"Archer, tolong lihat arti angka itu di buku bersampul coklat. Aku belum memeriksa dan mencocokkannya dengan buku itu," perintah Jake dengan nada serius sambil membolak balikan buku bersampul hijau yang saat ini berada dalam genggaman tangannya. Sekedar informasi, Jake dan Archer kini berada di kamar Archer yang terlihat cukup berantakan, dengan baju kotor yang berserakan di lantai, remah makanan yang tersebar dimana mana bahkan sampai ada kondom bekas yang ada di tempat sampah kecil di sudut ruangan. Jake menatap jijik pada sahabatnya yang terlihat jorok itu."Aku sedang sibuk," balas Archer singkat. Jake menolehkan kepalanya dan segera melihat kearah pria berambut cepak itu dengan tatapan tajam."Sibuk apanya? Aku sedang melihat jika kau sedang bermain ponsel sambil tertawa seperti orang gila," ejek Jake dengan senyuman miringnya yang terlihat begitu menyebalkan.Archer mengalihkan tatapannya dari ponsel yang sedang ia pegang di tangannya ke arah lawan bicaranya dengan tatapan taj
"Kenapa kau lama sekali, Kai? Apa ada yang mengganggu perjalananmu?" Tanya seorang pria dengan mata berwarna hijau yang begitu mencolok. Kai yang mendengar suara itu langsung menundukkan kepala sebagai tanda hormat pada pria itu."Maafkan saya, Tuan Alfred. Ada insiden kecil saat saya sedang dalam perjalanan kemari," ujar Kai dengan nada datar namun tak meninggalkan kesan hormatnya. Pria dengan mata amber itu bersikap berpura pura tenang, walau berbanding terbalik dengan jantungnya berdetak kencang terasa hampir meledak saat ini.Sang ketua Mafia dari kelompok White Tiger itu menghela napas panjang seraya memutar mata malas mendengar alasan yang dilontarkan oleh anak buahnya itu. Alfred menatap Kai dengan tatapan datar khasnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.Ekspresinya tidak terbaca sama sekali layaknya sebuah robot. Hal ini tentu saja membuat kai merasa terintimidasi. Pria itu bahkan sampai meneguk ludahnya secara paksa untuk menetralkan rasa gugup yang melanda dirinya."
"Hah, aku bosan," keluh Emily yang saat ini telah mengipasi dirinya sendiri. Saat ini dirinya tengah berada di aula pertemuan dan mendengarkan seorang pembicara yang tengah membicarakan tentang kehidupan para mafia di masa yang akan mendatang, beserta rencana-rencana yang mungkin akan dilakukan untuk memperluas jaringan sekaligus memperlebar kerjasama antar ketua mafia.Daniel yang mendengar ocehan itu memutar mata malas disertai dengan gerutuan kecil. Keluhan yang keluar dari mulut Emily yang tidak ada habisnya membuat telinganya pengang hingga merasa berdenging sekarang. Jika saja Emily bukanlah kekasih dari Terry, maka sedari tadi Daniel tidak akan segan-segan untuk membungkam mulut Emily agar membuat agar wanita itu diam dan tidak berisik lagi."Lebih baik tutup mulutmu kalau tidak mau kurobek saat ini juga, jalang sialan!" Umpat Daniel dengan rahang mengetat disertai dengan nada marah yang begitu kentara terdengar di udara, membuat Emily yang yang mendengarnya bergidik ngeri seka
"Aku rasa kau tak perlu tahu untuk urusan yang satu itu," jawab Terry dengan nada rendah disertai dengan ekspresi datar yang tergambar jelas di wajah tampannya. Hal ini membuat Jessy memiringkan kepalanya karena bingung dengan sikap sang ketua mafia yang sangat cepat untuk berubah. Apa Terry memiliki kelainan jiwa hingga moodnya bisa berubah dengan cepat? Pikir Jessy dalam hati."Kenapa aku tak diizinkan untuk tahu, Tuan? Apa alasannya?" Jessy memasang wajah bingungnya dengan jari telunjuk yang berada di bibir. Mata hijaunya mengerjap lucu layaknya boneka. Pipinya sedikit menggembung dengan bibir mengerucut layaknya anak bebek. Ekspresi lucu yang Jessy tampilkan saat ini hampir saja membuat Terry lengah. Pria itu hampir saja mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Namun untungnya Terry punya pengendalian diri yang baik agar tak terjerat dalam pesona polos Jessy yang terlihat seperti boneka polos yang tak tahu apapun."Karena ini tak ada hubungannya denganmu," balas Terry yang ten
Terry melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ke aula pertemuan yang berada di lantai 4. Gesekan antara sepatu pantofel dan dengan lantai membuat suara gema yang begitu khas sepanjang lobby yang begitu kosong ini. Tak ada siapapun yang melintasi daerah ini mengingat mereka semua tengah berkumpul di aula pertemuan. Begitu berada di depan pintu masuk, Terry segera menunjukan kartu ID khusus yang menjadi bukti bahwa ia adalah ketua Mafia di daerah Washington pada salah satu penjaga yang berjaga di depan pintu masuk. Setelah diperiksa selama satu menit, Terry segera menghampiri Daniel yang saat ini tengah meminum segelas bir yang tadi diantarkan oleh waiter yang berkeliling membagikan minuman pada para tamu."Oh Terry, Aku kira kau tidak akan kembali lagi kemari karena sibuk mengurus boneka kecilmu itu," ujar Daniel dengan nada mengejek begitu melihat Terry yang duduk di kursi di sebelahnya. Terry memutar mata malas mendengar ocehan Daniel yang menurutnya tak penting itu.Terry tak ter
"Hei dude, kenapa kau berteriak?" Tanya Archer ketika melihat Jake yang berteriak histeris sambil melihat catatan yang teronggok begitu saja di atas meja.Pria berambut cepak itu meringis sebal ketika melihat betapa berserakannya buku-buku yang Jake pinjam dari perpustakaan kota maupun dari daerah terpencil di luar kota Washington hanya untuk mencari kode yang terdapat di belakang kalung milik Jessy.Dengan sedikit inisiatif yang tersisa, Archer membereskan kembali buku-buku itu ke sebuah keranjang yang berada di dekat kulkas dan menatanya sesuai dengan ukuran. Archer tak peduli jika Jake akan marah padanya karena ia membereskan buku buku itu yang sedang dibaca oleh pria itu. Yang terpenting sekarang adalah ruang tamunya rapi dan tak berantakan dengan buku yang berserakan. Archer membereskan buku itu sesuai dengan ukurannya agar terlihat rapi.Jake menatap tajam kearah Archer sembari berkacak pinggang pada pria itu. Tatapan matanya begitu tajam dan sedingin es membuat Archer sediki
"Jadi bagaimana dengan jawaban anda nona Emily? Apakah anda menerima tawaran saya?" Tanya Jessy sekali lagi untuk menegaskan pertanyaannya. Gadis berwajah boneka itu berharap Emily mau membantunya untuk melepaskan diri dari cengkraman Terry. Gadis itu berharap jika Emily jatuh dalam perangkap yang sudah ia susun dengan matang.Emily menghela napas panjang disertai dengan raut wajah yang terlihat ragu. Emily menimang nimang sejenak tawaran yang ditawarkan oleh Jessy yang merupakan saingan cintanya. Bibirnya ia gigit dengan dengan tatapan mata yang terlihat kosong. Jessy berharap harap cemas sambil menutup matanya."Baik aku akan menerima tawaranmu, Jessy,"Jessy bersorak dalam hati ketika mengetahui bahwa Emily mau membantunya. Gadis berwajah boneka itu merasa senang karena ia berhasil memanipulasi perasaan untuk keuntungannya sendiri. Jessy sebenarnya tidak mau menggunakan cara kotor seperti ini, terutama menggunakan perasaan posesif yang dimiliki oleh Emily untuk keuntungannya. Akan
Emily kembali ke ruang aula pertemuan setelah membantu Jessy dan Jane untuk melarikan diri dari kawasan hotel. Bibirnya tersenyum dengan wajah yang berseri-seri. Tulang pipinya naik disertai dengan mata yang sedikit menyipit yang menunjukkan betapa bahagianya wanita berambut pirang itu hari ini. Kini Emily melangkahkan kaki jenjangnya menuju ke kursi yang tadi ia duduki. Itu artinya, ia akan kembali satu meja dengan Terry. Membayangkannya saja membuat Emily bersemangat dengan wajah yang bersemu merah, tak sabar menemui pujaan hati.Begitu duduk di kursi yang tadi ia tinggalkan, Emily langsung disambut tatapan tajam dari pria berambut pirang yang berstatus sebagai kekasihnya. Mata Terry memicing tajam disertai dengan wajah datar yang senantiasa menghiasi wajah tampannya. Tatapan mata Terry begitu menyelidik layaknya tengah menginterogasi lawan. Sorot mata yang sedingin es itu membuat Emily gugup setengah mati. Wajah tampan tanpa senyuman itu adalah hal yang paling Emily rindukan. Gad