Indira duduk seorang diri di taman kota yang cukup ramai, tatapannya tertuju pada gerobak-gerobak penjual jajanan yang mulai berdatangan untuk maramaikan taman. Ada beberapa bocah yang berlarian, asyik bermain dengan kucing liar yang galak. Ada sepasang suami istri yang terlihat begitu manis saat bertukar pandangan. Indira hanya memegang sebatang es krim yang tinggal tersisa sedikit. Tenggelam dalam lamunannya, sesekali menengadah untuk menatap langit yang mulai berhias semburat oranye. Ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, Edgar datang. Laki-laki itu memarkirkan mobilnya, kemudian menyusuri jalan setapak yang membelah taman. Tatapannya langsung tertuju ke arah Indira yang sedang duduk di bawah rimbunnya pohon mangga. Lamunan Indira seketika buyar. Gadis itu mengerjapkan mata saat menyadari Edgar sudah berdiri di depannya. “Kenapa duduk di sini sendirian?” tanya Edgar sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Indira menghela napas, lalu berkata, “nggak apa-apa,
Akhir pekan datang. Seperti biasa, Indira bangun tidur sejak pagi-pagi buta. Niatnya ingin membantu Bi Imah membersihkan seisi rumah, tapi rupanya tiap ruangan sudah dalam keadaan rapi ketika Indira turun ke bawah. Ketika beranjak ke dapur, Indira menjumpai sticky note tertempel di kulkas. [Bibi belanja dulu. Sarapan sudah tersedia di atas meja]Ah, ternyata Bi Imah sedang pergi berbelanja. Meninggalkan rollade dan macaroni schotel di atas meja, menu sarapan untuk para penghuni rumah. Indira mengambil karet dari saku celananya, kemudian mengikat rambutnya secara asal-asalan. Gadis itu lantas berjalan menuju halaman belakang, mencari sesuatu yang bisa dibersihkan atau dirapikan. Maklum, Indira tak enak hati jika tak melakukan apa-apa. Setiap harinya hanya menumpang makan dan tidur, menghabiskan uang Edgar dan Papa Danu. Setibanya di halaman belakang, Indira menjumpai beberapa pot kosong serta alat-alat berkebun yang tersimpan di dalam gudang kayu. Tampaknya dulu ada salah satu an
Edgar tak dapat menampik fakta bahwa rumah terasa berbeda sejak Indira datang. Awalnya Edgar memang melabeli Indira sebagai gadis yang menyebalkan dan merepotkan. Tahu-tahu datang, mengusik ketenangan Edgar. Dilihat dari segi penampilan pun sangat menyedihkan. Baju-bajunya lusuh, sepatunya kotor, warna tasnya sudah pudar. Jangankan menatap, duduk berdua dengan Indira di ruang makan saja Edgar tak mau. Tapi, situasinya perlahan berubah. Setelah mengenal Indira lebih jauh, Edgar menyadari kalau gadis itu tidak seburuk yang ia pikirkan. Memiliki sisi manis dan lucu, serta dapat berubah seratus delapan puluh derajat ketika dipakaikan barang-barang mahal. Edgar sekarang bahkan bisa mengobrol ringan dan bertukar candaan dengan Indira. Aneh sekali, bukan?Mereka masih berada di halaman belakang, sibuk menata pot yang telah ditanami biji cabai dan tomat. Setelah itu, berinisiatif membersihkan gudang kayu agar bisa digunakan kembali. Indira memegang sapu, menggunakannya untuk menyingkirka
[Papa : malam ini kamu harus datang ke charity event yang diadakan Sudarsono Foundation][Papa : ajak Indira juga. Kirim bukti fotonya]Mulai lagi, batin Edgar. Baru beberapa hari Edgar merasakan ketenangan, kini Papa Danu kembali mengusiknya. Menekankan agar Edgar menghadiri charity event bersama Indira. Edgar mengetukkan jemarinya di atas meja, tatapannya tertuju ke arah jendela lebar yang ada di ruang kerjanya. Sore telah datang, sebentar lagi langit menggelap. Hanya tersisa beberapa jam sampai charity event digelar. Jujur, Edgar tak ingin membawa Indira. Lebih baik datang seorang diri, untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari para kolega bisnis. Sampai detik ini, Edgar masih merahasiakan eksistensi Indira sebagai tunangannya. Lebih tepatnya, Edgar masih belum menerima fakta bahwa statusnya telah bertunangan. Ia tak pernah memakai cincin, tak pernah memamerkan Indira di sosial medianya, apalagi mengajak gadis itu menghadiri acara-acara penting. Kenapa harus mengumumkan per
Indira terkejut luar biasa saat merasakan ada tangan kokoh yang melingkar di pinggangnya. Gadis itu menoleh ke samping, menatap Edgar yang tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Apa-apaan? Kenapa tiba-tiba memeluk?“Ed!” Ketika ada seseorang yang memanggil, Edgar langsung meminta Indira untuk berdiri di belakangnya. Dengan kata lain, Indira harus bersembunyi. “Who is she? Your sister?” tanya Mario,, seorang laki-laki yang berstatus sebagai CEO di perusahaan start-up. Tatapannya tertuju pada Indira yang berdiri di belakang Edgar. “Saudara jauh,” jawab Edgar seperlunya, sambil tetap memastikan Indira tak ke mana-mana. “Wow! Kenapa nggak pernah cerita kalau punya saudara jauh yang lumayan?” “You are married. Kenapa masih suka jelalatan setiap lihat cewek cantik?” Ucapan Edgar membuat Mario sontak tertawa. Akhirnya mundur, tak jadi merayu Indira karena pawangnya yang sangat galak. Edgar menembuskan napas, kemudian mengedarkan pandangannya. Mencari tempat yang sedikit sepi, agar ta
“Indira, kaki kamu kenapa?” Ezra langsung bersuara ketika melihat Indira sedikit pincang, meskipun masih kuat untuk berjalan dan menuruni tangga. Hanya terasa sedikit nyeri ketika melangkah, tadi malam dokter mengatakan kalau pergelangan kaki Indira hanya terkilir dan tak memerlukan perawatan intensif. “Terkilir, Mas,” jawab Indira sembari duduk di ruang makan. Pagi ini, dengan amat terpaksa Indira tak bisa membantu Bi Imah bersih-bersih dan memasak. Kehadirannya di dapur hanya akan menganggu dan merepotkan. “Tadi malam jatuh?” tanya Ezra sekali lagi. Indira menunjukkan cengiran di bibirnya, “iya, Mas. Jatuh gara-gara nggak terbiasa pakai high heels.” “Oh, berarti gara-gara Bang Edgar.” “Bukan karena Mas Edgar. Saya sendiri yang salah, karena dari awal nggak bilang kalau belum terbiasa pakai high heels.”Detik berikutnya, Edgar muncul. Langung memberi tatapan tajam ke arah Ezra yang sejak pagi sudah berusaha memojokannya. Ezra tak peduli, memilih untuk mengambil pisang dan meny
“Ndi!”Indira menoleh ketika merasa namanya dipanggil. Lalu, kedua matanya membulat dengan sempurna saat menyadari bahwa sosok yang memanggilnya adalah Valentine Atmaja. Mahasiswi paling populer di fakultas, memiliki side job sebagai content creator. Indira mengenal Valentine, sebab mereka selalu berada di kelas yang sama sejak berstatus sebagai mahasiswa baru. Tapi, gaya hidup yang berbeda jauh membuat keduanya tak pernah sekali pun berinteraksi, kecuali saat ada tugas kelompok. “Kenapa, Val?” tanya Indira sambil membenarkan letak tasnya. Valentine menatap Indira dari ujung kaki sampai ujung kepala, kemudian tersenyum. “Kita satu kelompok kan buat tugas Audit Informasi?” “Iya, kita sekelompok.” “Tugasnya kita kerjain hari ini, yuk. Mumpung gue lagi free, soalnya besok-besok ada jadwal collab sama content creator lain.” Indira mengerjapkan mata, tak mengira kalau Valentine akan mengajaknya untuk mengerjakan tugas bersama. Selama ini, mereka lebih suka mengerjakan sendiri-sendiri
Sejak meninggalkan lounge and bar, tak banyak pembicaraan yang mengalir di antara Edgar dan Indira. Hanya alunan musik dalam volume rendah yang terdengar. Indira tak mau memulai pembicaraan, sebab ia tahu persis kalau Edgar sedang kesal. Pada dasarnya, laki-laki itu memang tak pandai menyembunyikan isi hatinya. Segala hal seolah tergambar dengan jelas dari ekspresi wajahnya. “Jelaskan,” ucap Edgar pada akhirnya, memecah keheningan. “Kenapa kamu ada di bar? Saya nggak percaya alasan kamu yang tadi. Mengerjakan tugas bisa di coffee shop atau restoran. Saya nggak pernah sekali pun lihat ada mahasiswa yang mengerjakan tugas di bar.” Indira memainkan kukunya, lalu berkata, “saya jujur, Mas. Tadi teman saya yang ngajak ke bar buat mengerjakan tugas kelompok. Katanya, kalau masih sore bar belum terlalu ramai.” “Kamu ditipu, Indira. Dasar naif. Kamu diajak ke bar karena mau dikasih minuman.” “Makanya saya langsung pergi waktu ditawarin whisky. Saya masih tahu batasan, kok.” “Bar bukan t
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk