Happy Reading*****Selesai dengan makan malamnya, Kiran langsung menghubungi Fitri. "Assalamualaikum," sapa Kiran ketika panggilannya terangkat. "Wassalamu'alaikum. Tumben Bu bos malam-malam gini nelpon. Ada hal penting apa nih?" sapa Fitri yang begitu riang di telinga sahabatnya. "Fit," rengek Kiran manja. "Naik gunung, yuk?""Eh, kok tumben?" Nada suara Fitri terdengar terkejut. Di sebelah sang istri yang sedang merayu sahabatnya, Amir mengendus -endus leher Kiran yang putih mulus. Sesekali, lelaki itu tersenyum dengan sifat manja Kiran pada sahabatnya."Enggak tahu, kok, tiba-tiba pengen naik gunung lagi. Kangen pemandangan kawah Ijen," alibi Kiran. "Ya, udah. Besok selesai salat subuh kita berangkat, tapi suamimu gimana?" Saat menyebut Amir, Fitri terlihat ragu."Enggak apa-apa, sih. Nanti, aku ijin sama beliau. Lagian, biarpun besok hari libur, beliau enggak libur. Katanya, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."Amir mencolek hidung sang istri gemas ketika Kiran san
Happy Reading*****"Bukan aku yang ngomong. Semalam, Kiran sendiri, lho, yang ngasih tahu," protes Fitri karena sng kekasih menatapnya aneh. "Lagian, semalam dia juga ngomong kalau Pak Amir nggak bisa menemani. Tapi sekarang, kok?" kening Fitri makin berkerut. "Mami bohongin Tante Fitri, ya?" tanya si kecil seolah mengetahui arah pembicaraan para orang dewasa. "Mami enggak bohong, Sayang. Om Syaif tuh yang bohong," tunjuk Kiran pada lelaki sahabat suaminya."Kok, aku, Ran?" protes sang manajer HRD."Kalau bukan kamu, siapa lagi," tambah si bos. Dia memilih berdiri di samping sang istri. Lalu, mengusap keringat Kiran yang berada di wajahnya. "Capek, ya, Sayang?"Kiran cuma bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban, sedangkan Fitri melongo melihat semua adegan di depannya.Kekasih Syaif itu menggaruk kepala, bingung. "Sebenarnya ada apa, sih. Kok, Pak Syaif juga ada di sini? Memangnya ada acara penting, ya, sampai kalian semua berkumpul di sini.""Elah, masih manggil Pak. Padahal ka
Happy Reading **** Masih menahan rasa kesal pada Syaif, Amir tetap mengajak sahabatnya itu beristirahat sejenak di rest area. Demi kenyamanan Kiran, dia memesan kamar. Memanggil dokter untuk mengobatinya padahal luka sang istri tidak seberapa besar. "Mas, harusnya enggak perlu sampai manggil dokter.""Mas, nggak mau kamu kenapa-napa, Sayang," jawab Amir. Lelaki itu kemudian menengok Syaif yang masih mengerucutkan bibirnya. "Awas saja kalau sampai kaki istriku bengkak nantinya."Syaif mencebik. "Maaf, aku lupa kalau Kiran phobia sama suara keras, tapi ya, nggak usah memprovokasi Fitri seperti tadi.""Biar kapok. Salah sendiri. Sudah bagus dibantuin, eh, malah ngelunjak. Kalau kayak gini, kan, impas," sahut Amir."Ayolah, Mir. Kamu nggak kasihan sama sahabatmu ini? Masak iya tega ngasih perintah Fitri kayak gitu. Lagian luka Kiran kan nggak dalam, kok." Syaif merayu sahabatnya, tetapi mendapat pelototan dari si bos."Nggak bisa!" kata Amir keras. Kiran memegang tangan suaminya. Meng
Happy Reading*****"Suamiku ngerjain Pak Syaif, Fit. Dah, sana kejar. Jangan sampai kehilangan cintamu. Dia itu lelaki baik, pasti akan bertanggung jawab. Enggak usah ragu tentang masa depan adik-adikmu. Terimalah lamarannya," nasihat Kiran yang diangguki oleh Amir. "Benar kata istriku, Fit," tambah Amir. Fitri makin bingung. Tadi, dia sudah bahagia karena tidak harus menjawab lamaran Syaif. Setidaknya, perempuan itu masih punya waktu untuk berpikir. Namun, ketika sahabat dan bosnya malah mendukung, Fitri bimbang. "Syaif itu sangat bertanggung jawab. Dia anak bungsu. Kakaknya sudah punya keluarga yang suaminya sangat sukses. Apa yang mesti kamu khawatirkan? Jika sampai sekarang Syaif, masih betah jadi karyawan saya. Semua dilakukan karena rasa cintanya padamu. Bisa saja Syaif menggantikan usaha papanya dengan mudah, tapi nggak dilakukan. Dia ingin mendapatkan dirimu, Fit." Amir membuang napas, lega setelah bisa menceritakan semua tentang Syaif. Setidaknya, dia berharap Fitri mau
Happy Reading*****Kiran dan Amir terpaksa pulang malam itu juga. Mereka meninggalkan Syaif dan Fitri yang memilih meneruskan menginap di hotel sekitar lokasi kawah Ijen.Sejak kembali ke rumah, hasrat Amir begitu menggebu apalagi Kiran sudah memberikan lampu hijau terhadapnya. Namun, sayang semua itu tidak bisa terlaksana karena Naumira terus menempel pada maminya. "Sayang, besok kan kita sudah berangkat liburan. Rara, bobok di kamar sendiri, ya," pinta Amir ketika keinginan untuk memeluk dan mencium istrinya tak terbendung lagi."Nggak mau. Rara, mau nemenin. Mami. Kakinya Mami, kan, masih sakit," jawab Naumira. Langsung naik ke pembaringan dan tidur di sebelah Kiran."Kan, ada Papi jaga Mami, Sayang. Besok pagi kita sudah berangkat ke Bali, lho. Perjalanan naik mobil, nggak naik pesawat. Jadi, Rara harus bobok sekarang juga." Amir masih terus berusaha merayu putrinya. "Nggak mau. Rara mau sama Mami boboknya," rengek si kecil. Memeluk Kiran seolah Amir akan memisahkannya."Mas,"
Happy Reading*****Sesampainya di kamar hotel, Amir langsung merebahkan tubuh. Di kamar ini, dia cuma berdua dengan istrinya. Naumira sengaja diajak sekamar dengan orang tuanya."Mas jangan tidur dulu. Mandi, nanti baru merem," kata Kiran menasihati. "Bentar aja, Sayang. Mau ngelemesin punggung sama kaki. Pegel banget rasanya. Perjalanan kita tadi, total hampir tujuh jam, lho." Amir meregangkan tubuh di atas ranjang. "Ya, sudah. Asal jangan kebablasan aja, ya. Aku udah siapin air hangat biar lebih cepet hilang capeknya." Baru akan melangkah ke kamar mandi. Kiran merasakan embusan hangat di lehernya. Ternyata, kepala Amir sudah berada di ceruk leher Kiran. Lelaki itu memeluknya sangat erat dari belakang. "Gimana kalau kita mandi bareng." Dia mulai mengendus dan mencium setiap lekukan tubuh istrinya."Njenengan aja yang mandi duluan. Aku masih mau beres-beres bawaan kita." Kiran menggerakkan tubuh, berusaha keluar dari pelukan suaminya. Amir segera melepas pelukannya, tetapi langsu
Happy Reading*****"Papi nggak ngapa-ngapain, Ra. Tadi, ada serangga yang menggigit leher mami pas mandi," bohong Amir pada akhirnya."Iya, bener, Ra. Serangga berambut hitam. Serangga itu lagi kelaparan dan kehausan, makanya sampai menimbulkan bekas luka yang cukup besar di leher Mami," tambah Laila. "Hah?!" kata Naumira. Gadis kecil itu menatap Kiran aneh. Wijananto menahan tawa ketika wajah menantunya memerah. "Sudah ... sudah. Nggak usah dibahas lagi," cegah Amir supaya keluarganya tidak lagi membahas masalahnya dengan Kiran. "Pi, kita keluar jalan-jalan, yuk?" kata Naumira pada akhirnya. "Jadi, Rara ke sini mau ngajak Papi sama Mami jalan-jalan?" tanya Amir sambil bergerak menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. "Iya, dong," sahut si kecil lucu sambil mengerjapkan mata. Ketika suaminya keluar kamar mandi, Kiran masuk. Mengganti pakaiannya supaya bisa jalan-jalan bersama keluarga kecilnya. Kurang dari lima menit, Kiran sudah keluar dengan pakaian rapi dan riasan sederha
Happy Reading*****Dari kejauhan, Kiran menatap dua orang yang tengah berbincang itu. Mengepalkan tangan saat senyum si perempuan terbit. "Di mana urat malunya? Sudah tahu Mas Amir punya istri masih aja deketin.""Mas, kenapa lama sekali?" Kiran berkata dengan sangat manja. Tangannya langsung bergelayut ketika sang suami menghampirinya. "Bentar, Sayang. Si Mbaknya masih layani tamu yang lain." Amir menatap penuh cinta, sedangkan pada perempuan yang menyapanya tadi, dia bersikap cuek.Makin mengeratkan tubuhnya pada Kiran, Amir seolah menunjukkan sesuatu pada si perempuan yang tidak pernah diharapkan bertemu lagi. Tak peduli perempuan di sampingnya tengah mengajak berbincang dan berusaha keras mendekatinya. Amir menutup semua celah yang bisa menganggu rumah tangganya.Beberapa menit kemudian lelaki itu sudah mendapatkan apa yang diinginkan. "Ayo, Mas sudah mendapatkannya," ajak Amir pada Kiran. "Njenengan duluan, Mas," kata Kiran. Setelah beberapa langkah suaminya pergi, dia mendeka
Happy Reading*****Juli, Amir dan Wijananto saling menatap. Terakhir, ketiga orang itu mendelik pada Orion. "Kalau kamu mengaku salah satu istri Pak Orion, kenapa kemarin masih kekeh pengen balikan?" tanya Amir dengan tatapan mata tak percaya. "Gila kamu, Rion!" bentak Juli. Segera melangkahkan kakinya meninggalkan suami yang tak tahu diri. "Ma, tunggu!" teriak Orion. Menatap tajam penuh amarah pada Dahlia. "Aku akan buat perhitungan denganmu. Bukankah kamu sudah berjanji untuk merealisasikan semua ini. Tapi, ternyata kamu malah menghancurkan pernikahanku. Saat ini juga, aku jatuhkan tapak tiga untukmu."Tubuh Dahlia bergetar dengan hebat. Perempuan itu meluruh ke lantai sambil menangis dengan kencang. Hancur sudah semua yang dia miliki saat ini. Satu-satunya lelaki yang mau menerima kehadirannya cuma Orion. Sekarang, lelaki paruh baya itu bahkan meninggalkannya tanpa sepeserpun uang apalagi harta yang selama ini dia harapkan. Hasil jerih payahnya bekerja sama dengan Orion musnah
Happy Reading*****Si perempuan menatap semua lelaki yang ada di meja itu secara bergantian. Terakhir, dia menatap Orion tajam. "Tumben, nggak bawa gundikmu. Biasanya nempel kayak ulet bulu," kata perempuan itu yang diketahui Wijananto adalah istri sah Orion, pemilik asli garment Bella collection."Jaga ucapanmu, Ma. Dahlia nggak seburuk bayanganmu. Dia sudah banyak membantu Papa selama ini," peringat Orion. Tatapan begitu tajam pada perempuan pemilik nama Juli.Juli mendengkus mendengar bantahan dari sang suami yang tidak terima jika Dahlia disebut sebagai gundik. "Membantu katamu? Membantu menyalurkan nafsu bejat kalian para lelaki hidung belang.""Juliantara!" bentak Orion, "jaga ucapanmu!"Perempuan dengan rambut cokelat keemasan itu mengibaskan tangannya sambil mendengkus. "Terus aja belain dia."Amir dan Wijananto saling pandang. Sebenarnya, mereka tidak ingin mendengar pertengkaran pasangan di depannya. Namun, karena keduanya terlanjur mengenal sosok perempuan yang sedang d
Happy Reading*****Orion menghentikan langkah karena perempuan yang menggandengnya juga berhenti. Wajah pucat perempuan itu mulai terlihat dengan jelas di mata lelaki pemilik usaha garment itu. "Kamu kenapa, Baby?" tanya Orion yang sama sekali tidak mengetahui penyebab perempuan itu berlaku aneh seperti sekarang. Biasanya, perempuan yang sudah menjalin hubungan dekat dengannya selama setahun ini akan sangat antusias ketika diajak bertemu dengan para rekan kerjanya. Hal itu sangat membantu Orion dalam hal memuluskan rencana-rencana bisnisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia bisnis dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Walau banyak rekan kerja lelaki tersebut yang sudah berkeluarga, tetapi tak jarang mereka juga membutuhkan perempuan lain untuk selingan di uar sana. Oleh karena itulah Orion memanfaatkan keberadaan sang perempuan untuk kasus-kasus tertentu seperti tadi.Si perempuan menggelengkan kepalanya. "Om, bisa nggak kalau aku nggak ikut menemui mereka?""Kenapa?" tanya Orion
Happy Reading*****"Mami kenapa? Apa Mami nggk suka sama makanan yang Rara pesen?" tanya si kecil karena sejak tadi, Kiran cuma mengaduk-aduk hidangan yang ada di piringnya. "Eh, enggak, kok, Sayang. Mami suka sama makanannya." Kiran langsung memasukkan satu suapan nasi beserta lauk ke mulutnya. Namun, tatapan mata perempuan itu masih mengarah pada sang suami. Wijananto melirik putranya. "Mir, untuk meeting dengan Pak Rion pagi ini, kamu bisa bantu nemenin Papa, kan? Biar Mama sama Kiran shopping dan jalan-jalan sama Rara."Mendengar perkataan mertuanya, wajah Kiran yang tadi tampak mendung berubah cerah. Pasalnya, sang suami akan sibuk dengan pekerjaan dan dia bisa menikmati liburan bersama Naumira dan Laila."Kamu nggak keberatan, kan, Sayang?" tanya Amir memastikan sang istri baik-baik saja saat ditinggal bekerja. "Halah, paling yang keberatan itu kamu, Mir. Kalau Kiran kayaknya fine-fine aja ditinggal kerja. Bener nggak, Ran?" tanya Laila."Enggeh, Ma." Kiran menundukkan kepal
Happy Reading*****Suara bel yang begitu nyaring membuat bola mata Kiran bergerak. Sinar mentari masuk melalui celah gorden. Kiran melirik lelaki di sampingnya. Amir masih terlelap dalam tidur. Selesai melaksanakan salat subuh tadi, mereka melakukan aktivitas intim sekali lagi. Seolah mendapat mainan baru, Amir tak bosan-bosan bermain-main dengan istrinya. Kiran merapikan pakaiannya sebelum membuka pintu. Meminta sang suami untuk bangun, tetapi Amir cuma menjawab dengan dehaman saja tanpa berniat membuka mata sama sekali."Mami, ih. Kenapa lama sekali bukain pintu?" Naumira sudah mengerucutkan bibirnya, lucu. Di belakang si kecil tampak Wijananto dan Laila. Kiran tersenyum malu pada kedua mertuanya. Selama menikah dengan Amir, dia belum pernah bangun kesiangan. Namun, karena ulah sang suami yang terus mengerjainya, tubuh Kiran kelelahan hingga tertidur dan bangun kesiangan."Mami ketiduran, Sayang," jawab Kiran setelah beberapa waktu bingung harus menjawab apa.Laila mengedarkan pan
Happy Reading*****Amir membuka mata ketika aktifitasnya tadi mulai mengusik pikiran. Penasaran mengapa lelaki itu belum bisa maksimal memberi kepuasan pada Kiran, sedangkan dirinya sudah mencapai puncak terlebih dahulu. "Apa senikmat itu hingga aku klimaks duluan sebelum memasukinya?" ucap Amir sendirian sambil membayangkan dan mengoreksi apa saja yang telah dia lakukan pada istrinya tadi.Hasrat itu kembali muncul apalagi ketika melihat belahan bukit kembar Kiran yang tidak tertutup sempurna. Amir pun mulai menciumi seluruh wajah sang istri. Kemudian turun ke leher, lebih turun lagi hingga menemukan puncak bukit kembar tersebut. Amir mulai menikmati puncak tersebut dengan segala kenikmatannya. Kiran melenguh kala sesuatu mengusik tidurnya. Rasa geli serta berbagai rasa lainnya seperti yang dialami sebelum tidur kembali. Mulai menggerakkan bola mata. Kiran mencium aroma sampo Amir. Dia yakin suaminya masih sangat penasaran dengan kegagalannya tadi. "Mass," panggil Kiran disertai
Happy Reading*****Kiran menatap wajah si kecil, inginnya dia marah. Namun, apalah daya, perempuan itu berpikir tentang psikis Naumira. Jika dia marah dan membentak, maka si kecil akan memiliki trauma. Kiran tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Seperti yang dialaminya waktu masih kecil."Mami nggak akan marah kok, Sayang," jawab Amir, "ya, kan, Mi?" Menoleh pada istrinya yang terlihat melamun."Eh, iya. Mami enggak marah, kok, Sayang," jawab Kiran.Amir mengambil tangan Naumira dan menggendong, membawa si kecil ke ranjang. Menggelitik pinggang di kasur besar sampai bocah itu tertawa keras. Kiran juga mengikuti aksi suaminya menggoda Naumira. Keluarga kecil itu tertawa lepas, melupakan segenap permasalahan yang beberapa waktu lalu menghampiri. Suara bel menghentikan tawa mereka. "Bentar, biar Papi yang bukain." Amir turun dari ranjang dan membukakan pintu. Ketika itulah ucapan syukur terlontar keras dari bibirnya. Melihat kedatangan orang tuanya sudah seperti mendapat harta mel
Happy Reading*****Ketukan pintu terdengar, Kiran dan Naumira saling pandang. Keduanya tampak berpikir, mungkin menduga-duga suara lelaki yang berkata tadi. Antara Wijananto dan Amir, memang suaranya mirip. "Mi," panggil Naumira. "Bukain, ya. Mungkin itu Nenek sama Kakek," pinta si bocah. "Yakin itu suara Kakek?" "Kayaknya iya."Tanpa rasa curiga sedikitpun, Kiran turun dari ranjang, berjalan untuk membukakan pintu. Perempuan itu membulatkan mata begitu melihat wajah lelaki di depannya."Lha, kok?" tanya Kiran kaget. Amir segera memeluk sang istri, langsung menciumi seluruh wajahnya penuh kebahagiaan. Tak peduli masih ada Naumira di dekatnya."Terima kasih, Sayang. Mas juga cinta banget sama kamu." Lagi-lagi Amir mencium seluruh wajah Kiran. Kiran kesal dan mendorong tubuh suaminya. "Mas, ini kenapa, sih?"Bukannya menjawab, Amir malah mengerlingkan mata pada Naumira."Papi," sapa si kecil. Langsung turun dan memeluk Amir. "Terima kasih, Sayang," ucap Amir. Mengangkat putrinya
Happy Reading*****Kiran menyipitkan mata sambil berpikir, kenapa bocah berumur 5 tahun sudah tahu kata cinta-cintaan. Terus dia harus jawab apa pada Naumira. Ternyata Kiran terperangkap oleh kata-katanya sendiri sekarang. Bingung, Kiran pun cuma bisa diam dan termenung."Mi, kok diem aja?" Naumira mengguncang pelan tubuh maminya. "Hmm. Gimana, ya, jawabnya. Rara pengen tahu atau pengen tahu banget?" Kiran merotasi bola matanya. Naumira berpura-pura pingsan sambil menepuk kening. Perempuan yang baru saja menikah dengan Amir itu terkikik. Menggelitik pinggang putrinya, gemas. Tawa mereka pecah dan membuat lelaki yang masih setia menunggu jawaban istrinya dari telepon meringis."Ayolah, jawab. Aku juga pengen tahu isi hatimu yang sebenarnya, Ran," gumam sang suami di seberang sana. Amir mulai gelisah. Akankah istrinya itu mempunyai jawaban lain. Selama ini, Kiran memang tidak pernah menyatakan perasaannya. Amirlah yang selalu mengungkapkan isi hatinya. Sangat mencintai wanita yang