Edgar tak dapat menampik fakta bahwa rumah terasa berbeda sejak Indira datang. Awalnya Edgar memang melabeli Indira sebagai gadis yang menyebalkan dan merepotkan. Tahu-tahu datang, mengusik ketenangan Edgar. Dilihat dari segi penampilan pun sangat menyedihkan. Baju-bajunya lusuh, sepatunya kotor, warna tasnya sudah pudar. Jangankan menatap, duduk berdua dengan Indira di ruang makan saja Edgar tak mau. Tapi, situasinya perlahan berubah. Setelah mengenal Indira lebih jauh, Edgar menyadari kalau gadis itu tidak seburuk yang ia pikirkan. Memiliki sisi manis dan lucu, serta dapat berubah seratus delapan puluh derajat ketika dipakaikan barang-barang mahal. Edgar sekarang bahkan bisa mengobrol ringan dan bertukar candaan dengan Indira. Aneh sekali, bukan?Mereka masih berada di halaman belakang, sibuk menata pot yang telah ditanami biji cabai dan tomat. Setelah itu, berinisiatif membersihkan gudang kayu agar bisa digunakan kembali. Indira memegang sapu, menggunakannya untuk menyingkirka
[Papa : malam ini kamu harus datang ke charity event yang diadakan Sudarsono Foundation][Papa : ajak Indira juga. Kirim bukti fotonya]Mulai lagi, batin Edgar. Baru beberapa hari Edgar merasakan ketenangan, kini Papa Danu kembali mengusiknya. Menekankan agar Edgar menghadiri charity event bersama Indira. Edgar mengetukkan jemarinya di atas meja, tatapannya tertuju ke arah jendela lebar yang ada di ruang kerjanya. Sore telah datang, sebentar lagi langit menggelap. Hanya tersisa beberapa jam sampai charity event digelar. Jujur, Edgar tak ingin membawa Indira. Lebih baik datang seorang diri, untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari para kolega bisnis. Sampai detik ini, Edgar masih merahasiakan eksistensi Indira sebagai tunangannya. Lebih tepatnya, Edgar masih belum menerima fakta bahwa statusnya telah bertunangan. Ia tak pernah memakai cincin, tak pernah memamerkan Indira di sosial medianya, apalagi mengajak gadis itu menghadiri acara-acara penting. Kenapa harus mengumumkan per
Indira terkejut luar biasa saat merasakan ada tangan kokoh yang melingkar di pinggangnya. Gadis itu menoleh ke samping, menatap Edgar yang tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Apa-apaan? Kenapa tiba-tiba memeluk?“Ed!” Ketika ada seseorang yang memanggil, Edgar langsung meminta Indira untuk berdiri di belakangnya. Dengan kata lain, Indira harus bersembunyi. “Who is she? Your sister?” tanya Mario,, seorang laki-laki yang berstatus sebagai CEO di perusahaan start-up. Tatapannya tertuju pada Indira yang berdiri di belakang Edgar. “Saudara jauh,” jawab Edgar seperlunya, sambil tetap memastikan Indira tak ke mana-mana. “Wow! Kenapa nggak pernah cerita kalau punya saudara jauh yang lumayan?” “You are married. Kenapa masih suka jelalatan setiap lihat cewek cantik?” Ucapan Edgar membuat Mario sontak tertawa. Akhirnya mundur, tak jadi merayu Indira karena pawangnya yang sangat galak. Edgar menembuskan napas, kemudian mengedarkan pandangannya. Mencari tempat yang sedikit sepi, agar ta
“Indira, kaki kamu kenapa?” Ezra langsung bersuara ketika melihat Indira sedikit pincang, meskipun masih kuat untuk berjalan dan menuruni tangga. Hanya terasa sedikit nyeri ketika melangkah, tadi malam dokter mengatakan kalau pergelangan kaki Indira hanya terkilir dan tak memerlukan perawatan intensif. “Terkilir, Mas,” jawab Indira sembari duduk di ruang makan. Pagi ini, dengan amat terpaksa Indira tak bisa membantu Bi Imah bersih-bersih dan memasak. Kehadirannya di dapur hanya akan menganggu dan merepotkan. “Tadi malam jatuh?” tanya Ezra sekali lagi. Indira menunjukkan cengiran di bibirnya, “iya, Mas. Jatuh gara-gara nggak terbiasa pakai high heels.” “Oh, berarti gara-gara Bang Edgar.” “Bukan karena Mas Edgar. Saya sendiri yang salah, karena dari awal nggak bilang kalau belum terbiasa pakai high heels.”Detik berikutnya, Edgar muncul. Langung memberi tatapan tajam ke arah Ezra yang sejak pagi sudah berusaha memojokannya. Ezra tak peduli, memilih untuk mengambil pisang dan meny
“Ndi!”Indira menoleh ketika merasa namanya dipanggil. Lalu, kedua matanya membulat dengan sempurna saat menyadari bahwa sosok yang memanggilnya adalah Valentine Atmaja. Mahasiswi paling populer di fakultas, memiliki side job sebagai content creator. Indira mengenal Valentine, sebab mereka selalu berada di kelas yang sama sejak berstatus sebagai mahasiswa baru. Tapi, gaya hidup yang berbeda jauh membuat keduanya tak pernah sekali pun berinteraksi, kecuali saat ada tugas kelompok. “Kenapa, Val?” tanya Indira sambil membenarkan letak tasnya. Valentine menatap Indira dari ujung kaki sampai ujung kepala, kemudian tersenyum. “Kita satu kelompok kan buat tugas Audit Informasi?” “Iya, kita sekelompok.” “Tugasnya kita kerjain hari ini, yuk. Mumpung gue lagi free, soalnya besok-besok ada jadwal collab sama content creator lain.” Indira mengerjapkan mata, tak mengira kalau Valentine akan mengajaknya untuk mengerjakan tugas bersama. Selama ini, mereka lebih suka mengerjakan sendiri-sendiri
Sejak meninggalkan lounge and bar, tak banyak pembicaraan yang mengalir di antara Edgar dan Indira. Hanya alunan musik dalam volume rendah yang terdengar. Indira tak mau memulai pembicaraan, sebab ia tahu persis kalau Edgar sedang kesal. Pada dasarnya, laki-laki itu memang tak pandai menyembunyikan isi hatinya. Segala hal seolah tergambar dengan jelas dari ekspresi wajahnya. “Jelaskan,” ucap Edgar pada akhirnya, memecah keheningan. “Kenapa kamu ada di bar? Saya nggak percaya alasan kamu yang tadi. Mengerjakan tugas bisa di coffee shop atau restoran. Saya nggak pernah sekali pun lihat ada mahasiswa yang mengerjakan tugas di bar.” Indira memainkan kukunya, lalu berkata, “saya jujur, Mas. Tadi teman saya yang ngajak ke bar buat mengerjakan tugas kelompok. Katanya, kalau masih sore bar belum terlalu ramai.” “Kamu ditipu, Indira. Dasar naif. Kamu diajak ke bar karena mau dikasih minuman.” “Makanya saya langsung pergi waktu ditawarin whisky. Saya masih tahu batasan, kok.” “Bar bukan t
Hari ini Indira libur, memasuki minggu tenang karena beberapa hari lagi masuk periode UAS. Meskipun libur, Indira tetap bangun pagi untuk membantu Bi Imah membersihkan rumah. Setelah itu, pergi ke halaman belakang untuk menyirami bibit tomat dan cabainya yang mulai tumbuh daun. Beberapa hari lagi, siap dipindahkan ke pot yang lebih besar. Tadi malam Valentine menelepon Indira, mengajaknya untuk camping di Puncak selama dua malam. Katanya, untuk menyegarkan otak sebelum dipusingkan dengan serangkaian ujian. Tentu saja Indira menolaknya mentah-mentah, ia tak mau lagi hang out dengan Valentine karena khawatir akan diberi alkohol lagi. Lebih baik tetap di rumah selama masa liburnya, meskipun sebenarnya Indira juga canggung tiap kali terjebak di antara Edgar dan Ezra yang suka bertengkar. “Habis ujian, aku harus kerja part time. Daripada cuma stay di rumah selama liburan semester. Lumayan kan uangnya bisa dipakai buat penelitian skripsi,” gumam Indira sambil menyemprot bibit cabai dan
Semua staf di Bumantara Construction terkejut luar biasa ketika Edgar datang bersama Indira. Meskipun memang dikenal sebagai sosok playboy yang suka gonta-ganti kekasih, tapi tak pernah sekali pun Edgar membawa perempuan ke kantor. Indira langsung menjadi pusat perhatian, ditatap dengan sedemikian rupa oleh para staf. Hal itu tentu saja membuat Indira sedikit risih, rasanya seperti sedang diawasi oleh puluhan pasang mata. Bisa dipastikan rumor dan gosip akan mulai menyebar seperti kobaran api yang sulit dipadamkan. Indira menunduk, hanya mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Edgar tanpa banyak bicara. Mencoba untuk mengabaikan tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Edgar membuka pintu ruang kerjanya, kemudian melangkah masuk. “Kamu bisa duduk di sofa,” ucap Edgar sambil menunjuk ke arah sofa. “Mungkin lebih baik saya pulang aja, Mas,” sahut Indira, mencoba untuk tetap bersikap sopan. “Saya agak kurang nyaman ada di tempat ini. Semua staf juga kelihatannya risih lihat Mas Edga