Happy Reading*****Sesampainya di kamar hotel, Amir langsung merebahkan tubuh. Di kamar ini, dia cuma berdua dengan istrinya. Naumira sengaja diajak sekamar dengan orang tuanya."Mas jangan tidur dulu. Mandi, nanti baru merem," kata Kiran menasihati. "Bentar aja, Sayang. Mau ngelemesin punggung sama kaki. Pegel banget rasanya. Perjalanan kita tadi, total hampir tujuh jam, lho." Amir meregangkan tubuh di atas ranjang. "Ya, sudah. Asal jangan kebablasan aja, ya. Aku udah siapin air hangat biar lebih cepet hilang capeknya." Baru akan melangkah ke kamar mandi. Kiran merasakan embusan hangat di lehernya. Ternyata, kepala Amir sudah berada di ceruk leher Kiran. Lelaki itu memeluknya sangat erat dari belakang. "Gimana kalau kita mandi bareng." Dia mulai mengendus dan mencium setiap lekukan tubuh istrinya."Njenengan aja yang mandi duluan. Aku masih mau beres-beres bawaan kita." Kiran menggerakkan tubuh, berusaha keluar dari pelukan suaminya. Amir segera melepas pelukannya, tetapi langsu
Happy Reading*****"Papi nggak ngapa-ngapain, Ra. Tadi, ada serangga yang menggigit leher mami pas mandi," bohong Amir pada akhirnya."Iya, bener, Ra. Serangga berambut hitam. Serangga itu lagi kelaparan dan kehausan, makanya sampai menimbulkan bekas luka yang cukup besar di leher Mami," tambah Laila. "Hah?!" kata Naumira. Gadis kecil itu menatap Kiran aneh. Wijananto menahan tawa ketika wajah menantunya memerah. "Sudah ... sudah. Nggak usah dibahas lagi," cegah Amir supaya keluarganya tidak lagi membahas masalahnya dengan Kiran. "Pi, kita keluar jalan-jalan, yuk?" kata Naumira pada akhirnya. "Jadi, Rara ke sini mau ngajak Papi sama Mami jalan-jalan?" tanya Amir sambil bergerak menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. "Iya, dong," sahut si kecil lucu sambil mengerjapkan mata. Ketika suaminya keluar kamar mandi, Kiran masuk. Mengganti pakaiannya supaya bisa jalan-jalan bersama keluarga kecilnya. Kurang dari lima menit, Kiran sudah keluar dengan pakaian rapi dan riasan sederha
Happy Reading*****Dari kejauhan, Kiran menatap dua orang yang tengah berbincang itu. Mengepalkan tangan saat senyum si perempuan terbit. "Di mana urat malunya? Sudah tahu Mas Amir punya istri masih aja deketin.""Mas, kenapa lama sekali?" Kiran berkata dengan sangat manja. Tangannya langsung bergelayut ketika sang suami menghampirinya. "Bentar, Sayang. Si Mbaknya masih layani tamu yang lain." Amir menatap penuh cinta, sedangkan pada perempuan yang menyapanya tadi, dia bersikap cuek.Makin mengeratkan tubuhnya pada Kiran, Amir seolah menunjukkan sesuatu pada si perempuan yang tidak pernah diharapkan bertemu lagi. Tak peduli perempuan di sampingnya tengah mengajak berbincang dan berusaha keras mendekatinya. Amir menutup semua celah yang bisa menganggu rumah tangganya.Beberapa menit kemudian lelaki itu sudah mendapatkan apa yang diinginkan. "Ayo, Mas sudah mendapatkannya," ajak Amir pada Kiran. "Njenengan duluan, Mas," kata Kiran. Setelah beberapa langkah suaminya pergi, dia mendeka
Happy Reading****"Mami kok diem aja, sih. Kalau gitu kita mainan boneka, yuk!" ajak Naumira. Kiran cuma bisa menganggukkan kepala, terlalu jengkel dengan sikap suaminya yang malah membiarkan Dahlia bergabung bersamanya. Sekarang, lelaki itu malah tidak berniat menemukannya sama sekali. Mengirim pesan atau telepon saja tidak. "Sayang, Mami ada di kamarmu, ya.""Ya, Pi. Mami lagi main sama Rara sekarang." Chat balasan sudah dikirimkan Naumira pada papinya. "Ya, sudah kalau Mami lagi di kamar Rara. Sebentar lagi, Papi nyusul ke sana," balas Amir. Saat ini, dia masih memberikan ceramah singkat pada Dahlia supaya tidak mengganggu hubungannya dengan Kiran lagi. Amir sengaja tidak melakukannya di depan Kiran demi menjaga trauma yang mungkin belum sepenuhnya hilang. "Kalau aku membolehkanmu bergabung tadi, bukan berarti aku masih mencintaimu. Ingat, Lia. Hubungan kita sudah lama berakhir. Sekali lagi, aku peringatkan. Jika kamu terus saja membahas masa lalu. Bukan nggak mungkin, aku ak
Happy Reading*****Kiran menyipitkan mata sambil berpikir, kenapa bocah berumur 5 tahun sudah tahu kata cinta-cintaan. Terus dia harus jawab apa pada Naumira. Ternyata Kiran terperangkap oleh kata-katanya sendiri sekarang. Bingung, Kiran pun cuma bisa diam dan termenung."Mi, kok diem aja?" Naumira mengguncang pelan tubuh maminya. "Hmm. Gimana, ya, jawabnya. Rara pengen tahu atau pengen tahu banget?" Kiran merotasi bola matanya. Naumira berpura-pura pingsan sambil menepuk kening. Perempuan yang baru saja menikah dengan Amir itu terkikik. Menggelitik pinggang putrinya, gemas. Tawa mereka pecah dan membuat lelaki yang masih setia menunggu jawaban istrinya dari telepon meringis."Ayolah, jawab. Aku juga pengen tahu isi hatimu yang sebenarnya, Ran," gumam sang suami di seberang sana. Amir mulai gelisah. Akankah istrinya itu mempunyai jawaban lain. Selama ini, Kiran memang tidak pernah menyatakan perasaannya. Amirlah yang selalu mengungkapkan isi hatinya. Sangat mencintai wanita yang
Happy Reading*****Ketukan pintu terdengar, Kiran dan Naumira saling pandang. Keduanya tampak berpikir, mungkin menduga-duga suara lelaki yang berkata tadi. Antara Wijananto dan Amir, memang suaranya mirip. "Mi," panggil Naumira. "Bukain, ya. Mungkin itu Nenek sama Kakek," pinta si bocah. "Yakin itu suara Kakek?" "Kayaknya iya."Tanpa rasa curiga sedikitpun, Kiran turun dari ranjang, berjalan untuk membukakan pintu. Perempuan itu membulatkan mata begitu melihat wajah lelaki di depannya."Lha, kok?" tanya Kiran kaget. Amir segera memeluk sang istri, langsung menciumi seluruh wajahnya penuh kebahagiaan. Tak peduli masih ada Naumira di dekatnya."Terima kasih, Sayang. Mas juga cinta banget sama kamu." Lagi-lagi Amir mencium seluruh wajah Kiran. Kiran kesal dan mendorong tubuh suaminya. "Mas, ini kenapa, sih?"Bukannya menjawab, Amir malah mengerlingkan mata pada Naumira."Papi," sapa si kecil. Langsung turun dan memeluk Amir. "Terima kasih, Sayang," ucap Amir. Mengangkat putrinya
Happy Reading*****Kiran menatap wajah si kecil, inginnya dia marah. Namun, apalah daya, perempuan itu berpikir tentang psikis Naumira. Jika dia marah dan membentak, maka si kecil akan memiliki trauma. Kiran tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Seperti yang dialaminya waktu masih kecil."Mami nggak akan marah kok, Sayang," jawab Amir, "ya, kan, Mi?" Menoleh pada istrinya yang terlihat melamun."Eh, iya. Mami enggak marah, kok, Sayang," jawab Kiran.Amir mengambil tangan Naumira dan menggendong, membawa si kecil ke ranjang. Menggelitik pinggang di kasur besar sampai bocah itu tertawa keras. Kiran juga mengikuti aksi suaminya menggoda Naumira. Keluarga kecil itu tertawa lepas, melupakan segenap permasalahan yang beberapa waktu lalu menghampiri. Suara bel menghentikan tawa mereka. "Bentar, biar Papi yang bukain." Amir turun dari ranjang dan membukakan pintu. Ketika itulah ucapan syukur terlontar keras dari bibirnya. Melihat kedatangan orang tuanya sudah seperti mendapat harta mel
Happy Reading*****Amir membuka mata ketika aktifitasnya tadi mulai mengusik pikiran. Penasaran mengapa lelaki itu belum bisa maksimal memberi kepuasan pada Kiran, sedangkan dirinya sudah mencapai puncak terlebih dahulu. "Apa senikmat itu hingga aku klimaks duluan sebelum memasukinya?" ucap Amir sendirian sambil membayangkan dan mengoreksi apa saja yang telah dia lakukan pada istrinya tadi.Hasrat itu kembali muncul apalagi ketika melihat belahan bukit kembar Kiran yang tidak tertutup sempurna. Amir pun mulai menciumi seluruh wajah sang istri. Kemudian turun ke leher, lebih turun lagi hingga menemukan puncak bukit kembar tersebut. Amir mulai menikmati puncak tersebut dengan segala kenikmatannya. Kiran melenguh kala sesuatu mengusik tidurnya. Rasa geli serta berbagai rasa lainnya seperti yang dialami sebelum tidur kembali. Mulai menggerakkan bola mata. Kiran mencium aroma sampo Amir. Dia yakin suaminya masih sangat penasaran dengan kegagalannya tadi. "Mass," panggil Kiran disertai
Happy Reading*****Pada akhirnya Kiran tidak bisa menolak keinginan sang suami. Andai Wijananto tidak menelepon lelaki tersebut. Mungkin, saat ini Kiran masih berada di bawah kungkungan Amir. Beruntung sang papa mertua meminta mereka segera pulang karena Naumira tidak ada yang menemani."Ish, Papa ganggu anaknya aja. Katanya mau minta cucu, tapi setiap kali Mas berduaan sama kamu, pasti Papa ngerecoki," gerutu Amir sepanjang perjalanan mereka menuju rumah. "Enggak boleh gitu, Mas? Kita kan enggak pernah tahu kepentingan Papa apalagi beliau seorang pemimpin yang menghidupi puluhan orang. Jadi, kepentingan perusahaan jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi. Mungkin, jika Papa punya pilihan, beliau enggak mungkin mau menyusahkan kita seperti ini. Tapi, mau gimana lagi. Pertemuan dengan klien dari Australia itu jauh lebih penting untuk kemajuan dan pendapatan perusahaan," terang Kiran. Sangat bijak perempuan itu menjelaskan semuanya pada sang suami. Amir sangat kagum dengan pem
Happy Reading*****Kali ini, tawa Fitri makin menggema melihat tingkah aneh sang kekasih. "Masak kamu cemburu sama Pak Amir, sih, Yang. Dia itu mana mau melirikku. Cintanya sudah habis di Kiran. Nggak akan bisa pindah ke lain hati," terangnya.Tangan perempuan yang bekerja sebagai staf produksi tersebut menyentuh pipi kekasihnya. "Kamu nggak perlu khawatir, aku nggak akan pernah jatuh cinta pada lelaki selain dirimu. Jadi, nggak usah cemburu gitu.""Sayang, benarkah yang kamu katakan tadi?" tanya Syaif dengan muka dibuat seimut mungkin. Tangannya bergerak menangkup di atas tangan sang kekasih yang berada di pipinya. Fitri mengangguk mantap. "Seratus persen bener.""Terima kasih sudah mau menerima dan memberikan semua cinta itu untukku," kata Syaif.Laki-laki jika sudah terjerat cinta, maka lupa segalanya bahkan dia bisa bersikap manja sekali, melebihi anak kecil. Sama seperti keadaan sang manajer HRD saat. Manja sangat manja, Fitri saja sampai heran dengan sikap sang kekasih. ****
Happy Reading*****Syaif dan Fitri saling pandang, sementara Amir dan lelaki paruh baya itu tertawa bahagia cukup keras."Om, bisa aja," kata Amir."Eh, jangan salah apa yang Om katakan tadi benar adanya, sesuai dengan isi hati dan pikirannya, Om. Papamu sebentar lagi akan nambah cucu. Lha, Om? Satu aja belum dapat," kata papanya Syaif membuat putra dan calon menantunya mengerucutkan bibir."Memangnya punya cucu itu ajang perlombaan. Papa ngawur aja kalau ngomong. Dulu, nikahnya aja udah kalah sama Om Wijananto. Jadi, wajar kalau punya cucu juga terlambat," protes Syaif tak mau dijadikan kambing hitam oleh orang tuanya."Ngeles aja kamu.""Om, saya nggak bisa kalau dua hari lagi," protes Fitri."Kalau nggak mau nikah dua hari lagi, ya, nikah nanti sore aja. Gimana?""Om, saya," kata Fitri kembali ingin memprotes sang calon mertua. Namun, kalimat itu tidak diteruskan karena ponsel sahabatnya Kiran tersebut berbunyi nyaring. Ada notifikasi pemberitahuan masuk. Seketika, kelopak mata Fi
Happy Reading*****Fitri dan Syaif menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan. Si lelaki menepuk kening sambil mengembuskan napas panjang. Jika sudah begini, dia pasti akan terkena nasihat sahabatnya. Fitri sendiri lebih memilih menundukkan kepala dengan tangan yang menarik-narik ujung kemeja Syaif."Ngapain, sih, balik lagi?" kata Syaif dengan wajah kesal."Kalau aku nggak balik. Kamu pasti makin menjadi-jadi sama Fitri. Awas aja aku laporkan pada Om dan Tante." Amir mengeluarkan ponsel, jemarinya mulai bergerak bermain di atas layar. "Dih, main lapor-lapor saja. Lagian, aku nggak ngapa-ngapain, kok, sama Fitri," sanggah Syaif masih dengan raut wajah kesal pada sahabatnya."Nggak ngapa-ngapain karena keburu kepergok. Coba kalau aku nggak datang. Kamu pasti udah nyosor ke Fitri. Pokoknya, aku mau lapor sama Om supaya kalian cepet dinikahkan. Aku nggak mau, ya, kantorku kalian pake untuk tempat mesum." Suara Amir mulai meninggi. Sebenarnya, dia sudah berniat untuk segera menyusul
Happy Reading*****Amir menaikkan garis bibirnya, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. "Mas, ih. Ditanya, bukannya jawab malah nyengir," gerutu Kiran yang tidak pernah tahu jika layanan spa yang dipesan adalah untuknya. "Nanti, kamu bakalan tahu. Kenapa suamimu ini memesan layanan spa. Sekarang, habiskan makanannya. Mas, mau bukain pintu dulu." Amir berdiri. Berjalan ke arah pintu untuk menyambut tamunya."Selamat siang, Pak. Saya dari layanan spa di hotel ini yang sudah Bapak pesan. Bisa kita mulai spa terapinya?" tanya perempuan dengan perkiraan usia sama dengan Kiran. "Sebentar," sahut Amir. Menoleh ke arah sang istri yang sudah menyelesaikan makan siangnya. "Sayang, kamu sudah siap untuk spa?""Lho. kok, aku? Bukannya yang mau spa njenengan?" Kiran menatap suaminya dengan bingung."Memang Mas yang pesan, tapi yang ngeluh capek kan kamu, Sayang. Jadi, Mas panggil layanan spa di hotel ini. Kalau nunggu kesempatan, kamu pasti nggak bakalan mau diajak ke salon apalagi kalau ada
Happy Reading*****Sedikit mendorong tubuh sang suami agar tidak mengubah keputusannya tadi, Kiran mengatupkan kedua tangannya."Mas, aku mohon beri sedikit waktu supaya tenagaku pulih. Nanti, kita bisa melakukannya lagi. Ya?" kata Kiran dengan wajah memelas agar suaminya tidak meminta haknya. Dia benar-benar capek dan butuh pemulihan."Makanya, jangan suka godain. Sudah tahu suamimu ini gampang banget terpancing kalau masalah begituan. Jadi, kenapa sayangnya Mas ini masih menggoda?" Amir mencolek dagu sang istri, lalu mengecup keningnya lembut. "Tapi, Mas janji. Hari ini, demi kesayangan. Mas, rela menahannya sampai kamu benar-benar siap."Kiran tersenyum dengan perkataan sang suami yang begitu pengertian, rasanya ingin mengecup bibir lelakinya sekali lagi, tetapi takut jika akan membangkitkan hasratnya lagi. Jadi, Kiran cuma bisa melemparkan senyumnya saja. "Aku mau mandi saja, gerah," kata Kiran untuk mengalihkan pembahasan mereka."Boleh ikut nggak sih, Sayang?" goda Amir disert
Happy Reading*****Amir tersenyum lebar dan langsung memeluk sng istri, seolah-olah mereka sudah berpisah cukup lama. "Mas, lepas. Malu sama Mama," pinta Kiran sambil sedikit mendorong tubuh lelakinya. Amir terpaksa mengurai pelukan sang istri. Menatapnya penuh kekecewaan. "Malu kenapa, sih? Mas, nggak salah apa-apa. Lagian kita cuma pelukan nggak ngapa-ngapain juga."Laila cuma bisa tersenyum dengan tingkah manja Amir. Jika sudah seperti itu, maka si bos tidak akan memiliki rasa malu lagi. "Sudahlah, kalian pulang berdua saja. Mama sama sopir dan langsung menjemput Rara," putus perempuan paruh baya tersebut, memberi kesempatan pada keduanya untuk melepas rindu. Laila bukanlah mertua yang tidak bertoleransi, dia juga pernah muda dan pernah merasakan gairah sang suami yang begitu menggebu-gebu. Jadi jika Amir sekarang bersikap seperti itu, sudah tidak kaget lagi."Tapi, Ma. Aku tadi sudah janji sama Rara bakalan nganter jemput," kata Kiran antara keberatan dan tidak enak hati suda
Happy Reading*****Laila mencolek sang menantu, lalu berbisik. "Kamu kenal sama dia, Ran?"Istri Amir itu menggerakkan kepalanya ke bawah. Lalu, dia menoleh ke arah lelaki yang digandeng Rosa tadi. "Kabar baik, Mas. Gimana kabarnya Mbak Nonik?" tanya Kiran membuat dua insan yang sedang terlihat mesra itu tegang. Laila juga ikut tegang, matanya menyipit dengan alis yang hampir bertautan. "Apa maksud Kiran sebenarnya?" gumamnya dalam hati. "Aku nggak tahu gimana kabarnya sekarang, Ran. Kami sudah lama nggak ketemu," kata lelaki yang digandeng oleh Rosa tadi."Oh, kalian sudah berpisah?" tanya Kiran bermaksud memastikan hubungan sahabat masa kuliahnya dulu. Walau dia tidak dekat dengan perempuan yang sudah dinikahi lelaki itu, tetapi Kiran memiliki hubungan yang cukup baik. Waktu bertemu di reuni tahun lalu, Nonik dan lelaki itu masih terlihat mesra. Namun, sekarang si lelaki sudah menggandeng perempuan lain."Berpisah secara resmi belum, sih. Kami sedang proses perceraian," jawab s
Happy Reading*****Merasa menantunya diremehkan, Laila menatap orang yang berkata kasar tersebut dengan kasar. "Rosa?!" tanyanya sedikit terkejut ketika melihat gadis yang dulu pernah dijodoh-jodohkan dengan Amir ada di sekolah cucunya.Perempuan yang dipanggil namanya itupun membulatkan mata ketika melihat siapa yang menyebut namanya tadi. "Tante Laila?" tanyanya tak percaya akan bertemu dalam keadaan tidak mengenakkan seperti sekarang. "Ngapain kamu ada di sekolahannya Rara? Siapa anak ini?" Laila mengerutkan kening. Merasa aneh jika Rosa ada di sekolah Rara. Jelas sekali dalam keluarga sahabatnya tidak memiliki anak kecil seumuran Naumira."Pastinya nganter anak sekolah kalau sudah ada di sini. Memangnya kenapa?" Suara Rosa meninggi seolah sedang berbicara pada musuhnya. Sekarang, Laila baru menyadari jika apa yang dikatakan putranya, benar. Rosa tak sebaik yang terlihat. "Tante ngerti kalau datang ke sini pasti nganter anak sekolah. Cuma dia anak siapa? Bukannya, kakakmu, anak