Happy Reading*****Pagi menjelang, Kiran membuka mata dan melihat sang suami yang masih menutup mata. Perlahan, gadis itu menyusuri wajah Amir tanpa berani menyentuh. Walaupun tangan Kiran tidak menyentuh wajahnya, tetapi Amir bisa merasakan setiap gerakan sang istri. Lelaki itu pun membuka mata. "Kenapa nggak langsung dipegang saja?" "Mas," kata Kiran, tersipu. Menyingkap selimutnya, bersiap turun dari pembaringan."Sayang, jangan turun dulu. Kasih morning kiss, dong.""Genit, ih." Setengah berlari, Kiran meninggalkan suaminya. Suasana sarapan di rumah Nur saat ini terasa sangat ramai. Sekalipun dalam keadaan berkabung, tetapi berkat kehadiran Naumira, mereka semua bisa tersenyum. Melupakan kesedihan walau sejenak. "Mami hari ini kerja?" tanya Naumira di sela-sela mengunyah nasi goreng. "Telan dulu makananmu, Ra. Baru ngomong," kata Amir, "Mami akan kerja hari ini sekaligus pamitan sama karyawan lain. Besok, Mami full di rumah sambil jagain Rara. Oke."Masih sambil mengunyah m
Happy Reading****"Astagfirullah," ucap Syaif, "maaf, Mir. Aku terlampau menghayati tangisan munafiknya."Syaif mengusap wajahnya. Dia baru menyadari jika perempuan bernama Dahlia itu sering melakukan hal sama untuk mencapai tujuan dan kepentingan pribadinya. Sering kali berdrama."Jangan diulang. Aku dan Kiran baru saja membangun pernikahan. Kamu tahu trauma istriku itu, 'kan? Aku nggak mau Kiran salah paham dan membenciku. Dahlia adalah masa lalu terburukku dan juga persahabatan kita." Amir menghela napas. Syaif mengusap wajahnya, mengangguk, membenarkan ucapan sahabatnya. "Jadi, gimana malam pertama kalian? Berapa ronde semalam?"Lemparan sekotak tisu mengenai hidung Syaif. "Sembarangan kalau ngomong. Emang aku cowok apaan. Nggak ngerti situasi berkabung masih pengen gituan. Mulai geser otakmu sekarang," kata Amir keras, tetapi tetap menaikkan garis bibirnya. "Elah. Siapa tahu sudah nggak kuat nahan, main terabas aja walau banyak halangan.""Sana balik ke ruanganmu. Ngomongin m
Happy Reading*****"Maaf, Pak. Saya kira, hanya ada Kiran tadi." "Aku kira kamu sedang makan siang, Fit," cicit Kiran sambil menyembunyikan wajahnya di balik punggung sang suami. "Nggak papa, Ran. Aku yang salah. Harusnya, tadi ngetuk pintu dulu." Fitri sudah akan berbalik arah, tetapi Syaif sudah berdiri di sampingnya."Kenapa, Fit?""Kalian berdua ngapain ada di sini barengan? Sengaja memata-matai kami," kata Amir dengan nada tegas ketika melihat sahabatnya.Kiran memberanikan diri memegang tangan suaminya. Setelah ditatap, perempuan itu menggelengkan kepala. "Jangan sembarangan nuduh, Mas," bisik Kiran. "Siapa tahu, Yang. Mereka pengen kayak kita." Amir sengaja memeluk kembali sang istri. "Dih," decak Syaif. Lelaki itu sudah akan memegang pergelangan sang kekasih, tetapi Fitri malah melotot tanda tidak setuju."Ngaku aja, deh. Kamu pasti pengen juga kayak aku gini." Amir mengeratkan pelukannya pada Kiran. Lalu, sengaja mencium pipi perempuan yang baru dihalalkannya itu. "Dasa
Happy Reading*****Kedatangan Kiran di sambut baik oleh Laila. Walau dirinya dan Amir cuma datang untuk tidur saja, tetapi perempuan paruh baya itu tetap bersikap baik. Seperti pagi ini, ketika Kiran hendak pamit ke rumah Nur bersama Amir yang akan berangkat kerja. "Ran, Mama nitip beberapa bahan pokok untuk ibumu, ya. Semua sudah Mama siapkan di kardus itu. Maaf, Mama belum bisa bantu-bantu lagi dan belum sempat sowan ke rumahmu," kata Laila. "Enggeh, Ma. Nanti, Kiran sampaikan." Gadis itu menengok sang suami. Sedikit kesal sejak kemarin karena dia disuruh cuti sampai acara tujuh harian ayahnya selesai."Apa, Sayang?" tanya Amir yang mengerti arti tatapan sang suami. "Enggak apa-apa," sahut Kiran berusaha menutupi semua kekesalan hatinya."Mas, cuma nggak mau kamu kecapean aja. Harus ngurus urusan kerjaan, sudah gitu ngurus bantuin Ibu," jelas Amir. Laila menatap keduanya, mulai mengerti arah pembicaraan pengantin baru tersebut."Apa yang Amir katakan benar, Ran. Saat ini, sebai
Happy Reading*****Pagi yang membuat Kiran uring-uringan terjadi. Pasalnya, Mir kembali melarangnya ke kantor."Mas, aku beneran enggak boleh ngantor?" tanya Kiran."Sayang, semalam kan sudah dibahas masalah ini. Kok, masih tanya lagi? Lagian, ya, semua tugas yang menjadi tanggung jawabmu sudah aku limpahkan pada Fitri," jawab Amir santai.Setelah memberikan baju yang akan dikenakan suaminya, Kiran duduk di depan meja rias. Memandang Amir yang sibuk mengancingkan kemeja.'Tapi, Mas. Aku pasti bosen kalau nggak ngerjain apa-apa. Kan, sudah terbiasa banyak tugas dan pekerjaan," balas Kiran, masih mencoba merayu suaminya supaya diperbolehkan bekerja. "Pekerjaan rumah sama ngurus Rara pasti menyita waktumu. Mas, nggak mau menambah beban istri dengan masalah kerjaan di kantor. Mas, janji, akan mencukupi semua kebutuhanmu. Nggak usah sungkan. Mas, ikhlas melakukan semua demi membahagiakanmu." Sisir yang dipegang saat berbicara tadi, Amir letakkan. Menatap si istri dengan penuh cinta. La
Happy Reading*****"Mir!" panggil Syaif. Sang pemilik perusahaan yang baru saja melangkahkan kaki, terpaksa berhenti. Mengerutkan kening, wajah kusut sahabatnya terlihat jelas. "Apa ada masalah?" tanyanya. "Tunggu!" cegah sang manajer HRD. Wajah Syaif sangat serius saat ini membuat Amir berpikir hal-hal negatif. "Ada apa, sih? Nggak usah nakut-nakutin gitu, mukanya." Amir menepuk pundak sahabatnya. "Sebaiknya kamu nggak usah masuk ruangan," suruh lelaki berhidung mancung itu dengan raut serius penuh kekhawatiran."Kenapa? Bisa-bisanya kamu nyuruh aku nggak masuk ruanganku sendiri." "Pliss, dengarkan aku kali ini," pinta Syaif. "Jangan sampai kamu menyesal dan menyalahkan aku.""Ribet, deh. Cepetan ngomong ada apa?" Amir mulai terlihat emosi. Kesabarannya yang terkadang setipis tisu dibelah dua, malah pancing oleh sng manajer HRD.Kekasih Fitri itu menggaruk kepala, tingkahnya juga agak aneh. "Cepetan ngomongnya," bentak Amir. Lelaki itu sudah akan melangkahkan kakinya ke ruanga
Happy Reading*****Kiran memajukan bibirnya saat membaca balasan chat yang dikirim sang suami. "Enggak, mau. Lagian aku sedang sama Mama. Malu, Mas," jawab Kiran terhadap ajakan sang suami. "Kenapa mesti malu?""Pokoknya enggak mau. Lagian, baru beberapa menit nggak ketemu, masak udah kangen. Nanti, sore juga udah ketemu lagi," tulis Kiran."Karena kamu memang ngangenin, Sayang. Mas, nggak bisa jauh-jauh walau semenit saja. Pengennya berduaan terus.""Kalau gitu, ijinin aku kerja lagi supaya bisa bareng terus.""Nggak, Sayangnya Mas, nggak boleh kerja."Kiran tersenyum membaca balasan Amir hingga membuat sang mertua menoleh. "Hayo, kenapa senyum-senyum sendiri," tanya Laila."Nggak papa, Ma," jawab sng menantu. Berkutat dengan pekerjaan rumah sudah biasa dilakukan Kiran, tetapi jika harus sepanjang hari berada di rumah, mungkin akan bosan juga. Apalagi semua pekerjaan beres-beres sudah ada asisten rumah tangga. Dia dan sang mertua cuma duduk. "Ma, nggak ada yang bisa aku kerjain
Happy Reading*****Sampai di rumah, pikiran Kiran terus dihantui pertanyaan tentang siapa Naumira sebenarnya. Perempuan itu terus menatap kertas yang berisi data si kecil."Apa kertas itu lebih menarik dari suamimu yang ganteng ini, Sayang?" tanya Amir menggoda Kiran yang terlihat terpaku memandangi kertas di tangannya. Senyum si perempuan seolah sirna. Tatapannya terus saja mengarah pada selembar kertas. Sesekali menghela napas panjang bahkan suara Amir tadi tidak didengar. Lelaki itu terpaksa menyentuh pundak sang istri supaya menyadari kehadirannya. "Astagfirullah," ucap Kiran. Perempuan itu segera menyalami suaminya yang baru pulang. "Sudah lama datang, Mas?""Lama sih nggak. Cuma kertas itu menghilangkan sebagian fokusmu hingga salamku nggak terdengar." Satu kecupan mendarat pada kening Kiran. Lalu, lelaki itu tersenyum manis. "Kertas apa, sih?" Tangan Amir sudah akan mengambil kertas itu, tetapi ditepis oleh sang istri. "Hmm itu." Kiran tampak ragu ingin bertanya. Wajah lel
Happy Reading*****Syaif dan Fitri saling pandang, sementara Amir dan lelaki paruh baya itu tertawa bahagia cukup keras."Om, bisa aja," kata Amir."Eh, jangan salah apa yang Om katakan tadi benar adanya, sesuai dengan isi hati dan pikirannya, Om. Papamu sebentar lagi akan nambah cucu. Lha, Om? Satu aja belum dapat," kata papanya Syaif membuat putra dan calon menantunya mengerucutkan bibir."Memangnya punya cucu itu ajang perlombaan. Papa ngawur aja kalau ngomong. Dulu, nikahnya aja udah kalah sama Om Wijananto. Jadi, wajar kalau punya cucu juga terlambat," protes Syaif tak mau dijadikan kambing hitam oleh orang tuanya."Ngeles aja kamu.""Om, saya nggak bisa kalau dua hari lagi," protes Fitri."Kalau nggak mau nikah dua hari lagi, ya, nikah nanti sore aja. Gimana?""Om, saya," kata Fitri kembali ingin memprotes sang calon mertua. Namun, kalimat itu tidak diteruskan karena ponsel sahabatnya Kiran tersebut berbunyi nyaring. Ada notifikasi pemberitahuan masuk. Seketika, kelopak mata Fi
Happy Reading*****Fitri dan Syaif menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan. Si lelaki menepuk kening sambil mengembuskan napas panjang. Jika sudah begini, dia pasti akan terkena nasihat sahabatnya. Fitri sendiri lebih memilih menundukkan kepala dengan tangan yang menarik-narik ujung kemeja Syaif."Ngapain, sih, balik lagi?" kata Syaif dengan wajah kesal."Kalau aku nggak balik. Kamu pasti makin menjadi-jadi sama Fitri. Awas aja aku laporkan pada Om dan Tante." Amir mengeluarkan ponsel, jemarinya mulai bergerak bermain di atas layar. "Dih, main lapor-lapor saja. Lagian, aku nggak ngapa-ngapain, kok, sama Fitri," sanggah Syaif masih dengan raut wajah kesal pada sahabatnya."Nggak ngapa-ngapain karena keburu kepergok. Coba kalau aku nggak datang. Kamu pasti udah nyosor ke Fitri. Pokoknya, aku mau lapor sama Om supaya kalian cepet dinikahkan. Aku nggak mau, ya, kantorku kalian pake untuk tempat mesum." Suara Amir mulai meninggi. Sebenarnya, dia sudah berniat untuk segera menyusul
Happy Reading*****Amir menaikkan garis bibirnya, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. "Mas, ih. Ditanya, bukannya jawab malah nyengir," gerutu Kiran yang tidak pernah tahu jika layanan spa yang dipesan adalah untuknya. "Nanti, kamu bakalan tahu. Kenapa suamimu ini memesan layanan spa. Sekarang, habiskan makanannya. Mas, mau bukain pintu dulu." Amir berdiri. Berjalan ke arah pintu untuk menyambut tamunya."Selamat siang, Pak. Saya dari layanan spa di hotel ini yang sudah Bapak pesan. Bisa kita mulai spa terapinya?" tanya perempuan dengan perkiraan usia sama dengan Kiran. "Sebentar," sahut Amir. Menoleh ke arah sang istri yang sudah menyelesaikan makan siangnya. "Sayang, kamu sudah siap untuk spa?""Lho. kok, aku? Bukannya yang mau spa njenengan?" Kiran menatap suaminya dengan bingung."Memang Mas yang pesan, tapi yang ngeluh capek kan kamu, Sayang. Jadi, Mas panggil layanan spa di hotel ini. Kalau nunggu kesempatan, kamu pasti nggak bakalan mau diajak ke salon apalagi kalau ada
Happy Reading*****Sedikit mendorong tubuh sang suami agar tidak mengubah keputusannya tadi, Kiran mengatupkan kedua tangannya."Mas, aku mohon beri sedikit waktu supaya tenagaku pulih. Nanti, kita bisa melakukannya lagi. Ya?" kata Kiran dengan wajah memelas agar suaminya tidak meminta haknya. Dia benar-benar capek dan butuh pemulihan."Makanya, jangan suka godain. Sudah tahu suamimu ini gampang banget terpancing kalau masalah begituan. Jadi, kenapa sayangnya Mas ini masih menggoda?" Amir mencolek dagu sang istri, lalu mengecup keningnya lembut. "Tapi, Mas janji. Hari ini, demi kesayangan. Mas, rela menahannya sampai kamu benar-benar siap."Kiran tersenyum dengan perkataan sang suami yang begitu pengertian, rasanya ingin mengecup bibir lelakinya sekali lagi, tetapi takut jika akan membangkitkan hasratnya lagi. Jadi, Kiran cuma bisa melemparkan senyumnya saja. "Aku mau mandi saja, gerah," kata Kiran untuk mengalihkan pembahasan mereka."Boleh ikut nggak sih, Sayang?" goda Amir disert
Happy Reading*****Amir tersenyum lebar dan langsung memeluk sng istri, seolah-olah mereka sudah berpisah cukup lama. "Mas, lepas. Malu sama Mama," pinta Kiran sambil sedikit mendorong tubuh lelakinya. Amir terpaksa mengurai pelukan sang istri. Menatapnya penuh kekecewaan. "Malu kenapa, sih? Mas, nggak salah apa-apa. Lagian kita cuma pelukan nggak ngapa-ngapain juga."Laila cuma bisa tersenyum dengan tingkah manja Amir. Jika sudah seperti itu, maka si bos tidak akan memiliki rasa malu lagi. "Sudahlah, kalian pulang berdua saja. Mama sama sopir dan langsung menjemput Rara," putus perempuan paruh baya tersebut, memberi kesempatan pada keduanya untuk melepas rindu. Laila bukanlah mertua yang tidak bertoleransi, dia juga pernah muda dan pernah merasakan gairah sang suami yang begitu menggebu-gebu. Jadi jika Amir sekarang bersikap seperti itu, sudah tidak kaget lagi."Tapi, Ma. Aku tadi sudah janji sama Rara bakalan nganter jemput," kata Kiran antara keberatan dan tidak enak hati suda
Happy Reading*****Laila mencolek sang menantu, lalu berbisik. "Kamu kenal sama dia, Ran?"Istri Amir itu menggerakkan kepalanya ke bawah. Lalu, dia menoleh ke arah lelaki yang digandeng Rosa tadi. "Kabar baik, Mas. Gimana kabarnya Mbak Nonik?" tanya Kiran membuat dua insan yang sedang terlihat mesra itu tegang. Laila juga ikut tegang, matanya menyipit dengan alis yang hampir bertautan. "Apa maksud Kiran sebenarnya?" gumamnya dalam hati. "Aku nggak tahu gimana kabarnya sekarang, Ran. Kami sudah lama nggak ketemu," kata lelaki yang digandeng oleh Rosa tadi."Oh, kalian sudah berpisah?" tanya Kiran bermaksud memastikan hubungan sahabat masa kuliahnya dulu. Walau dia tidak dekat dengan perempuan yang sudah dinikahi lelaki itu, tetapi Kiran memiliki hubungan yang cukup baik. Waktu bertemu di reuni tahun lalu, Nonik dan lelaki itu masih terlihat mesra. Namun, sekarang si lelaki sudah menggandeng perempuan lain."Berpisah secara resmi belum, sih. Kami sedang proses perceraian," jawab s
Happy Reading*****Merasa menantunya diremehkan, Laila menatap orang yang berkata kasar tersebut dengan kasar. "Rosa?!" tanyanya sedikit terkejut ketika melihat gadis yang dulu pernah dijodoh-jodohkan dengan Amir ada di sekolah cucunya.Perempuan yang dipanggil namanya itupun membulatkan mata ketika melihat siapa yang menyebut namanya tadi. "Tante Laila?" tanyanya tak percaya akan bertemu dalam keadaan tidak mengenakkan seperti sekarang. "Ngapain kamu ada di sekolahannya Rara? Siapa anak ini?" Laila mengerutkan kening. Merasa aneh jika Rosa ada di sekolah Rara. Jelas sekali dalam keluarga sahabatnya tidak memiliki anak kecil seumuran Naumira."Pastinya nganter anak sekolah kalau sudah ada di sini. Memangnya kenapa?" Suara Rosa meninggi seolah sedang berbicara pada musuhnya. Sekarang, Laila baru menyadari jika apa yang dikatakan putranya, benar. Rosa tak sebaik yang terlihat. "Tante ngerti kalau datang ke sini pasti nganter anak sekolah. Cuma dia anak siapa? Bukannya, kakakmu, anak
Happy Reading*****Semua orang menepuk kening masing-masing mendengar permintaan Naumira. "Sekarang, bagaimana caramu menjelaskan padanya?" tanya Wijananto. Segera menggandeng tangan sang istri untuk meninggalkan Amir dan Kiran."Pa, kok, malah ditinggal gitu aja, sih," kata Amir yang mulai kebingungan untuk mencari alasan supaya putrinya mengurungkan niatnya semula. Laila dan Wijananto berbalik, keduanya menjulurkan lidah, mengejek sng putra mahkota. Akibat ulahnya sendiri, kini dia harus menjelaskan pada Naumira. "Suruh siapa pake alasan itu. Anakmu itu sudah mulai kritis, jadi pake alasan yang logis," kata Laila. "Yah, Mama," keluh Amir mulai frustasi karena belum menemukan cara ampuh untuk menjelaskan semuanya. "Jadi, gimana, Pi?" tanya bocah kecil dalam gendongan Amir. "Sayang," panggil Kiran membuat Amir dan Naumira menoleh padanya secara bersamaan. "Aku manggil Rara, Mas.""Kirain, Mas, Sayang." Amir menggaruk kepala, nyengir kuda karena sudah salah paham akibat panggila
Happy Reading*****"Cup ... cup," ucap Kiran sambil mengusap air mata yang membasahi si kecil. "Jangan nangis, dong, Sayang. Coba ceritakan dengan jelas. Kenapa Mami disebut jahat sama Rara?"Gadis kecil itu mencoba menghentikan tangisannya, tetapi tetap tidak bisa. Isakannya sesekali masih terdengar."Sini, sama Nenek," pinta Laila. Merentangkan kedua tangan agar si kecil mau pindah ke gendongannya. "Rara bisikin aja sama Nenek. Apa yang sudah Papi sama Mami lakukan hingga menyebut mereka jahat?"Naumira menatap Laila penuh kesedihan. Walau air matanya sudah berhenti mengalir, tetapi isakan itu masih ada. Jelas sekali jika si kecil sangat sedih. "Ran," panggil Laila. Tatapannya penuh selidik pada sang menantu. "Coba kamu ingat, apa yang sudah kalian lakukan sampai Rara seperti ini."Kiran cuma bisa menggelengkan kepala. Semalam setelah dari rumah Dokter Rini, jelas-jelas dia dan Amir langsung ke kamar dan tidak pernah keluar lagi sampai subuh. "Coba ngomong pelan-pelan, Sayang," p