"Tu-Tuan Jeno ...." Mata itu seolah tidak bisa lepas dari wajah Jeno. Wajah Jeno terlihat sangat marah. Pria itu tidak bisa menyembunyikannya kemarahannya."Kau ku bayar untuk mengurus rumah dan menjaga Rose, tapi kenapa kau justru memperlakukan Rose seperti itu." Jeno menghempaskan tangan Maryam dengan kasar. "Itulah kenapa aku memasang CCTV," lanjutnya melirik Maryam."A-apa?" Maryam terkejut dan kepalanya menengadah ke atas mencari sesuatu. Akan tetapi yang dia cari tidak terlihat. "Bu-bukan begitu maksudku, tuan ...," rayu Maryam mendekati Jeno."Jangan sentuh aku!" seru Jeno sambil mendorong Maryam hingga jatuh.Rose kaget dengan sikap Jeno malam itu. Gadis itu langsung jongkok dan mencoba menolong Maryam. Namun, Jeno langsung menarik Rose. "Buat apa kau menolong orang yang hendak mencelakaimu," ujar Jeno. "Kau lihat kan kelakuan dia tadi. Apa kau masih berniat untuk menolongnya? Jika aku jadi kau, aku sudah tidak sudi melihat mukanya," hardik Jeno.Maryam terisak. Dia merasa ji
Sejak kejadian pengusiran Maryam, kini Rose yang semakin sibuk. Dia harus mengurus ini dan itu di rumah Jeno. Semua dilakukan Rose dengan hati ikhlas, tapi Rose tetap ingat kata-kata Jeno. Kata-kata itu selalu menghantui dipikiran Rose. Namun, Rose selalu berpikir positif. Rose termenung saat dia sedang mengelap kaca jendela di ruang depan. Dia menatap pantulan wajahya di kaca itu. Wajah Rose yang mulai terawat sejak tinggal di rumah Jeno. "Apakah aku akan menjadi pembantu di rumah ini?" pikir Rose. Perlahan dia mulai menggerakkan kembali tangan kanannya. Rose menyapu sudut-sudut jendela itu, akan tetapi terlalu tinggi. "Aku harus mengambil sebuah kursi." Rose segera mengambil sebuah kursi dan meletakkannya tepat di dekat jendela kaca. Kemudian Rose melepaskan sandal dan kakinya naik ke atas kursi. Kini Rose bisa menjangkau semua kaca jendela itu termasuk kaca disetiap sudut yang sulit untuk dijangkau. Rose berjalan mundur beberapa langkah dari pintu kaca tersebut. Gadis itu berkaca
Tiba-tiba Rose terbangun karena dikejutkan dengan sebuah suara gedoran pintu yang cukup keras dari lantai bawah. Suara itu semakin kencang. Justru Rose malah berpikir jika ada pencuri yang masuk ke rumah Jeno."Suara apa itu? Apakah ada pencuri? Ah, tidak mungkin. Rumah ini kan dijaga ketat." Rose menurunkan kedua kakinya ke lantai saat mendengar suara orang berteriak dengan keras dan lantang. Kedua kaki itu gemetaran. "Si-siapa itu?" Suara di bawah sana semakin jelas dan mendekat. Nadanya seperti orang sedang marah-marah. Namun, terdengar ngawur dan asal-asalan. Setelah itu terdengar ribut-ribut di lantai bawah. Rose mendengar suara dari kedua pengawal Jeno."Siapa sih yang berisik malam-malam begini?" Tapi Rose tidak berani keluar dari dalam kamar. Gadis itu takut keluar jikalau itu adalah perampok.Selang beberapa detik suasana ribut itu berhenti. Rose melangkah mendekati pintu kamar dan menempelkan telinganya pada pintu tersebut. Kemudian Rose melangkah mundur dan kembali naik ke
Pipi Rose merah karena tamparan keras dari Jeno. Bahkan ada sedikit darah disudut kiri bibir Rose. Mata Rose berkaca-kaca karena menahan rasa sakit. Rose menatap wajah Jeno yang terlihat menakutkan. Seakan mata itu tidak menaruh rasa kasian pada Rose.Tanpa pikir panjang Rose mendorong tubuh Jeno dan dia berlari menuju pintu. Rose menggerakkan gagang pintu tersebut berkali-kali."Ke-kenapa tidak bisa dibuka?" "Kau tidak akan bisa keluar dari kamar ini, jalang." Tawa Jeno terdengar menggelegar. Pria itu melangkah gontai mendekati Rose dan menarik tangan Rose dengan kasar."Lepaskan aku, tuan. Anda sedang dalam keadaan mabuk. Aku mohon lepaskan aku," kata Rose memohon.Jeno tidak mendengarkan teriakan Rose, dia mendorong tubuh Rose ke ranjang dan tanpa basa-basi Jeno menarik paksa lingerie yang dipakai oleh Rose. Rose hanya bisa menangis dan menutupi bagian tubuhnya yang sudah terekspos dengan jelas. Kini tak sehelai benang pun yang menempel ditubuh Rose. Jeno yang sudah kemasukan set
Rose hanya diam di dalam bath-up yang asap dari air hangat masih mengepul. Rose terlihat merenungi kejadian itu. Kata-kata Rose masih teriang-iang dalam benak Rose.Rose menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. Tangan kanannya terangkat dan memegang bibirnya, lalu dia menenggelamkan kepalanya selama beberapa menit. Kemudian dia kembali muncul ke permukaan."Cukup pahit sekali hidupku ini. Kenapa ayah begitu jahat padaku? Kenapa aku harus dijual pada pria brengsek seperti dia?" keluh Rose pada bayangannya yang terpantul di permukaan air. "Apakah aku sanggup melewati kehidupanku yang pahit ini?" lanjutnya lirih.Sementara itu di dapur Jeno tengah sibuk membuatkan sarapan untuk Rose. Jeno merebus 4 buah kentang dan 2 butir telur. Tidak lupa Jeno memanggang 4 lembar roti tawar dan menuangkan susu ke dalam dua buah gelas. Setelah kentang dan telur matang, Jeno membelah telur serta kentang itu menjadi dua. Jeno menaruhnya di atas piring. Menata dengan rapi dan menarik."Aku berharap Ro
Satu hari yang lalu. Jeno yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya tidak tahu jika ada sepasang mata yang terus memperhatikannya dari balik cela. Mata berwarna biru dengan bulu mata yang lentik itu terus mengikuti gerak-gerik Jeno. Insting Jeno begitu kuat. Pria tampan itu merasakan jika dirinya sedang di mata-matai. Pria itu hanya tersenyum tipis. Bola mata biru itu terus memperhatikan Jeno dari rambut turun ke hidung Jeno dan berakhir ke bibir seksi Jeno. Aurora berkali-kali menelan saliva nya sendiri. Sebenarnya dia ingin sekali datang dan menghampiri Jeno lalu memeluknya. Apalah dayanya yang tidak bisa sembarangan mendekati Jeno. Ya, Aurora sudah pernah mendapatkan peringatan langsung dari Jeno untuk menjaga jarak. Namun, sepertinya Aurora tidak mengindahkan peringatan itu. Wanita itu terlalu terobsesi pada Jeno. "Kau sungguh tidak sopan mengintip seperti itu," ujar seseorang yang tiba-tiba mengagetkan Aurora. Aurora menegakkan badannya dan menatap pria yang berdiri di
"Shit!" umpat Jeno. Demian mengangkat kepalanya dan menatap Jeno. Netra Demian beralih dari wajah Jeno pindah ke tangan Jeno yang masih memegang ponselnya. Demian hanya bisa menduga-duga."Apa apa?" tanya Demian."Sungguh kurang ajar wanita jalang itu," ungkap Jeno."Aurora?" tebak Demian. Jeno menganggukkan kepalanya. Demian menarik napas dan menatap ponsel Jeno. Demian seperti memberi pertanyaan pada Jeno melalui sorot matanya. "Jika hal itu kurang baik, aku bisa memberi dia pelajaran," sambung Demian."Tidak perlu. Biar aku sendiri yang akan memberi dia pelajaran." Jeno meletakkan ponselnya di atas meja. Jeno hanya melihat menu makanan tanpa memegangnya sedikit pun. Nafsu makannya telah sirna."Makanlah," tawar Demian, tapi Jeno hanya menjawab singkat. "Ini enak loh. Apa kau tidak ingin mencobanya?" lanjutnya. Jeno masih enggan untuk menyantapnya. "Jika kau ingin memberi pelajaran pada Aurora, tentunya kau juga butuh energi. Jangan hanya gara-gara hal itu napsu makanmu langsung hi
Benda pipih itu retak parah dibagian layarnya. Jeno tidak tanggung-tanggung membantingnya dengan sangat keras. Manik mata Jeno menatap tajam pada Aurora seraya memberi ancaman peringatan pada wanita itu."Dengar baik-baik, Aurora. Jika kau masih mencari masalah denganku, akan aku pastikan kau menderita selamanya." Jeno segera berlalu dari sana. Jeno melangkah dan dia dengan sengaja menginjak benda pipih yang sudah tergeletak di lantai.Kretek .... Bunyi itu terdengar dan membuat hati Aurora bertambah sakit. Jeno keluar dari tempat itu tanpa menutup pintu.Setelah kepergian Jeno baru Aurora bisa bernapas dengan lega. Dia memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Aurora tidak pernah melihat peringai yang menyeramkan dari Jeno."Kau pikir aku takut padamu? Aku tidak akan begitu saja menyerah." Aurora melangkah dan membungkuk mengambil ponselnya yang sudah rusak parah. Dalam hatinya berbagai macam umpatan terucap.Keesokan harinya Aurora tidak melihat Jeno sama sekali di kantor. Yang te
Sean terus memantau Ryan dari jauh. Gerak-gerik yang mencurigakan dari Jeff pun bisa ditebak oleh Sean. Terlebih lagi Paul, Sean bisa membaca cara Paul memanipulasi Jeff. Seakan Paul sedang mengincar sesuatu dari Ryan melalui kelemahan Jeff, tapi apa yang diincar Paul? Sedangkan Sean sendiri belum begitu mengenal Ryan, tapi tuannya sudah menyuruhnya untuk melindungi Ryan. Paul mencengkeram tangan Jeff dengan kuat. Paul pun menggelengkan kepalanya, lalu dibalas dengan isyarat oleh Jeff. "Kalian berdua sedang apa?" tanya Ryan yang tiba-tiba membalikkan badannya dan mendapatkan Paul sedang memegang tangan Jeff. Melihat wajah Ryan, Jeff tidak bisa menahan amarahnya. Jeff merasa jika Ryan tengah bermain-main dengan dirinya. Jeff tidak bisa menahan diri, laki-laki itu mengibaskan tangannya untuk berusaha melepaskan genggaman tangan Paul. Jeff langsung mengarahkan bogem mentah di muka Ryan hingga Ryan tersungkur jatuh dan mulut Ryan mengeluarkan darah. Paul langsung menarik tubuh Jeff m
Setelah bercakap-cakap dengan calon kakak iparnya. Ryan merasa sangat lega, tapi ada satu hal yang membuat Ryan bingung karena sang kakak tidak pernah menjawab telepon darinya. Hal itu membuat Ryan terus bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah Ryan punya salah pada kakaknya?"Sudah 6 kali aku menghubungi kakak tapi tidak jua diangkat. Sebenarnya apa yang terjadi? Kak Rose tidak seperti ini biasanya." Ryan menatap layar ponselnya. "Apa aku harus menanyakan pada Kak Jeno?" lanjutnya.Berkali-kali Ryan memikirkan hal itu. Setiap dia ingin menghubungi Jeno selalu ada keraguan yang menghantui Ryan. Ryan paham jika Jeno adalah seorang yang sangat sibuk. Akhirnya Ryan memutuskan hanya mengirim pesan untuk Jeno.Secara diam-diam pun Jeno menyimpan nomor telepon milik Ryan. Itu semua Jeno lakukan karena syarat dari Rose.Ting!Jeno melirik saat mendengar bunyi suara dari ponselnya. Ryan menatap Rose yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya. Jeno meletakkan ponselnya dan melangkah mendekati Rose
Rose sangat terkejut saat mendengar suara dari seberang sana. Bukan suara Ryan melainkan suara seorang wanita dan yang lebih membuat Rose takut adalah waktu menunjukkan pukul 21.30. Rose sudah berpikir negatif tentang Ryan sang adik. Dia ingin marah pada Ryan tapi berhubung tadi Rose terkejut dan langsung menutup sambungan telepon."Bodohnya aku," umpat Rose pada dirinya sendiri.Rose kembali mencoba menghubungi Ryan, akan tetapi tidak juga di angkat oleh Ryan. Itu berlaku sampai panggilan yang ke tujuh kalinya. Rose mulai murka pada Ryan. Rose tak habis pikir dengan adik satu-satunya itu. Padahal Rose paling tahu jika Ryan adalah anak yang baik dan patuh."Apa yang terjadi? Apakah dia——ah, tidak mungkin. Ryan tidak mungkin melakukan hal itu." Rose mulai mencemaskan adik satu-satunya. Pikiran Rose sudah memikirkan hal yang berbau negatif.Tidak ada respons lagi dari Ryan. Akhirnya Rose memilih untuk diam. Dia tidak akan menerima panggilan dari Ryan. Hati Rose sudah terlanjur kecewa p
"Aku punya dua syarat untukmu. Pertama, aku ingin ayahku nanti yang akan mendampingiku dan yang kedua, aku ingin adikku Ryan tinggal bersama dengan ku di sini."Dua syarat itu memang tidak berat, tapi tidak bagi Jeno. Jeno tidak setuju dengan syarat nomor satu, karena Jeno sendiri mulai membenci ayahnya Rose. Tanpa diketahui oleh Rose, Roland sering menghubungi Jeno untuk meminta uang.Jeno sama sekali belum memberitahukan hal itu pada Rose, karena Jeno tidak ingin Rose sedih atau kecewa. Di sisi lain mungkin Rose juga tidak akan mempercayainya."Aku tidak bisa mengabulkan semua syarat mu, aku hanya bisa mengabulkan salah satunya." Jeno menatap Rose tanpa ekspresi. "Aku akan memberimu waktu sehari untuk memikirkannya. Jika kau menyetujuinya aku akan langsung mengumumkan berita bahagia itu," lanjut Jeno. Lantas pria itu berlalu dari hadapan Rose. Damian yang berada di sana hanya bisa tersenyum dan membungkukkan kepalanya, lalu berlalu mengikuti Jeno di belakangnya.Sementara itu di tem
Rem diinjak mendadak oleh Jeno, tetapi semua bisa dikontrol dan tidak ada yang terluka. Untung saja Jeno hanya memacu mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Namun, tentu saja membuat Rose marah. Bahkan gadis itu sempat memarahi Jeno. Rem diinjak mendadak bukan karena terjadi kecelakaan, melainkan Jeno terkejut dengan pernyataan dari Rose.Beruntung mereka sedang tidak berada di jalan raya. Jeno menatap Rose dengan seksama seolah Jeno tidak menyangka akan hal itu."Tapi aku punya syarat untukmu," lanjut Rose."Apa syaratnya?" tanya Jeno."Kita bicarakan syarat itu jika kita sudah sampai di rumah," sahut Rose. Jeno pun mengikuti permintaan dari Rose. Jeno kembali melajukan mobilnya menuju ke rumah. Sesampainya di rumah Jeno tidak langsung menagih ucapan Rose. Pria itu membiarkan Rose untuk beristirahat terlebih dahulu, karena dia pun harus segera ke kantor setelah menerima panggilan dari Damian.Empat jam kemudian saat menjelang petang Jeno pulang ke rumah. Rose pun sudah menyediakan men
Jeno melangkah mendekati salah satu pegawainya yang sedang membersihkan kaca. Jeno terus memperhatikannya. Pegawai itu tidak menyadari jika Jeno sedang memperhatikannya sedari tadi. Ada beberapa pegawai yang menyadari keberadaan Jeno di sana, mereka bekerja dengan perasaan takut."Se-sela-mat pa-gi, Pak Jeno," sapa mereka yang sadar akan keberadaan Jeno."Kenapa kalian seperti orang ketakutan?" tanya Jeno."Ti-tidak. Ma-maaf, tidak seperti biasanya Pak Jeno memantau kami bekerja. Apa salah seorang di antara kami ada yang melakukan kesalahan?"Jeno menarik napas, "Tidak ada. Kalian tidak ada yang membuat kesalahan. Apa kalian sudah sarapan?""Be-belum ...," ucap mereka."Turun lah kalian ke B1. Demian sudah menyiapkan sarapan untuk kalian dan kalian bisa kembali bekerja di jam 7." Jeno langsung berlalu dari sana."Terima kasih, Pak Jeno," ucap mereka sambil menunduk."Kok tumben sekali," celetuk seorang pegawai laki-laki."Hush, jangan bicara seperti itu. Pak Jeno sebenarnya orang bai
Teriakan erangan kesakitan terdengar memenuhi ruangan tersebut. Tangan Aurora sampai mencengkeram lengan Elvis hingga kemerahan. Proses yang cukup cepat tapi bagi Aurora hal itu seperti neraka. Bahkan wanita itu sempat menangis menahan kesakitan."Coba gerakan kaki anda memutar," perintah laki-laki itu. Aurora menurutinya. Wanita itu memutarkan kakinya. "Apa masih terasa sakit?" lanjutnya bertanya sambil menatap wajah Aurora. Aurora menatap laki-laki itu dan kemudian beralih menatap Elvis. "Tidak. Sama sekali tidak terasa sakit.""Baguslah. Itu berarti sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi aku sarankan untuk lebih berhati-hati. Jangan bergerak terlalu berlebihan. Lusa bengkak itu akan hilang. Rajin-rajinlah mengompres dengan air dingin," pesannya."Terima kasih atas bantuannya," tutur Aurora. Elvis tertawa mendengarnya. Aurora melirik dan menepuk lengan Elvis."Auw!" Elvis mengerang kesakitan karena tepukan tangan dari Aurora mengenai bekas cengkeraman Aurora."Hahaha ... k
Elvis merasa ada yang aneh saat melihat ibunya Aurora sama sekali tidak mengatakan sesuatu alias diam. Begitu juga dengan Aurora. Elvis memang sosok pria yang sangat peka dengan keadaan.Elvis berdeham agar suasana tidak canggung dan hening. "Bolehkah aku bertanya?" Aurora menatap Elvis, lalu tersenyum. "Kau pasti menanyakan suatu hal yang baru terjadi beberapa detik yang lalu?""Apa kau tidak begitu akrab dengan ibumu?" lanjut Elvis. Aurora menghela napas panjang, lalu mengangkat kepalanya ke atas. "Jika kau tidak ingin menceritakannya, tidak apa-apa. Aku yang sudah sangat lancang telah bertanya padamu.""Aku memang tidak akrab dengan ibuku sejak kejadian itu. Kau pasti kenal Jeno, kan?" Aurora menatap Elvis dan pria itu menganggukkan kepalanya."Memangnya——apa ada hubungannya dengan Jeno?" selidik Elvis. Pria itu begitu ingin tahu kejadian yang sebenarnya."Sebenarnya ibuku bekerja di rumah Jeno, tapi karena suatu hal ibuku dipecat dari pekerjaannya," terang Aurora.Elvis mengerutk
Aurora terkejut dan dia terlambat untuk menghindar. Hal itu mengakibatkan Aurora sedikit terserempet mobil yang lewat serta membuatnya jatuh di atas trotoar. Aurora meringis karena pantatnya mencium trotoar dengan keras.Mobil berhenti tidak jauh dari Aurora. Pintu terbuka dan keluarlah seorang pria dari dalam mobil."Nona, anda baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" kata pria itu menghampiri Aurora.Aurora mengangkat kepalanya dan menatap pria tersebut. Mata Aurora tidak berkedip sama sekali saat melihat pemandangan di depannya. Aurora begitu sangat terkesima dengan pria yang sedang berdiri di depan Aurora."Nona ... nona, anda tidak apa-apa?" Pria itu membuat Aurora tersadar dari mimpinya yang mengagumi ketampanannya."A—ku ... aku hanya sedikit tergores," kata Aurora sambil memegangi lengannya dan benar saja kain yang menutupi lengannya robek.Lantas Aurora mencoba untuk berdiri, akan tetapi Aurora terjatuh lagi karena dia merasakan sakit dan nyeri pada bagian pergelangan kakinya.