Tanpa menunggu reaksi Jackson, dia berlari kecil menuju kamar mandi, langkah-langkahnya tergesa dan goyah, seperti rusa yang melarikan diri dari singa.
"Mandi dan bersihkan make up menjijikkan itu di wajahmu. Bersihkan juga aroma parfum murahan yang kamu pakai, aku mual dengan baunya," perintah Jackson dengan nada tajam yang menggema di ruangan. "A-aku akan mandi dan segera membersihkannya," jawab Elena, suaranya nyaris berbisik. Dia masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu rapat-rapat, tangannya gemetar saat memutar kunci. Hanya di balik pintu itu dia merasa aman, meski sementara, yakin bahwa Jackson tidak akan masuk dan merampas kehormatannya saat ini juga. Di dalam kamar mandi, Elena bersandar pada pintu dengan napas tersengal, mencoba mengatur debaran jantungnya yang seperti genderang perang. Cermin di depannya memantulkan sosok yang hampir tidak dikenalnya—wanita dengan mata liar dan riasan tebal yang mulai luntur, simbol kehidupan yang telah menghancurkan dirinya. Perlahan, dia menyalakan keran, membiarkan air mengalir deras, berharap aliran itu bisa membawa pergi semua rasa takut dan aib yang menghantui. Sementara itu, di luar kamar mandi, Jackson berdiri dengan sikap tenang yang bertolak belakang dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Dia membuka kancing kemejanya satu per satu, gerakannya perlahan namun sarat dengan ketegangan yang terpendam. Dada bidang dan otot perutnya yang terukir sempurna tampak seperti pahatan patung dewa Yunani, tetapi wajahnya yang keras memancarkan kerapuhan yang hanya dia sendiri yang tahu. Dia meraih gelas kristal yang berisi minuman di meja, lalu meneguknya hingga tandas dalam satu kali tegukan, berharap rasa pahit itu mampu membungkam kemarahan yang mendidih di dadanya. Dengan langkah berat, dia berjalan ke depan dinding kaca besar di apartemennya, menatap pemandangan kota yang berkilauan seperti laut permata di bawah sana. Tangannya masuk ke kantong celana, mengepal dengan kuat, seolah mencari pelampiasan untuk emosi yang menggerogoti. Namun, Jackson tahu, menghancurkan kaca di depannya tidak akan mengubah apa pun. Cermin malam di balik kaca itu adalah pengingat ironis: dunia penuh gemerlap di luar sana tampak indah, tetapi di baliknya tersembunyi luka dan kekecewaan yang tak terhitung. Pikirannya melayang ke keluarganya yang pasti kini sedang bersuka cita di pesta malam Natal. Meja-meja penuh hidangan lezat, denting gelas-gelas anggur, dan tawa yang hangat pasti memenuhi ruangan besar itu. Tetapi dia, Jackson Collins, melepaskan semua itu untuk malam suram bersama seorang wanita murahan yang dia beli dengan harga fantastis. Jackson mendesah panjang, napasnya penuh dengan kegetiran. Kebanggaan yang pernah dia miliki sebagai anggota keluarga Collins telah lama pudar, tergerus kenyataan pahit bahwa apa pun yang benar-benar dia inginkan dalam hidup selalu menjauh dari genggamannya. Dia mengeluarkan ponselnya, menekan nomor anak buahnya dengan dingin. Ketika panggilan tersambung, suaranya terdengar tegas, seperti baja yang tak bisa ditempa. "Bagaimana dengan semua yang aku butuhkan? Apakah kamu sudah menyiapkan semuanya?" tanyanya tanpa basa-basi. "Sudah, Tuan. Anda hanya perlu datang ke sini," jawab suara di seberang dengan nada penuh kepatuhan. "Bagus. Aku akan menghubungimu lagi untuk memastikan jadwalku," ucap Jackson sebelum memutus panggilan. "Kleeek..." Suara pintu kamar mandi terbuka terdengar lembut, seperti bisikan yang menyelinap di antara keheningan. Elena melangkah keluar dengan hati-hati, tubuhnya masih sedikit basah dari sisa mandi yang baru saja dia lakukan. Jubah mandi putih yang dia kenakan menggantung longgar di tubuhnya, memperlihatkan lekukan yang samar namun menggoda. Jackson menoleh perlahan, tatapannya tajam dan mengintimidasi seperti burung elang yang mengamati mangsanya. Dalam sekejap, dia mencatat setiap perubahan pada Elena—kulitnya kini bersih. Wajahnya bebas dari topeng make-up tebal yang sebelumnya menutupi keindahan alaminya, dan aroma tubuhnya telah berubah menjadi netral, segar, dan tidak menyengat. Dia yakin, di balik jubah itu, Elena tidak memakai apa pun. Dengan satu gerakan, Jackson menutup teleponnya tanpa pamit, gerakannya cepat dan tegas. Tatapannya tidak pernah lepas dari Elena ketika dia melangkah mendekat, setiap langkahnya terdengar seperti denting palu yang memukul jantung wanita itu. Elena menelan ludah, merasakan atmosfer kamar yang semakin menyesakkan. Sosok Jackson di depannya begitu memikat, dengan dada bidang dan perut berotot yang memantulkan cahaya lampu kamar seperti marmer yang dipahat sempurna. Namun, di balik semua itu, auranya penuh dengan dominasi dan bahaya, menciptakan campuran antara rasa takut dan sesuatu yang lebih dalam—rasa penasaran yang membara, bahkan memalukan. Dia berusaha menenangkan pikirannya, tetapi bayangan tangan Jackson yang menyentuh kulitnya, menciptakan percikan gairah yang tak dimengerti oleh logikanya. Dalam keheningan, dia meremas jemari dan memainkan kukunya, mencoba menahan gejolak yang mulai muncul dari tempat yang tak seharusnya. "Apakah seperti ini yang dirasakan wanita-wanita jalang sebelum melayani pria?" pikirnya sambil menggigit bibir bawahnya. Jackson akhirnya berhenti tepat di depannya. Sosok pria itu terasa begitu dekat, tubuhnya memancarkan kehangatan yang paradoksal—hangat, tetapi membuat Elena menggigil. Tangan besar Jackson terulur, dan tanpa peringatan, mencengkeram rahang Elena. Elena memejamkan mata, napasnya tercekat saat Jackson memiringkan wajahnya ke kanan, lalu ke kiri, seperti sedang memeriksa barang berharga di lelang. Mata Jackson yang tajam menelusuri setiap lekuk wajah Elena, menyentuh pipi tanpa sentuhan, menusuk tanpa kata-kata. "Jauh lebih bagus seperti ini, tanpa make up yang membuatmu seperti badut," gumamnya dengan nada dingin yang seperti belati, sebelum melepaskan cengkeraman itu. Elena tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sambil mengusap rahangnya yang masih terasa panas oleh sentuhan pria itu. "Tidurlah dan jangan berisik. Aku paling tidak suka jika ada wanita yang mendengkur," perintah Jackson singkat, suaranya seperti palu yang menghentikan semua protes yang mungkin terlintas di kepala Elena. "Di mana aku harus tidur?" tanya Elena pelan, matanya melirik ke arah ranjang besar yang tampak terlalu mewah untuk dirinya.Ada ketakutan di hatinya, takut dia dianggap tidak tahu diri jika langsung naik ke atas ranjang itu. Jackson memincingkan matanya, kesal dengan pertanyaan yang menurutnya bodoh. "Apakah kamu tidak melihat ada ranjang di sana? Naik dan tidurlah! Jangan banyak bicara dan bertanya!" tegasnya, nada suaranya seperti cambuk yang tidak menerima pembangkangan. Merasa jika dirinya telah dibeli oleh Jackson dan pria itu boleh melakukan apa saja padanya, Elena mengangguk dan dengan patuh mengikuti perkataan Jackson. Dia segera naik ke ranjang dan menarik selimut tebal yang ada di atas ranjang tersebut, yang terasa seperti pelukan dingin di malam yang sunyi, menyelimutinya dalam kepasrahan yang kelabu. Elena berbaring miring, memunggungi ranjang kosong yang ada di sebelahnya, seolah-olah mencoba menjauh dari kehampaan yang terasa begitu nyata. Dengan mata terpejam, dia berharap Jackson tidak melakukan sesuatu padanya. Doa yang dipanjatkan dalam hati itu terasa seperti seruan lemah di tenga
Elena terbangun dalam kesendirian. Udara pagi menyentuh kulitnya yang terasa dingin, menyadarkannya bahwa Jackson tak lagi di sisinya. Tangannya terulur, mengusap lembut kain ranjang yang kosong di sebelahnya. Kehampaan itu terasa seperti bayangan samar yang menusuk hatinya, mengundang kerinduan aneh yang bahkan belum sempat ia pahami. Matanya menyisir setiap sudut kamar, mencari sosok pria itu, hingga akhirnya ia menemukannya baru saja keluar dari kamar mandi.Jackson berdiri di sana, seperti dewa yang baru saja lahir dari rahim kabut pagi. Hanya selembar handuk yang menggantung rendah di pinggangnya, nyaris seperti jubah yang tak sabar menyingkap rahasia tubuhnya. Kulitnya berkilauan, dibalut kelembapan yang memantulkan cahaya samar dari lampu kamar. Bulir-bulir air menetes perlahan dari rambutnya, meluncur dengan anggun ke bahu kokohnya, sebelum akhirnya mengalir membasahi lekuk punggung dan dadanya. Pemandangan itu, seperti pahatan hidup dari seorang seniman yang telah menemuk
Setelah puas berendam, Elena membersihkan tubuhnya dan kembali memakai pakaian murahan yang dia miliki karena hanya itu yang dia punya setelah satu bajunya dibuang oleh Jackson ke tempat sampah.Sambil membawa kartu yang Jackson berikan kepadanya, dia pun keluar dari kamar hotel. Kejadian semalam pun terulang kembali, sepanjang perjalanannya dari depan kamar ke luar hotel, semua orang menatap dirinya dengan tatapan merendahkan, terutama setiap wanita yang berpapasan dengannya.Elena tahu apa yang mereka pikirkan tentang dirinya. Dia sadar jika dirinya hanyalah wanita jalang di depan mata para tamu hotel tersebut. Dengan menundukkan wajahnya karena malu, Elena segera berlari keluar dari hotel. Dia akhirnya bisa bernafas lega setelah menjauh dari hotel.Mengingat pesan Jackson yang menyuruhnya pergi untuk membeli baju yang mahal dan berkelas, Elena mendatangi sebuah toko mewah kelas atas untuk mencari baju yang sesuai dengan selera Jackson. Ketika masuk ke dalamnya, tatapan merendahkan
Jackson masuk ke toko pakaian mewah kelas atas yang sebelumnya didatangi oleh Elena. Ketika pria itu masuk, seluruh karyawan yang ada toko tersebut membungkukkan tubuh mereka, tak terkecuali wanita yang sebelumnya bersikap dingin dan merendahkan Elena.Mereka langsung mengenali siapa pria tersebut yaitu salah satu pria terkaya di negeri ini, Jackson Collins. Sikap yang ditunjukkan oleh para karyawan di sana berbeda jauh dengan sikap yang Elena dapatkan."Selamat datang Tuan Collins, sebuah kehormatan bagi kami menyambut Anda berbelanja di toko kami," ucap wanita yang merendahkan Elena.Jackson hanya melirik dingin ke arah wanita itu dan masuk begitu saja tanpa menanggapi sapaannya, sedangkan Elena mengikuti pria itu dari belakang. Mengetahui jika Elena tidak ada di sampingnya, Jackson menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.Elena yang tidak memperhatikannya, hampir saja menabrak dada Jackson. Dia terkejut ketika tiba-tiba tangan Jackson terulur, lalu menggenggam dan menarik t
Mata Jackson menatap tajam ke arah Elena. Dia berharap mendapatkan ucapan terima kasih dari wanita itu, namun Elena malah menegurnya."Itu bukan caraku dan mulai sekarang kamu harus belajar mengerti caraku," ucap Jackson yang kemudian membawa Elena pergi ke toko lain, toko yang selama ini bersaing dengan toko yang Elena datangi sebelumnya.Di toko tersebut jenis pakaiannya lebih beragam, warnanya lebih cerah, tetapi tidak menghilangkan unsur elegan pemakaianya.Mata Elena menatap kagum semua pakaian di situ, dalam hati dia menginginkannya, namun ketika melihat label harganya yang begitu mahal, matanya terbelalak dan menjauhkan tangannya dari pakaian tersebut.Tubuh Elena terlonjak kaget ketika seorang pria muncul dari balik pakalan tersebut. Dengan ramah dia menyapa Elena. "Ada yang bisa aku bantu, Nona?""A-aku tidak ehm... pakaian ini sangat mahal," jawab Elena gagap karena tidak tahu harus berkata apa.Pria itu pun tersenyum dengan mempesona. "Aku selalu melihat kecantikan wanita y
Elena awalnya menatap nanar ke arah Jackson, lalu akhirnya dengan pasrah melepas satu persatu pakaiaannya.Saat dia membuka bagian atas pakaiannya, mata Jackson terbelalak menatap dada indah wanita itu tanpa penghalang apa pun.Dua bukit kembar yang kencang dan menantang terpampang jelas di depan wajah Jackson. Dia menelan ludah beberapa kali untuk menahan gairah yang tersulut di dalam dirinya.Tiba-tiba saja Jackson menjadi marah dengan hal itu, lalu melempar satu pakaian ke arah Elena agar dia bisa mengendalikan diri dari hasrat yang tersulut itu."Mulailah dengan memakai pakaian itu!" ujar Jackson sambil menunjuk baju yang ada di dalam genggaman Elena.Berbeda dengan sikap Jackson saat di toko pertama, kali ini pria itu tampak mengagumi satu persatu pakaian yang Elena pakai sekaligus menahan diri agar tidak menyentuh wanita itu.Matanya menelusuri setiap lekuk tubuh Elena yang tidak pernah dia perhatikan selama mereka bersama.Lamunan dan tatapan Jackson buyar ketika suara Elena te
“Perkenalkan, wanita cantik ini bernama ELENA,” suara pembawa acara bergema seperti genderang maut yang menandai giliran Elena untuk dilelang, seakan namanya kini hanyalah sebuah label yang tidak ada hubungannya lagi dengan identitasnya.Di barisan paling depan, duduk seorang pria yang tampak seperti patung marmer hidup. Rahangnya kokoh, dan matanya yang tajam bagaikan pisau mengiris suasana.Tatapannya tidak sekadar melihat; dia menelanjangi setiap inci gadis yang dipamerkan, menghitung nilai mereka dalam skala yang hanya dia ketahui. Pria itu adalah Jackson Collins, pewaris keluarga Collins yang kekayaan dan kekuasaannya sudah menjadi legenda.Namun, malam ini, Jackson adalah pria yang berbeda. Pikirannya diselimuti oleh kabut yang tebal, dihantui bayangan wanita yang pernah dia cintai—Ariana.Wanita itu, dengan kecantikan yang begitu sempurna namun hati yang tak pernah menjadi miliknya, kini telah menjadi istri sepupunya sendiri, David. Luka itu begitu dalam, seperti belati yang di
Elena berdiri terpaku di atas panggung, napasnya tertahan seperti burung kecil yang terperangkap dalam sangkar sempit. Kata-kata itu—satu juta dollar—menggema di telinganya seperti suara lonceng besar yang bergema di lembah, membawa harapan sekaligus kehampaan yang tak bisa dia jelaskan. Syok merayap di wajahnya, matanya membelalak tak percaya. Dalam sekejap, nilainya ditentukan oleh angka, seolah seluruh hidupnya diringkas menjadi sekadar nominal di atas kertas.Namun, di balik keterkejutannya, ada secercah kebebasan yang mulai bersinar redup. Satu juta dollar berarti akhir dari neraka ini, akhir dari rantai tak terlihat yang menahannya dalam sindikat perdagangan manusia.Meski kebebasan itu tampak semu, ia tetap terasa seperti udara segar di tengah ruang sempit yang penuh sesak.Suara pembawa acara lelang kembali melengking, memecahkan pikirannya. “Apakah ada yang menawar lebih dari satu juta dollar? Harga yang begitu fantastis,” serunya, memancing antusiasme palsu di tengah riuh
Elena awalnya menatap nanar ke arah Jackson, lalu akhirnya dengan pasrah melepas satu persatu pakaiaannya.Saat dia membuka bagian atas pakaiannya, mata Jackson terbelalak menatap dada indah wanita itu tanpa penghalang apa pun.Dua bukit kembar yang kencang dan menantang terpampang jelas di depan wajah Jackson. Dia menelan ludah beberapa kali untuk menahan gairah yang tersulut di dalam dirinya.Tiba-tiba saja Jackson menjadi marah dengan hal itu, lalu melempar satu pakaian ke arah Elena agar dia bisa mengendalikan diri dari hasrat yang tersulut itu."Mulailah dengan memakai pakaian itu!" ujar Jackson sambil menunjuk baju yang ada di dalam genggaman Elena.Berbeda dengan sikap Jackson saat di toko pertama, kali ini pria itu tampak mengagumi satu persatu pakaian yang Elena pakai sekaligus menahan diri agar tidak menyentuh wanita itu.Matanya menelusuri setiap lekuk tubuh Elena yang tidak pernah dia perhatikan selama mereka bersama.Lamunan dan tatapan Jackson buyar ketika suara Elena te
Mata Jackson menatap tajam ke arah Elena. Dia berharap mendapatkan ucapan terima kasih dari wanita itu, namun Elena malah menegurnya."Itu bukan caraku dan mulai sekarang kamu harus belajar mengerti caraku," ucap Jackson yang kemudian membawa Elena pergi ke toko lain, toko yang selama ini bersaing dengan toko yang Elena datangi sebelumnya.Di toko tersebut jenis pakaiannya lebih beragam, warnanya lebih cerah, tetapi tidak menghilangkan unsur elegan pemakaianya.Mata Elena menatap kagum semua pakaian di situ, dalam hati dia menginginkannya, namun ketika melihat label harganya yang begitu mahal, matanya terbelalak dan menjauhkan tangannya dari pakaian tersebut.Tubuh Elena terlonjak kaget ketika seorang pria muncul dari balik pakalan tersebut. Dengan ramah dia menyapa Elena. "Ada yang bisa aku bantu, Nona?""A-aku tidak ehm... pakaian ini sangat mahal," jawab Elena gagap karena tidak tahu harus berkata apa.Pria itu pun tersenyum dengan mempesona. "Aku selalu melihat kecantikan wanita y
Jackson masuk ke toko pakaian mewah kelas atas yang sebelumnya didatangi oleh Elena. Ketika pria itu masuk, seluruh karyawan yang ada toko tersebut membungkukkan tubuh mereka, tak terkecuali wanita yang sebelumnya bersikap dingin dan merendahkan Elena.Mereka langsung mengenali siapa pria tersebut yaitu salah satu pria terkaya di negeri ini, Jackson Collins. Sikap yang ditunjukkan oleh para karyawan di sana berbeda jauh dengan sikap yang Elena dapatkan."Selamat datang Tuan Collins, sebuah kehormatan bagi kami menyambut Anda berbelanja di toko kami," ucap wanita yang merendahkan Elena.Jackson hanya melirik dingin ke arah wanita itu dan masuk begitu saja tanpa menanggapi sapaannya, sedangkan Elena mengikuti pria itu dari belakang. Mengetahui jika Elena tidak ada di sampingnya, Jackson menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.Elena yang tidak memperhatikannya, hampir saja menabrak dada Jackson. Dia terkejut ketika tiba-tiba tangan Jackson terulur, lalu menggenggam dan menarik t
Setelah puas berendam, Elena membersihkan tubuhnya dan kembali memakai pakaian murahan yang dia miliki karena hanya itu yang dia punya setelah satu bajunya dibuang oleh Jackson ke tempat sampah.Sambil membawa kartu yang Jackson berikan kepadanya, dia pun keluar dari kamar hotel. Kejadian semalam pun terulang kembali, sepanjang perjalanannya dari depan kamar ke luar hotel, semua orang menatap dirinya dengan tatapan merendahkan, terutama setiap wanita yang berpapasan dengannya.Elena tahu apa yang mereka pikirkan tentang dirinya. Dia sadar jika dirinya hanyalah wanita jalang di depan mata para tamu hotel tersebut. Dengan menundukkan wajahnya karena malu, Elena segera berlari keluar dari hotel. Dia akhirnya bisa bernafas lega setelah menjauh dari hotel.Mengingat pesan Jackson yang menyuruhnya pergi untuk membeli baju yang mahal dan berkelas, Elena mendatangi sebuah toko mewah kelas atas untuk mencari baju yang sesuai dengan selera Jackson. Ketika masuk ke dalamnya, tatapan merendahkan
Elena terbangun dalam kesendirian. Udara pagi menyentuh kulitnya yang terasa dingin, menyadarkannya bahwa Jackson tak lagi di sisinya. Tangannya terulur, mengusap lembut kain ranjang yang kosong di sebelahnya. Kehampaan itu terasa seperti bayangan samar yang menusuk hatinya, mengundang kerinduan aneh yang bahkan belum sempat ia pahami. Matanya menyisir setiap sudut kamar, mencari sosok pria itu, hingga akhirnya ia menemukannya baru saja keluar dari kamar mandi.Jackson berdiri di sana, seperti dewa yang baru saja lahir dari rahim kabut pagi. Hanya selembar handuk yang menggantung rendah di pinggangnya, nyaris seperti jubah yang tak sabar menyingkap rahasia tubuhnya. Kulitnya berkilauan, dibalut kelembapan yang memantulkan cahaya samar dari lampu kamar. Bulir-bulir air menetes perlahan dari rambutnya, meluncur dengan anggun ke bahu kokohnya, sebelum akhirnya mengalir membasahi lekuk punggung dan dadanya. Pemandangan itu, seperti pahatan hidup dari seorang seniman yang telah menemuk
Ada ketakutan di hatinya, takut dia dianggap tidak tahu diri jika langsung naik ke atas ranjang itu. Jackson memincingkan matanya, kesal dengan pertanyaan yang menurutnya bodoh. "Apakah kamu tidak melihat ada ranjang di sana? Naik dan tidurlah! Jangan banyak bicara dan bertanya!" tegasnya, nada suaranya seperti cambuk yang tidak menerima pembangkangan. Merasa jika dirinya telah dibeli oleh Jackson dan pria itu boleh melakukan apa saja padanya, Elena mengangguk dan dengan patuh mengikuti perkataan Jackson. Dia segera naik ke ranjang dan menarik selimut tebal yang ada di atas ranjang tersebut, yang terasa seperti pelukan dingin di malam yang sunyi, menyelimutinya dalam kepasrahan yang kelabu. Elena berbaring miring, memunggungi ranjang kosong yang ada di sebelahnya, seolah-olah mencoba menjauh dari kehampaan yang terasa begitu nyata. Dengan mata terpejam, dia berharap Jackson tidak melakukan sesuatu padanya. Doa yang dipanjatkan dalam hati itu terasa seperti seruan lemah di tenga
Tanpa menunggu reaksi Jackson, dia berlari kecil menuju kamar mandi, langkah-langkahnya tergesa dan goyah, seperti rusa yang melarikan diri dari singa."Mandi dan bersihkan make up menjijikkan itu di wajahmu. Bersihkan juga aroma parfum murahan yang kamu pakai, aku mual dengan baunya," perintah Jackson dengan nada tajam yang menggema di ruangan."A-aku akan mandi dan segera membersihkannya," jawab Elena, suaranya nyaris berbisik. Dia masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu rapat-rapat, tangannya gemetar saat memutar kunci. Hanya di balik pintu itu dia merasa aman, meski sementara, yakin bahwa Jackson tidak akan masuk dan merampas kehormatannya saat ini juga.Di dalam kamar mandi, Elena bersandar pada pintu dengan napas tersengal, mencoba mengatur debaran jantungnya yang seperti genderang perang. Cermin di depannya memantulkan sosok yang hampir tidak dikenalnya—wanita dengan mata liar dan riasan tebal yang mulai luntur, simbol kehidupan yang telah menghancurkan dirinya. Perlahan, d
Elena terdiam, menundukkan kepala sambil meremas jarinya yang sudah memucat.Sesuatu dalam dirinya memberontak, tetapi dia tidak tahu bagaimana melawannya. Di hadapan Jackson, dia merasa seperti boneka yang benang-benangnya dipegang penuh oleh pria itu.Keheningan yang melingkupi mereka terasa berat, seperti kabut pekat yang menyelimuti malam. Jackson mengarahkan mobil ke sebuah hotel mewah, enggan kembali ke apartemennya. Pikirannya penuh dengan bayangan keluarga Collins yang tengah merayakan Natal di rumah besar mereka. Biasanya, dia tidak pernah melewatkan acara itu—pesta keluarga yang hangat dengan pohon Natal berkilauan dan tawa yang memenuhi ruangan.Tapi tidak untuk malam ini.Ariana akan ada di sana. Wanita itu, dengan senyumnya yang dulu menjadi cahaya dalam hidup Jackson, kini menjadi istri dari sepupunya, David Collins. Seolah tak cukup, mereka telah memiliki anak yang tampan, sebuah simbol kebahagiaan yang tak pernah bisa Jackson miliki.Tangannya mencengkeram kemudi de
Elena berdiri terpaku di atas panggung, napasnya tertahan seperti burung kecil yang terperangkap dalam sangkar sempit. Kata-kata itu—satu juta dollar—menggema di telinganya seperti suara lonceng besar yang bergema di lembah, membawa harapan sekaligus kehampaan yang tak bisa dia jelaskan. Syok merayap di wajahnya, matanya membelalak tak percaya. Dalam sekejap, nilainya ditentukan oleh angka, seolah seluruh hidupnya diringkas menjadi sekadar nominal di atas kertas.Namun, di balik keterkejutannya, ada secercah kebebasan yang mulai bersinar redup. Satu juta dollar berarti akhir dari neraka ini, akhir dari rantai tak terlihat yang menahannya dalam sindikat perdagangan manusia.Meski kebebasan itu tampak semu, ia tetap terasa seperti udara segar di tengah ruang sempit yang penuh sesak.Suara pembawa acara lelang kembali melengking, memecahkan pikirannya. “Apakah ada yang menawar lebih dari satu juta dollar? Harga yang begitu fantastis,” serunya, memancing antusiasme palsu di tengah riuh