Happy Reading*****Nur cuma bisa menggelengkan kepala ketika Kiran mengatakan keputusan finalnya. "Mau sampai kapan kamu terus menghindari setiap lelaki yang akan mendekatimu, Ran? Ibu benar-benar nggak tega lihat kamu begini," keluhnya lirih. Di tempat lain, ketika Syif sudah sampai di rumah dan telah menyelesaikan semua ritual harian setelah pulang kerja. Manajer HRD itu mulai membuka layar ponsel. Apa yang dikatakan Amir harus segera dilaksanakan. Jika tidak, lelaki bersuara keras itu pasti akan marah.Syaif mulai mencari kontak seseorang yang bisa membantunya saat ini. Setelah menemukan kontak si cewek, lelaki itu segera mengetikkan pesan."Assalamualaikum. Saya bisa nggangu waktumu sebentar nggak?" tulis seseorang yang diberi nama 'cowok menyebalkan' oleh Fitri. Gadis itu saat ini tengah berbaring santai sambil memainkan ponselnya. Semula, Fitri berniat menghubungi Kiran dan menanyakan kenapa tadi tidak masuk kerja. Namun, ketika ponselnya berbunyi dan merasa aneh dengan chat
Happy Reading*****"Huh, dasar bos nggak tahu diri. Nggak rela banget ada anak buahnya istirahat," gerutu Syaif. Walau demikian, dia tetap mengganti pakaiannya hendak pergi menemui sahabat karibnya. Jarang-jarang seorang Amir mengajak nongkrong.Sepeluh menit kemudian, sang manajer HRD keluar dari kamar. Di ruang keluarga, Syaif bertemu dengan orang tuanya yang sedang bersantai sambil menonton tayangan favorit keduanya."Mau ke mana, Sya?" tanya perempuan yang telah melahirkan Syaif."Keluar bentar, Bun. Ada urusan penting yang nggak boleh ditunda."Kedua orang tua Syaif saling menatap. Lalu, mereka tertawa lirih. "Apa anak Bunda sedang mengejar cinta?" Perempuan paruh baya dengan daster batik itu tersenyum manis."Sepertinya, cita-cita kita menggendong cucu akan segera terwujud, Bun," tambah sang kepala keluarga."Doain saja, Yah, Bun. Tahun ini, aku pasti akan memberikan menantu sesuai harapan kalian yang dapat memproduksi cucu sebanyak-banyaknya.""Kamu kira istrimu peternakan, S
Happy Reading*****Bukannya marah, tetapi Amir malah tersenyum dengan sangat manis. Benar-benar kekuatan cinta itu dahsyat, merubah segala sesuatu diluar kebiasaan insan yang terpapar.Teriakan dari Nur terdengar. "Siapa yang datang?" Kiran menoleh. Berusaha menutupi sosok Amir yang menjulang di depannya. Gadis itu benar-benar tak mengharapkan Nur mengetahui kehadiran si bos di rumah mereka."Bukan siapa-siapa, Bu," jawab Kiran, "pulang sana, ngapain juga ke sini?" usirnya, sepelan mungkin supaya Nur tidak mendengar apa yang di ucapkan. "Tapi, Ran. Aku belum masuk dan menyapa ibumu," sahut Amir. Langkah kaki Nur semakin dekat, terdengar. Kiran membuka pintu setengah, supaya perempuan paruh baya itu tidak melihat sosok si bos. "Pergilah, Pak. Saya mohon," ucap si gadis, memelas. "Ada tamu itu suruh masuk, Ran. Jangan dibiarkan di depan pintu gitu, ra ilok, Nduk (tidak pantas)." Nur mencoba tersenyum, meskipun tidak tahu siapa tamunya. Dia sudah berada tepat di belakang sang putr
Happy Reading*****"Kiran! Sopanlah sama tamu," bentak Nur. "Bu, aku nggak suka dia datang ke sini," teriak Kiran. "Tenang, Ran. Maaf, kalau aku nggak ngasih kabar terlebih dulu pas mau ke sini," ucap Amir, tulus."Kenapa Bapak terus menyakiti saya?" Kiran berlari sambil menahan tangis, meninggalkan Amir dan Nur di ruang tamu. Sesak di hati kian menumpuk ketika perempuan yang melahirkannya itu malah membela si bos."Maaf atas sikap Kiran, Nak. Dia anak yang baik sebenarnya, saya nggak ngerti kenapa berubah seperti itu," ucap Nur. Perempuan paruh baya itu sangat menyayangkan sikap putrinya. Walau sangat kecewa dengan Amir, Kiran tak seharusnya berbuat seperti tadi. Amir mengurungkan niat meminum teh. Dia menatap Nur dengan perasaan bersalah, hanya karena keegoisannya ingin dekat dengan Kiran. Dia membuat sang gadis bersedih dan berselisih paham dengan orang tuanya. "Semua karena kesalahan saya juga, Bu. Tolong maafkan dan maklumi sikap Kiran tadi. Saya tahu, Kiran gadis baik dan l
Happy Reading*****Menimbang beberapa hal dan kemungkinan yang akan terjadi jika orang itu ternyata bukanlah ayah kandung Kiran, Amir menghela napas panjang. "Mendekatimu, sama seperti ketika aku mengajukan kontrak kerja sama yang bernilai miliaran rupiah. Sudah sekali," gumam Amir. Pikirannya benar-benar dipaksa untuk mencari cara menemukan ayah kandung sang pujaan. Memejamkan mata sebentar untuk mendapat ide, beberapa menit kemudian, sebuah rencana yang terbilang nekad melintas. "Bismillah. Jika aku terlalu banyak pertimbangan, maka akan semakin sulit menemukan orang tersebut. Aku akan mengambil resiko ini. Jika memang bukan dia, maka aku akan mencoba akun lainnya," gumam si bos sendirian. Jemari Amir mulai sibuk mengetikkan pesan pribadi pada akun yang dicurigai milik ayahnya Kiran. Walau tidak tahu pasti, tetapi hati lelaki itu sangat condong pada sang pemilik akun."Assalamualaikum, apakah benar dengan Bapak Agus Sudrajat?" tulis Amir. Setelah mengirimkan pesan tersebut, lel
Happy Reading*****"Mama doanya jelek banget," gerutu Amir mendengar perkataan Laila tadi."Lho, bukannya Mama berdoa yang jelek-jelek, Mir. Tapi, wajah kusut dan galaumu yang membuat Mama mengambil kesimpulan itu," sahut Laila."Papa setuju sama pendapat Mama. Kalau Kiran menerima lamaran itu, nggak mungkin mukamu lecek kayak baju yang belum disetrika," tambah Wijananto. "Ish, Papa." Amir kembali menyuapkan makanan ke mulut si kecil. Akan tetapi, Naumira menggelengkan kepala."Pi, lamaran itu apa?" tanya si kecil lugu. Santai Amir melirik Wijananto dan Laila bergantian. "Coba tanya Kakek sama Nenek. Papi mau nyelesaikan satpam dulu, ya. Soalnya udah siang, keburu telat ke kantor." Lalu, lelaki itu tertawa lirih ketika wajah panik orang tuanya terlihat."Dasar anak pinter. Ngeles aja kerjaannya," gumam Laila gemas.*****Selama berada di kantor, pikiran Amir benar-benar tak tenang. Berkas pengajuan anggaran untuk produksi barang yang diserahkan Fitri saja tak tersentuh sama sekali.
Happy Reading*****"Dih, sudah bucin. Sekarang malah agak gila," sindir sang sahabat yang tidak tahu menahu apa yang telah terjadi pada Amir."Kamu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku saat ini, Sya. Semalaman, aku nunggu kabar dari orang ini." Amir masih tetap menatap layar ponselnya, meskipun sang sahabat berada tepat di depannya. "Heran, deh. Ngapain juga bandingin hidupku sama hidupmu. Ya, jelas beda. Lagian, aku nggak pengen juga jadi dirimu. Ribet, tahu." Syaif memajukan bibirnya. Kaki kanannya kini diangkat di atas kaki kiri."Ya, makanya diem. Nggak usah ngerecokin aku."Lalu, si bos kembali menatap layar ponsel mengabaikan Syaif. "Alhamdulillah. Ada titik terang tentang masa lalumu, Ran," kata Amir sendirian yang jelas terdengar oleh sahabatnya."Apa, sih? Makin nggak jelas. Tadi aja galau, sekarang malah senyum sendiri." Syaif makin dibuat penasaran oleh tingkah Amir yang bersikap tidak biasa."Diem! Ntar tak ceritain," hardik si bos. Jempolnya mulai linca
Happy Reading****Amir begitu tak sabar menunggu jam makan siang. Dia terus saja melirik arlojinya. Rasanya, waktu berjalan cukup lambat. Pekerjaan yang harusnya terselesaikan dengan cepat, molor hingga berjam-jam karena fokus si bos yang selalu tertuju pada Kiran.Setengah jam kemudian ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11.30, si Bos segera keluar ruangan. Di rumah makan yang sudah disepakati, Amir datang lebih awal menunggu lelaki yang meneleponnya tadi. Setelah memesan minuman dan ayam bakar, dia mencoba menghubungi lelaki yang diajaknya janjian. Namun, baru dering pertama ada seseorang menghampirinya. "Amir, ya?" tanya lelaki yang menggunakan kemeja batik motif gajah oling khas kabupaten ujung timur pulau Jawa. Keduanya sama-sama tersenyum. "Iya, benar," jawab Amir, berdiri dari duduk dan menyalami lelaki di depannya. "Bagaimana njenengan bisa begitu mudah mengenali saya padahal kita belum pernah bertemu sama sekali."Lelaki itu tertawa. "Profil WA-mu cukup jelas, Nak. Bapak
Happy Reading*****Syaif juga mulai gelisah karena pertanyan Kiran. Namun, dia berusaha tenang supaya bisa memikirkan jalan keluar agar dirinya dan Fitri tidak dipergoki berduaan di kamar pas yang mungkin akan menimbulkan prasangka negatif semua orang."Yang, gimana ini?" tanya Fitri, sekali lagi. Wajahnya memucat. "Semua ini gara-gara kamu." kelopak matanya mulai dipenuhi embun."Sayang, jangan nangis, dong. Gini aja, kamu buka pintunya. Ngomong sama Kiran kalau kamu baik-baik saja. Jangan biarkan dia masuk. Oke?" kata Syaif memberikan instruksi pada kekasihnya."Fit, kamu masih di dalam, kan?" tanya Kiran sekali lagi karena sahabatnya itu masih belum membalas perkataan sebelumnya. "Cepatan ngomong. Biar dia nggak makin curiga," pinta Syaif. Lelaki itu mulai mencari tempat yang sekiranya tidak akan dilihat oleh istri sahabatnya. Fitri mengangguk. Lalu, bergerak membuka pintu kamar pas, sekiranya cukup untuk memperlihatkan kepalanya pada Kiran. "Aku baik-baik saja. Cuma memang butu
Happy Reading*****Seseorang itu makin mengeratkan kedua tangannya di pinggang Fitri. "Siapa kamu?" tanya sang calon pengantin. Fitri begitu takut untuk menoleh ke arah belakang karena jarak wajahnya dan si pelaku cuma sekitar satu senti saja. Jika Fitri tetap memaksa menoleh, bisa jadi akan mencium seseorang yang melingkarkan tangannya begitu erat di pinggang. Tak tahan dengan tekanan yang ada, perempuan itu menginjak kaki orang yang di belakangnya."Aduh, Sayang. Sakit," rintih seseorang di belakang tubuh Fitri. Perempuan itu segera membalikkan badan saat pinggang terbebas. "Sayang. Kenapa bisa kamu?" Fitri mengerutkan kening dengan mata menyipit. Syaif menarik garis bibirnya ke atas. Menatap sang kekasih dari ujung kaki hingga rambut nyaris tanpa kedip. Fitri mulai risih dengan tatap kekasihnya yang seperti itu. Tangan kanannya pun menetup mata si lelaki. "Nggak boleh ngeliat aku kayak gitu. Natukin, ih," kata Fitri."Apa, sih, Yang." Syaif menepis tangan kekasihnya yang mene
Happy Reading*****Amir tertawa keras ketika mendengar perkataan sang istri. "Jahil banget kamu, Mir," kata Laila. "Dia itu nelpon pasti karena ada pentingnya. Kasihan Fitri.""Biarin, Ma. Dulu, pas kita mau nikah, kami nggak pernah merepotkan Syaif sama Fitri." Ternyata si bos sengaja melakukannya semata-mata karena iseng."Enggak boleh gitu, Mas. Kalau njenengan dibalas seperti tadi dengan Pak Syaif, pastinya marah. Teman akrab Fitri itu, ya, cuma aku. Karena dia juga, aku mengajukan diri rolling ke kantor cabang saat itu," terang Kiran seolah menegaskan jika bukan karena sahabat karibnya, mungkin dia tidak akan berada di kantor cabang dan bertemu dengannya."Dengarkan istrimu itu, Mir. Kalau bukan karena Fitri, maka kamu nggak akan pernah ketemu dengan Kiran dan kalian nggak akan bahagia seperti sekarang. Harusnya, kamu nggak jahil begitu sama orang yang sudah membuatmu menemukan cinta sejati," tambah Wijananto mempertegas apa yang diuucapkan sang menantu bahwa memang Fitri memil
Happy Reading*****Pada akhirnya Kiran tidak bisa menolak keinginan sang suami. Andai Wijananto tidak menelepon lelaki tersebut. Mungkin, saat ini Kiran masih berada di bawah kungkungan Amir. Beruntung sang papa mertua meminta mereka segera pulang karena Naumira tidak ada yang menemani."Ish, Papa ganggu anaknya aja. Katanya mau minta cucu, tapi setiap kali Mas berduaan sama kamu, pasti Papa ngerecoki," gerutu Amir sepanjang perjalanan mereka menuju rumah. "Enggak boleh gitu, Mas? Kita kan enggak pernah tahu kepentingan Papa apalagi beliau seorang pemimpin yang menghidupi puluhan orang. Jadi, kepentingan perusahaan jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi. Mungkin, jika Papa punya pilihan, beliau enggak mungkin mau menyusahkan kita seperti ini. Tapi, mau gimana lagi. Pertemuan dengan klien dari Australia itu jauh lebih penting untuk kemajuan dan pendapatan perusahaan," terang Kiran. Sangat bijak perempuan itu menjelaskan semuanya pada sang suami. Amir sangat kagum dengan pem
Happy Reading*****Kali ini, tawa Fitri makin menggema melihat tingkah aneh sang kekasih. "Masak kamu cemburu sama Pak Amir, sih, Yang. Dia itu mana mau melirikku. Cintanya sudah habis di Kiran. Nggak akan bisa pindah ke lain hati," terangnya.Tangan perempuan yang bekerja sebagai staf produksi tersebut menyentuh pipi kekasihnya. "Kamu nggak perlu khawatir, aku nggak akan pernah jatuh cinta pada lelaki selain dirimu. Jadi, nggak usah cemburu gitu.""Sayang, benarkah yang kamu katakan tadi?" tanya Syaif dengan muka dibuat seimut mungkin. Tangannya bergerak menangkup di atas tangan sang kekasih yang berada di pipinya. Fitri mengangguk mantap. "Seratus persen bener.""Terima kasih sudah mau menerima dan memberikan semua cinta itu untukku," kata Syaif.Laki-laki jika sudah terjerat cinta, maka lupa segalanya bahkan dia bisa bersikap manja sekali, melebihi anak kecil. Sama seperti keadaan sang manajer HRD saat. Manja sangat manja, Fitri saja sampai heran dengan sikap sang kekasih. ****
Happy Reading*****Syaif dan Fitri saling pandang, sementara Amir dan lelaki paruh baya itu tertawa bahagia cukup keras."Om, bisa aja," kata Amir."Eh, jangan salah apa yang Om katakan tadi benar adanya, sesuai dengan isi hati dan pikirannya, Om. Papamu sebentar lagi akan nambah cucu. Lha, Om? Satu aja belum dapat," kata papanya Syaif membuat putra dan calon menantunya mengerucutkan bibir."Memangnya punya cucu itu ajang perlombaan. Papa ngawur aja kalau ngomong. Dulu, nikahnya aja udah kalah sama Om Wijananto. Jadi, wajar kalau punya cucu juga terlambat," protes Syaif tak mau dijadikan kambing hitam oleh orang tuanya."Ngeles aja kamu.""Om, saya nggak bisa kalau dua hari lagi," protes Fitri."Kalau nggak mau nikah dua hari lagi, ya, nikah nanti sore aja. Gimana?""Om, saya," kata Fitri kembali ingin memprotes sang calon mertua. Namun, kalimat itu tidak diteruskan karena ponsel sahabatnya Kiran tersebut berbunyi nyaring. Ada notifikasi pemberitahuan masuk. Seketika, kelopak mata Fi
Happy Reading*****Fitri dan Syaif menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan. Si lelaki menepuk kening sambil mengembuskan napas panjang. Jika sudah begini, dia pasti akan terkena nasihat sahabatnya. Fitri sendiri lebih memilih menundukkan kepala dengan tangan yang menarik-narik ujung kemeja Syaif."Ngapain, sih, balik lagi?" kata Syaif dengan wajah kesal."Kalau aku nggak balik. Kamu pasti makin menjadi-jadi sama Fitri. Awas aja aku laporkan pada Om dan Tante." Amir mengeluarkan ponsel, jemarinya mulai bergerak bermain di atas layar. "Dih, main lapor-lapor saja. Lagian, aku nggak ngapa-ngapain, kok, sama Fitri," sanggah Syaif masih dengan raut wajah kesal pada sahabatnya."Nggak ngapa-ngapain karena keburu kepergok. Coba kalau aku nggak datang. Kamu pasti udah nyosor ke Fitri. Pokoknya, aku mau lapor sama Om supaya kalian cepet dinikahkan. Aku nggak mau, ya, kantorku kalian pake untuk tempat mesum." Suara Amir mulai meninggi. Sebenarnya, dia sudah berniat untuk segera menyusul
Happy Reading*****Amir menaikkan garis bibirnya, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. "Mas, ih. Ditanya, bukannya jawab malah nyengir," gerutu Kiran yang tidak pernah tahu jika layanan spa yang dipesan adalah untuknya. "Nanti, kamu bakalan tahu. Kenapa suamimu ini memesan layanan spa. Sekarang, habiskan makanannya. Mas, mau bukain pintu dulu." Amir berdiri. Berjalan ke arah pintu untuk menyambut tamunya."Selamat siang, Pak. Saya dari layanan spa di hotel ini yang sudah Bapak pesan. Bisa kita mulai spa terapinya?" tanya perempuan dengan perkiraan usia sama dengan Kiran. "Sebentar," sahut Amir. Menoleh ke arah sang istri yang sudah menyelesaikan makan siangnya. "Sayang, kamu sudah siap untuk spa?""Lho. kok, aku? Bukannya yang mau spa njenengan?" Kiran menatap suaminya dengan bingung."Memang Mas yang pesan, tapi yang ngeluh capek kan kamu, Sayang. Jadi, Mas panggil layanan spa di hotel ini. Kalau nunggu kesempatan, kamu pasti nggak bakalan mau diajak ke salon apalagi kalau ada
Happy Reading*****Sedikit mendorong tubuh sang suami agar tidak mengubah keputusannya tadi, Kiran mengatupkan kedua tangannya."Mas, aku mohon beri sedikit waktu supaya tenagaku pulih. Nanti, kita bisa melakukannya lagi. Ya?" kata Kiran dengan wajah memelas agar suaminya tidak meminta haknya. Dia benar-benar capek dan butuh pemulihan."Makanya, jangan suka godain. Sudah tahu suamimu ini gampang banget terpancing kalau masalah begituan. Jadi, kenapa sayangnya Mas ini masih menggoda?" Amir mencolek dagu sang istri, lalu mengecup keningnya lembut. "Tapi, Mas janji. Hari ini, demi kesayangan. Mas, rela menahannya sampai kamu benar-benar siap."Kiran tersenyum dengan perkataan sang suami yang begitu pengertian, rasanya ingin mengecup bibir lelakinya sekali lagi, tetapi takut jika akan membangkitkan hasratnya lagi. Jadi, Kiran cuma bisa melemparkan senyumnya saja. "Aku mau mandi saja, gerah," kata Kiran untuk mengalihkan pembahasan mereka."Boleh ikut nggak sih, Sayang?" goda Amir disert