[Aku hamil, Om]
Meskipun sempat gamang, pesan singkat itu berhasil kukirimkan pada Om Adrian bersama dengan foto surat keterangan dari bidan yang menyatakan bahwa kehamilanku sudah berjalan tujuh pekan.Om Adrian adalah lelaki ketiga yang berhasil kupertahankan lebih dari setahun lamanya sejak aku terjerumus dalam ikatan terlarang. Perbedaan usia kami berpaut dua puluh empat tahun, tapi tak menjadi penghalang hubungan yang mulanya memang terjalin hanya demi kesenangan.Umurku bahkan belum genap tujuh belas tahun saat memutuskan untuk mencari penghasilan sebagai peliharaan para lelaki mapan berdompet tebal. Sugar Daddy, biasa orang kekinian menyebutnya. Ketika seorang gadis remaja menjalin hubungan dengan lelaki yang berumur jauh di atasnya.Om Adrian berbeda dari dua Sugar Daddy-ku sebelumnya yang memang berstatus single. Ya, dia beristri. Dan dengan kehamilan ini aku berencana untuk menggantikan posisi istrinya.Terkesan tak tahu diri, bukan? Memang.Namun, percayalah! Aku punya alasan. Alasan yang bila kujelaskan pun tak akan mampu dimengerti sebelum kalian mengalaminya sendiri.Keadaanlah yang telah memaksaku tumbuh menjadi seorang j*lang sejak dini.Sekali lagi kutatap layar ponsel di hadapan, menunggu balasan dari lelaki dewasa yang sudah lebih dari setahun ini membiayai segala kebutuhanku selama menjadi Sugar Baby-nya.Akhirnya, ceklis dua di depan pesan berubah biru. Namun, sampai lima menit berlalu tak ada tanda-tanda balasan.Kutekan tanda 'kembali' di layar, lalu membuka notifikasi SMS yang baru saja masuk. Ternyata dari mobile banking, bukti transfer dari Adrian Mahesa senilai sepuluh juta.Aku tersenyum tipis saat membaca note yang tertera.'Gvgurkan! Dan lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita.'See! Semua lelaki itu sama. Mau enaknya tapi tak mau anaknya. Padahal dia yang memaksa dan berjanji akan mempertanggungjawabkan semuanya.B*llshit.Setelah kuperiksa ternyata nomorku pun telah diblokirnya.Lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita katanya. Oh, c'mon. Wanita b8doh mana yang hanya mau dibungkam dengan uang sepuluh juta? Rupanya dia lupa telah berhadapan dengan siapa.Aku Elea Kenanga. Wanita yang rela mengorbankan segalanya demi ambisi yang bisa saja membuatku mati.Wanita yang telah melempar wajahnya sendiri dengan kotoran, ketika memutuskan menjadi mainan para lelaki hidung belang.Aku menjerat Om Andrian dan dua Sugar Daddy sebelumnya bukan hanya demi uang, lalu dicampakkan setelah bosan.Aku ada di posisi ini sebenarnya untuk memberi orang-orang kejam itu balasan yang setimpal atas apa yang pernah mereka perbuat di masa lampau.***Di depan gerbang yang menjulang aku berdiri sembari merapatkan jaket. Seorang sekuriti tampak menghampiri setelah melihatku mondar-mandir hampir setengah jam tak jelas tujuan."Ada perlu apa, ya, Neng? Temennya Den Kevin, bukan?" tanya sekuriti yang bisa kutaksir berusia awal empat puluhan.Aku hanya tersenyum tipis sebelum menjawab. "Pak Adriannya ada?"Sekuriti tersebut tampak mengernyit sejenak. "Ada, sih. Kebetulan beliau lagi ngumpul sama Bu Lidia dan Den Kevin di ruang tengah. Kalau boleh tahu Nengnya siapa?"Good timing.Sebentar lagi bom waktu akan meledak dan memborak-porandakan keharmonisan dalam keluarga ini.Akhirnya tragedi yang terjadi sembilan belas tahun lalu akan terulang lagi.Bapak sekuriti yang semula terlihat tidak yakin pun menyetujui setelah kukatakan bahwa kami (aku dan Om Adrian) sudah membuat janji.Dia mengantarku masuk sampai ke depan pintu, lalu seorang asisten rumah tangga mengiringku menuju ruang tengah.Di sana sudah ada Tante Lidia, Om Adrian, Kevin, dan ....Seketika aku kehilangan kata saat melihat siapa sosok yang duduk di samping Kevin. Seorang lelaki dewasa yang setahun belakangan ini tak aku ketahui bagaimana kabarnya, setelah meninggalkanku dalam keadaan hati yang porak-poranda. Sugar Daddy lainnya yang sempat membuatku terlena dengan dunia fana saat dia mampu berperan sebagai sosok Papa yang selama ini tak pernah kujumpa, sekaligus kekasih yang mampu membuat nyaman di antara perbedaan usia yang jauh terbentang.Dia adalah Om Lian, adik kandung Tante Lidia. Wanita yang sudah menghancurkan hidup Mama yang kucinta sampai berakhir di rumah sakit jiwa."Lea!"Panggilan Kevin menyelamatkanku dari tatapan tajam Om Lian. Lelaki jangkung seumuranku itu tampak sudah berdiri di hadapan entah sejak kapan."Kalau ada perlu, kan tinggal bilang, biar aku yang jemput ke kost-an. Kamu nggak perlu datang jauh-jauh ke mari," tambahnya sembari mengusap rambutku pelan.Sejenak mataku terpejam. Lalu mendongak menatap Kevin. "Vin! Udah baca WA yang kukirim?"Kevin menggeleng. "Hapeku lagi di charger di kam--""Aku mau kita putus," potongku cepat.Keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajah lelaki berkulit putih itu."Sebenarnya tujuanku datang ke mari bukan buat ketemu kamu, tapi Papamu." Kulirik Om Adrian yang tampak mati kutu di samping Tante Lidia. Biar kutebak, sekarang pikiran busuknya pasti sedang memikirkan bagaimana cara memecat Sekuriti yang membiarkan aku masuk tadi.Sebenarnya cara seperti ini terasa begitu kejam untuk mengakhiri hubungan yang sudah aku dan Kevin jalin selama satu setengah setahun. Apa lagi kami sama-sama melanjutkan study di universitas yang sama.Namun, mau bagaimana lagi, dia hanya batu loncatan yang kugunakan untuk mengorek segala hal tentang Adrian Mahesa, Papanya."Kamu bercanda, kan, Sayang?" Kevin masih terlihat belum percaya. Dia menatapku dengan mata memicing curiga yang hanya kutanggapi dengan ekspresi datar."Nggak. Aku serius, Vin. Sebentar lagi kamu bakal jadi anak tiriku, nggak pantes, kan kalau kita masih menjalin hubungan?" tuturku seadanya."Hah?" Ekspresi wajahnya menyiratkan ejekan yang kentara, seolah apa yang tengah kukatakan baginya hanya lelucon semata. "Hahaha ...." Detik berikutnya tawa Kevin meledak. Bersamaan dengan itu Tante Lidia bangkit dari tempatnya dan menatapku nyalang."Apa-apaan ini?" semburnya murka.Kuabaikan tawa membahana Kevin yang akhirnya mereda saat dia mulai sadar bahwa aku memang tak bercanda. Dia sempat mengacak rambut frustrasi sebelum berlari menuju lantai dua.Sepeninggal Kevin, aku berjalan menghampiri Om Adrian yang masih mematung di tempatnya. Sementara Om Lian--entah. Aku benar-benar tak tahu apa yang tengah berkecamuk di benak lelaki berusia tiga puluh tujuh tahun itu.Bisa saja dia sedang mengumpat?Menggerutu? Atau bahkan nostalgia mengingat kenangan kita. Oh, ayolah Lea. Bukan saatnya memikirkan lelaki br*ngsek itu saat ini."Kenapa WA-ku diblokir, Om? Mau lari dari tanggung jawab?" semprotku pada Om Adrian sembari mengeluarkan uang sepuluh juta yang sudah ditarik dalam perjalanan. "Nih, aku kembalikan! Jangankan cuma sepuluh juta, seratus juta pun tak akan kuterima bila untuk menggvgurkan janin yang tak berdosa."Bisa kulihat Om Lian yang semula tak acuh mulai tertarik dengan pokok pembicaraanku. Terlihat dari caranya menggeser posisi duduk.Sementara Tante Lidia mulai melotot tak percaya. Dia hendak bangkit, tapi ditahan suaminya."Katakan saja apa maumu, Lea? Tolong jangan membuat keributan di rumahku!" desis Om Adrian yang terlihat kelabakan mengatasi situasi ini. Beberapa kali dia menarik pergelangan tangan Tante Lidia yang tampaknya tak tahan ingin menghajarku."Pernikahan." Kujawab enteng tanpa pikir panjang sembari menatap mereka bergantian, tak terkecuali Om Lian yang tiba-tiba mengepalkan tangan.Selanjutnya kalian pasti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.Plak!Ya, pipiku menjadi sasaran amukan Tante Lidia."Kau pikir siapa dirimu, hah?!" Tante Lidia berteriak kesetanan. Wanita yang masih terlihat segar dan terawat menginjak kepala empat itu bahkan sudah bersiap melayangkan tamparan kedua. Sungguh berbanding terbalik dengan kondisi Mama yang begitu mengkhawatirkan sekarang.Kuusap pipi kanan yang terasa kebas, lalu mengulurkan tangan."Ah, iya. Hampir lupa. Kita belum kenalan. Nama saya Elea Kenanga, Tante. Selingkuhan suami Anda!""Ha?" Ejekan seperti Kevin tadi kudapati dari Mamanya. Tawa wanita itu membahana di rumah besar ini.Ah, bila saja tragedi hari itu tak terjadi. Mungkin Mama yang akan menjadi Nyonya di rumah ini."Percaya diri sekali sampah berjalan ini. Di mana harga dirimu sebagai wanita, hah?"Aku hanya bisa tersenyum tipis mendengarnya. Ternyata dia lupa siapa dirinya di masa lalu. Sayangnya dia tak pernah merasakan tamparan pengkhianatan."Saya hanya berbicara tentang fakta, Tante. Bisa Anda cari tahu sendiri. Hubungan kami telah berjalan selama satu tahun lebih. Semua orang tahu bagaimana reputasi keluarga tante Lidia, bukan? Anda cukup memilih di antara dua pilihan. Nama baik tercemar? Atau menerima saya sebagai adik madu kesayangan?" Aku tersenyum lebar sembari berpangku tangan menyaksikan bagaimana wanita yang membuat Mama menderita, berada di ambang kehancuran."Argh!" Dia mengeram frustasi, sementara Om Adrian tak bisa melakukan apa-apa. Jelaslah. Apa yang bisa dilakukan benalu yang hanya tahu memuaskan nafsu dan suka menghamburkan harta istrinya?Setelan sekian lama Om Lian yang semula geming mulai mengambil kendali dengan gagahnya.Dia bangkit berdiri, lalu berjalan ke arahku. "Berapa usia kandunganmu?" tanyanya datar. Ah, sikap dingin dan tegas yang kurindukan."Tujuh minggu," jawabku."Oke, kita menikah minggu depan."Deg!"Lian ...!" Tante Lidia berteriak, sementara aku hanya bisa membeku. "Kau sudah berjanji tak akan pernah menikah setelah kepergian Diana, bukan?"Bisa kulihat senyum miring tersungging di bibir tipisnya. "Ah, janji konyol itu sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, Mbak. Lagi pula siapa lagi yang bisa menyelamatkan reputasi keluarga kita yang disebabkan suami benalumu kalau bukan aku orangnya?"Tante Lidia terbungkam. Om Adrian terdiam.Om Lian beralih menatapku saat menyadari tatapan nyalang yang dengan terang-terangan kutunjukkan. Tak lama dia mendekatkan bibirnya ke daun telingaku, lalu bergumam."Seharusnya kamu berterimakasih karena saya memuluskan jalanmu untuk masuk dalam keluarga ini, Lea, bukan menatap dengan raut tak suka! Jangan lupa, saya mengenalmu dengan sangat baik. Intinya, siapa pun Ayah dari bayi yang tengah kamu kandung ... bisa saya pastikan Mas Adrian tak termasuk di dalamnya. Ini jebakan, bukan?"...Bersambung.Blug!Kulempar tas selempang yang semula dikenakan ke sembarang arah, lalu merebahkan diri di atas ranjang setibanya di kamar kosan. Ck, bagaimana bisa umpan yang kulemparkan pada Om Adrian malah disantap Om Lian. Sebenarnya apa yang dia inginkan setelah menghilang lebih dari setahun tanpa kepastian? Pernikahan? Seminggu dari sekarang? Apa-apaan. Aku benar-benar tak menyangka dia bisa mengambil langkah untuk menikahiku demi menyelamatkan reputasi keluarganya. Sebenarnya apa yang disembunyikan lelaki itu? Bagaimana mungkin dia bisa tahu banyak tentangku? Bahkan tentang Om Adrian yang kemungkinan besar adalah Ayah kandungku! "Aaargh." Kuacak rambut frustrasi. Ini melenceng jauh dari perkiraan. Kupikir tragedi sembilan belas tahun lalu akan terulang kembali persis seperti yang diceritakan Tante Sarah. Namun, nyatanya tidak. Kehadiran Om Lian menghancurkan semuanya. Bahkan sejak pergi tanpa alasan setahun lalu, lelaki itu masih saja berhasil mengusik hidupku. Lian Fahlevi, seandai
Mobil Fortuner hitam terlihat sudah terparkir sekitar dua meter dari gerbang kosan. Aku turun dari motor, lalu mengetuk kaca mobilnya. "Kenapa lama sekali? Kamu tahu Om orang sibuk, kan, El!" bentaknya setelah aku masuk ke dalam mobil."Memangnya cuma Om yang punya kerjaan? Aku juga punya kehidupan, dan banyak urusan.""Urusan s3langkangan maksudnya? Kerjaanmu memang begitu, bukan? Setelah Lian, siapa lagi sasaranmu, Elea? Apa fasilitas yang saya berikan masih kurang, hingga kamu rela dipelihara lebih dari satu lelaki."Mataku hanya bisa terpejam mendengar semua hinaannya. Sabar, Lea. Bukan saatnya melempar meja ke arah muka lelaki tak tahu diri ini. Ya, Tuhan. Aku benar-benar berharap dia bukan ayah biologisku sekarang. "Kalau iya memang kenapa? Kalau bisa dua atau tiga kenapa harus satu. Keuntungan yang didapatkan juga bisa berlipat-lipat, bukan?" jawabku sengit.Om Adrian menggeleng seolah tak menyangka dengan apa yang baru saja kulontarkan untuk membalas hinaannya. "Kau ... w
Cukup lama kami hanyut dalam lamunan. Mencoba menyelami pikiran masing-masing dari tatapan yang saling mengunci. Kaget. Sudah pasti. Lelaki yang mulanya hanya kumanfaatkan sebagai ATM berjalan sekaligus batu loncatan balas dendam ternyata adalah saksi kunci kejadian sembilan belas tahun silam. Om Lian lebih dulu mengalihkan pandangan. Kata-kata terakhir yang dilontarkan sepertinya bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, melainkan sebuah pernyataan atau bahkan tuntutan? Matanya bahkan berkilat tajam saat mengatakan tentang kebenciannya pada sosok Adrian Mahesa.Oke, sebenarnya sekarang aku bingung harus merasa senang atau tertekan? Karena selain mempunyai sekutu orang dalam aku juga bisa mendapatkan banyak fakta tentang masa lalu mereka dari sumber terpercaya. Kalau dipikir-pikir penawaran Om Lian boleh juga. "Sekarang jujur, selama ini kamu melihat Mas Adrian seperti apa? Jangan salah paham, saya hanya ingin memastikan hubungan kalian benar-benar tak melibatkan per--" "Bagiku
"Kukira hubungan kita spesial. Ternyata aku cuma selingan di antara para Sugar Daddy-mu yang berdompet tebal. Ternyata selama ini perjuanganku sia-sia. Wanita yang mati-matian kujaga justru memutuskan merusak dirinya. Kenapa? Kenapa di antara seluruh lelaki mapan di dunia harus mereka orangnya! Kenapa harus Papa dan Omku, Elea!"Merasa Kevin sudah puas meluapkan segala emosinya. Kutarik napas panjang, lalu mengangkat kepala setelah sekian lama. Menatap lurus lelaki jangkung yang satu setengah tahun ini menjadi teman dikala kesepian, informan saat dibutuhkan, sekaligus kekasih yang tak pernah mengekang. Jujur, sebenarnya aku merasa sangat bersalah karena memanfaatkan cinta tulusnya. Tetapi mau bagaimana lagi. Kevin yang lebih dulu membuka celah kepercayaan yang akhirnya bisa dengan mudah kumanfaatkan.Dia lengah karena berpikir aku wanita baik-baik yang berbeda dengan para wanita kebanyakan. Namun, kenyataannya justru aku bisa dibilang lebih buruk dari mereka."Vin!" Kuulurkan tangan
Dua bulan lalu ...."El, seminggu lalu Om liat orang yang sekilas mirip banget sama kamu. Postur tubuhnya sampai gaya rambut dan warna kulit!""Iyakah?" Aku hanya bisa mengusap tengkuk menanggapi ucapan Om Adrian. Saat ini kami tengah ada di salah satu kafe di daerah Yogya. Om Adrian sedang dalam perjalanan dinas keluar kota dan anehnya dia membawaku ikut serta untuk menemani 'kesepiannya'Sejenak kulirik wanita yang duduk di pojok kanan meja, dekat kaca. Berjarak sekitar tujuh sekat dari tempat kami. Wanita itu mengenakan dress yang sama denganku. Bedanya ditutupi jaket jins dan topi hitam."Iya, dia chek out dari hotel bareng sama kita waktu itu. Mungkin kalau lagi nggak sadar bisa aja Om liat dia itu kamu. Tapi tetap aja cantik kamu ke mana-mana."Aku tersenyum kikuk. Wanita yang Om Adrian maksud itu adalah Siska. Dia adalah temanku sejak SMA. Seseorang yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia kelam sebagai 'mainan' para lelaki matang berdompet tebal. Siska juga yang pertama kali
"Mas Adrian bisa pulang sekarang! Tolong jangan usik lagi hidup Lea, sebelum saya laporkan semua kelakuan Mas di belakang Mbak Lidia." Suara Om Lian terdengar dalam dan mengintimidasi saat dia meminta kakak iparnya untuk pergi. Masih di posisi yang sama, aku memintal ujung kaus yang dikenakan. Antara bingung, kecewa, sedih, dan senang berkecamuk menjadi satu. Bingung dan kecewa karena semua berjalan tak sesuai rencana. Sedih, karena kesempatanku untuk menghancurkan Om Adrian semakin menipis, dan senang karena Om Lian datang tepat waktu.Bisa kulihat kedua tangan Om Adrian terkepal erat. Bugh!"Dasar jalang penipu. Cuih!"Dia sempat meninju pohon dan meludah ke arahku, sebelum berlalu. Beberapa saat kemudian mobil mewah berwarna hitam itu menghilang dari pandangan. Tubuhku roboh ke tanah sebelum sempat Om Lian meraihnya. Kutenggelamkan wajah dalam juntaian rambut panjang yang menyentuh tanah. Hancur sudah semuanya. Sia-sia kukorbankan hidup dan matiku untuk tujuan yang tak pasti
"Li-limousine."Aku tertegun saat Tante Sarah bergumam melihat mobil yang menjemput kami menuju kediaman keluarga Fahlevi-- sudah terparkir sekitar sepuluh meter dari gerbang kosan. Kosan yang kutinggali selama lebih dari dua tahun ini memang terletak di daerah pinggiran ibu kota, tapi tak jauh dari jalan raya. Biasanya waktu yang di tempuh menuju pusat kota bisa menghabiskan satu sampai satu setengah jam perjalanan tergantung kepadatan. Sebenarnya ini terlalu berlebihan, untuk ukuran jamuan lamaran. Namun, mengingat keluarga Fahlevi terkenal sebagai konglomerat yang hobi memamerkan kekayaan ... jadi, tak heran memang. Mereka seolah tengah menunjukkan secara halus perbedaan starata sosial yang jauh membentang di antara kami. Saat sopir membuka pintu dan mempersilakan kami masuk. Kemewahan yang disuguhkan mobil yang biasa digunakan sebagai kendaraan resmi kepresidenan atau pengusaha besar ini terlihat begitu kentara. Fasilitas yang diberikan di dalamnya pun bisa membuat siapa pun o
Sudah bisa ditebak seberapa megahnya bangunan ini dari dalam. Barang-barang antik, lampu megah besar di ruang tengah, serta rak-rak yang menjulang.Kami sampai di ruangan paling besar dengan sofa hitam mengkilap berbentuk melingkar. Tiga orang tampak sudah mengisi tempat yang ada. Mereka bangkit setelah kami tiba.Tatapan sinis jelas kulihat dari Tante Lidia dan Om Adrian. Sementara tatapan tak terbaca kulihat dari Om Wira. Lelaki yang masih terlihat begitu gagah dan berwibawa di usia yang menginjak tujuh puluh tahun itu berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan. "Namamu Elea Kenanga, kan? Salam kenal, saya Prawira Fahlevi." Sejenak tatapannya turun menuju perutku yang terlihat masih datar. Refleks aku memegangnya, lalu tersenyum kikuk. "Salam kenal, Om. Terima kasih dengan sambutan hangatnya." Demi Tuhan aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya sekarang. Tak ada ekspresi terkejut yang kuharapkan sejak awal. Seolah Om Wira sudah tahu semua ini akan terjadi. "Bisa-bisanya s
"Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai
"Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa
"Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko
Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam
Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini
Saat ini kami tengah berkumpul di rumah Mbak Amira. Dalam formasi yang cukup lengkap. Hanya kurang beberapa orang yang masih belum berkenan untuk berbaur, setelah apa yang terjadi di masa lalu. Kami tengah Menikmati jamuan yang wanita baik hati itu sediakan sebagai bentuk rasa syukur karena kami berhasil melewati semua rintangan yang ada."Halah, masih gedean juga punya Bang Al, tapi kagak pernah, tuh dia pamerin. Itu baru otot bisep, loh. Belon nyang laen--""Jojo!" Mbak Zara memukul pelan lengan Bang Jojo. Wanita yang tengah hamil muda itu melotot."Iye, iye punya elu, Zar! Nggak akan ada yang gondol juga," cetus Bang Jojo dengan delikan mata khasnya.Sementara dua orang yang bersangkutan masih saja terlihat santai menanggapinya. Bang Alby, suami Mbak Zara yang juga paman Mbak Amira tentara berpangkat dua itu sejak tadi hanya tersenyum kecil. Sementara Om Lian tampak tak peduli dengan ocehan keponakannya, dan masih terjaga menggenggam tanganku."Oh, iya, Lea! Bulan ini kandungan kam
Awalnya aku sudah pasrah dengan semua. Masuk perangkap Pak Wira, mengetahui fakta bahwa Kevin berkhianat, dan menyaksikan Om Lian dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Kupikir saat itu azal kami akal segera tiba, tapi nyatanya takdir Tuhan adalah misteri yang tak pernah bisa disangka-sangka oleh manusia. Ternyata Kevin memenuhi janjinya. Dia datang di waktu yang tepat dan membawa serta semua Tim Mbak Amira. Keadaan pun berubah jauh lebih baik dari yang kukira. Dua bulan bahkan sudah berlalu dan semua mulai berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pak Wira ditemukan polisi dengan kondisi yang jauh lebih mengenaskan daripada Om Lian. Meskipun begitu dia tidak bisa lepas dari jeratan hukum setelah Delima dan teman-temannya mulai angkat bicara tentang bisnis perdagangan anak di bawah umur yang digawanginya. Pihak kedokteran juga mengatakan bahwa kondisi mental Pak Wira dalam keadaan sehat. Dengan kata lain dia tidak mengalami gangguan kejiwaan hingga membutuhkan rehabilitasi. Semua
"Ma."Mama menghentikan elusan tangannya di kepalaku."Hmm?""Kenapa saat itu Mama bersikukuh mempertahankan kehamilan padahal udah jelas aku anak haram."" .... "Mama tak menjawab. Keheningan panjang yang memuakkan memaksaku untuk bangkit dari posisi berbaring di pahanya. "Kalau saja saat itu aku nggak dilahirkan, kalau aja nggak bertahan dan tumbuh besar, aku nggak perlu menyaksikan semua kekejaman ini, Ma. Kalian nggak perlu menghancurkan rumah tangga orang lain, nggak akan ada dendam dan penderitaan atau lebih banyak pengorbanan. Lihat sekarang! Keegoisan Mama dan kakeklah yang menyebabkan semua kehancuran ini terjadi. Keegoisan kalianlah yang mengantarkan begitu banyak kebencian pada keluarga ini!" Akhirnya air mataku tak lagi bisa dibendung setelah berbulan-bulan hanya bungkam menyaksikan begitu banyak ketidakadilan. "Aku yakin Lea juga nggak akan bertindak sejauh ini kalau Mama berani bersikap tegas sejak awal. Sudah dua puluh tahun, Ma. Dua puluh tahun sejak Mama merampas a