"Vin, aku mau jalan-jalan keluar!" pintaku pada Kevin saat dia tengah menyuapiku makan. Dua hari sudah aku dirawat inap. Sekarang aku tahu alasan dari kebungkaman Tante Sarah dan Kevin dua hari lalu. Mereka mencemaskanku. Terkadang beberapa hal yang tak terduga sering kali terjadi di waktu yang tidak tepat. Begitu pun kondisi tubuhku kini. Meskipun begitu aku tetap harus menjalani waktu yang tersisa, bukan? Lelah? Sudah pasti. Muak? Bisa jadi. Tapi, mau bagaimana lagi? "Ta-tapi kata dokter.""Please, Vin ...." Aku mulai memelas yang membuat Kevin akhirnya menghela napas gusar. "Oke. Aku hubungin Mbak Amira dan minta izin ke dokter dulu, sekalian bawa baju ganti buat kamu!" Kevin beranjak setelah meletakkan mangkok berisi setengah bubur yang tersisa. "Makasih." Aku tersenyum sembari mencubit pipi Kevin."Iya, sama-sama. Apa, sih yang engga buat kamu. Nyawa pun akan kuberi.""Halah. Lebay."Kevin pun berlalu dengan suara tawa yang berusaha dia redam. ***"Jadi, hari ini kita mau
"Kamu dan Lea itu bersaudara ... kalian satu Ayah!"What the fuck!Aku mengumpat keras sembari menendang botol bekas di hadapan, ketika kalimat itu kembali terngiang-ngiang di telinga. Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak Om Lian menurunkanku tadi. Saudara?Satu Ayah?Jadi, si Papa kampret sudah selingkuh dari dulu? Semuanya mulai masuk akal kini, sekarang aku tahu alasan kenapa Lea bersikeras ingin masuk dalam keluargaku. Dia korbankan diri menjadi Sugar Baby Kakek, Papa, dan Om Lian ternyata tujuannya untuk balas dendam. Padahal sebelumnya aku mengenal Lea sebagai gadis yang amat pendiam. Dia sulit sekali didekati makanya aku penasaran. Sejak satu kelompok saat MOS aku sudah mulai terpikat dengannya, karena selain cantik dan body goal, gadis itu juga cuek dan dingin pada setiap lelaki yang mendekatinya. Satu tahun penuh kutunjukkan perhatian, terang-terangan mengungkapkan perasaan meski tahu pacarku saat itu mungkin ada segudang. Mentraktirnya makan, mengajaknya jalan. N
Tanpa sadar kedua tanganku sudah terkepal di sisi tubuh. "Kamu tahu berapa kali aku ingin mati selama sembilan belas tahun ini? Tak terhitung, Lidia! Meski kesenangan dunia terus dicekkoki, tapi aku tak pernah benar-benar bisa menikmati. Sebenarnya aku juga sudah muak dengan semua in--"Prang!Hanya sepersekian detik kemudian, guci yang semula menyembunyikan tubuh ini sudah jatuh berserakan di lantai. Mama dan Pa--ah, setelah semua yang kudengar apa masih pantas aku menyebutnya demikian? Keduanya menoleh bersamaan. Bergegas kupasang hoodie, lalu menyalakan earphones dengan volume kencang untuk meredam berbagai teriakan yang kuyakin sebentar lagi akan mereka lontarkan untuk menuntut jawaban tentang kejadian barusan. Setengah berlari, kutapaki tiap anak tangga hingga sampai di dalam kamar. Tanpa sadar ada yang lolos dari pelupuk mata. Semakin aku berusaha meredamnya semakin tak tertahan rasanya. Sekarang aku merasa perceraian lebih baik bagi mereka, daripada mempertahankan rumah t
"Dah, lupain! Anggap aja aku khilaf tadi." Kevin beranjak dari tempatnya, lalu tersenyum samar sembari mengacak rambutku pelan. Ketika mulut dan hati tak sejalan. Di sana bisa kulihat dia tengah menahan perasaan. Perasaan yang mungkin selama ini hanya bisa dia pendam. Perasaan yang bisa melukainya meski tanpa perlawanan.Dalam situasi seperti aku tak bisa bertindak egois. Berpikir bahwa hanya aku yang tersakiti padahal jelas kita berdua sama-sama korban. Aku tak bisa menyalahkan Kevin akan apa yang baru saja terjadi. Dia hanya frustrasi karena ditempatkan pada situasi yang membingungkan antara mengedepankan hati atau logika di tengah kesempatan yang ada. Kita sama-sama tidak tahu kapan Om Lian kembali. Bahkan saat dokter mengatakan bahwa ada benih yang sudah tumbuh beberapa minggu di rahimku. Aku terus saja berusaha menghibur diri. Berpikir bahwa suatu saat dia kembali dalam penantian panjang ini. Sampai aku menyadari bahwa Kevin mengharapkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar
"Maaf, ya. Karena aku kamu harus ikut cuti juga.""Ney!" Kevin langsung menyela. "Dilarang saling menyalahkan di sini! Ini bukan salah kamu. Tapi salah si kakek peyot. Dia yang buat kita ada di situasi ini. Kalau pun aku masih maksa ngampus, bisa berabe nanti. Kebetulan punya temen-temen kek lambe nyinyir. Entar mereka kepo tentang pemberitaan di TV. Maleslah." Kevin terus menggerutu sembari sesekali memukuli setir. "Lagian aku udah betah di rumah Mbak Amira. Orang-orangnya friendly, mana makan enak plus rame saban ari, kumpul-kumpul. Bedalah sama di rumah yang udah mirip gua. Ramenya cuma pas berantem beda persepsi doang. Macem debat capres," tambah Kevin. Tanpa sadar aku menahan senyum. Mendengar Kevin bercerita adalah salah satu kegiatan yang paling kusuka. Rasanya sama sekali tak membosankan dan asik diikuti. "Eh, ngomong-ngomong tentang biokop aku jadi inget kencan pertama kita." Tatapan Kevin tampak menerawang."Saat itu kita debat masalah film di depan loker tiket, kan?" tim
"Lea ... makan dulu, yuk!"Kubenahi posisi berbaring dan meletakkan novel yang tersisa beberapa lembar untuk dirampungkan, saat melihat Mbak Amira memasuki ruang kamar dengan troli makanan yang dibawanya. Tak terasa lima bulan telah berlalu sejak kepergian Kevin saat itu. Kandunganku bahkan sudah membesar dan berjalan enam bulan. Janji yang hari itu dia ucapkan, rupanya hanya dusta yang dibalut sekelumit harapan. Akhirnya aku kembali merasakan sakitnya kehilangan. Sesaknya rindu yang tiap kali menyelinap dalam dekapan malam, hanya bisa kuredam dengan tangisan.Meskipun kehadiran orang-orang di sekeliling Mbak Amira mampu memberikanku kehangatan. Namun, sosok Kevin dan Om Lian sama sekali tak bisa tergantikan. Di kehamilan yang kedua ini tubuhku bahkan begitu ringkih. Beberapa kali dokter keluarga Mbak Amira datang untuk memberikan resep penguat kandungan dan mengingatkan agar aku membebaskan pikiran, tapi tetap saja hati dan logikaku masih sering kali berjalan bertentangan. Terlal
"Andrian Mahesa terlahir dari keluarga sederhana. Dia mendapatkan beasiswa hingga bisa sekolah di universitas yang sama dengan ibumu dan Lidia Fahlevi. Sejak dulu keluarga Adrian terikat kuat dengan keluarga Fahlevi. Sudah puluhan tahun ayahnya mengabdi sebagai sopir pribadi Pak Wira. Perkenalannya dengan ibumu dimulai saat Adrian menjadi bagian dari panitia penyambutan mahasiswa baru saat itu. Mereka menjalin hubungan hanya lima bulan setelahnya. Adrian terkenal sebagai idola kampus, karena selain pintar dia juga memiliki wajah rupawan. Banyak orang salah paham dan berpikir bahwa dia hobi bergonta-ganti perempuan, karena mengenal banyak perempuan dari mulai kakak tingkat sampai juniornya. Padahal dia hanya berusaha bersikap baik pada semua orang untuk mempertahankan reputasinya. Menurut keterangan beberapa sumber terpercaya. Ibumu adalah satu-satu perempuan yang menjalin hubungan serius dengan Adrian sampai mereka memutuskan untuk menikah muda bahkan sebelum ibumu lulus. Sayang L
Di bawah rembulan yang menerangi malam, pikiranku masih saja mengulang kisah-kisah indah yang telah padam. Tentang hati yang dipaksa patah oleh kabut dendam. Tentang luka gores yang mulai melebar dan bernanah karena digerogoti keputusasaan. Juga tentang penantian panjang yang belum bisa ditetapkan sebagai kehilangan. Rindu yang kerap kali membuat jemu, kala situasi kembali memaksa diri untuk bersabar. Bersabar pada keadaan yang entah kapan akan melenakan. Bersabar menunggu harap yang ditentukan takdir kehidupan. Untuk mencapai kebahagiaan yang masih tampak seperti angan-angan. Meski demikian, aku tetap tak akan mengaku kalah pada keadaan. Pada apa-apa yang disebut kenangan. Pahit-manisnya semua hanya bumbu kehidupan. Masih ada asa yang bisa kugenggam. Masih ada tekad untuk dijadikan patokan. Suatu saat keadilan pasti menang. Kuseka cairan hangat yang kembali leleh membasahi tangan yang terkepal. Di atas balkon kamar aku berdiri. Menatap malam yang berganti, membawa perubahan pada d
"Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai
"Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa
"Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko
Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam
Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini
Saat ini kami tengah berkumpul di rumah Mbak Amira. Dalam formasi yang cukup lengkap. Hanya kurang beberapa orang yang masih belum berkenan untuk berbaur, setelah apa yang terjadi di masa lalu. Kami tengah Menikmati jamuan yang wanita baik hati itu sediakan sebagai bentuk rasa syukur karena kami berhasil melewati semua rintangan yang ada."Halah, masih gedean juga punya Bang Al, tapi kagak pernah, tuh dia pamerin. Itu baru otot bisep, loh. Belon nyang laen--""Jojo!" Mbak Zara memukul pelan lengan Bang Jojo. Wanita yang tengah hamil muda itu melotot."Iye, iye punya elu, Zar! Nggak akan ada yang gondol juga," cetus Bang Jojo dengan delikan mata khasnya.Sementara dua orang yang bersangkutan masih saja terlihat santai menanggapinya. Bang Alby, suami Mbak Zara yang juga paman Mbak Amira tentara berpangkat dua itu sejak tadi hanya tersenyum kecil. Sementara Om Lian tampak tak peduli dengan ocehan keponakannya, dan masih terjaga menggenggam tanganku."Oh, iya, Lea! Bulan ini kandungan kam
Awalnya aku sudah pasrah dengan semua. Masuk perangkap Pak Wira, mengetahui fakta bahwa Kevin berkhianat, dan menyaksikan Om Lian dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Kupikir saat itu azal kami akal segera tiba, tapi nyatanya takdir Tuhan adalah misteri yang tak pernah bisa disangka-sangka oleh manusia. Ternyata Kevin memenuhi janjinya. Dia datang di waktu yang tepat dan membawa serta semua Tim Mbak Amira. Keadaan pun berubah jauh lebih baik dari yang kukira. Dua bulan bahkan sudah berlalu dan semua mulai berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pak Wira ditemukan polisi dengan kondisi yang jauh lebih mengenaskan daripada Om Lian. Meskipun begitu dia tidak bisa lepas dari jeratan hukum setelah Delima dan teman-temannya mulai angkat bicara tentang bisnis perdagangan anak di bawah umur yang digawanginya. Pihak kedokteran juga mengatakan bahwa kondisi mental Pak Wira dalam keadaan sehat. Dengan kata lain dia tidak mengalami gangguan kejiwaan hingga membutuhkan rehabilitasi. Semua
"Ma."Mama menghentikan elusan tangannya di kepalaku."Hmm?""Kenapa saat itu Mama bersikukuh mempertahankan kehamilan padahal udah jelas aku anak haram."" .... "Mama tak menjawab. Keheningan panjang yang memuakkan memaksaku untuk bangkit dari posisi berbaring di pahanya. "Kalau saja saat itu aku nggak dilahirkan, kalau aja nggak bertahan dan tumbuh besar, aku nggak perlu menyaksikan semua kekejaman ini, Ma. Kalian nggak perlu menghancurkan rumah tangga orang lain, nggak akan ada dendam dan penderitaan atau lebih banyak pengorbanan. Lihat sekarang! Keegoisan Mama dan kakeklah yang menyebabkan semua kehancuran ini terjadi. Keegoisan kalianlah yang mengantarkan begitu banyak kebencian pada keluarga ini!" Akhirnya air mataku tak lagi bisa dibendung setelah berbulan-bulan hanya bungkam menyaksikan begitu banyak ketidakadilan. "Aku yakin Lea juga nggak akan bertindak sejauh ini kalau Mama berani bersikap tegas sejak awal. Sudah dua puluh tahun, Ma. Dua puluh tahun sejak Mama merampas a