Pipi Rose merah karena tamparan keras dari Jeno. Bahkan ada sedikit darah disudut kiri bibir Rose. Mata Rose berkaca-kaca karena menahan rasa sakit. Rose menatap wajah Jeno yang terlihat menakutkan. Seakan mata itu tidak menaruh rasa kasian pada Rose.Tanpa pikir panjang Rose mendorong tubuh Jeno dan dia berlari menuju pintu. Rose menggerakkan gagang pintu tersebut berkali-kali."Ke-kenapa tidak bisa dibuka?" "Kau tidak akan bisa keluar dari kamar ini, jalang." Tawa Jeno terdengar menggelegar. Pria itu melangkah gontai mendekati Rose dan menarik tangan Rose dengan kasar."Lepaskan aku, tuan. Anda sedang dalam keadaan mabuk. Aku mohon lepaskan aku," kata Rose memohon.Jeno tidak mendengarkan teriakan Rose, dia mendorong tubuh Rose ke ranjang dan tanpa basa-basi Jeno menarik paksa lingerie yang dipakai oleh Rose. Rose hanya bisa menangis dan menutupi bagian tubuhnya yang sudah terekspos dengan jelas. Kini tak sehelai benang pun yang menempel ditubuh Rose. Jeno yang sudah kemasukan set
Rose hanya diam di dalam bath-up yang asap dari air hangat masih mengepul. Rose terlihat merenungi kejadian itu. Kata-kata Rose masih teriang-iang dalam benak Rose.Rose menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. Tangan kanannya terangkat dan memegang bibirnya, lalu dia menenggelamkan kepalanya selama beberapa menit. Kemudian dia kembali muncul ke permukaan."Cukup pahit sekali hidupku ini. Kenapa ayah begitu jahat padaku? Kenapa aku harus dijual pada pria brengsek seperti dia?" keluh Rose pada bayangannya yang terpantul di permukaan air. "Apakah aku sanggup melewati kehidupanku yang pahit ini?" lanjutnya lirih.Sementara itu di dapur Jeno tengah sibuk membuatkan sarapan untuk Rose. Jeno merebus 4 buah kentang dan 2 butir telur. Tidak lupa Jeno memanggang 4 lembar roti tawar dan menuangkan susu ke dalam dua buah gelas. Setelah kentang dan telur matang, Jeno membelah telur serta kentang itu menjadi dua. Jeno menaruhnya di atas piring. Menata dengan rapi dan menarik."Aku berharap Ro
Satu hari yang lalu. Jeno yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya tidak tahu jika ada sepasang mata yang terus memperhatikannya dari balik cela. Mata berwarna biru dengan bulu mata yang lentik itu terus mengikuti gerak-gerik Jeno. Insting Jeno begitu kuat. Pria tampan itu merasakan jika dirinya sedang di mata-matai. Pria itu hanya tersenyum tipis. Bola mata biru itu terus memperhatikan Jeno dari rambut turun ke hidung Jeno dan berakhir ke bibir seksi Jeno. Aurora berkali-kali menelan saliva nya sendiri. Sebenarnya dia ingin sekali datang dan menghampiri Jeno lalu memeluknya. Apalah dayanya yang tidak bisa sembarangan mendekati Jeno. Ya, Aurora sudah pernah mendapatkan peringatan langsung dari Jeno untuk menjaga jarak. Namun, sepertinya Aurora tidak mengindahkan peringatan itu. Wanita itu terlalu terobsesi pada Jeno. "Kau sungguh tidak sopan mengintip seperti itu," ujar seseorang yang tiba-tiba mengagetkan Aurora. Aurora menegakkan badannya dan menatap pria yang berdiri di
"Shit!" umpat Jeno. Demian mengangkat kepalanya dan menatap Jeno. Netra Demian beralih dari wajah Jeno pindah ke tangan Jeno yang masih memegang ponselnya. Demian hanya bisa menduga-duga."Apa apa?" tanya Demian."Sungguh kurang ajar wanita jalang itu," ungkap Jeno."Aurora?" tebak Demian. Jeno menganggukkan kepalanya. Demian menarik napas dan menatap ponsel Jeno. Demian seperti memberi pertanyaan pada Jeno melalui sorot matanya. "Jika hal itu kurang baik, aku bisa memberi dia pelajaran," sambung Demian."Tidak perlu. Biar aku sendiri yang akan memberi dia pelajaran." Jeno meletakkan ponselnya di atas meja. Jeno hanya melihat menu makanan tanpa memegangnya sedikit pun. Nafsu makannya telah sirna."Makanlah," tawar Demian, tapi Jeno hanya menjawab singkat. "Ini enak loh. Apa kau tidak ingin mencobanya?" lanjutnya. Jeno masih enggan untuk menyantapnya. "Jika kau ingin memberi pelajaran pada Aurora, tentunya kau juga butuh energi. Jangan hanya gara-gara hal itu napsu makanmu langsung hi
Benda pipih itu retak parah dibagian layarnya. Jeno tidak tanggung-tanggung membantingnya dengan sangat keras. Manik mata Jeno menatap tajam pada Aurora seraya memberi ancaman peringatan pada wanita itu."Dengar baik-baik, Aurora. Jika kau masih mencari masalah denganku, akan aku pastikan kau menderita selamanya." Jeno segera berlalu dari sana. Jeno melangkah dan dia dengan sengaja menginjak benda pipih yang sudah tergeletak di lantai.Kretek .... Bunyi itu terdengar dan membuat hati Aurora bertambah sakit. Jeno keluar dari tempat itu tanpa menutup pintu.Setelah kepergian Jeno baru Aurora bisa bernapas dengan lega. Dia memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Aurora tidak pernah melihat peringai yang menyeramkan dari Jeno."Kau pikir aku takut padamu? Aku tidak akan begitu saja menyerah." Aurora melangkah dan membungkuk mengambil ponselnya yang sudah rusak parah. Dalam hatinya berbagai macam umpatan terucap.Keesokan harinya Aurora tidak melihat Jeno sama sekali di kantor. Yang te
Rose masih tidak percaya jika dirinya hamil. Di samping itu dia juga bingung karena dia hamil dalam keadaan belum mempunyai status apapun. Rasa dilema mulai menyerah Rose.Namun, sepertinya Jeno paham apa yang sedang dirasakan oleh Rose. Pria itu melangkah mendekati Rose."Kau tidak perlu khawatir. Aku akan bertanggung jawab atas anak yang ada di dalam rahim mu itu. Yang jelas itu adalah anakku bukan anak pria lain." Jeno memegang tangan Rose."Apa aku bisa memegang kata-kata mu itu?" tanya Rose."Tentu saja. Aku sudah memutuskan aku akan segera menikahi mu dan aku rasa tidak perlu juga meminta restu dari ayahmu itu. Kau sudah jatuh di tangan orang yang tepat seperti aku ini," kata Jeno."Bukankah restu dari orang tua itu penting.""Kau masih menganggap dia sebagai ayah mu? Setelah apa yang dia lakukan padamu," tegas Jeno. Rose menundukkan kepalanya. Dia mengingat pada waktu itu, di mana sang ayah menjualnya pada pria yang sekarang sedang duduk di sampingnya. "Jika aku jadi kau, aku
Aurora melirik saat Demian menutup pintu ruangan Jeno, lalu dia kembali fokus ke Jeno saat mengumumkan bahwa pagi itu akan ada rapat. Sekilas Jeno menatap Aurora dengan tatapan yang tidak suka saat Aurora tersenyum menggoda padanya, lalu Jeno membuang napas kasar dan mengalihkan pandangannya.Demian mendekati Aurora, "Hey, jaga tingkah laku mu jika tidak ingin berakhir mengenaskan." Demian segera berlalu dari hadapan Aurora menyusul Jeno dan beberapa pegawai lainnya berjalan di belakang Jeno.Aurora masih berdiri diam di kubikel nya. Kedua matanya beberapa kali bergantian menatap rombongan Jeno dan pintu ruangan Jeno, lalu dia mengambil tumpukan berkas yang ada di atas meja kerjanya. Aurora segera berlalu dan menyusul Jeno dan yang lainnya.Setelah semua masuk ke dalam ruang rapat. Jeno menyuruh Demian untuk segera memulai rapat pada pagi hari itu. Jeno duduk tenang menyimak Demian yang sedang memimpin rapat tersebut.Rapat berlangsung kurang lebih 1 jam. Saat semua sedang sibuk, Auro
"Segera bereskan semua barangmu," perintah Demian. Kali itu Demian sama sekali tidak menaruh rasa kasian pada Aurora, karena hal itu terjadi atas kelakuan dia sendiri yang dianggap selalu meremehkan saran atau nasehat orang lain. Demian sendiri juga sudah memberi peringatan berkali-kali pada Aurora."Tidak ... bukan seperti ini caranya. Aku tidak terima," kata Aurora membela dirinya sendiri."Telingamu sudah cukup jelas tadi Jeno bilang apa," tegas Demian."Apa dia gila membuatku tidak bisa mencari pekerjaan di beberapa perusahaan di kota ini?" teriak Aurora.Demian berdecak, "Sudah aku tekankan dari awal dan Jeno pun sudah memberimu peringatan, tapi kau masih saja nekat mencari masalah." Demian menyerahkan amplop pada Aurora. "Segera bereskan barang-barangmu. Aku sudah tidak ingin melihat mukamu lagi," lanjut Demian berlalu dari hadapan Aurora.Terima atau tidak terima, Aurora terpaksa membereskan semua barang-barangnya. Dia membereskan semuanya dengan keadaan hati yang tidak ikhlas
Satu jam setelah Rose selesai memasak. Gadis itu menunggu pujaan hatinya di ruang tengah. Beberapa kali Rose melangkah ke depan melihat gerbang. Di sana tampak dua orang penjaga sedang berjaga. Rose kembali melangkah ke ruang tengah sambil melipat tangannya di dada. Sesekali melirik jam yang menempel di dinding."Kenapa dia belum pulang?" dengus Rose.Saat mendengar deru mobil masuk, Rose langsung berlari ke depan. Rose kembali terkejut saat melihat siapa yang pertama kali dilihat oleh Rose."Ryan?" ucapnya lirih.Dari pintu sebelah Jeno keluar dan menatap Rose. Jeno tersenyum saat melihat Rose melangkah mendekati Ryan. Sang adik tersenyum dan merenggangkan kedua tangannya."Kak Rose, tidak rindu padaku?" ujarnya.Tanpa diberi aba-aba pun Rose langsung memeluk Ryan. Jeno melangkah mendekati keduanya yang sedang berpelukan. Rose merenggangkan pelukannya dan beralih menatap Jeno."Kenapa kau tidak bilang padaku?" "Aku berniat memberimu kejutan.""Bahkan aku lupa jika aku sedang marah p
"Kau tidak bisa menuduhku begitu saja. Aku bisa menuntut mu," ancam Jeff.Jeno membalikkan badannya menatap Jeff dan juga Paul. "Menuntut ku? Kau memperingatkan ku atau kau sedang mengancam ku? Bagaimana bisa kau menuntut ku?" Jeno memperlihatkan benda pipih yang berpindah tangan dari Sean ke Jeno. Lantas Jeno memperlihatkan sebuah video pada Jeff dan Paul. "Setelah melihat ini, apa kalian akan tetap menuntut ku?" Jeff dan Paul saling pandang. Mereka berdua merasa sangat heran pada pria yang berdiri di depan mereka. Jeff dan Paul merasa jika pria itu sangat ingin melindungi Ryan. "Ryan, kau bayar berapa mereka sehingga mereka seperti melindungi mu?" sungut Jeff pada Ryan. Ryan hanya bisa bengong karena memang dia tidak merasa membayar mereka. Ryan pun tidak mengenal siapa mereka."Jeff, jaga mulut mu itu," titah Martin. Martin paham betul siapa Jeno. Jeno adalah orang kaya nomor satu di kota itu bahkan dia bisa membuat orang menderita dan tersiksa hidup di dunia ini."Kenapa Tuan M
KLUNTANG!Sebuah benda jatuh ke lantai. Nampan yang dibawa oleh Ryan jatuh dan sajian yang dibawa oleh Ryan berceceran di lantai. Kejadian itu membuat Ryan menjadi pusat perhatian."Ryan, apa yang kau lakukan?" pekik Martin."I-ini ti-tidak seperti yang Anda lihat, tuan," ujar Ryan membela."Maksudmu apa? Jelas sekali ini kesalahanmu," seru Martin."Ti-tidak, tuan. Paul dan Jeff sengaja memasang kakinya agar aku tersandung." Ryan berusaha membela dirinya sendiri."Jangan menyalahkan orang lain. Lihatlah menu makanan yang sudah dipesan oleh pelanggan berserakan di lantai. Siapa yang rugi?" teriak Martin."Sa-ya yang akan mengganti biaya kerugiannya," ujar Ryan sambil menundukkan kepalanya."Huft ... cepat bersihkan lantainya," perintah Martin dengan jari telunjuknya mengarah ke lantai yang penuh dengan ceceran daging."Martin ...," panggil Jeno berjalan mendekati Martin. Martin pun membalikkan badannya dan terkejut melihat Jeno."Ma-maaf Tuan Jeno, atas keadaan yang tidak nyaman ini.
Paul dan Jeff sengaja ingin mengerjai Ryan kembali. Mereka berpikir jika Ryan melakukan kesalahan, Ryan akan kena tegur dan pastinya Ryan akan mendapat komplain dari pelanggan juga atau bahkan bisa dipecat?Hal negatif sudah meracuni otak Jeff dan Paul hingga menggunakan cara licik. Sebenarnya Jeff tidak mengetahui jika Paul juga menaruh hati pada Monica, akan tetapi Paul begitu menata rapi perasaannya. Pria itu sanggup memendam perasaannya begitu lama. Berbeda dengan Jeff yang takut jika wanita yang dia taksir diambil oleh orang lain, makanya Jeff begitu terlihat grusah-grusuh.Paul memberi isyarat pada Jeff saat Ryan masuk ke dapur memberikan sebuah kertas berisi pesanan menu."Dua Beef Wellington." Hans dengan cekatan membuatkan menu tersebut.Melihat hal itu Jeff mendekati Paul. Pria itu membisikkan sesuatu pada Paul dan Paul menggelengkan kepalanya. Jeff pun menjauhkan kepalanya dan mengangkat kedua tangannya. Paul mendekati Jeff dan memegang pundaknya."Jangan gegabah ambil tind
Sean terus memantau Ryan dari jauh. Gerak-gerik yang mencurigakan dari Jeff pun bisa ditebak oleh Sean. Terlebih lagi Paul, Sean bisa membaca cara Paul memanipulasi Jeff. Seakan Paul sedang mengincar sesuatu dari Ryan melalui kelemahan Jeff, tapi apa yang diincar Paul? Sedangkan Sean sendiri belum begitu mengenal Ryan, tapi tuannya sudah menyuruhnya untuk melindungi Ryan. Paul mencengkeram tangan Jeff dengan kuat. Paul pun menggelengkan kepalanya, lalu dibalas dengan isyarat oleh Jeff. "Kalian berdua sedang apa?" tanya Ryan yang tiba-tiba membalikkan badannya dan mendapatkan Paul sedang memegang tangan Jeff. Melihat wajah Ryan, Jeff tidak bisa menahan amarahnya. Jeff merasa jika Ryan tengah bermain-main dengan dirinya. Jeff tidak bisa menahan diri, laki-laki itu mengibaskan tangannya untuk berusaha melepaskan genggaman tangan Paul. Jeff langsung mengarahkan bogem mentah di muka Ryan hingga Ryan tersungkur jatuh dan mulut Ryan mengeluarkan darah. Paul langsung menarik tubuh Jeff m
Setelah bercakap-cakap dengan calon kakak iparnya. Ryan merasa sangat lega, tapi ada satu hal yang membuat Ryan bingung karena sang kakak tidak pernah menjawab telepon darinya. Hal itu membuat Ryan terus bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah Ryan punya salah pada kakaknya? "Sudah 6 kali aku menghubungi kakak tapi tidak jua diangkat. Sebenarnya apa yang terjadi? Kak Rose tidak seperti ini biasanya." Ryan menatap layar ponselnya. "Apa aku harus menanyakan pada Kak Jeno?" lanjutnya. Berkali-kali Ryan memikirkan hal itu. Setiap dia ingin menghubungi Jeno selalu ada keraguan yang menghantui Ryan. Ryan paham jika Jeno adalah seorang yang sangat sibuk. Akhirnya Ryan memutuskan hanya mengirim pesan untuk Jeno. Secara diam-diam pun Jeno menyimpan nomor telepon milik Ryan. Itu semua Jeno lakukan karena syarat dari Rose. Ting! Jeno melirik saat mendengar bunyi suara dari ponselnya. Ryan menatap Rose yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya. Jeno meletakkan ponselnya dan melangkah mendekati
Rose sangat terkejut saat mendengar suara dari seberang sana. Bukan suara Ryan melainkan suara seorang wanita dan yang lebih membuat Rose takut adalah waktu menunjukkan pukul 21.30. Rose sudah berpikir negatif tentang Ryan sang adik. Dia ingin marah pada Ryan tapi berhubung tadi Rose terkejut dan langsung menutup sambungan telepon."Bodohnya aku," umpat Rose pada dirinya sendiri.Rose kembali mencoba menghubungi Ryan, akan tetapi tidak juga di angkat oleh Ryan. Itu berlaku sampai panggilan yang ke tujuh kalinya. Rose mulai murka pada Ryan. Rose tak habis pikir dengan adik satu-satunya itu. Padahal Rose paling tahu jika Ryan adalah anak yang baik dan patuh."Apa yang terjadi? Apakah dia——ah, tidak mungkin. Ryan tidak mungkin melakukan hal itu." Rose mulai mencemaskan adik satu-satunya. Pikiran Rose sudah memikirkan hal yang berbau negatif.Tidak ada respons lagi dari Ryan. Akhirnya Rose memilih untuk diam. Dia tidak akan menerima panggilan dari Ryan. Hati Rose sudah terlanjur kecewa p
"Aku punya dua syarat untukmu. Pertama, aku ingin ayahku nanti yang akan mendampingiku dan yang kedua, aku ingin adikku Ryan tinggal bersama dengan ku di sini."Dua syarat itu memang tidak berat, tapi tidak bagi Jeno. Jeno tidak setuju dengan syarat nomor satu, karena Jeno sendiri mulai membenci ayahnya Rose. Tanpa diketahui oleh Rose, Roland sering menghubungi Jeno untuk meminta uang.Jeno sama sekali belum memberitahukan hal itu pada Rose, karena Jeno tidak ingin Rose sedih atau kecewa. Di sisi lain mungkin Rose juga tidak akan mempercayainya."Aku tidak bisa mengabulkan semua syarat mu, aku hanya bisa mengabulkan salah satunya." Jeno menatap Rose tanpa ekspresi. "Aku akan memberimu waktu sehari untuk memikirkannya. Jika kau menyetujuinya aku akan langsung mengumumkan berita bahagia itu," lanjut Jeno. Lantas pria itu berlalu dari hadapan Rose. Damian yang berada di sana hanya bisa tersenyum dan membungkukkan kepalanya, lalu berlalu mengikuti Jeno di belakangnya.Sementara itu di tem
Rem diinjak mendadak oleh Jeno, tetapi semua bisa dikontrol dan tidak ada yang terluka. Untung saja Jeno hanya memacu mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Namun, tentu saja membuat Rose marah. Bahkan gadis itu sempat memarahi Jeno. Rem diinjak mendadak bukan karena terjadi kecelakaan, melainkan Jeno terkejut dengan pernyataan dari Rose.Beruntung mereka sedang tidak berada di jalan raya. Jeno menatap Rose dengan seksama seolah Jeno tidak menyangka akan hal itu."Tapi aku punya syarat untukmu," lanjut Rose."Apa syaratnya?" tanya Jeno."Kita bicarakan syarat itu jika kita sudah sampai di rumah," sahut Rose. Jeno pun mengikuti permintaan dari Rose. Jeno kembali melajukan mobilnya menuju ke rumah. Sesampainya di rumah Jeno tidak langsung menagih ucapan Rose. Pria itu membiarkan Rose untuk beristirahat terlebih dahulu, karena dia pun harus segera ke kantor setelah menerima panggilan dari Damian.Empat jam kemudian saat menjelang petang Jeno pulang ke rumah. Rose pun sudah menyediakan men