Happy Reading*****Tatapan marah, diberikan Kiran pada sang lelaki. "Cuma karena ini, Anda marah tadi?""Maaf," pinta Amir sambil menyatukan kedua tangannya. Senyum lelaki itu dibuat semanis mungkin. Tangan kanan Amir mulai bergerak, mengambil isi di dalam kotak yang dipegang Kiran. Lalu, memegang tangan kiri si gadis dan melepaskan cincin yang dipasangkan Naumira kemarin, menggantinya dengan yang baru. Cincin pemberian putrinya dipindahkan ke tangan kanan si gadis. Si gadis diam mematung. Semua perlakuan Amir begitu cepat hingga dia tidak sempat melayangkan protes."Kalau kemarin Papa ngomong kamu resmi jadi menantunya setelah Rara memasangkan cincin itu. Sekarang aku mengatakan, kamu resmi menjadi tunangan dan calon istriku. Cincin ini sebagai tandanya," ucap Amir.Tak ada waktu bagi Kiran untuk menolak atau mendebat ucapan Amir. Semua dilakukan dengan sangat cepat oleh sang lelaki. Tanpa diketahui, di belakang keduanya ada Agung yang mengamati tingkah mereka. Dia cuma bisa meng
Happy Reading*****Setelah menutup panggilan dari Laila. Amir tampak gugup dan bingung. Memandang ke arah gadisnya dan Nur secara bergantian. Berat sekali meninggalkan Kiran dengan keadaannya sekarang. Namun, dia juga tidak bisa membiarkan putrinya sendirian di rumah sakit."Ran, aku pulang sekarang. Rara masuk rumah sakit," pamit Amir. Dia sudah membulatkan tekad, kesehatan Naumira jauh lebih penting. "Ya Allah. Kenapa sama Rara, Pak?" Kiran pun mulai ikut khawatir dengan si kecil. "Semalam keadaannya masih sangat baik. Mengapa sekarang masuk rumah sakit?""Kata Mama terserempet motor pas mau nyebrang. Aku pulang sekarang, Ran. Maaf nggak bisa nemeni.""Iya, enggak apa-apa. Bapak mendingan pulang sekarang, kasihan Rara," kata Kiran. Amir menyalami Nur dan lainnya. Lalu, berlari menuju parkiran setelah mendapat persetujuan Kiran."Rara itu siapa, Dik?" tanya Nur pada putrinya. "Rara itu gadis kecilnya Pak Amir." Kiran mengembuskan napas panjang. Kembali teringat dengan permintaan
Happy Reading*****Memeluk putranya dengan terisak, Laila kembali mengingat kenangan menyedihkan beberapa tahun silam. "Jangan salahkan dirimu. Semua terjadi di luar rencana kita. Inilah yang disebut musibah," nasihat Laila. Mengurai pelukannya, lalu menatap putranya dengan senyum yang dipaksakan. "Oh, ya. Gimana keadaan ayahnya Kiran?" Perempuan itu sengaja mengalihkan pembahasan supaya putranya tidak terus-terusan bersedih memikirkan keadaan Naumira. Amir menghela napas panjang. Teringat jika tadi meninggalkan Kiran dengan keadaan bersedih. "Kayaknya, sakit beliau makin parah, Ma.""Lho, kok, bisa?"Mengalirlah cerita Amir tentang keadaan Agus. "Lalu, bagaimana dengan Kiran?" Laila mulai penasaran."Alhamdulillah, Kiran mulai mau membuka hati untuk memaafkan ayahnya. Cuma, pas, aku tinggal tadi. Pak Agus sempat membisikkan sesuatu yang membuat Kiran kembali menjauhinya.""Bisikan apa, Mir?"Si bos menggelengkan kepala. "Aku juga nggak tahu pastinya, Ma. Tapi, Kiran terus berkat
Happy Reading*****"Nggak usah kaget gitu. Bukannya tadi, kamu sudah mengklaim adikku sebagai tunangan," goda Agung. "Iya, tapi tujuanku video call bukan untuk membahas masalah itu." Amir tersenyum canggung. Menggaruk-garuk kepala yang tak gatal."Lalu, apa tujuanmu video call?" tanya Agung, "Ayah, mau kalian menikah dalam waktu dekat. Lihatlah, Kiran sedang berbincang dengan beliau untuk membahas masalah ini.""Tapi adikmu belum setuju, Gung. Aku nggak mau memaksa. Aku telepon juga karena putriku yang pengen melihat wajah Kiran, bukan karena ingin menanyakan perihal lamaranku." Amir menghela napas panjang. Lengannya sudah ditarik-tarik oleh Naumira karena tak sabar ingin melihat wajah Kiran."Oke, bentar," kata Agung, "aku menunggu penjelasanmu tentang hal anak." Ponsel beralih pada Kiran setelah si sulung menyelesaikan kalimat terakhirnya. "Aku pasti akan menjelaskannya padamu. Akan ada waktunya, Gung."Wajah Kiran tampak di layar benda pipih pintar milik Amir. Gadis itu memaks
Happy Reading*****Pagi setelah salat Subuh, Amir mengetuk pintu kamar mamanya. Biasanya Laila sudah sibuk di dapur, tetapi hari ini, perempuan itu masih berdiam di kamarnya. "Ma," panggil Amir ketika ketukannya tidak direspon."Sebentar," ucap Laila dari dalam kamar. Kurang dari satu menit kemudian, perempuan paruh baya itu sudah membuka pintu. "Ada apa, Mir?""Ma, nitip Rara." Wajah Amir tampak gelisah. "Mau ke mana?""Kiran minta aku ke rumah sakit sebelum jam kerja. Katanya, Pak Agus ingin bertemu. Ada hal penting yang ingin beliau sampaikan. Tapi, aku nggak tenang nunggu sampai agak siangan. Jadi, aku mau berangkat sekarang.""Ya, sudah. Berangkat saja. Bentar lagi, Mama ke kamarmu." Laila segera menutup pintu kamar setelah putranya mengangguk. Amir kembali ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil. Sebelum keluar, dia menciumi putrinya. Meminta maaf karena tidak bisa menemani tidurnya. Setelah berpamitan, lelaki itu langsung berangkat ke rumah sakit. Sejak semalam perasaanny
Happy Reading*****Agung menoleh pada seseorang yang memanggilnya. "Sebentar, Dik," ucapnya pada si pemanggil yang tak lain adalah Kiran.Hilang sudah kesempatan Agung mendengarkan cerita Amir tentang Naumira. Putra sulung Agus itu menepuk lengan sahabatnya. "Kita lanjutkan pembahasan tadi, setelah ini. Status anak itu sangat penting bagiku untuk meneruskan keinginan Ayah," ujar Agung lirih.Amir mengangguk. Berdiri mendekati Kiran setelah Agung masuk ruang perawatan."Gimana keadaanmu, Ran?" Amir menatap gadisnya dari ujung kepala hingga kaki. Terlihat lelah dan juga sedih."Saya baik-baik saja, Pak." Kiran melirik arlojinya. Heran juga, sepagi itu si bos sudah datang menjenguk padahal dia meminta Amir datang sebelum jam kantor. "Kamu sudah sarapan? Kita keluar nyari makan, yuk!" ajak lelaki yang menggunakan kurta warna putih di depan Kiran. "Enggak usah, Pak. Saya masih kenyang." Kiran menunduk. Amir meraih pergelangan Kiran, menuntunnya untuk duduk di bangku yang di tempati ta
Happy Reading*****Farel mendekati saudara perempuannya. Mengembuskan napas panjang, walau sedikit kecewa dengan perlakukan Amir tadi. Akan tetapi, dia tetap ingin berbaik sangka. "Mbak, kita tahu Mas Amir baik orangnya. Mungkin perempuan itu yang kelewatan. Seenaknya saja memanggil sayang padahal jelas-jelas Mas Amir marah," kata Farel. "Keraguanku enggak pernah salah, Dik. Dia orang yang kasar. Siapa pun cewek itu, enggak seharusnya dia kasar." Kiran memejamkan mata, merangkai memori pertemuan mereka pertama kali. Umpatan dan kata kasar yang terlontar dari Amir pada seluruh karyawannya. "Enggak ... Aku enggak bisa," ucap Kiran disertai gelengan. Agung memegang kedua pundak Kiran. "Dik, dengar ... dengarkan, Mas," pintanya. Kiran berhenti menggelengkan kepala, lalu menatap saudara sulungnya."Jika Amir kasar, nggak mungkin bisa merawat Naumira dengan baik. Ada saatnya dia berbuat kasar seperti tadi, Dik." Si sulung menjeda kalimatnya. Memberi ruang Kiran untuk berpikir jernih.
Happy Reading*****Agung masuk terlebih dulu ke ruang perawatan. Sementara itu, Amir mulai menghubungi keluarganya. Tidak mungkin dia mengambil keputusan yang begitu besar tanpa berunding dengan Laila dan Wijananto. Walau dirinya sendiri sudah pasti setuju dengan permintaan saudaranya Kiran.Mengambil ponsel dari saku kurtanya, Amir mulai menghubungi sang kepala keluarga."Assalamualaikum. Halo, Pa," sapa si lelaki pada Wijananto."Waalaikumussalam. Ya, Mir. Ada apa?""Pa, keluarga Kiran memintaku menikahinya sekarang. Bagaimana ini?" tanya Amir terdengar gugup di telinga Wijananto. Sebelum menjawab putranya, Wijananto menghela napas kasar. "Piye tho, Mir? Harusnya kamu seneng. Ngapain jadi galau? Kamu panik, ya?" Setelahnya, Lelaki paruh baya itu terkekehan di seberang sana. Entah apa yang lucu. Tawa Wijananto justru membuat Amir makin gugup dan panik."Amir takut, Pa," ucap papinya Naumira, "takut ini cuma mimpi seperti kejadian waktu itu. Padahal, aku sudah berharap banyak. Pas
Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa kera
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam
Happy Reading*****Tak mau masalahnya dengan sang istri membesar, Amir kembali melakukan panggilan pada Kiran. Namun, perempuan itu selalu menolak panggilannya. "Dia ini kenapa, sih?" tanya, menggerutu sendirian. "Nggak biasanya Kiran rewel gini. Apa aku melakukan kesalahan padanya, ya?""Dih, ngomong sendiri kayak orang gila. Kenapa?" Syaif sudah duduk di hadapan sahabatnya tanpa diketahui kedatangannya.Amir melirik sahabatnya yang kini sudah tidak bekerja di bawah kepemimpinannya. Lelaki itu saat ini sudah menjadi pemimpin di perusahaan papanya sendiri. "Kapan datang kok, aku nggak tahu?""Ya, karena kamu fokus sama ponsel dan ngomel sendiri. Makanya, pas aku buka pintu ruangan nggak denger. Kenapa, sih? Ada masalah sama Rara?"Amir menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala. "Terus?" tanya Syaif, penasaran. "Nggak mungkin kamu ada masalah sama Kiran?""Nggak ada masalah sama dia juga. Cuma, hari ini sikap Kiran tuh aneh banget. Dari pagi, dia kayak emosian terus. Barusa
Happy Reading*****"Hei, belum juga dia membuka cadar. Kenapa kamu sudah mengucap alhamdulillah seolah pilihanmu itu benar Fitri," sahut Wiranto."Pa, aku kenal betul suara istriku," sahut Syaif yang langsung mengarahkan tangannya membuka cadar si perempuan."Hei!" teriak semua orang."Aduh, maaf," ucap Syaif ketika mengetahui siapa perempuan di balik cadar tersebut."Kenapa? Apa dia istriku?" tanya Agung dengan mata terbuka sempurna. "Kamu lihat sendiri, deh. Maaf, ya, Gung." Syaif memasang wajah sedih penuh penyesalan.Di saat Syaif terlihat sedih, semua orang malah tertawa. Mereka tidak menyangka jika perempuan yang dipilih sang pengantin adalah istri orang lain."Ish, dasar. Nggak bisa mengenali istri sendiri. Pantas saja kamu selalu kalah dari Amir," celetuk mamanya Syaif. Agung bahkan memukul pelan lengan Syaif. "Gimana ceritanya kamu bisa mengakui istriku?""Habisnya, istrimu Makai cincin sama kayak yang aku belikan untuk Fitri," alibi Syaif untuk menutupi kesalahannya. Pa
Happy Reading*****"Kamu masih yakin kalau dia, Kiran?" tanya Laila seolah mengerti kegalauan putranya setelah mendengar dehaman perempuan bercadar yang dipilih Amir. Papinya Naumira terdiam. Sorot mata fokus mengamati perempuan yang telah dipilihnya. Semua mata ikut menatap dua orang tersebut. Kini, bukan Syaif yang menjadi pusat perhatian semua orang, tetapi Amir dan perempuan pilihannya. Setelah beberapa detik mengamati, Amir kembali berkata, "Aku yakin dia istriku, Kiran, Ma. Nggak akan kubiarkan dia mengecohku.""Kalau sampai salah gimana, Nak? Kiran pasti marah," peringat Nur. "Insya Allah, nggak akan salah, Bu. Ayo buka!" perintah Amir tak terbantahkan bahkan tangannya sudah bersiap untuk membuka cadar perempuan tersebut. "Tunggu, Mir. Jangan gegabah. Kalau sampai salah, kamu pasti malu," bisik Agung. Amir menarik garis bibirnya dan menggelengkan kepala. "Insya Allah, aku nggak akan salah. Cintaku akan selalu menuntunku untuk bisa mengenali Kiran. Di mana pun dia berada