Kami tiba di hotel bintang lima yang terletak sekitar dua kilometer dari kediaman utama. Sebelumnya Om Lian mengajakku berhenti di sebuah mall pusat kota untuk membeli beberapa potong pakaian dan dalaman untuk digunakan selama menginap di hotel. Jam besar yang ada di depan lobi terlihat sudah menunjukkan pukul dua siang. Bergegas kami check in dan memesan satu kamar suit room untuk ditinggali dalam beberapa hari.Kami berjalan berdampingan menuju kamar yang dituju. Terletak di lantai lima belas dengan view yang cukup indah. Fasilitas Suit room di hotel ini bisa dibilang hampir sama dengan hotel bintang lima lainnya. Ada kamar tidur berukuran king, dapur, ruang tamu, dan kamar mandi yang terpisah. Bonusnya ada spot khusus yang bisa digunakan sebagai tempat bekerja. Terletak di dekat balkon dengan kursi putar dan sebuah meja kaca. "Mau mandi duluan?" tanya Om Lian, saat aku tengah memindai keseluruhan ruangan. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian meraih beberapa helai dalam
Suara pintu yang terbuka, diiringi derap langkah terdengar mengejutkanku dari lamunan. Refleks aku melempar ponsel Om Lian hingga terjatuh tepat di atas jaketnya. Seperti maling yang ketangkap basah, aku salah tingkah sampai berdeham beberapa kali hingga membuat Om Lian yang baru saja kembali, terlihat keheranan. Dia menatap ponsel sejenak, lalu mengernyitkan dahi. Setelah itu meletakkan lagi benda tersebut di sisi tubuhnya. "Kenapa? Makanannya pedes? Mukamu merah sekali, Lea," ujar Om Lian yang membuat perasaanku semakin tak menentu dibuatnya. "Iya, pedes dikit," dalihku dengan senyum yang kuyakin terlihat aneh. Om Lian manggut-manggut, lalu menyingkirkan piring kosong di atas meja, dan menggantinya dengan sebuah berkas tebal yang dia bawa entah dari mana."Makannya udah, kan?" Aku mengangguk setelah menenggak habis air dalam gelas ramping yang disediakan."Kalau begitu bisa kita mulai?" tanyanya lagi. "Om, nggak makan dulu? Atau mandi dulu?" Aku balik bertanya. "Nanti aja. I
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada sebuah penolakan yang dilakukan oleh pasangan. Niat hati hanya ingin lebih merekatkan hubungan, nyatanya malah makin meregangkan. Ternyata tak semua lelaki menyukai sisi wanita yang dominan. Khususnya Om Lian.Sikapnya yang pasif memang terkadang amat menjengkelkan. Setelah kejadian di kamar mandi, aku memutuskan untuk mulai membatasi interaksi kami. Sudah cukup rasanya mempermalukan diri. Meskipun aku tahu hak dan kewajiban sebagai seorang istri.Ini tak mudah, tapi tak terlalu susah. Hanya semesta yang tahu kapan sabarku berubah menjadi lelah.Malam ini, kami tidur dengan saling memunggungi. Aku di sisi kanan sementara Om Lian di sisi kiri. Sama-sama berpura-pura lelap dalam mimpi, nyatanya terjaga semalaman dengan lamunan tak bertepi. Aku memang tak tahu apa yang dia pikirkan, tapi pergerakan di sisi lain ranjang sudah cukup membuktikan bahwa kami hanyut dengan kegelisahan yang sama.Masih dengan posisi seperti ini, kuulurkan sebelah tangan u
Kami mengawali kencan pasca pernikahan ini dengan berhenti di sebuah kafe. Tempat nongkrong yang cukup hitz di kalangan anak zaman sekarang. Memesan dua cup Capuccino dengan inisal nama kami. Double L.Om Lian menuntunku untuk duduk di meja luar, menikmati satu wadah kopi kesukaan kami ditemani kepadatan Jantung Kota Metropolitan."Setiap mampir ke kafe ini dan memesan minuman, aku selalu teringat--""Pertemuan pertama kita," potongku dengan seulas senyum simpul. "Dua tahun lalu, di kafe ini. Kita pesan kopi yang sama, inisial yang sama, dan tempat favorit yang sama." "Satu hal yang tak pernah kuragukan adalah ingatanmu yang tajam." Om Lian mencubit pipiku dengan gemas, lalu menyeka busa kopi yang tanpa sadar tertinggal di bibir atasku."Makanya jangan pernah macam-macam dengan ingatan perempuan. Sekali dia tersakiti, ngungkitnya bisa sampai tahunan." Om Lian terkekeh, entah kenapa tawanya justru menular."Aku percaya. Tabiat perempuan semuanya sama.""Begitu juga dengan tabiat lelak
"Ternyata Pak Wira berhasil melacak lokasi kita," ujar Om Lian, saat kami kembali ke kamar hotel dan menemukan sebuah bingkisan di depan pintu, "sebuah kiriman pakaian yang harus kamu kenakan untuk menemui Pak Hans besok siang," tambahnya."Bahkan sampai pakaian pun dia yang tentukan?" tanyaku spontan."Ya. Memang begini cara mainnya.""Sebenarnya Pak Wira itu pengusaha atau mucikari, sih? Aku bahkan nggak yakin dress yang dipilihnya bahkan sanggup menutupi seperempat pahaku." Aku mulai mondar-mandir di tempat. Antara bingung dan kesal menghadapi kenyataan yang ada."Tenang, Lea. Kamu nggak harus memakainya. Sekarang masuk duluan! Aku keluar dulu sebentar." Om Lian meletakkan sebelah tangannya di punggungku, lalu mendorongnya ke dalam setelah menggesek kartu untuk membuka pintu.Lelaki itu tersenyum kecil sebelum meraih bingkisan tersebut dan menghilang setelah pintu lift tertutup.Kuhela napas panjang, kemudian merobohkan diri ke ranjang, setelah melepas sepasang sepatu. Kuraih ponse
Sontak aku memutar tubuh dan menatap lekat mata pekatnya untuk mencari kebohongan di sana.Namun, nihil. Yang kutemukan hanya manik mata berkaca-kaca yang memancarkan sebuah ketulusan di sana.Om Lian merendahkan tubuhnya, hingga bisa kurasakan napas hangat itu membelai permukaan wajah. dengan jarak sedekat ini aku bahkan bisa melihat bagaimana keringat sebesar biji jagung mulai berguguran dari pelipisnya.Saat hidung kami bersentuhan, bisa kurasakan kedua tangannya yang melingkar di pinggangku mulai gemetar. Tatapan kami saling mengunci untuk beberapa saat, sampai akhirnya Om Lian menarik tubuhku semakin rapat. Dia memejamkan mata, lalu melabuhkan bibirnya di tempat yang seharusnya.Sebelah tangan kekar itu mulai beralih melepas satu per satu kancing blazer yang kukenakan. Sementara aku mengulangi hal yang sama sembari sesekali menyeka keringat yang berguguran dari pelipisnya.Suhu tubuh kami meningkat drastis dengan napas yang sama-sama berembus tak karuan, saat kulit kami melekat t
Aku adalah satu dari sekian orang bodoh yang berharap pada sesuatu yang sudah tahu pasti akan sepahit apa akhirnya. Rasa manis yang hanya sempat sesaat dikecap, namun pil pahit kekecewaan yang justru harus kutelan. Rencana masa depan dan sebuah rumah tangga impian rupanya hanya kata-kata bualan yang dia ucapkan untuk menyenangkan hatiku yang amat haus akan kasih sayang. Bukit yang semalaman kami daki dengan keringat bercucuran dan perasaan yang sulit digambarkan akhirnya menempatkan kita berdua di atas puncak yang berbeda. Seharusnya aku sadar lebih awal, bahwa ada yang berbeda dari tatapan Om Lian, seharusnya aku bertanya tentang apa yang tengah mengusik pikirannya agar perpisahan ini tak akan terasa terlalu menyakitkan. Entah sudah berapa lama aku tenggelam dalam tangis keputusasaan. Larut dalam kesedihan yang begitu menyesakkan. Membiarkan diri diliputi kekalutan hingga mengabaikan sepasang mata yang selalu terjaga memerhatikan dengan sorot kebingungan."Vin ...." Aku menarik
"Kita kemasi barang dan pindah hari ini!" ucapku pada Kevin setelah check out dari hotel dan berjalan menuju lobi utama di mana mobil yang ditinggalkan Om Lian berada. "Kita bilang apa kalau orang rumah tanya nanti?" sahut Kevin. "Sore ini Pak Wira pasti nggak ada di rumah, mungkin dia lagi persiapan jamuan buat Pak Hans yang harus aku layani nanti malam. Kalau Papa dan Mamamu biar aku yang urus." Sekejap Kevin tampak mengerjap tak percaya, tapi akhirnya dia mengangguk juga."Biar aku yang nyetir." Kevin menahan pergelangan tanganku saat hendak memutari Mini Cooper berwarna merah yang sudah terparkir di hadapan, menuju kursi kemudi. Tanpa kata aku mengangguk pelan, dan menyerahkan kunci mobil kepadanya, lalu duduk di kursi penumpang. Helaan napas panjang terdengar setelah mesin mobil dinyalakan. Kevin menatapku dengan sorot mata penuh kenyakinan. "Mungkin anak muda yang tak berpengalaman seperti kita akan diremehkan, karena bernyali benar menantang orang-orang yang memiliki keku
"Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai
"Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa
"Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko
Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam
Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini
Saat ini kami tengah berkumpul di rumah Mbak Amira. Dalam formasi yang cukup lengkap. Hanya kurang beberapa orang yang masih belum berkenan untuk berbaur, setelah apa yang terjadi di masa lalu. Kami tengah Menikmati jamuan yang wanita baik hati itu sediakan sebagai bentuk rasa syukur karena kami berhasil melewati semua rintangan yang ada."Halah, masih gedean juga punya Bang Al, tapi kagak pernah, tuh dia pamerin. Itu baru otot bisep, loh. Belon nyang laen--""Jojo!" Mbak Zara memukul pelan lengan Bang Jojo. Wanita yang tengah hamil muda itu melotot."Iye, iye punya elu, Zar! Nggak akan ada yang gondol juga," cetus Bang Jojo dengan delikan mata khasnya.Sementara dua orang yang bersangkutan masih saja terlihat santai menanggapinya. Bang Alby, suami Mbak Zara yang juga paman Mbak Amira tentara berpangkat dua itu sejak tadi hanya tersenyum kecil. Sementara Om Lian tampak tak peduli dengan ocehan keponakannya, dan masih terjaga menggenggam tanganku."Oh, iya, Lea! Bulan ini kandungan kam
Awalnya aku sudah pasrah dengan semua. Masuk perangkap Pak Wira, mengetahui fakta bahwa Kevin berkhianat, dan menyaksikan Om Lian dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Kupikir saat itu azal kami akal segera tiba, tapi nyatanya takdir Tuhan adalah misteri yang tak pernah bisa disangka-sangka oleh manusia. Ternyata Kevin memenuhi janjinya. Dia datang di waktu yang tepat dan membawa serta semua Tim Mbak Amira. Keadaan pun berubah jauh lebih baik dari yang kukira. Dua bulan bahkan sudah berlalu dan semua mulai berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pak Wira ditemukan polisi dengan kondisi yang jauh lebih mengenaskan daripada Om Lian. Meskipun begitu dia tidak bisa lepas dari jeratan hukum setelah Delima dan teman-temannya mulai angkat bicara tentang bisnis perdagangan anak di bawah umur yang digawanginya. Pihak kedokteran juga mengatakan bahwa kondisi mental Pak Wira dalam keadaan sehat. Dengan kata lain dia tidak mengalami gangguan kejiwaan hingga membutuhkan rehabilitasi. Semua
"Ma."Mama menghentikan elusan tangannya di kepalaku."Hmm?""Kenapa saat itu Mama bersikukuh mempertahankan kehamilan padahal udah jelas aku anak haram."" .... "Mama tak menjawab. Keheningan panjang yang memuakkan memaksaku untuk bangkit dari posisi berbaring di pahanya. "Kalau saja saat itu aku nggak dilahirkan, kalau aja nggak bertahan dan tumbuh besar, aku nggak perlu menyaksikan semua kekejaman ini, Ma. Kalian nggak perlu menghancurkan rumah tangga orang lain, nggak akan ada dendam dan penderitaan atau lebih banyak pengorbanan. Lihat sekarang! Keegoisan Mama dan kakeklah yang menyebabkan semua kehancuran ini terjadi. Keegoisan kalianlah yang mengantarkan begitu banyak kebencian pada keluarga ini!" Akhirnya air mataku tak lagi bisa dibendung setelah berbulan-bulan hanya bungkam menyaksikan begitu banyak ketidakadilan. "Aku yakin Lea juga nggak akan bertindak sejauh ini kalau Mama berani bersikap tegas sejak awal. Sudah dua puluh tahun, Ma. Dua puluh tahun sejak Mama merampas a