Benda pipih itu retak parah dibagian layarnya. Jeno tidak tanggung-tanggung membantingnya dengan sangat keras. Manik mata Jeno menatap tajam pada Aurora seraya memberi ancaman peringatan pada wanita itu."Dengar baik-baik, Aurora. Jika kau masih mencari masalah denganku, akan aku pastikan kau menderita selamanya." Jeno segera berlalu dari sana. Jeno melangkah dan dia dengan sengaja menginjak benda pipih yang sudah tergeletak di lantai.Kretek .... Bunyi itu terdengar dan membuat hati Aurora bertambah sakit. Jeno keluar dari tempat itu tanpa menutup pintu.Setelah kepergian Jeno baru Aurora bisa bernapas dengan lega. Dia memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Aurora tidak pernah melihat peringai yang menyeramkan dari Jeno."Kau pikir aku takut padamu? Aku tidak akan begitu saja menyerah." Aurora melangkah dan membungkuk mengambil ponselnya yang sudah rusak parah. Dalam hatinya berbagai macam umpatan terucap.Keesokan harinya Aurora tidak melihat Jeno sama sekali di kantor. Yang te
Rose masih tidak percaya jika dirinya hamil. Di samping itu dia juga bingung karena dia hamil dalam keadaan belum mempunyai status apapun. Rasa dilema mulai menyerah Rose.Namun, sepertinya Jeno paham apa yang sedang dirasakan oleh Rose. Pria itu melangkah mendekati Rose."Kau tidak perlu khawatir. Aku akan bertanggung jawab atas anak yang ada di dalam rahim mu itu. Yang jelas itu adalah anakku bukan anak pria lain." Jeno memegang tangan Rose."Apa aku bisa memegang kata-kata mu itu?" tanya Rose."Tentu saja. Aku sudah memutuskan aku akan segera menikahi mu dan aku rasa tidak perlu juga meminta restu dari ayahmu itu. Kau sudah jatuh di tangan orang yang tepat seperti aku ini," kata Jeno."Bukankah restu dari orang tua itu penting.""Kau masih menganggap dia sebagai ayah mu? Setelah apa yang dia lakukan padamu," tegas Jeno. Rose menundukkan kepalanya. Dia mengingat pada waktu itu, di mana sang ayah menjualnya pada pria yang sekarang sedang duduk di sampingnya. "Jika aku jadi kau, aku
Aurora melirik saat Demian menutup pintu ruangan Jeno, lalu dia kembali fokus ke Jeno saat mengumumkan bahwa pagi itu akan ada rapat. Sekilas Jeno menatap Aurora dengan tatapan yang tidak suka saat Aurora tersenyum menggoda padanya, lalu Jeno membuang napas kasar dan mengalihkan pandangannya.Demian mendekati Aurora, "Hey, jaga tingkah laku mu jika tidak ingin berakhir mengenaskan." Demian segera berlalu dari hadapan Aurora menyusul Jeno dan beberapa pegawai lainnya berjalan di belakang Jeno.Aurora masih berdiri diam di kubikel nya. Kedua matanya beberapa kali bergantian menatap rombongan Jeno dan pintu ruangan Jeno, lalu dia mengambil tumpukan berkas yang ada di atas meja kerjanya. Aurora segera berlalu dan menyusul Jeno dan yang lainnya.Setelah semua masuk ke dalam ruang rapat. Jeno menyuruh Demian untuk segera memulai rapat pada pagi hari itu. Jeno duduk tenang menyimak Demian yang sedang memimpin rapat tersebut.Rapat berlangsung kurang lebih 1 jam. Saat semua sedang sibuk, Auro
"Segera bereskan semua barangmu," perintah Demian. Kali itu Demian sama sekali tidak menaruh rasa kasian pada Aurora, karena hal itu terjadi atas kelakuan dia sendiri yang dianggap selalu meremehkan saran atau nasehat orang lain. Demian sendiri juga sudah memberi peringatan berkali-kali pada Aurora."Tidak ... bukan seperti ini caranya. Aku tidak terima," kata Aurora membela dirinya sendiri."Telingamu sudah cukup jelas tadi Jeno bilang apa," tegas Demian."Apa dia gila membuatku tidak bisa mencari pekerjaan di beberapa perusahaan di kota ini?" teriak Aurora.Demian berdecak, "Sudah aku tekankan dari awal dan Jeno pun sudah memberimu peringatan, tapi kau masih saja nekat mencari masalah." Demian menyerahkan amplop pada Aurora. "Segera bereskan barang-barangmu. Aku sudah tidak ingin melihat mukamu lagi," lanjut Demian berlalu dari hadapan Aurora.Terima atau tidak terima, Aurora terpaksa membereskan semua barang-barangnya. Dia membereskan semuanya dengan keadaan hati yang tidak ikhlas
"Jen, apa kau sangat menikmatinya?" tanya Aurora dengan sangat manjanya. Wanita itu menaruh kepalanya di dada sebelah kanan Jeno dan tangan itu meraba halus dari dada kiri Jeno bergerak ke perut dan turun ke bawah.Tiba-tiba tangan Jeno menahan tangan Aurora. "Jangan lakukan itu lagi?""Kenapa?" tanya Aurora semakin menggoda Jeno dengan menciumi dada pria tampan itu."Kau akan menyesal nanti," lanjut Jeno."Aku tidak akan pernah menyesal jika bersamamu." Aurora meneruskan aktivitasnya dia terus menciumi dada Jeno hingga turun ke perutnya. Sedangkan tangan kanannya sudah menelusup ke dalam selimut dan bermain dengan senjata milik Jeno.Jeno mulai aktif kembali setelah 30 menit yang lalu dia sudah menyelesaikan 2 ronde. Kini Jeno dipaksa lagi oleh Aurora untuk bangkit dan bermain lagi."Kau sungguh wanita hiperseks, Aurora," tandas Jeno."Aku seperti ini juga karena kau, Jen," balas Aurora dengan bermain apik di area sensitif milik Jeno tepatnya di bawah pusat Jeno.Aurora terus memaink
Setelah menunggu sekitar 10 menit akhirnya dipanggil satu persatu. Setiap dipanggil dua orang sekaligus yang masuk. Bahkan sampai anda insiden saling menjatuhkan. Salah seorang dari mereka memasang kaki agar target tersandung dan jatuh. Jebakan itu berhasil dan target pun jatuh ke lantai tepat dihadapan Aurora. Wanita itu meringis kesakitan di depan Aurora dan Aurora pun tidak menghiraukan sama sekali. Justru Aurora sibuk sendiri dengan sebuah kaca yang dia pegang. Apalagi jika bukan bersolek. Wanita itu terpaksa bangun walaupun lututnya terasa nyeri dan lebam berwarna biru keunguan. Wanita itu langsung masuk ke dalam ruangan. Sekitar 10 menit kemudian wanita itu keluar dan duduk lagi di tempat semula. Kandidat selanjutnya pun masuk ke dalam dan sampailah giliran Aurora. Aurora masuk ke dalam ruangan bersama dua pelamar lainnya karena total pelamar ganjil.Aurora duduk bersama kedua rivalnya. Sementara di depan mereka ada dua orang yang sedang memeriksa CV ketiga calon pelamar kerja.
Aurora terkejut dan dia terlambat untuk menghindar. Hal itu mengakibatkan Aurora sedikit terserempet mobil yang lewat serta membuatnya jatuh di atas trotoar. Aurora meringis karena pantatnya mencium trotoar dengan keras.Mobil berhenti tidak jauh dari Aurora. Pintu terbuka dan keluarlah seorang pria dari dalam mobil."Nona, anda baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" kata pria itu menghampiri Aurora.Aurora mengangkat kepalanya dan menatap pria tersebut. Mata Aurora tidak berkedip sama sekali saat melihat pemandangan di depannya. Aurora begitu sangat terkesima dengan pria yang sedang berdiri di depan Aurora."Nona ... nona, anda tidak apa-apa?" Pria itu membuat Aurora tersadar dari mimpinya yang mengagumi ketampanannya."A—ku ... aku hanya sedikit tergores," kata Aurora sambil memegangi lengannya dan benar saja kain yang menutupi lengannya robek.Lantas Aurora mencoba untuk berdiri, akan tetapi Aurora terjatuh lagi karena dia merasakan sakit dan nyeri pada bagian pergelangan kakinya.
Elvis merasa ada yang aneh saat melihat ibunya Aurora sama sekali tidak mengatakan sesuatu alias diam. Begitu juga dengan Aurora. Elvis memang sosok pria yang sangat peka dengan keadaan.Elvis berdeham agar suasana tidak canggung dan hening. "Bolehkah aku bertanya?" Aurora menatap Elvis, lalu tersenyum. "Kau pasti menanyakan suatu hal yang baru terjadi beberapa detik yang lalu?""Apa kau tidak begitu akrab dengan ibumu?" lanjut Elvis. Aurora menghela napas panjang, lalu mengangkat kepalanya ke atas. "Jika kau tidak ingin menceritakannya, tidak apa-apa. Aku yang sudah sangat lancang telah bertanya padamu.""Aku memang tidak akrab dengan ibuku sejak kejadian itu. Kau pasti kenal Jeno, kan?" Aurora menatap Elvis dan pria itu menganggukkan kepalanya."Memangnya——apa ada hubungannya dengan Jeno?" selidik Elvis. Pria itu begitu ingin tahu kejadian yang sebenarnya."Sebenarnya ibuku bekerja di rumah Jeno, tapi karena suatu hal ibuku dipecat dari pekerjaannya," terang Aurora.Elvis mengerutk
Sean terus memantau Ryan dari jauh. Gerak-gerik yang mencurigakan dari Jeff pun bisa ditebak oleh Sean. Terlebih lagi Paul, Sean bisa membaca cara Paul memanipulasi Jeff. Seakan Paul sedang mengincar sesuatu dari Ryan melalui kelemahan Jeff, tapi apa yang diincar Paul? Sedangkan Sean sendiri belum begitu mengenal Ryan, tapi tuannya sudah menyuruhnya untuk melindungi Ryan. Paul mencengkeram tangan Jeff dengan kuat. Paul pun menggelengkan kepalanya, lalu dibalas dengan isyarat oleh Jeff. "Kalian berdua sedang apa?" tanya Ryan yang tiba-tiba membalikkan badannya dan mendapatkan Paul sedang memegang tangan Jeff. Melihat wajah Ryan, Jeff tidak bisa menahan amarahnya. Jeff merasa jika Ryan tengah bermain-main dengan dirinya. Jeff tidak bisa menahan diri, laki-laki itu mengibaskan tangannya untuk berusaha melepaskan genggaman tangan Paul. Jeff langsung mengarahkan bogem mentah di muka Ryan hingga Ryan tersungkur jatuh dan mulut Ryan mengeluarkan darah. Paul langsung menarik tubuh Jeff m
Setelah bercakap-cakap dengan calon kakak iparnya. Ryan merasa sangat lega, tapi ada satu hal yang membuat Ryan bingung karena sang kakak tidak pernah menjawab telepon darinya. Hal itu membuat Ryan terus bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah Ryan punya salah pada kakaknya?"Sudah 6 kali aku menghubungi kakak tapi tidak jua diangkat. Sebenarnya apa yang terjadi? Kak Rose tidak seperti ini biasanya." Ryan menatap layar ponselnya. "Apa aku harus menanyakan pada Kak Jeno?" lanjutnya.Berkali-kali Ryan memikirkan hal itu. Setiap dia ingin menghubungi Jeno selalu ada keraguan yang menghantui Ryan. Ryan paham jika Jeno adalah seorang yang sangat sibuk. Akhirnya Ryan memutuskan hanya mengirim pesan untuk Jeno.Secara diam-diam pun Jeno menyimpan nomor telepon milik Ryan. Itu semua Jeno lakukan karena syarat dari Rose.Ting!Jeno melirik saat mendengar bunyi suara dari ponselnya. Ryan menatap Rose yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya. Jeno meletakkan ponselnya dan melangkah mendekati Rose
Rose sangat terkejut saat mendengar suara dari seberang sana. Bukan suara Ryan melainkan suara seorang wanita dan yang lebih membuat Rose takut adalah waktu menunjukkan pukul 21.30. Rose sudah berpikir negatif tentang Ryan sang adik. Dia ingin marah pada Ryan tapi berhubung tadi Rose terkejut dan langsung menutup sambungan telepon."Bodohnya aku," umpat Rose pada dirinya sendiri.Rose kembali mencoba menghubungi Ryan, akan tetapi tidak juga di angkat oleh Ryan. Itu berlaku sampai panggilan yang ke tujuh kalinya. Rose mulai murka pada Ryan. Rose tak habis pikir dengan adik satu-satunya itu. Padahal Rose paling tahu jika Ryan adalah anak yang baik dan patuh."Apa yang terjadi? Apakah dia——ah, tidak mungkin. Ryan tidak mungkin melakukan hal itu." Rose mulai mencemaskan adik satu-satunya. Pikiran Rose sudah memikirkan hal yang berbau negatif.Tidak ada respons lagi dari Ryan. Akhirnya Rose memilih untuk diam. Dia tidak akan menerima panggilan dari Ryan. Hati Rose sudah terlanjur kecewa p
"Aku punya dua syarat untukmu. Pertama, aku ingin ayahku nanti yang akan mendampingiku dan yang kedua, aku ingin adikku Ryan tinggal bersama dengan ku di sini."Dua syarat itu memang tidak berat, tapi tidak bagi Jeno. Jeno tidak setuju dengan syarat nomor satu, karena Jeno sendiri mulai membenci ayahnya Rose. Tanpa diketahui oleh Rose, Roland sering menghubungi Jeno untuk meminta uang.Jeno sama sekali belum memberitahukan hal itu pada Rose, karena Jeno tidak ingin Rose sedih atau kecewa. Di sisi lain mungkin Rose juga tidak akan mempercayainya."Aku tidak bisa mengabulkan semua syarat mu, aku hanya bisa mengabulkan salah satunya." Jeno menatap Rose tanpa ekspresi. "Aku akan memberimu waktu sehari untuk memikirkannya. Jika kau menyetujuinya aku akan langsung mengumumkan berita bahagia itu," lanjut Jeno. Lantas pria itu berlalu dari hadapan Rose. Damian yang berada di sana hanya bisa tersenyum dan membungkukkan kepalanya, lalu berlalu mengikuti Jeno di belakangnya.Sementara itu di tem
Rem diinjak mendadak oleh Jeno, tetapi semua bisa dikontrol dan tidak ada yang terluka. Untung saja Jeno hanya memacu mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Namun, tentu saja membuat Rose marah. Bahkan gadis itu sempat memarahi Jeno. Rem diinjak mendadak bukan karena terjadi kecelakaan, melainkan Jeno terkejut dengan pernyataan dari Rose.Beruntung mereka sedang tidak berada di jalan raya. Jeno menatap Rose dengan seksama seolah Jeno tidak menyangka akan hal itu."Tapi aku punya syarat untukmu," lanjut Rose."Apa syaratnya?" tanya Jeno."Kita bicarakan syarat itu jika kita sudah sampai di rumah," sahut Rose. Jeno pun mengikuti permintaan dari Rose. Jeno kembali melajukan mobilnya menuju ke rumah. Sesampainya di rumah Jeno tidak langsung menagih ucapan Rose. Pria itu membiarkan Rose untuk beristirahat terlebih dahulu, karena dia pun harus segera ke kantor setelah menerima panggilan dari Damian.Empat jam kemudian saat menjelang petang Jeno pulang ke rumah. Rose pun sudah menyediakan men
Jeno melangkah mendekati salah satu pegawainya yang sedang membersihkan kaca. Jeno terus memperhatikannya. Pegawai itu tidak menyadari jika Jeno sedang memperhatikannya sedari tadi. Ada beberapa pegawai yang menyadari keberadaan Jeno di sana, mereka bekerja dengan perasaan takut."Se-sela-mat pa-gi, Pak Jeno," sapa mereka yang sadar akan keberadaan Jeno."Kenapa kalian seperti orang ketakutan?" tanya Jeno."Ti-tidak. Ma-maaf, tidak seperti biasanya Pak Jeno memantau kami bekerja. Apa salah seorang di antara kami ada yang melakukan kesalahan?"Jeno menarik napas, "Tidak ada. Kalian tidak ada yang membuat kesalahan. Apa kalian sudah sarapan?""Be-belum ...," ucap mereka."Turun lah kalian ke B1. Demian sudah menyiapkan sarapan untuk kalian dan kalian bisa kembali bekerja di jam 7." Jeno langsung berlalu dari sana."Terima kasih, Pak Jeno," ucap mereka sambil menunduk."Kok tumben sekali," celetuk seorang pegawai laki-laki."Hush, jangan bicara seperti itu. Pak Jeno sebenarnya orang bai
Teriakan erangan kesakitan terdengar memenuhi ruangan tersebut. Tangan Aurora sampai mencengkeram lengan Elvis hingga kemerahan. Proses yang cukup cepat tapi bagi Aurora hal itu seperti neraka. Bahkan wanita itu sempat menangis menahan kesakitan."Coba gerakan kaki anda memutar," perintah laki-laki itu. Aurora menurutinya. Wanita itu memutarkan kakinya. "Apa masih terasa sakit?" lanjutnya bertanya sambil menatap wajah Aurora. Aurora menatap laki-laki itu dan kemudian beralih menatap Elvis. "Tidak. Sama sekali tidak terasa sakit.""Baguslah. Itu berarti sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi aku sarankan untuk lebih berhati-hati. Jangan bergerak terlalu berlebihan. Lusa bengkak itu akan hilang. Rajin-rajinlah mengompres dengan air dingin," pesannya."Terima kasih atas bantuannya," tutur Aurora. Elvis tertawa mendengarnya. Aurora melirik dan menepuk lengan Elvis."Auw!" Elvis mengerang kesakitan karena tepukan tangan dari Aurora mengenai bekas cengkeraman Aurora."Hahaha ... k
Elvis merasa ada yang aneh saat melihat ibunya Aurora sama sekali tidak mengatakan sesuatu alias diam. Begitu juga dengan Aurora. Elvis memang sosok pria yang sangat peka dengan keadaan.Elvis berdeham agar suasana tidak canggung dan hening. "Bolehkah aku bertanya?" Aurora menatap Elvis, lalu tersenyum. "Kau pasti menanyakan suatu hal yang baru terjadi beberapa detik yang lalu?""Apa kau tidak begitu akrab dengan ibumu?" lanjut Elvis. Aurora menghela napas panjang, lalu mengangkat kepalanya ke atas. "Jika kau tidak ingin menceritakannya, tidak apa-apa. Aku yang sudah sangat lancang telah bertanya padamu.""Aku memang tidak akrab dengan ibuku sejak kejadian itu. Kau pasti kenal Jeno, kan?" Aurora menatap Elvis dan pria itu menganggukkan kepalanya."Memangnya——apa ada hubungannya dengan Jeno?" selidik Elvis. Pria itu begitu ingin tahu kejadian yang sebenarnya."Sebenarnya ibuku bekerja di rumah Jeno, tapi karena suatu hal ibuku dipecat dari pekerjaannya," terang Aurora.Elvis mengerutk
Aurora terkejut dan dia terlambat untuk menghindar. Hal itu mengakibatkan Aurora sedikit terserempet mobil yang lewat serta membuatnya jatuh di atas trotoar. Aurora meringis karena pantatnya mencium trotoar dengan keras.Mobil berhenti tidak jauh dari Aurora. Pintu terbuka dan keluarlah seorang pria dari dalam mobil."Nona, anda baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" kata pria itu menghampiri Aurora.Aurora mengangkat kepalanya dan menatap pria tersebut. Mata Aurora tidak berkedip sama sekali saat melihat pemandangan di depannya. Aurora begitu sangat terkesima dengan pria yang sedang berdiri di depan Aurora."Nona ... nona, anda tidak apa-apa?" Pria itu membuat Aurora tersadar dari mimpinya yang mengagumi ketampanannya."A—ku ... aku hanya sedikit tergores," kata Aurora sambil memegangi lengannya dan benar saja kain yang menutupi lengannya robek.Lantas Aurora mencoba untuk berdiri, akan tetapi Aurora terjatuh lagi karena dia merasakan sakit dan nyeri pada bagian pergelangan kakinya.