Bekerja cerdas bisa dibilang sebagai fase paling efektif dalam menjalankan sebuah rencana, dibandingkan kerja keras yang kebanyakan hanya menghabiskan tenaga, tapi belum tentu hasilnya. Tak banyak orang yang mampu melakukannya, kecuali dia yang memang punya pengalaman di bidangnya. Sebagai sesama wanita aku benar-benar kagum pada sosok Mbak Amira. Dia adalah paket komplit wanita masa kini sesungguhnya yang bisa menjalankan multi peran. Mulai dari seorang istri, ibu, dan wanita karir yang kemampuannya bisa dikatakan di atas rata-rata. Sembari menatap layar datar di hadapan aku masih belum bisa menyembunyikan keterkejutan. Bahkan siaran berita di TV sudah berganti beberapa menit lalu, tapi aku masih terpaku dengan satu pertanyaan yang sama. Kok, bisa? Rencana yang sudah disusun lama bersama Om Lian dengan kerja keras yang cukup menguras tenaga bahkan masih berakhir gagal. Namun, dalam waktu yang bisa dibilang cukup singkat Mbak Amira dan Tim mampu menghandlenya dengan hasil yang am
Kami tiba di kediaman keluarga Adijaya. Tempat ini bisa dibilang hampir sama luasnya dengan tempat tinggal Pak Wira. Hanya suasananya yang membuat beda. Kalau di sini bersahabat, di sana kebalikannya. Mencekam. "Mari, Non!"Bang Jojo dan Yoga menuntun kami masuk ke dalam, di mana para pelayan sudah berjejer menyambut. Di barisan paling depan kulihat seorang wanita bertubuh tinggi berisi mengenakan seragam yang hampir sama dengan para pelayan lain, tapi lebih rapi dan tertutup jibab. "Beliau kepala pelayan di sini. Namanya Zara. Bisa panggil aja Miss. Toa, karena suaranya nggak kalah sama sound sistem hajatan.""Jojo." Kepala pelayan bernama Zara itu memelototi Bang Jojo. Entah kenapa aku benar-benar iri melihat kedekatan mereka. Orang asing yang tampak kental kekeluargaannya. "Mari, saya antar ke dalam." Mbak Zara mempersilakan aku dan kevin. Sementara beberapa penjaga membantu Bang Yoga menurunkan barang. Kami berjalan mengekorinya, begitu pun Bang Jojo. "Pagi ini Amira ada me
Di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan. Semuanya ada karena campur tangan takdir Yang Maha Kuasa.Nyatanya dunia memang sempit. Dari ratusan negera dan jutaan pulau di dunia. Ternyata Mas Rafael dan Om Lian adalah saudara!Mereka berasal dari satu Ayah yang sama yaitu Pak Indra Herlambang. Dulu beliau adalah pengacara kondang yang namanya paling sering dibicarakan karena banyak menangani kasus-kasus besar yang melibatkan publik figur, pengusaha, perusahaan, bahkan politisi! Sekitar lima tahu lalu beliau wafat menyusul sang istri dan meninggalkan satu orang anak yang tak lain Mas Rafael, siapa yang menyangka ternyata beliau mempunyai seorang anak dari hubungan gelapnya dengan ibu Om Lian sebelum menikah dengan ibu Mas Rafa. Tak ada yang tahu pasti seperti apa kronologisnya saat itu. Namun, yang jelas Om Lian dan Mas Rafa sudah terbukti secara DNA adalah saudara. Semua mulai masuk akal sekarang. Tak ada yang namanya bantuan secara cuma-cuma. Terlepas itu tulus atau tidak semua p
Kulihat di depan Mbak Amira masih berkutat dengan in fokus yang menunjukkan sebuah grafik saham FaTV dan Fahlevi's Entertainment. Tampak di sana H Travel sudah dicoret dari daftar. Tinggal dua yang tersisa. Salah satunya adalah PT A.J. Sementara yang diberi bulat merah adalah target berikutnya. Arden's Group. Yang dipimpin oleh Margaretta Andrean. Merupakan perusahaan fashion asing sekelas Kacci. Yang kudengar mantan suaminya adalah seorang dokter keturunan Eropa - Indonesia, sebelum setahun lalu mereka resmi bercerai karena sang suami kedapatan selingkuh dan terlibat dalam pembunuh berencana kakeknya Mbak Amira. "Sebenarnya tak terlalu sulit untuk membuat Arden's Group membatalkan kerja samanya dengan perusahaan Pak Wira. Mengingat aku mengenal pimpinan perusahaan fashion itu dengan baik begitu pun anggota keluarganya yang lain. Yang jadi permasalahan di sini adalah kita harus mencari bukti konkret agar Mrs. Margaret percaya, mengingat kerja sama mereka bahkan sudah terjalin lebih
Tak terasa dua bulan telah berlalu. Entah mengapa hari terasa lebih cepat berganti. Namun, setiap detiknya sama sekali tak bisa kunikmati. Semua waktu terasa kosong, meski aku berada dalam lingkungan yang ramai, menyenangkan, dengan ikatan kekeluargaan yang begitu kental. Sudah dua bulan pula aku dan Kevin tinggal di kediaman Mbak Amira. Beberapa kali kami nyaris terpergoki dan dipaksa untuk kembali. Namun, berkat kecekatan Tim Mbak Amira semuanya begitu mudah diatasi, walaupun ruang gerak kami amat sangat dibatasi. Hampir tiap minggu bahkan kami harus berganti ponsel dan kartu sim agar tak terlacak komplotan Pak Wira. Akhirnya kerja keras selama dua bulan penuh membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Kami berhasil menempatkan FaTV sebagai stasiun TV dengan rating terendah di Tanah Air. Bahkan semua project garapan PH Fahlevi's Entertainment terancam gagal dan merugi besar-besaran, setelah kami berhasil meyakinkan Arden's Group untuk membatalkan kerja samanya yang sudah terjalin sel
"Vin, aku mau jalan-jalan keluar!" pintaku pada Kevin saat dia tengah menyuapiku makan. Dua hari sudah aku dirawat inap. Sekarang aku tahu alasan dari kebungkaman Tante Sarah dan Kevin dua hari lalu. Mereka mencemaskanku. Terkadang beberapa hal yang tak terduga sering kali terjadi di waktu yang tidak tepat. Begitu pun kondisi tubuhku kini. Meskipun begitu aku tetap harus menjalani waktu yang tersisa, bukan? Lelah? Sudah pasti. Muak? Bisa jadi. Tapi, mau bagaimana lagi? "Ta-tapi kata dokter.""Please, Vin ...." Aku mulai memelas yang membuat Kevin akhirnya menghela napas gusar. "Oke. Aku hubungin Mbak Amira dan minta izin ke dokter dulu, sekalian bawa baju ganti buat kamu!" Kevin beranjak setelah meletakkan mangkok berisi setengah bubur yang tersisa. "Makasih." Aku tersenyum sembari mencubit pipi Kevin."Iya, sama-sama. Apa, sih yang engga buat kamu. Nyawa pun akan kuberi.""Halah. Lebay."Kevin pun berlalu dengan suara tawa yang berusaha dia redam. ***"Jadi, hari ini kita mau
"Kamu dan Lea itu bersaudara ... kalian satu Ayah!"What the fuck!Aku mengumpat keras sembari menendang botol bekas di hadapan, ketika kalimat itu kembali terngiang-ngiang di telinga. Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak Om Lian menurunkanku tadi. Saudara?Satu Ayah?Jadi, si Papa kampret sudah selingkuh dari dulu? Semuanya mulai masuk akal kini, sekarang aku tahu alasan kenapa Lea bersikeras ingin masuk dalam keluargaku. Dia korbankan diri menjadi Sugar Baby Kakek, Papa, dan Om Lian ternyata tujuannya untuk balas dendam. Padahal sebelumnya aku mengenal Lea sebagai gadis yang amat pendiam. Dia sulit sekali didekati makanya aku penasaran. Sejak satu kelompok saat MOS aku sudah mulai terpikat dengannya, karena selain cantik dan body goal, gadis itu juga cuek dan dingin pada setiap lelaki yang mendekatinya. Satu tahun penuh kutunjukkan perhatian, terang-terangan mengungkapkan perasaan meski tahu pacarku saat itu mungkin ada segudang. Mentraktirnya makan, mengajaknya jalan. N
Tanpa sadar kedua tanganku sudah terkepal di sisi tubuh. "Kamu tahu berapa kali aku ingin mati selama sembilan belas tahun ini? Tak terhitung, Lidia! Meski kesenangan dunia terus dicekkoki, tapi aku tak pernah benar-benar bisa menikmati. Sebenarnya aku juga sudah muak dengan semua in--"Prang!Hanya sepersekian detik kemudian, guci yang semula menyembunyikan tubuh ini sudah jatuh berserakan di lantai. Mama dan Pa--ah, setelah semua yang kudengar apa masih pantas aku menyebutnya demikian? Keduanya menoleh bersamaan. Bergegas kupasang hoodie, lalu menyalakan earphones dengan volume kencang untuk meredam berbagai teriakan yang kuyakin sebentar lagi akan mereka lontarkan untuk menuntut jawaban tentang kejadian barusan. Setengah berlari, kutapaki tiap anak tangga hingga sampai di dalam kamar. Tanpa sadar ada yang lolos dari pelupuk mata. Semakin aku berusaha meredamnya semakin tak tertahan rasanya. Sekarang aku merasa perceraian lebih baik bagi mereka, daripada mempertahankan rumah t
"Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai
"Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa
"Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko
Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam
Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini
Saat ini kami tengah berkumpul di rumah Mbak Amira. Dalam formasi yang cukup lengkap. Hanya kurang beberapa orang yang masih belum berkenan untuk berbaur, setelah apa yang terjadi di masa lalu. Kami tengah Menikmati jamuan yang wanita baik hati itu sediakan sebagai bentuk rasa syukur karena kami berhasil melewati semua rintangan yang ada."Halah, masih gedean juga punya Bang Al, tapi kagak pernah, tuh dia pamerin. Itu baru otot bisep, loh. Belon nyang laen--""Jojo!" Mbak Zara memukul pelan lengan Bang Jojo. Wanita yang tengah hamil muda itu melotot."Iye, iye punya elu, Zar! Nggak akan ada yang gondol juga," cetus Bang Jojo dengan delikan mata khasnya.Sementara dua orang yang bersangkutan masih saja terlihat santai menanggapinya. Bang Alby, suami Mbak Zara yang juga paman Mbak Amira tentara berpangkat dua itu sejak tadi hanya tersenyum kecil. Sementara Om Lian tampak tak peduli dengan ocehan keponakannya, dan masih terjaga menggenggam tanganku."Oh, iya, Lea! Bulan ini kandungan kam
Awalnya aku sudah pasrah dengan semua. Masuk perangkap Pak Wira, mengetahui fakta bahwa Kevin berkhianat, dan menyaksikan Om Lian dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Kupikir saat itu azal kami akal segera tiba, tapi nyatanya takdir Tuhan adalah misteri yang tak pernah bisa disangka-sangka oleh manusia. Ternyata Kevin memenuhi janjinya. Dia datang di waktu yang tepat dan membawa serta semua Tim Mbak Amira. Keadaan pun berubah jauh lebih baik dari yang kukira. Dua bulan bahkan sudah berlalu dan semua mulai berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pak Wira ditemukan polisi dengan kondisi yang jauh lebih mengenaskan daripada Om Lian. Meskipun begitu dia tidak bisa lepas dari jeratan hukum setelah Delima dan teman-temannya mulai angkat bicara tentang bisnis perdagangan anak di bawah umur yang digawanginya. Pihak kedokteran juga mengatakan bahwa kondisi mental Pak Wira dalam keadaan sehat. Dengan kata lain dia tidak mengalami gangguan kejiwaan hingga membutuhkan rehabilitasi. Semua
"Ma."Mama menghentikan elusan tangannya di kepalaku."Hmm?""Kenapa saat itu Mama bersikukuh mempertahankan kehamilan padahal udah jelas aku anak haram."" .... "Mama tak menjawab. Keheningan panjang yang memuakkan memaksaku untuk bangkit dari posisi berbaring di pahanya. "Kalau saja saat itu aku nggak dilahirkan, kalau aja nggak bertahan dan tumbuh besar, aku nggak perlu menyaksikan semua kekejaman ini, Ma. Kalian nggak perlu menghancurkan rumah tangga orang lain, nggak akan ada dendam dan penderitaan atau lebih banyak pengorbanan. Lihat sekarang! Keegoisan Mama dan kakeklah yang menyebabkan semua kehancuran ini terjadi. Keegoisan kalianlah yang mengantarkan begitu banyak kebencian pada keluarga ini!" Akhirnya air mataku tak lagi bisa dibendung setelah berbulan-bulan hanya bungkam menyaksikan begitu banyak ketidakadilan. "Aku yakin Lea juga nggak akan bertindak sejauh ini kalau Mama berani bersikap tegas sejak awal. Sudah dua puluh tahun, Ma. Dua puluh tahun sejak Mama merampas a