bawah kaki. Begitu juga dengan Dinda yang tak luput dari mata Sriyani."Pfft." Sriyani langsung menahan tawanya dengan cara menutup mulutnya pakai satu tangannya. Sebenarnya ia ingin tertawa kencang melihat penampilan Rosa dan juga Dinda, apalagi Dinda terlihat seperti orang kampung dengan pakaian biasanya."Mohon maaf nih, rasanya gue pengen ketawa," bisik Sriyani pada Lia."Ketawa aja Beb, gue juga dari tadi pengen ketawa kok," timpal Lia, ia juga heran bagaimana bisa Rosa yang berpenampilan seperti ini menyewa kamar VVIP untuk d
“Dinda, kamu ngapain di situ?" tanya Rosa setelah masuk ke dalam kamar, ia melihat temanya sedang berdiri di dekat jendala memandangi luasnya lautan biru. “Ros, lihat deh pemandangan laut itu. Bagus banget loh. Aku jadi pengen main air laut, kaya seru deh.” “Nanti aku ajak ke laut ya, tapi sebelum itu kamu di sini dulu ya. Aku masih ada urusan di luar, kalau kamu mau minta apa-apa kamu bisa telepon pegawai yang ada di sini, nanti kamu bisa dibantu.” “Oke!” Dinda memberikan dua jempol untuk Rosa, ia pun kembali melanjutkan melihat pemandangan laut yang begitu indah. Rosa bergegas pergi ke ruang kerjanya, ia berjalan di sepanjang lorong hotel. Ketika dia berjalan, ia berpapasan dengan manajer, ketika manajer itu melihat bos besarnya ada di depan matanya langsung terbelalak. Rosa menyadari sikap dari manajernya, ia menaruh 1 jarinya di bibirnya menandakan ag
Melihat temanya yang sangat keras kepala, Dinda hanya bisa pasrah menerima perkataan Rosa. Pagi hari telah tiba, Rosa telah bersiap-siap untuk mencari pekerjaan yang cocok untuk mereka berdua. Sedangkan Dinda tetap berada di hotel menikmati semua fasilitas yang ada di sini. “Aku pergi keluar dulu ya, kamu di sini aja sampai aku kembali ke sini. Kalau kamu mau berenang kamu tinggal ke bawah aja, kalau kamu masih bingung kamu boleh minta bantuan sama Rio. Nanti aku yang akan sampaikan.” Dinda menggoyangkan kedua tangannya, bahwa Dinda menolak akan hal itu. Ia tidak ingin merepotkan orang lain hanya karena ia ingin berenang di kolam renang. “Makasih Ros, aku lebih baik tunggu kamu aja dari pada sama orang lain. Aku lebih nyaman sama kamu, aku enggak apa-apa kok nunggu kamu.” “Kamu yakin?” “Yakin! Ya udah sana kamu keluar aja cari kerja, nanti kalau sudah dapat
"Aargghh, lepaskan!" Rosa berontak saat pengawalnya memegang lengannya, ia diseret keluar dari dalam lift dan membawanya pergi menuju mobil. Semua orang yang melihat kejadian itu, merasa heran dan juga takut. Apalagi para pengawal keluarga Adhitama begitu menakutkan. "Apa-apan ini? Lepaskan saya! Kalian jangan macam-macam ya!" Rosa terus saja memberontak, sayangnya kekuatannya kalah jauh dari para pengawalnya. Sekuat apa pun Rosa melawan, ia tidak akan sanggup menandingi kekuatan para pengawalnya. Rosa dipaksa masuk ke dalam mobil. "Awas ya kalian semua! Tunggu pembalasanku!" ancam Rosa dari dalam mobil. Tangannya terus menunjuk-nunjuk ke arah pengawalnya. “Halo adikku tersayang,” sapa Brian dengan senyuman lebarnya menampakkan barisan gigi putih dan rapih. "Arrghh!" Rosa berteriak kencang, ia kaget ada Brian di dalam mobil. Saking emosinya ia tidak sadar di depannya sudah ada kakak sulungnya. J
Keesokan paginya Dinda, dan Rosa tengah bersiap-siap untuk melamar pekerjaan di sebuah cafe yang jaraknya lumayan jauh dari hotelnya. Untuk melamar pekerjaan mereka berdua harus mempunyai penampilan sebagus mungkin."Kita sarapannya di sana saja ya? Takut telat nanti.""Iya, lagiian aku belum lapar kok."“Oke, kita berangkat sekarang yuk, takut macet di jalan. Soalnya sekarang waktunya orang berangkat kerja,” ucap Rosa, ia tidak ingin terjebak macet, ia sengaja berangkat lebih awal dengan sepeda motornya yang telah ia sewa seharian penuh, agar tidak telat. Ia lebih baik menunggu dari pada harus telat untuk datang ke cafe. Kesempatan seperti ini tidak boleh ia lewatkan sedetik pun.Satu jam kemudian Rosa telah sampai di tempat tujuan, ia melihat cafenya masih tutup. Tapi sudah banyak orang yang melamar di cafe ini. sebelum jam menujukan pukul 8 ia dan Dinda memutuskan untuk menunggu
“Terima kasih Pak atas pengertiannya, jika ada waktu. Saya akan mengurus semuaya." 25 menit sudah ia menjalani proses interview. Dalam hati ia senang, untuk masalah identitas masih bisa dilewati.“Kalau gitu untuk interview sudah selesai ya, untuk hasilnya nanti saya umumkan lewat email yang sudah kamu kasih ke saya.”“Sekali lagi terima kasih Pak, kalau begitu saya pamit undur diri.” Rosa bangkit dari tempat duduknya, setelahnya ia keluar menuju pintu keluar. Selesai dari sini ia berniat ingin mampir di sebuah tempat makan yang tidak jauh dari cafe untuk makan siang."Ros, gimana interview tadi? Aku sampai gugup loh pas ditanya-tanya sama Pak Abian," ucap Dinda ia baru pertama kali melamar pekerjaan di sebuah cafe."Hmm, baik kok. Mudah-mudahan kita berdua bisa diterima ya kerja di cafe sana. Apalagi pelanggan di cafe tadi cukup ramai pengunjung."&
“Rosa? Ke sini dong.” Rosa melihat kea rah bosnya yang memanggil dirinya. Ia langsung bangkit dan berjalan kea rah arahnya. Melihat Rosa ada di depan matanya, pemilik café ini seketika terbelalak. Matanya terbuka lebar, mulutnya sampai menganganga melihat wajah Rosa mirip mendiang istri Abian.“Pa-Pak, dia—“ pemilik salon menunjuk Rosa dengan jarinya yang masih bergetar.“Namanya Rosa, dia ini perempuan. Jadi saya minta tolong sama kamu, tolong bikin dia makin cantik kaya artis Korea ya,” pintanya, sedangkan pemilik salon masih menatap takjub dengan wajah Rosa. Bisa ganteng, bisa juga cantik.“Luar biasa!” ujaranya lagi mengaggumi ketampanan Rosa. ia melihat penampilan Rosa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Benar-benar mirip mendiang istri Abian. "Kaya kembarannya Mbak Birdella," ujarnya dalam hati.Hampir satu jam lebih Rosa berada di s
"Keluar sana! Gue mau kerja.”“Jadi lo usir gue? Oke, fine. Kalau lu usir gue dari sini, jangan harap lo bisa dekat lagi sama Ade gue!” Brian langsung berjalan ke arah pintu keluar, tak disangka Abian menahan lengan temannya. “Jangan beper lo, gue Cuma bercanda doang! Yailah, gitu aja dimasukin ke hati.” Brian tersenyum puas, baru diancam sedikit aja Abian ketar-katir.“Makannya Bi, lo harus bisa ambil hati gue. Bikin gue senang, siapa tahu hati gue luluh.” Mendengar hal itu Abian hanya berdesis. Rasanya dia mau muntah seember.Selama seharian penuh Brian berada di ruang kerja, tanpa melakukan aktifitas apa pun. Yang Brian lakukan hanyalah main ponsel, mengawasi Rosa bekerja, hingga tertidur di atas sofa. Sedangkan Abian tidak mempermasalahkan hal tersebut, selama Brian tidak menggangu pekerjaanya.“Lo enggak bosen apa di sini terus seharian?&rdqu
“Bi, mending lo pulang aja deh. Biar Rosa urusan gue!” kesalnya, padahal Rosa adalah adik kandungnya. Akan tetapi temannya selalu menyerobot apa yang dibutuhkan Rosa.“Mending lo duduk aja deh, biar Rosa gue yang urus.”“Gue ‘kan Kakak. Kenapa jadi lo yang repot sih.”“Lo Kakaknya, sedangkan gue bosnya. Jadi wajar aja gue kasih perhatian sama karyawan gue!”“Alibi banget lo!” melihat pertengkaran kakaknya dengan bosnya, Rosa hanya bisa tersenyum. Ia sih tidak masalah jika Abian membantu dirinya jika ia mengalami kesulitan, jika dibandingkan kakaknya. Abian lebih telaten dan sedikit berhati-hati.***"Cih, lihat aja kalau tuh duda tua pepet Rosa terus,” gumamnya mengingat ketika di rumah sakit. Brian benat-benar tidak diberi kesempatan untuk merawat adiknya. “Tapi, gue enggak sangka. Model kaya Abian udah nikah
"Eeh, tapi saya bisa kok pak pulang sendiri, lagian rumah saya dekat kok. Jadi enggak perlu diantar.”“Biarpun rumah kamu dekat, tetap saya antar pulang ke rumah. Malam-malam begini kita harus waspada dari tindak kejahatan.” Rosa memutar bola matanya malas, ia semakin risi. Baginya bosnya ini terlalu berlebihan.“Udah ya Pak, saya pulang dulu. Makasih deh tawaranya.” Dengan cepat ia berlari menuju pintu keluar.“Rosa! Tunggu saya.” Semakin ia mengejar Rosa, semkain jauh pula Rosa.***“Rosa?” ujar Abian dengan nada sedikit syahdu, membuat Rosa bergidik ngeri.“Dih, Pak Abian kenapa ya? Kok nada bicaranya jadi kaya cewek gitu sih?”“Hmm, saya mau minta tolong sama kamu? boleh?” lagi-lagi ia berucap dengan nada seperti perempuan.“Ngomongnya biasa aja
"Kamu pantas mendapatkan ini! Hukuman ini belum seberapa buat kamu. Aku akan memberikan hukuman yang berat lagi buat kamu!” ancamnya.Wajah cantik Mila kini sudah membiru, ia sudah kehabisan napas. Dengan cepat Aska melepaskan cekikanya. Ia tidak ingin Mila mati begitu saja. Ia ingin menghukum Mila dengan tanganya sendiri hingga Mila merasakan penderitaan."Hhukk...hhukkk." Mila menjatuhkan dirinya ke lantai, setelah ia lepas dari tangan Aska. napasnya sudah terengah-engah. nyawa dia hampir saja melayang.Aska memerintahkan pengawalnya, “bawa dia ke dalam mobil, dan ikat tubuhnya sekuat mungkin!” Mila hanya bisa pasrah tubuhhnya diseret paksa oleh pengawal ksusus. Sementara Brian dan Rosa sudah diamankan oleh para pengawalnya dan juga Abian yang sudah tiba di lokasi.“Ros, tolong kamu bertahan sedikit lagi. Kakak bakal bawa kamu ke rumah sakit, tolong jangan tinggalin Kakak se
1 pengawal pingsan. Tinggal sisa satu lagi. Karena takut ketahuan oleh pengawal yang lainya. Brian langsung mengeluarkan sebuah pisau ke arah pengawal, tepat mengenai keningnya seketika pengawal itu tewas."Rosa! Sadarlah Rosa. Ini Kakakmu!" Brian membagunkan Rosa yang sudah tidak sadarkan diri. Ia begitu sakit melihat keadaan adiknya yang cukup mengenenaskan. Brian tidak akan tinggal diam, dia akan membalas perbuatannya.Brian melepaskan ikatan tali dari tangannya, hati Brian semakin teriris melihat pergelangan tangan adiknya yang sudah penuh luka akibat ikatan tali terlalu kencang. Ia meneteskan air matanya, ia tidak sanggup melihat keadaan adiknya. Selama ia menjadi seorang kakak. Tidak pernah sekali pun ia melukai fisik adiknya, apalagi sampai separah ini.“Kak, Brian.” Sayup-sayup ia mendengar suara adiknya memanggil namanya. Ternyata adiknya masih bisa membuka matanya, ia mengusap air matanya agar adikn
Sudah 1 jam lebih Brian mengikuti mobil Mila, tetapi belum juga sampai di tempat tunjuan. Hingga akhirnya mobil Mila telah sampai di sebuah hutan yang lebat. Mobil Mila masuk ke dalam hutan. Begitu juga dengan Brian. Ia harus berhati-hati mengikuti mobil Mila agar tidak ketahuan. Setelah memasuki hutan yang paling dalam, mobil pun sampai di sebuah rumah tua yang sudah tidak berpenghuni.Diam-diam langkah Brian mengikuti Mila untuk sampai ke rumah tua. Tak di sangka ternyata rumah tersebut dijaga ketat oleh orang yang bertubuh kekar. Ada sekitar 3 orang yang menjaga di luar rumah dibagian luar.“Ck, penjaganya banyak banget di pintu depan,” gumamnya, ia terus memperhatikan rumah tua dan mencari celah agar bisa masuk ke dalam. Ia yakin jika adiknya pasti ada di dalam bersama dengan Mila. Brian mengembil ponselnya dalam saku celana untuk mengirim lokasi agar tim khususnya bisa datang ke sini untuk membantunya.
“Rosa lagi sama lo enggak?” Abian langsung bertanya ke inti permasalahan, ia lagi malas berdebat saat ini.“Lah, kenapa lo jadi nanya Rosa ke gue? Rosa 'kan lagi ada di kota tempat dia kerja.”“Serius lo?”“Serius lah, lagian ngapain juga gue sama si Rosa. Gue sekarang lagi di kota gue.”“Hoh, berarti Rosa lagi enggak sama lo ya? Ya udah gue tutup ya.”“Eh, jangan ditutup dulu! Sebenarnya kenapa sih lo nanya Ade gue lagi ada di mana?”“Semalam Ade lo enggak pulang ke rumah, temannya yang namanya Dinda sampai cari Rosa ke mana-mana tapi enggak ketemu. Malah ponselnya ada di gue sekarang, makannya gue hubungi elo, siapa tahu Rosa lagi sama lo.” Brian berdiri dari tempat duduknya, jantung berdetak kencang mengetahui adiknya belum pulang ke rumah sampai sekarang.&nbs
“Brian!” suara Mila sedikit ditinggikan agar Brian tersadar.“Eh, iya. Kenapa?”“Kamu ini kenapa sih? Dari tadi dipanggil kok enggak jawab?”“Masa sih?”“Dari tadi kamu terus lihatin saya loh, kamu ini kenapa sih? Apa penampilan saya terlihat aneh ya di mata kamu?” tanyanya membuat Brian kelimpungan, ia tidak sadar jika dirinya terus memperhatikan ibu tirinya ini. Ia sedang memikirkan mencari alasan yang tapat.“Kalung berliannya bagus, kayanya baru ya,” jar Brian baru mendapatkan ide ketika melihat kalung Mila.“Hoh, ini.” Mila menujuk ke arah kalungnya. “Kamu kok tahu kalau kalung berlian ini baru?”“I-iya, soalnya kelihatan silau. Kayanya kalungnya mahal ya?”“Enggak mahal kok, ini murah. Harganya cuma