Suasana pemakaman begitu sunyi, deru angin membuat suasana semakin menyedihkan. Hanya ada beberapa orang penting yang datang, termasuk keluarga Glen yaitu Harley, Freya dan Marlen. Mereka tidak menyangka Akiko akan pergi secepat ini, apalagi mereka tahu Glen dan Akiko sudah sangat dekat. Sedangkan Glen, entah kemana pria itu sampai tidak datang ke tempat peristirahatan terakhir Akiko. "Maafkan Papa, Akiko. Kau pasti sangat menderita selama ini," ucap Mr. Eloise sambil terus memeluk foto Akiko. Benar kata Keinara, papanya adalah orang yang paling menyesal saat Akiko pergi. Dia tau permintaan maafnya tidak akan pernah cukup, dia bahkan belum mengucapkan selamat tinggal. Bahkan jika digantikan oleh nyawa, penyesalannya tidak akan pernah hilang. "Keinara," panggil Vian saat gadis itu tengah melamun sambil duduk di samping makam Akiko. Vian terlihat kelelahan, dia membantu Keinara terus-menerus sampai detik ini. "Akiko menitipkan ini. Dia ingin aku memberikan ini padamu saat dia meningga
"Keinara?" panggil Vian ketika berpapasan dengan gadis yang tengah membawa banyak barang. Sontak, dia langsung membantu Keinara membawa barang-barang itu. "Oh, terimakasih. Aku akan mengadakan acara ulang tahun, ingin datang?" ajak Keinara, sehingga Vian menatap bingung. "Ulang tahun siapa?" tanya Vian. "Akiko, kau lupa?" mendengar jawaban itu, Vian langsung menepuk kepalanya pelan. Dia lupa kalau tanggal 15 Mei adalah hari ulang tahun Akiko. Sudah 2 bulan berlalu sejak kepergian Akiko, yaitu pada akhir musim dingin tanggal 25 Februari. Kini, hubungan Vian dan Keinara semakin dekat. Mereka sering bertemu, mengobrol, dan membantu satu sama lain. "Maaf, aku lupa. Ayo aku bantu," ujar Vian. "Kau tidak sibuk hari ini?" tanya Keinara penasaran. "Tidak begitu, bagaimana denganmu? kau juga pasti sibuk mengurus perusahaan papamu," tanya Vian balik. Dia tau, kalau Keinara sudah menjadi ahli waris dan menggantikan posisi papanya di perusahaan. Bahkan, gadis itu kini terkenal dengan sifat t
"Kakaaaak!" teriakan seorang anak kecil, membuat Keinara langsung memeriksa ke ruangan sebelah. "Ada apa, Sayang? Bukanlah kau dan Kakakmu sedang bermain petak umpet?" tanya Keinara. "Aku tidak suka permainan ini, Mommy. Aku ingin Kakak," jawabnya dengan polos. Anak itu bernama Keikko Eloise, anak dari Keinara dan Vian. Walau memakai marga Eloise, Vian tidak mempermasalahkan apapun. Benar, Vian bisa bertahan dengan sifat Keinara selama 5 bulan lebih sehingga mereka memutuskan untuk menikah. 2 tahun kemudian, lahirlah putri kecil mereka yang kini sudah berumur 5 tahun. Keikko, gabungan antara nama Keinara dan Akiko. Sampai kapanpun, Keinara akan tetap meletakkan nama adiknya di hati. Sementara Ethan, sudah resmi menjadi anak angkat Keinara dan Vian. Kini namanya berubah menjadi Ethan Eloise, dia menjadi remaja yang pintar dan sangat menyayangi keluarga barunya. "Kalau begitu temukan dia, sudah menjadi tanggung jawabmu dalam permainan ini," ujar Keinara sambil merapikan rambutnya ka
"Akiko Eloise!" bentak seorang wanita pada Akiko yang masih berusia 9 tahun. Gadis itu langsung terbangun dari tidurnya, padahal baru selesai belajar seharian ini dan ingin tidur sebentar karena kelelahan. "Lihat, berapa nilai yang baru kau dapat," Akiko segera mengambil kertas yang Mamanya tunjukkan. "Mama, ini hanya–" tamparan kencang mendarat di pipi Akiko, bahkan sampai memerah panas. "Menjijikkan! bagaimana aku menghadapi Papamu nanti, hah?! dia akan menganggap bahwa aku tidak becus mengurus dirimu!" ia mencengkram pundak Akiko kasar. "Tapi, guru bilang, itu hanya kesalahan teknis," Akiko berusaha membela dirinya. "Kesalahan teknis dari mana? Kalau memang dapat nilai kecil, kau tidak bisa membohongi Mama," desisnya. "Aku tidak berbohong, Mama. Sakit!" teriak Akiko saat rambutnya dijambak kasar. Bahkan, beberapa helai rambut sampai tercabut begitu saja. "Sakit? Kau pikir, aku tidak merasa sakit dipukul oleh papamu setiap hari?" lirih sang mama. "Sorry…," isak Akiko.
"Papa … menjual aku?" Akiko menatap tidak percaya pada papanya yang kini duduk berhadapan. Pria paruh baya itu mengangguk, kedua tangannya melipat di dada, pertanda sedang serius. "Kau hanya akan menjadi jaminan, Akiko. Aku tidak benar-benar menjualmu begitu saja. Setelah aku mendapatkan saham kembali, maka aku akan menjemputmu," papar Mr. Eloise. "Aku bukan barang, Papa. Kau tidak bisa membuang, lalu mengambilku begitu saja," Akiko menatap dalam, berharap papanya bisa berubah pikiran. "Bukankah Papa sudah berjanji tidak akan menyiksaku lagi?" janji itu sangat Akiko ingat. Katanya, dia akan dibiarkan hidup bebas setelah masuk kuliah. Tapi, nyatanya janji itu langsung runtuh begitu saja. Beberapa menit lalu, Akiko baru saja sampai di rumah mewahnya yang dulu. Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan menyakitkan baginya, sampai dia enggan untuk datang karena bisa teringat masa lalu. Rasanya, hal buruk selalu terjadi di rumah ini. Dan benar saja, kini dia harus menuruti keegoisa
"Akiko!" teriakan seseorang, membuat perhatian Akiko teralih dari ponselnya. Saat melihat ke arah samping, ternyata ada Lani yang sedang berlari ke arahnya sambil melambaikan tangan semangat. "Hai," sapa Akiko. "Kau ambil kelas Mr. Gio, 'kan?" tanyanya. "Iya, kau juga?" tanya Akiko balik. "Aku, tidak. Tapi kau akan satu kelas dengan Vivian," gadis lain muncul di samping Lani. "Hai, aku Vivian," sapanya. "Akiko," sahut Akiko pelan sambil berjabat tangan. Beberapa menit kemudian, Lani pergi karena dia beda kelas. Menyisakan Vivian dan Akiko, yang hanya diam dalam keheningan. Keduanya bukan tipe cerewet dan energik seperti Lani. "Vivian, nanti malam ikut ke shoot bar, 'kan?" tanya seorang laki-laki duduk dengan nyaman di sampling Vivian. "Nanti malam?" tanya Vivian memastikan. "Iya, aku yang bayar, tenang saja!" tegasnya sombong. "Tentu, aku akan ikut. Akiko, kau bagaimana?" tawar Vivian. Dia sadar kalau Akiko hanya diam saja sejak tadi. Kemudian, Akiko menggelengkan kepala pela
Malam sudah datang, tapi Akiko masih berada di keluar untuk jalan-jalan malam bersama anjingnya, Kouma. Tapi suasana malam itu rasanya agak berbeda, tidak seramai biasanya. Hanya ada beberapa penjual yang bahkan sedang menutup toko padahal masih jam 8 malam. Akiko berhenti sejenak, untuk memberikan Kouma camilan. Tapi, bodohnya Akiko malah berhenti di depan lorong gang gelap. Seseorang menariknya dengan kasar, sampai dia terjatuh di tanah yang lembab. "Mau ke mana, cantik?" tanya lelaki bertubuh besar itu, sambil berjalan mendekati Akiko. Kouma menggonggong hebat, dia memang agak galak dengan orang baru. Bahkan dia ingin menggigit pria asing yang semakin mendekat. "Berisik!" pria itu memukul Kouma dengan kayu besar, sehingga Akiko buru-buru menahan tali Kouma agar tidak begitu maju. Tapi, tenaganya ternyata kalah dengan anjing ras besar itu. Alhasil, tali Kouma berhasil beralih tangan. "Lepaskan anjingku," pinta Akiko. "Tukar saja dengan tubuhmu," sahutnya sambil mengeluarkan pis
Akiko masih berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap luka di bahu yang sedang dibersihkan. Semalam setelah kejadian penembakan di gang, Akiko langsung pergi ke rumah sakit terdekat. Beruntung, peluru tidak bersarang terlalu dalam sehingga tidak memerlukan operasi besar. Jadi, Dokter langsung mengizinkannya pulang saat itu juga. Gadis berambut pendek itu membersihkan sisa obat dengan kapas untuk ganti perban. Perih, tapi harus ditahan agar cepat sembuh. Apalagi, tangannya kini jadi susah digerakkan karena luka tersebut. "Kouma," panggil Akiko saat anjingnya menggonggong, seolah sedang menyapa. Kouma sudah terlatih, jadi ketika dia merasakan ada yang aneh dari Akiko, pasti langsung mengisyaratkan agar Akiko duduk. "Terima kasih," ucap Akiko sambil memberikan camilan anjing. Akiko menghela nafas kasar. Berpikir untuk berhenti kuliah saja, karena papanya pasti tidak akan lagi membiayainya. Jadi, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan saja selagi ada waktu. Tapi, Akiko bingung kenapa
"Kakaaaak!" teriakan seorang anak kecil, membuat Keinara langsung memeriksa ke ruangan sebelah. "Ada apa, Sayang? Bukanlah kau dan Kakakmu sedang bermain petak umpet?" tanya Keinara. "Aku tidak suka permainan ini, Mommy. Aku ingin Kakak," jawabnya dengan polos. Anak itu bernama Keikko Eloise, anak dari Keinara dan Vian. Walau memakai marga Eloise, Vian tidak mempermasalahkan apapun. Benar, Vian bisa bertahan dengan sifat Keinara selama 5 bulan lebih sehingga mereka memutuskan untuk menikah. 2 tahun kemudian, lahirlah putri kecil mereka yang kini sudah berumur 5 tahun. Keikko, gabungan antara nama Keinara dan Akiko. Sampai kapanpun, Keinara akan tetap meletakkan nama adiknya di hati. Sementara Ethan, sudah resmi menjadi anak angkat Keinara dan Vian. Kini namanya berubah menjadi Ethan Eloise, dia menjadi remaja yang pintar dan sangat menyayangi keluarga barunya. "Kalau begitu temukan dia, sudah menjadi tanggung jawabmu dalam permainan ini," ujar Keinara sambil merapikan rambutnya ka
"Keinara?" panggil Vian ketika berpapasan dengan gadis yang tengah membawa banyak barang. Sontak, dia langsung membantu Keinara membawa barang-barang itu. "Oh, terimakasih. Aku akan mengadakan acara ulang tahun, ingin datang?" ajak Keinara, sehingga Vian menatap bingung. "Ulang tahun siapa?" tanya Vian. "Akiko, kau lupa?" mendengar jawaban itu, Vian langsung menepuk kepalanya pelan. Dia lupa kalau tanggal 15 Mei adalah hari ulang tahun Akiko. Sudah 2 bulan berlalu sejak kepergian Akiko, yaitu pada akhir musim dingin tanggal 25 Februari. Kini, hubungan Vian dan Keinara semakin dekat. Mereka sering bertemu, mengobrol, dan membantu satu sama lain. "Maaf, aku lupa. Ayo aku bantu," ujar Vian. "Kau tidak sibuk hari ini?" tanya Keinara penasaran. "Tidak begitu, bagaimana denganmu? kau juga pasti sibuk mengurus perusahaan papamu," tanya Vian balik. Dia tau, kalau Keinara sudah menjadi ahli waris dan menggantikan posisi papanya di perusahaan. Bahkan, gadis itu kini terkenal dengan sifat t
Suasana pemakaman begitu sunyi, deru angin membuat suasana semakin menyedihkan. Hanya ada beberapa orang penting yang datang, termasuk keluarga Glen yaitu Harley, Freya dan Marlen. Mereka tidak menyangka Akiko akan pergi secepat ini, apalagi mereka tahu Glen dan Akiko sudah sangat dekat. Sedangkan Glen, entah kemana pria itu sampai tidak datang ke tempat peristirahatan terakhir Akiko. "Maafkan Papa, Akiko. Kau pasti sangat menderita selama ini," ucap Mr. Eloise sambil terus memeluk foto Akiko. Benar kata Keinara, papanya adalah orang yang paling menyesal saat Akiko pergi. Dia tau permintaan maafnya tidak akan pernah cukup, dia bahkan belum mengucapkan selamat tinggal. Bahkan jika digantikan oleh nyawa, penyesalannya tidak akan pernah hilang. "Keinara," panggil Vian saat gadis itu tengah melamun sambil duduk di samping makam Akiko. Vian terlihat kelelahan, dia membantu Keinara terus-menerus sampai detik ini. "Akiko menitipkan ini. Dia ingin aku memberikan ini padamu saat dia meningga
Di sebuah ruangan yang dingin, Glen tengah duduk di kursi sambil terus mengamati Akiko. Keadaannya semakin buruk, padahal untuk kanker stadium 3 sebenarnya masih ada kesempatan untuk sembuh. Hanya saja, tubuh Akiko tidak merespon apapun seolah menyerah begitu saja. Alat-alat medis dan selang oksigen yang menempel di hidung Akiko, membuat Glen mengepalkan tangan emosi. Kenapa? padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga Akiko. Dia sudah berjanji akan memberikan yang terbaik agar gadis itu bisa sembuh. Pria itu sampai tidak tidur 2 hari saking khawatirnya. Benar kata Akiko, dia tidak akan bisa bicara dan bergerak jika keadaannya memburuk. "Terimakasih, kau sudah menjaga adikku dengan baik," ucap Keinara pada Glen. Gadis itu sudah tau semuanya tentang Akiko, walau tadinya dia marah besar karena yang memberitahukan segalanya bukan Akiko langsung, melainkan Vian. Dokter itu merasa tidak tega karena Keinara masih terus mencari keberadaan Akiko. "Tidak, aku tidak menjaganya
Gadis itu tertidur lelap, tangannya yang dingin terus gemetaran walau Glen sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesekali ia terbatuk sambil merintih kesakitan, nafasnya begitu pelan bahkan sampai Glen sering memeriksanya karena khawatir. "Suhu tubuhnya naik," bingung Glen. Akiko kedinginan, tapi kepalanya panas sampai berkeringat. Glen terus mengusap kepala gadis itu, berusaha memberikan ketenangan agar bisa tidur dengan nyenyak. Tapi beberapa saat kemudian, Akiko terbangun dari tidurnya karena terbatuk hebat. "Minumlah," ujar Glen sembari memberikan sebotol air. Saat meminumnya, tenggorokan Akiko terasa benar-benar sakit. "Kita akan ke rumah sakit nanti," ucap Glen sambil merapikan rambut pendek Akiko. Tapi tangannya langsung terhenti, ketika melihat banyaknya rambut rontok di sela-sela jarinya. "Jangan sentuh rambutku, tanganmu bisa kotor," ucap Akiko sambil membersihkan tangan Glen. Gadis itu masih terlihat sangat tenang walau mati-matian menahan sakit. "Maaf," ucap Glen seh
"Kau yakin bisa menyetir?" tanya Akiko memastikan saat mereka ingin pergi ke panti asuhan. Dia khawatir Glen memaksakan diri hanya untuk mengantarnya. "Yang sakit itu kepalaku, Aiko. Kaki dan tanganku baik-baik saja," jawab Glen sambil memasangkan sabuk pengaman pada gadis di sebelahnya. Lalu, tanpa basa-basi mencium pipinya singkat. Kemudian ia mulai menyetir sambil sesekali menggenggam tangan Akiko yang dingin. Mereka baru saja pulang dari rumah Mommy-nya Glen. Pria itu sudah membeli mobil baru dengan mudahnya, karena tentu mobil lamanya sudah rusak akibat kecelakaan. Rencananya, mereka akan pulang ke apartemen malam ini setelah dari panti asuhan karena Akiko harus minum obat. Tapi sebelum pergi, mereka sempat membeli barang dan makanan untuk dibagikan ke anak panti asuhan. "Kenapa kau sangat peduli pada anak itu? bukankah dia hanya anak yang bertemu denganmu di jalan?" bingung Glen. "Nasibnya kami sama, orang tuanya benar-benar jahat. Jika tidak ada aku, dia sudah mati di tangan
"Aiko … Aiko…," lirih Glen sambil membuka mata. Tangannya bergerak ke sekitar, mencari keberadaan gadisnya yang entah di mana. "Glen," suara lembut itu membangunkannya. Dengan cepat dia duduk, tapi dia langsung terdiam melihat padang rumput yang sangat luas. Di hadapannya ada Akiko yang tersenyum manis dengan memakai dress warna putih, membuat gadis itu terlihat lebih cantik dengan tiupan angin yang membelai rambut pendeknya. "Kau baik-baik saja?" tanya Glen sambil mengusap wajah Akiko yang dingin. "Tempat ini sangat indah, ya?" ucap Akiko. Membuat Glen segera mengalihkan pandangan pada luasnya padang rumput dan hamparan bunga-bunga kecil. "Tapi sayang sekali, kita tidak bisa menghabiskan waktu bersama di sini," lanjut Akiko sambil berdiri sehingga Glen mengikutinya. "Kenapa? aku bisa di sini bersamamu sampai kapanpun," sahut Glen. "Tidak bisa, kau harus pulang sekarang," ujar Akiko melepaskan genggaman tangan Glen. Pria itu menggeleng cepat, kemudian hendak menyusul Akiko. Sayan
"Glen, sudah berhari-hari kau tidak bekerja dengan baik. Kau tidak perlu mengorbankan banyak waktu untukku," ucap Akiko karena Glen sering kali tidak masuk kantor dan memilih mengajaknya jalan-jalan atau istirahat di rumah. Bahkan, pria itu nampak kerepotan sendiri karena banyaknya pekerjaan bertumpuk.Pria dengan tubuh kekar itu menarik Akiko ke dalam pelukannya sambil tersenyum. "Justru, aku akan kehilangan banyak hal jika tidak bersamamu. Kau sudah minum obat pagi ini?" Akiko mengangguk berbohong, dia sering memuntahkan obatnya jika Glen tidak mengawasi. Dia benar-benar tidak ingin berusaha sedikitpun. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat lagi, tapi sebaiknya kau istirahat sepenuhnya siang ini karena malam nanti bisa memakan banyak tenaga," ujar Glen. "Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Akiko. "Taman bermain, aku tebak kau pasti belum pernah ke sana," kata Glen sambil terkekeh pelan. Pria itu sudah mencari tau di internet tentang hal-hal yang disukai seorang gadis. Ternyata ada
Glen terbangun dari tidurnya karena suara alarm, tiba-tiba dia panik karena mimpi buruk soal kematian Akiko yang terus membuatnya khawatir. Gadis itu tidak ada di tempat tidur lagi sehingga Glen buru-buru mencari. Ternyata, Akiko sedang memilih pakaian kotor untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci. "Aiko, apa yang kau lakukan sepagi ini?" tanya Glen sambil mengusap wajah gusar. "Aku selalu bangun di jam yang sama," sahut Akiko seadanya. Dia sudah hafal pekerjaan membersihkan apartemen, sehingga tau jam berapa dia harus bangun. "Tinggalkan semua itu, mulai sekarang kau tidak perlu mengerjakan apapun. Aku sudah memanggil pembantu untuk menggantikanmu," ujar Glen sambil menarik tangan Akiko agar berdiri. Gadis itu nampak bingung, tapi dia hanya mengikuti Glen sampai suara bel terdengar. "Masuklah," titah Glen pada seorang wanita tua. Dia sudah membawa koper karena akan tinggal di apartemen itu agar bisa menemani Akiko jika Glen sedang bepergian. "Seperti yang sudah aku jelaskan, tugasmu