Happy Reading*****"Suamiku ngerjain Pak Syaif, Fit. Dah, sana kejar. Jangan sampai kehilangan cintamu. Dia itu lelaki baik, pasti akan bertanggung jawab. Enggak usah ragu tentang masa depan adik-adikmu. Terimalah lamarannya," nasihat Kiran yang diangguki oleh Amir. "Benar kata istriku, Fit," tambah Amir. Fitri makin bingung. Tadi, dia sudah bahagia karena tidak harus menjawab lamaran Syaif. Setidaknya, perempuan itu masih punya waktu untuk berpikir. Namun, ketika sahabat dan bosnya malah mendukung, Fitri bimbang. "Syaif itu sangat bertanggung jawab. Dia anak bungsu. Kakaknya sudah punya keluarga yang suaminya sangat sukses. Apa yang mesti kamu khawatirkan? Jika sampai sekarang Syaif, masih betah jadi karyawan saya. Semua dilakukan karena rasa cintanya padamu. Bisa saja Syaif menggantikan usaha papanya dengan mudah, tapi nggak dilakukan. Dia ingin mendapatkan dirimu, Fit." Amir membuang napas, lega setelah bisa menceritakan semua tentang Syaif. Setidaknya, dia berharap Fitri mau
Happy Reading*****Kiran dan Amir terpaksa pulang malam itu juga. Mereka meninggalkan Syaif dan Fitri yang memilih meneruskan menginap di hotel sekitar lokasi kawah Ijen.Sejak kembali ke rumah, hasrat Amir begitu menggebu apalagi Kiran sudah memberikan lampu hijau terhadapnya. Namun, sayang semua itu tidak bisa terlaksana karena Naumira terus menempel pada maminya. "Sayang, besok kan kita sudah berangkat liburan. Rara, bobok di kamar sendiri, ya," pinta Amir ketika keinginan untuk memeluk dan mencium istrinya tak terbendung lagi."Nggak mau. Rara, mau nemenin. Mami. Kakinya Mami, kan, masih sakit," jawab Naumira. Langsung naik ke pembaringan dan tidur di sebelah Kiran."Kan, ada Papi jaga Mami, Sayang. Besok pagi kita sudah berangkat ke Bali, lho. Perjalanan naik mobil, nggak naik pesawat. Jadi, Rara harus bobok sekarang juga." Amir masih terus berusaha merayu putrinya. "Nggak mau. Rara mau sama Mami boboknya," rengek si kecil. Memeluk Kiran seolah Amir akan memisahkannya."Mas,"
Happy Reading*****Sesampainya di kamar hotel, Amir langsung merebahkan tubuh. Di kamar ini, dia cuma berdua dengan istrinya. Naumira sengaja diajak sekamar dengan orang tuanya."Mas jangan tidur dulu. Mandi, nanti baru merem," kata Kiran menasihati. "Bentar aja, Sayang. Mau ngelemesin punggung sama kaki. Pegel banget rasanya. Perjalanan kita tadi, total hampir tujuh jam, lho." Amir meregangkan tubuh di atas ranjang. "Ya, sudah. Asal jangan kebablasan aja, ya. Aku udah siapin air hangat biar lebih cepet hilang capeknya." Baru akan melangkah ke kamar mandi. Kiran merasakan embusan hangat di lehernya. Ternyata, kepala Amir sudah berada di ceruk leher Kiran. Lelaki itu memeluknya sangat erat dari belakang. "Gimana kalau kita mandi bareng." Dia mulai mengendus dan mencium setiap lekukan tubuh istrinya."Njenengan aja yang mandi duluan. Aku masih mau beres-beres bawaan kita." Kiran menggerakkan tubuh, berusaha keluar dari pelukan suaminya. Amir segera melepas pelukannya, tetapi langsu
Happy Reading*****"Papi nggak ngapa-ngapain, Ra. Tadi, ada serangga yang menggigit leher mami pas mandi," bohong Amir pada akhirnya."Iya, bener, Ra. Serangga berambut hitam. Serangga itu lagi kelaparan dan kehausan, makanya sampai menimbulkan bekas luka yang cukup besar di leher Mami," tambah Laila. "Hah?!" kata Naumira. Gadis kecil itu menatap Kiran aneh. Wijananto menahan tawa ketika wajah menantunya memerah. "Sudah ... sudah. Nggak usah dibahas lagi," cegah Amir supaya keluarganya tidak lagi membahas masalahnya dengan Kiran. "Pi, kita keluar jalan-jalan, yuk?" kata Naumira pada akhirnya. "Jadi, Rara ke sini mau ngajak Papi sama Mami jalan-jalan?" tanya Amir sambil bergerak menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. "Iya, dong," sahut si kecil lucu sambil mengerjapkan mata. Ketika suaminya keluar kamar mandi, Kiran masuk. Mengganti pakaiannya supaya bisa jalan-jalan bersama keluarga kecilnya. Kurang dari lima menit, Kiran sudah keluar dengan pakaian rapi dan riasan sederha
Happy Reading*****Dari kejauhan, Kiran menatap dua orang yang tengah berbincang itu. Mengepalkan tangan saat senyum si perempuan terbit. "Di mana urat malunya? Sudah tahu Mas Amir punya istri masih aja deketin.""Mas, kenapa lama sekali?" Kiran berkata dengan sangat manja. Tangannya langsung bergelayut ketika sang suami menghampirinya. "Bentar, Sayang. Si Mbaknya masih layani tamu yang lain." Amir menatap penuh cinta, sedangkan pada perempuan yang menyapanya tadi, dia bersikap cuek.Makin mengeratkan tubuhnya pada Kiran, Amir seolah menunjukkan sesuatu pada si perempuan yang tidak pernah diharapkan bertemu lagi. Tak peduli perempuan di sampingnya tengah mengajak berbincang dan berusaha keras mendekatinya. Amir menutup semua celah yang bisa menganggu rumah tangganya.Beberapa menit kemudian lelaki itu sudah mendapatkan apa yang diinginkan. "Ayo, Mas sudah mendapatkannya," ajak Amir pada Kiran. "Njenengan duluan, Mas," kata Kiran. Setelah beberapa langkah suaminya pergi, dia mendeka
Happy Reading****"Mami kok diem aja, sih. Kalau gitu kita mainan boneka, yuk!" ajak Naumira. Kiran cuma bisa menganggukkan kepala, terlalu jengkel dengan sikap suaminya yang malah membiarkan Dahlia bergabung bersamanya. Sekarang, lelaki itu malah tidak berniat menemukannya sama sekali. Mengirim pesan atau telepon saja tidak. "Sayang, Mami ada di kamarmu, ya.""Ya, Pi. Mami lagi main sama Rara sekarang." Chat balasan sudah dikirimkan Naumira pada papinya. "Ya, sudah kalau Mami lagi di kamar Rara. Sebentar lagi, Papi nyusul ke sana," balas Amir. Saat ini, dia masih memberikan ceramah singkat pada Dahlia supaya tidak mengganggu hubungannya dengan Kiran lagi. Amir sengaja tidak melakukannya di depan Kiran demi menjaga trauma yang mungkin belum sepenuhnya hilang. "Kalau aku membolehkanmu bergabung tadi, bukan berarti aku masih mencintaimu. Ingat, Lia. Hubungan kita sudah lama berakhir. Sekali lagi, aku peringatkan. Jika kamu terus saja membahas masa lalu. Bukan nggak mungkin, aku ak
Happy Reading*****Kiran menyipitkan mata sambil berpikir, kenapa bocah berumur 5 tahun sudah tahu kata cinta-cintaan. Terus dia harus jawab apa pada Naumira. Ternyata Kiran terperangkap oleh kata-katanya sendiri sekarang. Bingung, Kiran pun cuma bisa diam dan termenung."Mi, kok diem aja?" Naumira mengguncang pelan tubuh maminya. "Hmm. Gimana, ya, jawabnya. Rara pengen tahu atau pengen tahu banget?" Kiran merotasi bola matanya. Naumira berpura-pura pingsan sambil menepuk kening. Perempuan yang baru saja menikah dengan Amir itu terkikik. Menggelitik pinggang putrinya, gemas. Tawa mereka pecah dan membuat lelaki yang masih setia menunggu jawaban istrinya dari telepon meringis."Ayolah, jawab. Aku juga pengen tahu isi hatimu yang sebenarnya, Ran," gumam sang suami di seberang sana. Amir mulai gelisah. Akankah istrinya itu mempunyai jawaban lain. Selama ini, Kiran memang tidak pernah menyatakan perasaannya. Amirlah yang selalu mengungkapkan isi hatinya. Sangat mencintai wanita yang
Happy Reading*****Ketukan pintu terdengar, Kiran dan Naumira saling pandang. Keduanya tampak berpikir, mungkin menduga-duga suara lelaki yang berkata tadi. Antara Wijananto dan Amir, memang suaranya mirip. "Mi," panggil Naumira. "Bukain, ya. Mungkin itu Nenek sama Kakek," pinta si bocah. "Yakin itu suara Kakek?" "Kayaknya iya."Tanpa rasa curiga sedikitpun, Kiran turun dari ranjang, berjalan untuk membukakan pintu. Perempuan itu membulatkan mata begitu melihat wajah lelaki di depannya."Lha, kok?" tanya Kiran kaget. Amir segera memeluk sang istri, langsung menciumi seluruh wajahnya penuh kebahagiaan. Tak peduli masih ada Naumira di dekatnya."Terima kasih, Sayang. Mas juga cinta banget sama kamu." Lagi-lagi Amir mencium seluruh wajah Kiran. Kiran kesal dan mendorong tubuh suaminya. "Mas, ini kenapa, sih?"Bukannya menjawab, Amir malah mengerlingkan mata pada Naumira."Papi," sapa si kecil. Langsung turun dan memeluk Amir. "Terima kasih, Sayang," ucap Amir. Mengangkat putrinya
Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa kera
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam
Happy Reading*****Tak mau masalahnya dengan sang istri membesar, Amir kembali melakukan panggilan pada Kiran. Namun, perempuan itu selalu menolak panggilannya. "Dia ini kenapa, sih?" tanya, menggerutu sendirian. "Nggak biasanya Kiran rewel gini. Apa aku melakukan kesalahan padanya, ya?""Dih, ngomong sendiri kayak orang gila. Kenapa?" Syaif sudah duduk di hadapan sahabatnya tanpa diketahui kedatangannya.Amir melirik sahabatnya yang kini sudah tidak bekerja di bawah kepemimpinannya. Lelaki itu saat ini sudah menjadi pemimpin di perusahaan papanya sendiri. "Kapan datang kok, aku nggak tahu?""Ya, karena kamu fokus sama ponsel dan ngomel sendiri. Makanya, pas aku buka pintu ruangan nggak denger. Kenapa, sih? Ada masalah sama Rara?"Amir menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala. "Terus?" tanya Syaif, penasaran. "Nggak mungkin kamu ada masalah sama Kiran?""Nggak ada masalah sama dia juga. Cuma, hari ini sikap Kiran tuh aneh banget. Dari pagi, dia kayak emosian terus. Barusa
Happy Reading*****"Hei, belum juga dia membuka cadar. Kenapa kamu sudah mengucap alhamdulillah seolah pilihanmu itu benar Fitri," sahut Wiranto."Pa, aku kenal betul suara istriku," sahut Syaif yang langsung mengarahkan tangannya membuka cadar si perempuan."Hei!" teriak semua orang."Aduh, maaf," ucap Syaif ketika mengetahui siapa perempuan di balik cadar tersebut."Kenapa? Apa dia istriku?" tanya Agung dengan mata terbuka sempurna. "Kamu lihat sendiri, deh. Maaf, ya, Gung." Syaif memasang wajah sedih penuh penyesalan.Di saat Syaif terlihat sedih, semua orang malah tertawa. Mereka tidak menyangka jika perempuan yang dipilih sang pengantin adalah istri orang lain."Ish, dasar. Nggak bisa mengenali istri sendiri. Pantas saja kamu selalu kalah dari Amir," celetuk mamanya Syaif. Agung bahkan memukul pelan lengan Syaif. "Gimana ceritanya kamu bisa mengakui istriku?""Habisnya, istrimu Makai cincin sama kayak yang aku belikan untuk Fitri," alibi Syaif untuk menutupi kesalahannya. Pa
Happy Reading*****"Kamu masih yakin kalau dia, Kiran?" tanya Laila seolah mengerti kegalauan putranya setelah mendengar dehaman perempuan bercadar yang dipilih Amir. Papinya Naumira terdiam. Sorot mata fokus mengamati perempuan yang telah dipilihnya. Semua mata ikut menatap dua orang tersebut. Kini, bukan Syaif yang menjadi pusat perhatian semua orang, tetapi Amir dan perempuan pilihannya. Setelah beberapa detik mengamati, Amir kembali berkata, "Aku yakin dia istriku, Kiran, Ma. Nggak akan kubiarkan dia mengecohku.""Kalau sampai salah gimana, Nak? Kiran pasti marah," peringat Nur. "Insya Allah, nggak akan salah, Bu. Ayo buka!" perintah Amir tak terbantahkan bahkan tangannya sudah bersiap untuk membuka cadar perempuan tersebut. "Tunggu, Mir. Jangan gegabah. Kalau sampai salah, kamu pasti malu," bisik Agung. Amir menarik garis bibirnya dan menggelengkan kepala. "Insya Allah, aku nggak akan salah. Cintaku akan selalu menuntunku untuk bisa mengenali Kiran. Di mana pun dia berada