Rose berusaha bangun dari ranjang. Dia menggerakkan kedua tangannya agar bisa terlepas dari ikatan itu, akan tetapi justru membuat pergelangan kedua tangannya merah dan sakit. Rose mencari langkah lain. Dia menggigit tali yang mengikat kedua tangannya. Hasilnya tetap nihil.
"Ini terlalu kuat," keluh Rose. Dia meringis menahan sakit karena perih yang dirasakan pada pergelangan tangan. "Sakit ...."Sayup-sayup Rose mendengarkan suara gemercik airair. Gadis itu mencari arah datangnya suara itu. Kedua mata Rose tertuju pada sebuah pintu yang tertutup rapat. Rose berteriak agar seseorang mendengarkannya. Jeno yang sudah selesai mandi dan sedang memegang hairdryer untuk mengeringkan rambutnya. Telinganya menangkap sesuatu dan Jeno segera mematikan hairdryer nya. Pria itu bergegas keluar dari kamar mandi."Rupanya kau sudah siuman, nona?" Jeno mendekati Rose.Rose terlihat ketakutan melihat Jeno dengan rambut yang masih acak-acakan. Rose terdiam dan memundurkan tubuhnya."Si-siapa kau?" Suara yang keluar dari bibir Rose terdengar sangat bergetar. Jeno tersenyum dan makin mendekat pada sisi ranjang. Pria itu hendak berusaha menenangkan Rose yang terlihat ketakutan. "Pe-pergi dari sini. Ja-jangan dekati aku. A-apa ya-ng kau inginkan dariku hiks ...." Kedua mata Rose berkaca-kaca. Rose mulai menangis tersedu-sedu ketika mendapatkan dirinya berada di tempat yang asing. Rose mulai histeris saat Jeno hendak memegang kakinya. Kemudian Rose menarik kakinya."Kau sudah jadi milikku. Kau sudah dijual oleh ayahmu.""Hiks ... lepaskan aku," ucap Rose memandangi wajah Jeno yang tampan seperti malaikat, akan tetapi berhati iblis."Melepaskanmu? Kau sudah jadi milikku dan aku bebas melakukan apapun padamu," ujar Jeno sambil menjepit rahang Rose. Seketika Rose meringis kesakitan. Rose terus menangis sesenggukan hingga membuat telinga Jeno panas. "Diamlah. Aku bisa membunuhmu sekarang jugajuga." Jeno membuka semua ikatan pada tangan dan kaki Rose dengan kasar hingga membuat Rose meringis kesakitan."Tuan, tolong lepaskan aku. Aku ingin pulang ke rumah," rengek Rose memohon pada Jeno."Tidak bisa sayang dan aku minta maaf. Kau adalah milikku. Kau akan menjadi simpananku karena ayahmu sudah menyerahkanmu padaku." Jeno tersenyum smirk.Mendengar hal itu Rose menjadi lemas dan semakin kencang menangis. Dia tidak menyangka jika sang ayah akan bertindak nekat hanya demi sebuah harta.Melihat Rose yang semakin menangis kencang. Tiba-tiba Rose memegang lehernya. Dia merasakan tenggorokannya kering."Tu-tuan, bolehkah aku minta air sedikit. Aku haus," pinta Rose."Air ... akan aku ambilkan." Jeno melangkah keluar dan dia memutar kenop pintu. Namun, sebelum Jeno meninggalkan kamarnya. Dia mengancam Rose. "Jangan berani kabur dari sini. Jika kau kabur, aku pastikan kau akan mati."Setelah Jeno hilang dibalik pintu, Rose bergegas turun dari ranjang dan dia berlari menuju pintu. Tangan Rose memutar kenop pintu tersebut."Ke-kenapa tidak bisa dibuka? Apakah dia menguncinya?" Rose benar-benar kesal. Dia beralih menuju jendela dan sama saja jendela itu terkunci bahkan Rose tidak bisa membukanya. "Sial. Aku tidak ingin menjadi wanita simpanannya," keluh Rose.Sementara itu Jeno di dapur tengah memperhatikan air yang sedang dia tuangkan ke dalam sebuah gelas. Sesaat setelah itu Jeno tersenyum miring. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dan segera mencampurnya ke dalam minuman tersebut.Jeno segera kembali ke kamarnya. Jeno membuka pintu kamarnya dan mendapatkan Rose masih duduk dengan menekuk kedua kakinya sambil memeluk kakinya sendiri.Rose menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap Jeno. Sedangkan Jeno semakin mendekat dan duduk di sisi ranjang."Kau haus?" Jeno menyodorkan segelas air pada Rose.Rose tampak melirik ketakutan menatap gelas tersebut, lalu dia menatap wajah pria tampan itu. Rose memang sangat haus, tapi dia tidak berani mengambil gelas itu dari tangan Jeno."Kenapa kau diam? Bukankah kau haus?" Jeno kembali melontarkan kalimat itu. "Ini minumlah."Dengan tangan bergetar Rose mengulurkan tangannya dan meraih gelas itu. "Te-terimakasih, tuan." Rose menatap gelas yang ada digenggamannya."Cepat minumlah. Mumpung masih hangat. Minuman itu bisa membuat tubuhmu hangat," tegas Jeno.Rose masih mencermati minuman itu. Tanpa pikir panjang Rose segera meneguk beberapa kali dan dia merasa sangat lega karena rasa haus yang dia rasakan telah hilang. Rose kembali meneguk minuman itu sampai habis. Jeno tersenyum menang. Dia begitu sangat puas karena rencananya berhasil dengan sempurna.Rose tidak menyadarinya jika minuman yang telah dia teguk itu telah dicampur dengan obat perangsang.Rose meletakkan gelas itu pada meja yang ada di sisi ranjang, lalu dia kembali mendekap kedua kakinya yang ditekuk. Jeno melirik dengan smirk khasnya.'Tidak lama lagi kau akan jadi milikku dan tidak satu pun orang yang boleh menyentuhmu.' Jeno berdiri dan duduk di sofa yang tidak jauh dari ranjang itu.Rose masih terlihat biasa saja. Efek dari obat itu belum bereaksi. Jeno mulai mengajak Rose berbicara untuk mencairkan suasana yang cukup hening pada saat itu. Rose pun mulai menanggapinya. Gadis itu mulai berbicara ngelantur dan Jeno mulai tanggap akan hal tersebut."Sepertinya sudah mulai bereaksi," ujar Jeno lirih. Jeno terus memperhatikan Rose.Rose terlihat merem melek. Terkadang tangannya memegang kepalanya. Rose menggelengkan kepala beberapa kali. Dia merasakan ada sesuatu yang menjalar ke seluruh tubuhnya.Tubuh Rose terasa panas. Dia mulai resah gelisah. Tubuh Rose mulai menggeliat di atas ranjang. Sepertinya obat perangsang itu mulai bekerja. Rose tidak bisa mengontrol tubuhnya karena tubuh Rose sudah dikuasai oleh nafsu birahinya yang semakin memuncak.Melihat hal itu membuat Jeno begitu senang dan bahagia karena malam itu dia bisa berbuat sesuka hatinya pada Rose. Sungguh pemandangan yang begitu sangat erotis. Rose sudah dipengaruhi oleh obat perangsang.Jeno memiringkan kepalanya dan tersenyum melihat Rose mendesah-desah serta meraba tubuhnya sendiri. Rose menggeliat ke sana dan kemari. Jeno merasa kasihan pada Rose. Jeno bangkit dan mendekat ke sisi ranjang."Kau kenapa, sayang?" Jeno mendekatkan wajahnya ke wajah Rose. Rose hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Gadis itu merasakan area bagian bawahnya sudah mulai basah.Melihat hal itu Jeno begitu puas. Jeno masih membiarkan Rose menggeliat kesana kemari. Jeno membiarkan Rose melakukan pemanasan terlebih dahulu.Jeno hendak beranjak dari sana, akan tetapi tangan kanan Jeno ditahan oleh tangan Rose. Jeno pun menoleh dan menatap Rose. Tatapan Rose menandakan sebuah arti. Rose seperti memohon sesuatu pada Jeno. Rose terus menggigit bibir bawahnya dan tanpa sadar Rose menarik tangan kanan Jeno hingga Jeno jatuh tepat di atas tubuh Rose.Kedua mata Jeno menatap dalam pada kedua bola mata Rose. Dari tatapan itu Jeno bisa menangkap apa yang diinginkan oleh Rose.Tubuh Rose menggeliat semakin kuat. Rasa panas itu semakin menjalan sampai pada titik puncak."Tu-tuan, aku mohon ...."Rintihan dan erangan Rose membuat hasrat Jeno semakin memuncak. Pria itu sepertinya sudah tidak bisa menahan diri. Sedangkan Rose terus menerus menggeliat.Melihat hal itu Jeno semakin bergairah. Namun, Jeno belum ingin melancarkan aksinya. Dia masih memperhatikan Rose sebagai bentuk pemanasan. Jeno terkenal sangat hipersex dan suka bermain dengan wanita penghibur. Tidak hanya satu wanita. Jeno mampu bermain dengan 5 wanita sekaligus dalam tiap malam.Entah itu sebuah keberuntungan atau bukan Jeno bisa mendapatkan sosok seorang gadis bernama Rose. Namun, bagi Rose hal itu adalah awal dari bencana. Jeno masih menikmati Rose yang terus meliuk-liuk di atas ranjang seperti ular yang sedang menari karena kepanasan. Tanpa basa-basi Jeno mendekap wajah Rose dan mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan wajah Rose. Jeno ingin sekali menikmati bibir Rose, tapi sayangnya bibir Rose tertutup rapat. Akhirnya Jeno mengambil tindakan menggigit kecil bibir bawah Rose hingga gadis itu berteriak.
Rose terbangun dalam keadaan yang membingungkan. Rambut acak-acakkan, tubuh tanpa sehelai benang pun dan hanya tertutup oleh selimut. Rose pun merasa asing dengan tempat itu. Ruang kamar yang begitu besar dan sangat mewah.Rose mulai berusaha untuk mengingat apa yang telah terjadi, akan tetapi nihil. Yang hanya bisa Rose ingat adalah semalam kepalanya sangat pusing akibat meminum minuman yang pria itu berikan dan setelah itu Rose tidak ingat apa-apa.Rose berusaha menggerakkan tubuhnya. Namun, usahanya gagal karena seluruh tubuhnya terasa remuk dan sakit. Anehnya area sensitifnya terasa sangat perih. Rose seakan mulai mengerti, kenapa dia terbangun dengan keadaan yang seperti itu. Rose langsung menangis karena menyadari apa yang telah pria itu lakukan pada dirinya.Rose menangis begitu kencang, karena dia merasa sangat jijik dengan dirinya sendiri dan dia pun terlihat sangat bodoh."Hiks ... ibu ...." Rose menangis sambil memanggil ibunya karena dia pasti kecewa dengan Rose yang tidak
Malam itu Jeno pulang lebih awal dari biasanya. Hal itu dikarenakan pekerjaan di kantornya tidak terlalu banyak. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Jeno terus menerus menatap keluar jendela dan tersenyum sendiri. Entah dia sedang memikirkan apa. Jeno tidak sadar jika sang sopir memperhatikannya sedari tadi."Tuan muda baik-baik saja? Kenapa tuan senyum-senyum sendiri? Sepertinya tuan muda sedang bahagia," ujar si supir yang tampak penasaran."Tidak ada apa-apa. Saya hanya sedang melamun." Jimin menyangkalnya sambil tersenyum."Jika begitu maafkan saya, jika saya mengganggu tuan muda."Jeno kembali melamun saat sang supir mulai fokus menyetir mobilnya. Jeno mulai memikirkan sesuatu. Jeno sebenarnya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai di rumah.Satu jam sebelumnya."Hari ini entah mengapa aku ingin sekali segera pulang ke rumah. Sebenarnya ada apa dengan otakku ini?" Jeno memutarkan kursi putarnya beberapa kali dengan pelan. "Jujur saja seharian ini aku hanya memikirkan gadis itu
Pagi itu hujan deras mengguyur. Membasahi semua yang ditemuinya hingga membuat cuaca pagi begitu sangat dingin. Hal itu membuat dua orang yang sedang tertidur enggan untuk bangun.Jeno merapatkan pelukannya pada tubuh Rose. Gadis itu sama sekali tidak bergerak karena rasa hangat yang dia rasakan membuatnya terasa sangat nyaman. Jeno pun kembali menutup matanya.Hujan semakin deras. Dingin bercampur dengan sejuk dan Petrichor mulai tercium. Rose membuka matanya dan bergerak pelan. Dia tidak ingin membangunkan Jeno. Rose dengan pelan memindahkan tangan Jeno yang melingkar dipinggangnya."Kau hendak ke mana?" Tangan Jeno mencegah Rose hingga membuat Rose menoleh."Aku ingin ke kamar mandi," sahut Rose. Jeno pun melepaskan genggaman tangannya.Rose melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan memutar kran air. Setelah itu dia menunggu beberapa menit agar air itu menjadi hangat. Sambil menunggu air penuh, Rose melangkah ke arah jendela yang tidak jauh dari bath-up. Rose menggeser kaca itu sedi
"Ada apa?" Suara Jeno memotong kalimat Rose. Jeno langsung meraih kedua tangan Rose. "Jangan digaruk itu bisa menjadi luka dan kulit akan hitam. Sebentar aku carikan obat gatal."Jeno kembali dengan sebuah benda ditangannya. Jeno pun mengoleskan krim pada lengan Rose. Krim itu sangat dingin di kulit hingga gatal yang dirasakan oleh Rose berkurang."Te-terima kasih, tuan." "Jangan menggaruknya. Biarkan obat itu menyerap. Tidak lama lagi kulitmu itu akan kembali seperti semula," pinta Jeno. Rose pun menurutinya."Ta-tapi kenapa bisa seperti ini?" kata Rose heran."Mungkin salah satu menu makanan yang kau makan ada campuran seafood-nya," jelas Jeno. Rose menganggukkan kepalanya. "Beristitahatlah dulu. Nanti jika belum membaik aku akan membelikanmu obat," lanjut Jeno.Jeno meninggalkan Rose biar Rose bisa istirahat dengan nyaman. Jeno memberi perintah pada anak buahnya untuk menjaga Rose, karena dia akan keluar sebentar membeli sesuatu.***Sudah 3 bulan Rose tinggal di rumah Jeno. Jeno
Kehadiran Rose membawa pengaruh baik untuk Jeno. Namun tidak untuk Maryam. Rasa iri dalam diri Maryam semakin tinggi. Terlebih lagi Maryam seperti tidak ikhlas jika Jeno harus hidup serumah dengan Rose. Entah apa yang membuat Maryam begitu membenci Rose. Padahal dari segi umur pun Maryam dan Rose sudah terlihat berbeda jauh.Maryam menatap dua orang yang sedang bercanda di ruang tengah. Suara keduanya sampai terdengar di luar rumah. Beberapa pengawal Jeno tampak saling merespons."Sejak kedatangan perempuan itu. Tuan Jeno tidak lagi emosian.""Betul sekali. Tuan Jeno jadi terlihat sangat hangat walaupun beliau akan berubah tegas saat tiba di kantor," kata pengawal dengan badan tinggi besar dan penuh tato."Semoga saja akan seperti itu terus agar kita tidak setiap hari kena marah," lanjut salah seorang diantara pengawal yang sedang duduk santai sambil minum kopi.Maryam melintas di ruang tengah. Dia hendak pulang ke gubuknya. Wajah datar Maryam memperlihatkan rasa benci pada sosok gadi
BRAAK!Jeno menggebrak meja makan dengan keras sehingga membuat berantakan semua yang ada di atas meja tersebut. Apalagi Rose yang langsung muntah-muntah.Bau itu masih terasa di hidung Jeno. Sebenarnya Jeno juga merasa ingin muntah, tapi Jeno masih bisa menahannya.Jeno bergegas menuangkan air ke dalam gelas dan memberikannya pada Rose. "Minumlah ini." Jeno memberikan gelas itu pada Rose. "Pelan-pelan minumnya," lanjut Jeno.Rose meneguknya pelan, akan tetapi bau tidur belum juga hilang. "Selera makanku sudah hilang. Ini benar-benar membuat semua isi perutku keluar. Maafkan aku, tuan." Di bawah sana sangat kotor dan menjijikan. Hal itu yang membuat Rose meminta maaf pada Jeno karena telah mengeluarkan semuanya. Jeno mengusap punggung Rose, lalu dia melangkah menuju kulkas. Jeno membuka pintu kulkas dan memeriksa semua daging yang ada di dalam sana.Saat membuka pintu kulkas bau menyengat langsung menusuk hidung Jeno. Jeno mengeluarkan satu bungkus daging dan mendekatkan bungkusan it
Maryam membungkuk dan mengambil benda tersebut. Wanita itu merasa sangat sayang untuk membuangnya, tapi jika sudah dingin hal itu tidak bekerja lagi."Aku akan membuat yang baru lagi jika dia sudah pulang nanti." Maryam masih berpikir jika Jeno akan mau meminumnya. Sedangkan wanita itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Lalu bagaimana dengan dia? Beberapa hari ini aku tidak melihat dia?" Kepala Maryam menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia seperti sedang mencari sesuatu. "Ah, sudahlah. Akan aku urus dia nanti." Maryam segera meninggalkan rumah itu.Sementara itu disebuah gedung besar, seorang pria sedang sibuk dengan laptopnya. Sesekali dia melirik ke arah ponselnya yang tak jauh dari laptop. Pria itu mengecek semuanya tanpa terkecuali."Masih aman. Jika sampai aku mengetahui hal itu lagi makanya aku akan mengambil keputusan tegas."Jeno masih terus memeriksa tiap sudut rumahnya. Namun, keseriusannya terjeda untuk beberapa saat."Tuan Jeno, anda sudah ditunggu di ruang rapat," ucap s
Satu jam setelah Rose selesai memasak. Gadis itu menunggu pujaan hatinya di ruang tengah. Beberapa kali Rose melangkah ke depan melihat gerbang. Di sana tampak dua orang penjaga sedang berjaga. Rose kembali melangkah ke ruang tengah sambil melipat tangannya di dada. Sesekali melirik jam yang menempel di dinding."Kenapa dia belum pulang?" dengus Rose.Saat mendengar deru mobil masuk, Rose langsung berlari ke depan. Rose kembali terkejut saat melihat siapa yang pertama kali dilihat oleh Rose."Ryan?" ucapnya lirih.Dari pintu sebelah Jeno keluar dan menatap Rose. Jeno tersenyum saat melihat Rose melangkah mendekati Ryan. Sang adik tersenyum dan merenggangkan kedua tangannya."Kak Rose, tidak rindu padaku?" ujarnya.Tanpa diberi aba-aba pun Rose langsung memeluk Ryan. Jeno melangkah mendekati keduanya yang sedang berpelukan. Rose merenggangkan pelukannya dan beralih menatap Jeno."Kenapa kau tidak bilang padaku?" "Aku berniat memberimu kejutan.""Bahkan aku lupa jika aku sedang marah p
"Kau tidak bisa menuduhku begitu saja. Aku bisa menuntut mu," ancam Jeff.Jeno membalikkan badannya menatap Jeff dan juga Paul. "Menuntut ku? Kau memperingatkan ku atau kau sedang mengancam ku? Bagaimana bisa kau menuntut ku?" Jeno memperlihatkan benda pipih yang berpindah tangan dari Sean ke Jeno. Lantas Jeno memperlihatkan sebuah video pada Jeff dan Paul. "Setelah melihat ini, apa kalian akan tetap menuntut ku?" Jeff dan Paul saling pandang. Mereka berdua merasa sangat heran pada pria yang berdiri di depan mereka. Jeff dan Paul merasa jika pria itu sangat ingin melindungi Ryan. "Ryan, kau bayar berapa mereka sehingga mereka seperti melindungi mu?" sungut Jeff pada Ryan. Ryan hanya bisa bengong karena memang dia tidak merasa membayar mereka. Ryan pun tidak mengenal siapa mereka."Jeff, jaga mulut mu itu," titah Martin. Martin paham betul siapa Jeno. Jeno adalah orang kaya nomor satu di kota itu bahkan dia bisa membuat orang menderita dan tersiksa hidup di dunia ini."Kenapa Tuan M
KLUNTANG!Sebuah benda jatuh ke lantai. Nampan yang dibawa oleh Ryan jatuh dan sajian yang dibawa oleh Ryan berceceran di lantai. Kejadian itu membuat Ryan menjadi pusat perhatian."Ryan, apa yang kau lakukan?" pekik Martin."I-ini ti-tidak seperti yang Anda lihat, tuan," ujar Ryan membela."Maksudmu apa? Jelas sekali ini kesalahanmu," seru Martin."Ti-tidak, tuan. Paul dan Jeff sengaja memasang kakinya agar aku tersandung." Ryan berusaha membela dirinya sendiri."Jangan menyalahkan orang lain. Lihatlah menu makanan yang sudah dipesan oleh pelanggan berserakan di lantai. Siapa yang rugi?" teriak Martin."Sa-ya yang akan mengganti biaya kerugiannya," ujar Ryan sambil menundukkan kepalanya."Huft ... cepat bersihkan lantainya," perintah Martin dengan jari telunjuknya mengarah ke lantai yang penuh dengan ceceran daging."Martin ...," panggil Jeno berjalan mendekati Martin. Martin pun membalikkan badannya dan terkejut melihat Jeno."Ma-maaf Tuan Jeno, atas keadaan yang tidak nyaman ini.
Paul dan Jeff sengaja ingin mengerjai Ryan kembali. Mereka berpikir jika Ryan melakukan kesalahan, Ryan akan kena tegur dan pastinya Ryan akan mendapat komplain dari pelanggan juga atau bahkan bisa dipecat?Hal negatif sudah meracuni otak Jeff dan Paul hingga menggunakan cara licik. Sebenarnya Jeff tidak mengetahui jika Paul juga menaruh hati pada Monica, akan tetapi Paul begitu menata rapi perasaannya. Pria itu sanggup memendam perasaannya begitu lama. Berbeda dengan Jeff yang takut jika wanita yang dia taksir diambil oleh orang lain, makanya Jeff begitu terlihat grusah-grusuh.Paul memberi isyarat pada Jeff saat Ryan masuk ke dapur memberikan sebuah kertas berisi pesanan menu."Dua Beef Wellington." Hans dengan cekatan membuatkan menu tersebut.Melihat hal itu Jeff mendekati Paul. Pria itu membisikkan sesuatu pada Paul dan Paul menggelengkan kepalanya. Jeff pun menjauhkan kepalanya dan mengangkat kedua tangannya. Paul mendekati Jeff dan memegang pundaknya."Jangan gegabah ambil tind
Sean terus memantau Ryan dari jauh. Gerak-gerik yang mencurigakan dari Jeff pun bisa ditebak oleh Sean. Terlebih lagi Paul, Sean bisa membaca cara Paul memanipulasi Jeff. Seakan Paul sedang mengincar sesuatu dari Ryan melalui kelemahan Jeff, tapi apa yang diincar Paul? Sedangkan Sean sendiri belum begitu mengenal Ryan, tapi tuannya sudah menyuruhnya untuk melindungi Ryan. Paul mencengkeram tangan Jeff dengan kuat. Paul pun menggelengkan kepalanya, lalu dibalas dengan isyarat oleh Jeff. "Kalian berdua sedang apa?" tanya Ryan yang tiba-tiba membalikkan badannya dan mendapatkan Paul sedang memegang tangan Jeff. Melihat wajah Ryan, Jeff tidak bisa menahan amarahnya. Jeff merasa jika Ryan tengah bermain-main dengan dirinya. Jeff tidak bisa menahan diri, laki-laki itu mengibaskan tangannya untuk berusaha melepaskan genggaman tangan Paul. Jeff langsung mengarahkan bogem mentah di muka Ryan hingga Ryan tersungkur jatuh dan mulut Ryan mengeluarkan darah. Paul langsung menarik tubuh Jeff m
Setelah bercakap-cakap dengan calon kakak iparnya. Ryan merasa sangat lega, tapi ada satu hal yang membuat Ryan bingung karena sang kakak tidak pernah menjawab telepon darinya. Hal itu membuat Ryan terus bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah Ryan punya salah pada kakaknya? "Sudah 6 kali aku menghubungi kakak tapi tidak jua diangkat. Sebenarnya apa yang terjadi? Kak Rose tidak seperti ini biasanya." Ryan menatap layar ponselnya. "Apa aku harus menanyakan pada Kak Jeno?" lanjutnya. Berkali-kali Ryan memikirkan hal itu. Setiap dia ingin menghubungi Jeno selalu ada keraguan yang menghantui Ryan. Ryan paham jika Jeno adalah seorang yang sangat sibuk. Akhirnya Ryan memutuskan hanya mengirim pesan untuk Jeno. Secara diam-diam pun Jeno menyimpan nomor telepon milik Ryan. Itu semua Jeno lakukan karena syarat dari Rose. Ting! Jeno melirik saat mendengar bunyi suara dari ponselnya. Ryan menatap Rose yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya. Jeno meletakkan ponselnya dan melangkah mendekati
Rose sangat terkejut saat mendengar suara dari seberang sana. Bukan suara Ryan melainkan suara seorang wanita dan yang lebih membuat Rose takut adalah waktu menunjukkan pukul 21.30. Rose sudah berpikir negatif tentang Ryan sang adik. Dia ingin marah pada Ryan tapi berhubung tadi Rose terkejut dan langsung menutup sambungan telepon."Bodohnya aku," umpat Rose pada dirinya sendiri.Rose kembali mencoba menghubungi Ryan, akan tetapi tidak juga di angkat oleh Ryan. Itu berlaku sampai panggilan yang ke tujuh kalinya. Rose mulai murka pada Ryan. Rose tak habis pikir dengan adik satu-satunya itu. Padahal Rose paling tahu jika Ryan adalah anak yang baik dan patuh."Apa yang terjadi? Apakah dia——ah, tidak mungkin. Ryan tidak mungkin melakukan hal itu." Rose mulai mencemaskan adik satu-satunya. Pikiran Rose sudah memikirkan hal yang berbau negatif.Tidak ada respons lagi dari Ryan. Akhirnya Rose memilih untuk diam. Dia tidak akan menerima panggilan dari Ryan. Hati Rose sudah terlanjur kecewa p
"Aku punya dua syarat untukmu. Pertama, aku ingin ayahku nanti yang akan mendampingiku dan yang kedua, aku ingin adikku Ryan tinggal bersama dengan ku di sini."Dua syarat itu memang tidak berat, tapi tidak bagi Jeno. Jeno tidak setuju dengan syarat nomor satu, karena Jeno sendiri mulai membenci ayahnya Rose. Tanpa diketahui oleh Rose, Roland sering menghubungi Jeno untuk meminta uang.Jeno sama sekali belum memberitahukan hal itu pada Rose, karena Jeno tidak ingin Rose sedih atau kecewa. Di sisi lain mungkin Rose juga tidak akan mempercayainya."Aku tidak bisa mengabulkan semua syarat mu, aku hanya bisa mengabulkan salah satunya." Jeno menatap Rose tanpa ekspresi. "Aku akan memberimu waktu sehari untuk memikirkannya. Jika kau menyetujuinya aku akan langsung mengumumkan berita bahagia itu," lanjut Jeno. Lantas pria itu berlalu dari hadapan Rose. Damian yang berada di sana hanya bisa tersenyum dan membungkukkan kepalanya, lalu berlalu mengikuti Jeno di belakangnya.Sementara itu di tem
Rem diinjak mendadak oleh Jeno, tetapi semua bisa dikontrol dan tidak ada yang terluka. Untung saja Jeno hanya memacu mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Namun, tentu saja membuat Rose marah. Bahkan gadis itu sempat memarahi Jeno. Rem diinjak mendadak bukan karena terjadi kecelakaan, melainkan Jeno terkejut dengan pernyataan dari Rose.Beruntung mereka sedang tidak berada di jalan raya. Jeno menatap Rose dengan seksama seolah Jeno tidak menyangka akan hal itu."Tapi aku punya syarat untukmu," lanjut Rose."Apa syaratnya?" tanya Jeno."Kita bicarakan syarat itu jika kita sudah sampai di rumah," sahut Rose. Jeno pun mengikuti permintaan dari Rose. Jeno kembali melajukan mobilnya menuju ke rumah. Sesampainya di rumah Jeno tidak langsung menagih ucapan Rose. Pria itu membiarkan Rose untuk beristirahat terlebih dahulu, karena dia pun harus segera ke kantor setelah menerima panggilan dari Damian.Empat jam kemudian saat menjelang petang Jeno pulang ke rumah. Rose pun sudah menyediakan men