Akiko masih berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap luka di bahu yang sedang dibersihkan. Semalam setelah kejadian penembakan di gang, Akiko langsung pergi ke rumah sakit terdekat. Beruntung, peluru tidak bersarang terlalu dalam sehingga tidak memerlukan operasi besar. Jadi, Dokter langsung mengizinkannya pulang saat itu juga.
Gadis berambut pendek itu membersihkan sisa obat dengan kapas untuk ganti perban. Perih, tapi harus ditahan agar cepat sembuh. Apalagi, tangannya kini jadi susah digerakkan karena luka tersebut. "Kouma," panggil Akiko saat anjingnya menggonggong, seolah sedang menyapa. Kouma sudah terlatih, jadi ketika dia merasakan ada yang aneh dari Akiko, pasti langsung mengisyaratkan agar Akiko duduk. "Terima kasih," ucap Akiko sambil memberikan camilan anjing. Akiko menghela nafas kasar. Berpikir untuk berhenti kuliah saja, karena papanya pasti tidak akan lagi membiayainya. Jadi, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan saja selagi ada waktu. Tapi, Akiko bingung kenapa tidak ada orang yang mencarinya sampai saat ini? bukankah dia sudah dijual pada seseorang? "Apa papa benar-benar sudah menjualku?" tanya Akiko pada dirinya sendiri. Mungkin, orang yang akan mengambil Akiko sedang sibuk. Baguslah kalau begitu, karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika bertemu pria itu. Apakah, dia akan dijadikan budak pemuas nafsu? atau dijadikan pembantu? Ponsel Akiko bergetar, tanda ada telepon masuk. melihat nama yang tertera, dia segera mengangkat telepon tersebut. "Halo, Kak Vian," sapanya. "Akiko, aku sudah mengatur jadwalnya. Kau bisa datang malam ini? kita bicarakan secara tatap muka saja agar lebih jelas," tanya suara laki-laki dari seberang telepon yang tak asing lagi bagi Akiko. "Baik, Kak. Aku akan datang ke sana nanti," jawab Akiko seadanya. "Perbanyak istirahat, okay? jangan terlalu lelah dan jaga pola makanmu," ujar Vian. "Hmm, thank you. Aku akan menghubungi Kakak lagi nanti," pamit Akiko. Setelah mendapat sahutan dari lawan bicaranya, Akiko segera mengakhiri telepon. Menyisakan dirinya yang duduk menghela nafas, sambil melirik ke arah dapur. "Aku harus makan," gumam Akiko. Ini sudah lewat dari jam makan normal, tapi gadis itu masih bingung ingin makan atau tidak. Sebab, beberapa hari akhir-akhir ini, nafsu makannya semakin menurun. Bahkan, kulkas sampai kosong karena dia jarang masak atau makan. Hanya ada beberapa kotak mie instan, yang berjejer rapi. Akhirnya, Akiko memutuskan untuk makan mie instan saja, walau sebenarnya tidak ingin. Namun, pria yang akan ditemui pasti bisa tau, dia sudah makan atau belum. ***Kini, Akiko sedang berbincang dengan seorang pria di cafe. Pria itu terlihat dewasa dengan pakaian casualnya. Apalagi, ditambah dengan kacamata yang membuatnya tampak lebih berkharisma. Dia adalah Vian, seorang dokter muda yang terus mendampingi Akiko selama berobat beberapa bulan akhir-akhir ini. "Maaf, mengajakmu bertemu tiba-tiba pagi tadi. Semalam kau tidak bisa dihubungi," ucap Vian. Disambut dengan anggukan pelan dari Akiko. "Sudah makan?" tanyanya. "Sudah, kalau Kakak?" tanya Akiko balik. "Aku baru saja mau memesan makanan, kau mau camilan apa?" tawar Vian. "Tidak perlu, aku sudah kenyang. Kakak pesan saja dulu," ujar Akiko. Tidak mungkin Vian membiarkan gadis itu tanpa camilan atau minuman, jadi dia memesan coklat panas untuk Akiko agar tubuhnya hangat. "Ngomong-ngomong, aku sudah menyiapkan berkas untuk kelanjutan pengobatanmu. Baca ini dengan teliti," Vian memberikan berkas yang dia bawa pada Akiko. Gadis itu segera mengangguk paham, lalu mulai membacanya selagi menunggu Vian makan. "Besok, kuliah jam berapa?" tanya Vian basa-basi. "Aku tidak akan masuk kuliah lagi," jawaban Akiko membuat Vian langsung terdiam. "Kenapa?" bingungnya. "Tak apa, aku hanya ingin tenang sendirian," sahut Akiko. Kemudian, lanjut membaca berkas tersebut. "Apa ini akan sakit?" tanya Akiko sambil menunjukkan sebuah poin di berkas. "Tentunya sakit, tapi hanya akan berlangsung beberapa hari saja. Selebihnya bisa membaik," jawab Vian. Akiko mengangguk pelan, sambil minum coklat panas miliknya. "Akiko, di mana orang tuamu? karena kau masih di bawah 20 tahun, pihak rumah sakit memerlukan persetujuan dari orang tuamu juga. Tapi, sepertinya kau tinggal sendirian. Benarkah?" tanya Vian penasaran. "Iya, aku … sendirian," seketika Vian terdiam, mendengar suara pelan dari Akiko. Gadis itu terlihat sedih, bahkan Vian juga menyadari kalau tangan Akiko gemetaran pelan. Entah apa yang ada di benak Akiko sampai begitu. "It's okay, aku bisa menjadi wali untukmu," tukas Vian karena merasa bersalah, "Benarkah?" Akiko memastikan. "Ya, aku sudah berumur 25 tahun. Aku bisa menjadi wali untukmu asal kau pegang semua data dirimu," jawab Vian ramah. "Terima kasih, Kak." Melihat senyum tipis tercipta di bibir Akiko, Vian juga ikut tersenyum. Tak bisa di pungkiri kalau dia terpesona pada Akiko. Dengan sifat lembut dan wajah manisnya, Akiko bisa membuat siapapun jatuh cinta "Ayo, aku antarkan pulang," ajak Vian karena tidak mau Akiko terlalu lelah. Namun, Akiko tentu menolak dengan alasan tempat tinggalnya dekat. Sebab, Akiko termasuk orang yang tidak enakan. Dia lebih suka melakukan apa-apa sendiri, agar tidak melibatkan orang lain. Akiko duduk di halte bus, udara dingin membuatnya harus merapatkan jaket agar udara tidak terlalu menusuk. Biasanya, dia naik taksi untuk bepergian. Tapi, sekarang dia harus lebih menyimpan uang untuk berobat, secara papanya tidak akan lagi memberikan uang bulanan seperti dulu. Lalu, suara klakson mobil membuat lamunan Akiko buyar. Mobil hitam metalik itu berhenti tepat di hadapan Akiko. Tapi, karena merasa tidak mengenalnya, Akiko hanya mengabaikan mobil itu. "Mengabaikan aku, Nona Eloise?" Akiko mendongakkan kepalanya, melihat sosok pria yang kini berdiri tepat di depannya. "Who are you?" bingung Akiko. Sehingga pria itu terkekeh pelan, lalu menghela nafas gusar. "Kau punya ingatan yang buruk, ya?" ujarnya sambil tersenyum menyeringai. "Kita sudah bertemu 2 kali, tapi kau malah melupakanku begitu saja. Aku Glen Xander Mckenzie, Tuanmu yang baru," jelas pria bernama Glen itu. Akiko terdiam sebentar, mencoba mengingat siapakah Glen ini. Beberapa saat kemudian, barulah Akiko ingat kalau Glen pasti orang yang akan membawanya pergi. Tentu, Akiko sudah paham apa yang harus dia lakukan. Semuanya sudah tertata baik seperti permintaan papanya. Tapi, Akiko masih punya Kouma di apartemen yang belum dia jemput. "Masuk," titah Glen sambil membuka pintu mobilnya. "Aku harus mengambil anjingku terlebih dahulu. Perlengkapanku juga masih ada di apartemen," Akiko menolak perintah Glen. "Aku tidak suka penolakan, lebih baik kau ikuti saja apa yang aku minta. Perlengkapanmu kita beli besok, jadi ikut aku sekarang," tegas Glen. "Aku tau, aku akan ikut. Tapi, aku harus mengambil anjingku dulu," tolak Akiko lagi. "Kau keras kepala, ya," geram Glen sambil mendekati Akiko yang memundurkan diri. Meskipun, Glen masih belum berhenti sampai punggung Akiko menabrak tembok pembatas. "Masukkan nomor teleponmu," pinta Glen. Kemudian, memberikan ponsel hitamnya sehingga Akiko langsung mengetik nomor teleponnya di sana. "Jangan pernah abaikan pesan atau telepon dariku," Akiko mengangguk, menyahuti perintah Glen. Baru saja ingin pergi, Glen tiba-tiba menahan tangan Akiko erat. Kemudian mencium bibir Akiko singkat tanpa aba-aba. "Aku adalah pemilikmu yang baru, ingatlah itu baik-baik." Setelah memastikan Akiko paham, Glen segera kembali ke dalam mobil. Pria itu mengusap bibirnya sendiri, "Kenapa aku menciumnya?" Sedangkan Akiko yang baru naik bus arah pulang, kini menatap layar ponselnya saat mendapat pesan dari Glen. "Datang ke Cafe Fancy, besok jam 8 malam."Akiko menghela nafas gusar setelah membaca pesan itu. Entah, bagaimana nasibnya nanti setelah menyaksikan sendiri sikap arogan dari Glen."Anda tidak bisa menarik perjanjian ini, Mr. Eloise," tegas seorang pria yang memakai setelan jas dengan rapi. Glen Xander McKenzie, sedang duduk dengan santainya sambil bicara dengan papa Akiko. Beberapa waktu lalu, Mr. Eloise datang ke kantor Glen untuk membicarakan soal Akiko. Mr. Eloise ingin mengambil hak putrinya kembali, dia sudah menyesal memberikan Akiko pada Glen sebagai tawanan. Dia juga ingin memperbaiki kesalahan yang telah dia perbuat selama ini pada Akiko. Namun, Glen tentu tidak akan mewujudkan keinginan Mr. Eloise dengan mudah. Pria itu memang licik dalam memperoleh apapun yang dia mau. Apalagi, dia sudah terlanjur tertarik pada Akiko. "Aku akan menggantinya dengan uang, sebanyak apapun yang kau inginkan," bujuk Mr. Eloise, berkeringat dingin saking gugupnya. Apalagi, selama ini dia tidak ingin tahu tentang putri keduanya itu. Sehingga dia juga tidak tau di mana alamat apartemen Akiko. Nomor telepon nya juga sudah tidak aktif, mungkin diblokir oleh Akiko sendiri. "
Glen menjentikkan jarinya di meja, merasa kesal karena Akiko telat 5 menit. Padahal gadis itu sudah berusaha cepat, tapi tetap saja telat karena jalanan agak ramai. "Aku tidak tahu kalau Mr. Eloise sudah memiliki cucu," kata Glen, mengunci pandangan pada Ethan karena sejak tadi anak itu menempel pada Akiko dengan manja. Bahkan, jelas-jelas dia memeluk Akiko erat seolah tidak mau dilepaskan. "Ini bukan anakku," tegas Akiko. Lalu, beranjak mengantar Ethan ke bangku lain agar Glen tidak merasa terganggu. Setelah memastikan Ethan mendapat makan dan minum yang dia pesan, barulah dia kembali ke hadapan Glen. "Nona Eloise, aku menyuruhmu datang ke sini bukan untuk buang-buang waktu," Glen menatap jengkel karena Akiko hanya memperhatikan Ethan saja. Bahkan, Akiko sempat menyuapi Ethan dengan lembut, tanpa memerdulikan Glen. "Sorry," ucap Akiko. "Siapa dia?" tanya Glen sambil melirik Ethan. "Ethan, dia tersesat jadi aku akan mengantarnya pulang setelah ini," jawab Akiko seadanya. Sedangk
"Ahh … tanganku jadi kotor," Glen mencabut pisau yang dia tancapkan pada perut mama Ethan. Kemudian, membuang pisau itu ke sembarang arah. Bersamaan dengan itu, tubuh mama Ethan ambruk dengan darah mengalir di lantai. "Hans, urusi mereka," titahnya pada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu. Dia adalah asisten pribadi Glen yang bertugas mengurus segala macam urusan Glen. "Baik, Tuan," sahut Hans. Setelah memastikan orang tua Ethan tidak bernafas lagi, barulah dia pergi membersihkan tangan dengan entengnya seolah tidak ada masalah apa pun. "Berdiri," Glen menarik lengan Akiko karena gadis itu masih mematung kaget. Merasa tidak percaya kalau Glen bisa melakukan hal sekejam itu tanpa ekspresi. Sementara Akiko, segera menggendong Ethan. Padahal, tubuhnya sudah sangat sakit. Tapi, dia masih bisa memikirkan nasib Ethan jika ditinggal. "Kalau kau mati, bagaimana dengan hutang papamu, hah?" tanya Glen sembari memasangkan sabuk pengaman pada Akiko. "Sorry," lirih Akiko masih
"Untuk apa kau ke rumah sakit?" tanya Glen saat Akiko baru saja sampai di gedung apartemen. Ternyata, pria itu sudah menunggu Akiko, karena mungkin dia paham bahwa Akiko tidak tau password apartemennya. Sementara Akiko berpikir, pasti Glen habis mengikutinya secara diam-diam untuk memata-matai. "Kau yang menyakiti aku, kenapa malah bertanya?" sahutan ketus dari Akiko, membuat Glen terkekeh pelan. Ia tersenyum menyeringai, melingkarkan tangannya di pinggul Akiko agar berjalan mengikutinya. "Angkuh juga kau ternyata," gumam Glen. Glen berpikir, mungkin semua keluarga Eloise memiliki sifat angkuh seperti Akiko. Gadis itu bahkan tidak bergeming sedikitpun ketika tangan kekar Glen mengusap pinggulnya sensual. "Kau bertemu kekasihmu, iya, 'kan?" Glen merasa curiga pada Vian, dokter yang Akiko temui beberapa saat lalu. "Bukan," jawab Akiko seadanya. "Lalu, siapa dia? kenapa kalian terlihat begitu dekat?" tanya Glen lagi. "Dokter," jawab Akiko lagi, kali ini sambil mencuci tangan. Sedang
"Glen!" teriakan seorang wanita, membuat perhatian Glen dan Akiko teralihkan. Awalnya, mereka sedang duduk diam di sebuah ruangan kantor Glen untuk membahas bagaimana pekerjaan Akiko nantinya. Wanita itu memakai make up tebal, bersama dengan pakaian sexy yang membuat lekukan tubuhnya nampak indah. Yelena, wanita yang akhir-akhir ini selalu menempel pada Glen. Padahal, sebelumnya mereka hanya kenal sebagai pebisnis. Entah tujuannya apa, tapi Yelena bahkan tidak keberatan dijadikan budak nafsu oleh Glen. Yelena mencium Glen secara sepihak, sehingga tentu membuat Glen geram. Apalagi, pria itu tidak suka jika orang lain yang memulai permainan. Entah dari bisnis atau nafsu, harus dirinya yang menguasai. Karena tersulut emosi, Glen mendorong Yelena begitu saja. Mungkin karena memakai sepatu high heels, dia jadi gampang jatuh ke lantai walau dorongan tidak begitu kencang. "Awwhh…," eluh Yelena sambil mengusap telapak tangannya. "Kau tidak paham posisimu, hah?" tanya Glen dengan nada mengi
"Bagaimana, Aiko? mau pergi, atau tetap bersamaku?" tanya Glen pada Akiko yang masih menatap datar pada Mr. Eloise. Pria itu menaruh banyak sekali harapan pada keputusan Akiko. "Aku ingin bicara dengannya sebentar saja," Akiko meminta izin pada Glen. "Okay, 5 menit," jawab Glen singkat. Sehingga Akiko melenggang pergi keluar dari ruangan bersama Mr. Eloise yang mengikuti dengan senang. "Akiko … Papa ingin minta maaf. Papa sudah jadi orang tua yang sangat buruk untukmu, bahkan tidak pantas lagi menemuimu seperti ini. Tapi, bisakah kau ikut dengan Papa untuk pulang dan memperbaiki segalanya?" isak Mr. Eloise sambil menahan air matanya. "Telat, andai saja Papa meminta maaf sejak dulu, aku tidak akan sehancur ini. Andai Papa memperlakukan aku layaknya anak sejak dulu, aku bisa lebih memiliki semangat hidup. Sekarang, aku bahkan tidak peduli kalau nyawaku melayang di tangan Glen," papar Akiko dengan tatapan kosongnya. "Jangan begitu, Akiko. Papa benar-benar minta maaf atas segalanya,"
Suara getar telepon terdengar. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Akiko hanya menatap acuh. Telefon itu dari Vian, pasti dia sangat bingung karena Akiko menghilang begitu saja. Sedangkan Akiko sudah tegas terhadap keputusannya sendiri untuk tidak ikut pengobatan apapun. Beberapa hari ini Akiko mulai bekerja di perusahaan Glen. Perusahaan yang membuat senjata api, alias pistol. Bisa di akui, kalau Glen ini sangat cerdas hingga bisa mengelola perusahaan sebesar ini. Bahkan, sampai berkolaborasi dengan kepolisian dalam membuat samentara api. Walau, pria itu jadi sering kelelahan dan berujung emosi. Banyak orang berpikir, bahwa perusahaan Glen sangat keren karena membantu militer negara. Tapi, Akiko yang tau sisi gelapnya jadi hanya bisa diam. Seperti, Glen yang sering menggunakan pistol untuk hal salah. Istilahnya, Glen memanfaatkan hal itu untuk mendukung kejahatan secara diam-diam. "Aiko, kemarilah," pinta Glen, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk di pangkuannya seperti b
"Pakai ini, malam nanti kita akan pergi ke suatu tempat. Jadi, pastikan pakaian ini cocok," Glen memberikan sebuah dress hitam pendek yang nampak sangat mewah. Beberapa detik kemudian, Glen terdiam karena baru sadar bahwa Akiko hanya memakai handuk saja karena baru selesai mandi. "Bisakah kau mengetuk pintu dulu?" tanya Akiko kesal karena Glen masuk ke kamarnya sembarangan. Walau apartemen ini memang milik Glen, tapi Akiko juga butuh privacy. Untung saja handuk yang Akiko pakai adalah jenis kimono sehingga tidak begitu terbuka. "Terserah aku," sahut Glen acuh sambil melemparkan dress itu kepada Akiko. "Tidak ada yang lain?" tanya Akiko setelah mengamati dress itu. "Kenapa memang?" banyak Glen balik. Padahal, dia sudah memiliki dress terbaik untuk Akiko, tapi gadis itu malah ingin yang lain. "Aku tidak suka pakaian pendek," jelas Akiko lalu memutuskan untuk membuka lemarinya. Mengeluarkan sebuah dress panjang elegan warna abu-abu. Tapi, Glen hanya diam saja saat Akiko ingin menggan
"Kakaaaak!" teriakan seorang anak kecil, membuat Keinara langsung memeriksa ke ruangan sebelah. "Ada apa, Sayang? Bukanlah kau dan Kakakmu sedang bermain petak umpet?" tanya Keinara. "Aku tidak suka permainan ini, Mommy. Aku ingin Kakak," jawabnya dengan polos. Anak itu bernama Keikko Eloise, anak dari Keinara dan Vian. Walau memakai marga Eloise, Vian tidak mempermasalahkan apapun. Benar, Vian bisa bertahan dengan sifat Keinara selama 5 bulan lebih sehingga mereka memutuskan untuk menikah. 2 tahun kemudian, lahirlah putri kecil mereka yang kini sudah berumur 5 tahun. Keikko, gabungan antara nama Keinara dan Akiko. Sampai kapanpun, Keinara akan tetap meletakkan nama adiknya di hati. Sementara Ethan, sudah resmi menjadi anak angkat Keinara dan Vian. Kini namanya berubah menjadi Ethan Eloise, dia menjadi remaja yang pintar dan sangat menyayangi keluarga barunya. "Kalau begitu temukan dia, sudah menjadi tanggung jawabmu dalam permainan ini," ujar Keinara sambil merapikan rambutnya ka
"Keinara?" panggil Vian ketika berpapasan dengan gadis yang tengah membawa banyak barang. Sontak, dia langsung membantu Keinara membawa barang-barang itu. "Oh, terimakasih. Aku akan mengadakan acara ulang tahun, ingin datang?" ajak Keinara, sehingga Vian menatap bingung. "Ulang tahun siapa?" tanya Vian. "Akiko, kau lupa?" mendengar jawaban itu, Vian langsung menepuk kepalanya pelan. Dia lupa kalau tanggal 15 Mei adalah hari ulang tahun Akiko. Sudah 2 bulan berlalu sejak kepergian Akiko, yaitu pada akhir musim dingin tanggal 25 Februari. Kini, hubungan Vian dan Keinara semakin dekat. Mereka sering bertemu, mengobrol, dan membantu satu sama lain. "Maaf, aku lupa. Ayo aku bantu," ujar Vian. "Kau tidak sibuk hari ini?" tanya Keinara penasaran. "Tidak begitu, bagaimana denganmu? kau juga pasti sibuk mengurus perusahaan papamu," tanya Vian balik. Dia tau, kalau Keinara sudah menjadi ahli waris dan menggantikan posisi papanya di perusahaan. Bahkan, gadis itu kini terkenal dengan sifat t
Suasana pemakaman begitu sunyi, deru angin membuat suasana semakin menyedihkan. Hanya ada beberapa orang penting yang datang, termasuk keluarga Glen yaitu Harley, Freya dan Marlen. Mereka tidak menyangka Akiko akan pergi secepat ini, apalagi mereka tahu Glen dan Akiko sudah sangat dekat. Sedangkan Glen, entah kemana pria itu sampai tidak datang ke tempat peristirahatan terakhir Akiko. "Maafkan Papa, Akiko. Kau pasti sangat menderita selama ini," ucap Mr. Eloise sambil terus memeluk foto Akiko. Benar kata Keinara, papanya adalah orang yang paling menyesal saat Akiko pergi. Dia tau permintaan maafnya tidak akan pernah cukup, dia bahkan belum mengucapkan selamat tinggal. Bahkan jika digantikan oleh nyawa, penyesalannya tidak akan pernah hilang. "Keinara," panggil Vian saat gadis itu tengah melamun sambil duduk di samping makam Akiko. Vian terlihat kelelahan, dia membantu Keinara terus-menerus sampai detik ini. "Akiko menitipkan ini. Dia ingin aku memberikan ini padamu saat dia meningga
Di sebuah ruangan yang dingin, Glen tengah duduk di kursi sambil terus mengamati Akiko. Keadaannya semakin buruk, padahal untuk kanker stadium 3 sebenarnya masih ada kesempatan untuk sembuh. Hanya saja, tubuh Akiko tidak merespon apapun seolah menyerah begitu saja. Alat-alat medis dan selang oksigen yang menempel di hidung Akiko, membuat Glen mengepalkan tangan emosi. Kenapa? padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjaga Akiko. Dia sudah berjanji akan memberikan yang terbaik agar gadis itu bisa sembuh. Pria itu sampai tidak tidur 2 hari saking khawatirnya. Benar kata Akiko, dia tidak akan bisa bicara dan bergerak jika keadaannya memburuk. "Terimakasih, kau sudah menjaga adikku dengan baik," ucap Keinara pada Glen. Gadis itu sudah tau semuanya tentang Akiko, walau tadinya dia marah besar karena yang memberitahukan segalanya bukan Akiko langsung, melainkan Vian. Dokter itu merasa tidak tega karena Keinara masih terus mencari keberadaan Akiko. "Tidak, aku tidak menjaganya
Gadis itu tertidur lelap, tangannya yang dingin terus gemetaran walau Glen sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesekali ia terbatuk sambil merintih kesakitan, nafasnya begitu pelan bahkan sampai Glen sering memeriksanya karena khawatir. "Suhu tubuhnya naik," bingung Glen. Akiko kedinginan, tapi kepalanya panas sampai berkeringat. Glen terus mengusap kepala gadis itu, berusaha memberikan ketenangan agar bisa tidur dengan nyenyak. Tapi beberapa saat kemudian, Akiko terbangun dari tidurnya karena terbatuk hebat. "Minumlah," ujar Glen sembari memberikan sebotol air. Saat meminumnya, tenggorokan Akiko terasa benar-benar sakit. "Kita akan ke rumah sakit nanti," ucap Glen sambil merapikan rambut pendek Akiko. Tapi tangannya langsung terhenti, ketika melihat banyaknya rambut rontok di sela-sela jarinya. "Jangan sentuh rambutku, tanganmu bisa kotor," ucap Akiko sambil membersihkan tangan Glen. Gadis itu masih terlihat sangat tenang walau mati-matian menahan sakit. "Maaf," ucap Glen seh
"Kau yakin bisa menyetir?" tanya Akiko memastikan saat mereka ingin pergi ke panti asuhan. Dia khawatir Glen memaksakan diri hanya untuk mengantarnya. "Yang sakit itu kepalaku, Aiko. Kaki dan tanganku baik-baik saja," jawab Glen sambil memasangkan sabuk pengaman pada gadis di sebelahnya. Lalu, tanpa basa-basi mencium pipinya singkat. Kemudian ia mulai menyetir sambil sesekali menggenggam tangan Akiko yang dingin. Mereka baru saja pulang dari rumah Mommy-nya Glen. Pria itu sudah membeli mobil baru dengan mudahnya, karena tentu mobil lamanya sudah rusak akibat kecelakaan. Rencananya, mereka akan pulang ke apartemen malam ini setelah dari panti asuhan karena Akiko harus minum obat. Tapi sebelum pergi, mereka sempat membeli barang dan makanan untuk dibagikan ke anak panti asuhan. "Kenapa kau sangat peduli pada anak itu? bukankah dia hanya anak yang bertemu denganmu di jalan?" bingung Glen. "Nasibnya kami sama, orang tuanya benar-benar jahat. Jika tidak ada aku, dia sudah mati di tangan
"Aiko … Aiko…," lirih Glen sambil membuka mata. Tangannya bergerak ke sekitar, mencari keberadaan gadisnya yang entah di mana. "Glen," suara lembut itu membangunkannya. Dengan cepat dia duduk, tapi dia langsung terdiam melihat padang rumput yang sangat luas. Di hadapannya ada Akiko yang tersenyum manis dengan memakai dress warna putih, membuat gadis itu terlihat lebih cantik dengan tiupan angin yang membelai rambut pendeknya. "Kau baik-baik saja?" tanya Glen sambil mengusap wajah Akiko yang dingin. "Tempat ini sangat indah, ya?" ucap Akiko. Membuat Glen segera mengalihkan pandangan pada luasnya padang rumput dan hamparan bunga-bunga kecil. "Tapi sayang sekali, kita tidak bisa menghabiskan waktu bersama di sini," lanjut Akiko sambil berdiri sehingga Glen mengikutinya. "Kenapa? aku bisa di sini bersamamu sampai kapanpun," sahut Glen. "Tidak bisa, kau harus pulang sekarang," ujar Akiko melepaskan genggaman tangan Glen. Pria itu menggeleng cepat, kemudian hendak menyusul Akiko. Sayan
"Glen, sudah berhari-hari kau tidak bekerja dengan baik. Kau tidak perlu mengorbankan banyak waktu untukku," ucap Akiko karena Glen sering kali tidak masuk kantor dan memilih mengajaknya jalan-jalan atau istirahat di rumah. Bahkan, pria itu nampak kerepotan sendiri karena banyaknya pekerjaan bertumpuk.Pria dengan tubuh kekar itu menarik Akiko ke dalam pelukannya sambil tersenyum. "Justru, aku akan kehilangan banyak hal jika tidak bersamamu. Kau sudah minum obat pagi ini?" Akiko mengangguk berbohong, dia sering memuntahkan obatnya jika Glen tidak mengawasi. Dia benar-benar tidak ingin berusaha sedikitpun. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat lagi, tapi sebaiknya kau istirahat sepenuhnya siang ini karena malam nanti bisa memakan banyak tenaga," ujar Glen. "Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Akiko. "Taman bermain, aku tebak kau pasti belum pernah ke sana," kata Glen sambil terkekeh pelan. Pria itu sudah mencari tau di internet tentang hal-hal yang disukai seorang gadis. Ternyata ada
Glen terbangun dari tidurnya karena suara alarm, tiba-tiba dia panik karena mimpi buruk soal kematian Akiko yang terus membuatnya khawatir. Gadis itu tidak ada di tempat tidur lagi sehingga Glen buru-buru mencari. Ternyata, Akiko sedang memilih pakaian kotor untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci. "Aiko, apa yang kau lakukan sepagi ini?" tanya Glen sambil mengusap wajah gusar. "Aku selalu bangun di jam yang sama," sahut Akiko seadanya. Dia sudah hafal pekerjaan membersihkan apartemen, sehingga tau jam berapa dia harus bangun. "Tinggalkan semua itu, mulai sekarang kau tidak perlu mengerjakan apapun. Aku sudah memanggil pembantu untuk menggantikanmu," ujar Glen sambil menarik tangan Akiko agar berdiri. Gadis itu nampak bingung, tapi dia hanya mengikuti Glen sampai suara bel terdengar. "Masuklah," titah Glen pada seorang wanita tua. Dia sudah membawa koper karena akan tinggal di apartemen itu agar bisa menemani Akiko jika Glen sedang bepergian. "Seperti yang sudah aku jelaskan, tugasmu