Happy Reading*****"Kiran! Sopanlah sama tamu," bentak Nur. "Bu, aku nggak suka dia datang ke sini," teriak Kiran. "Tenang, Ran. Maaf, kalau aku nggak ngasih kabar terlebih dulu pas mau ke sini," ucap Amir, tulus."Kenapa Bapak terus menyakiti saya?" Kiran berlari sambil menahan tangis, meninggalkan Amir dan Nur di ruang tamu. Sesak di hati kian menumpuk ketika perempuan yang melahirkannya itu malah membela si bos."Maaf atas sikap Kiran, Nak. Dia anak yang baik sebenarnya, saya nggak ngerti kenapa berubah seperti itu," ucap Nur. Perempuan paruh baya itu sangat menyayangkan sikap putrinya. Walau sangat kecewa dengan Amir, Kiran tak seharusnya berbuat seperti tadi. Amir mengurungkan niat meminum teh. Dia menatap Nur dengan perasaan bersalah, hanya karena keegoisannya ingin dekat dengan Kiran. Dia membuat sang gadis bersedih dan berselisih paham dengan orang tuanya. "Semua karena kesalahan saya juga, Bu. Tolong maafkan dan maklumi sikap Kiran tadi. Saya tahu, Kiran gadis baik dan l
Happy Reading*****Menimbang beberapa hal dan kemungkinan yang akan terjadi jika orang itu ternyata bukanlah ayah kandung Kiran, Amir menghela napas panjang. "Mendekatimu, sama seperti ketika aku mengajukan kontrak kerja sama yang bernilai miliaran rupiah. Sudah sekali," gumam Amir. Pikirannya benar-benar dipaksa untuk mencari cara menemukan ayah kandung sang pujaan. Memejamkan mata sebentar untuk mendapat ide, beberapa menit kemudian, sebuah rencana yang terbilang nekad melintas. "Bismillah. Jika aku terlalu banyak pertimbangan, maka akan semakin sulit menemukan orang tersebut. Aku akan mengambil resiko ini. Jika memang bukan dia, maka aku akan mencoba akun lainnya," gumam si bos sendirian. Jemari Amir mulai sibuk mengetikkan pesan pribadi pada akun yang dicurigai milik ayahnya Kiran. Walau tidak tahu pasti, tetapi hati lelaki itu sangat condong pada sang pemilik akun."Assalamualaikum, apakah benar dengan Bapak Agus Sudrajat?" tulis Amir. Setelah mengirimkan pesan tersebut, lel
Happy Reading*****"Mama doanya jelek banget," gerutu Amir mendengar perkataan Laila tadi."Lho, bukannya Mama berdoa yang jelek-jelek, Mir. Tapi, wajah kusut dan galaumu yang membuat Mama mengambil kesimpulan itu," sahut Laila."Papa setuju sama pendapat Mama. Kalau Kiran menerima lamaran itu, nggak mungkin mukamu lecek kayak baju yang belum disetrika," tambah Wijananto. "Ish, Papa." Amir kembali menyuapkan makanan ke mulut si kecil. Akan tetapi, Naumira menggelengkan kepala."Pi, lamaran itu apa?" tanya si kecil lugu. Santai Amir melirik Wijananto dan Laila bergantian. "Coba tanya Kakek sama Nenek. Papi mau nyelesaikan satpam dulu, ya. Soalnya udah siang, keburu telat ke kantor." Lalu, lelaki itu tertawa lirih ketika wajah panik orang tuanya terlihat."Dasar anak pinter. Ngeles aja kerjaannya," gumam Laila gemas.*****Selama berada di kantor, pikiran Amir benar-benar tak tenang. Berkas pengajuan anggaran untuk produksi barang yang diserahkan Fitri saja tak tersentuh sama sekali.
Happy Reading*****"Dih, sudah bucin. Sekarang malah agak gila," sindir sang sahabat yang tidak tahu menahu apa yang telah terjadi pada Amir."Kamu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku saat ini, Sya. Semalaman, aku nunggu kabar dari orang ini." Amir masih tetap menatap layar ponselnya, meskipun sang sahabat berada tepat di depannya. "Heran, deh. Ngapain juga bandingin hidupku sama hidupmu. Ya, jelas beda. Lagian, aku nggak pengen juga jadi dirimu. Ribet, tahu." Syaif memajukan bibirnya. Kaki kanannya kini diangkat di atas kaki kiri."Ya, makanya diem. Nggak usah ngerecokin aku."Lalu, si bos kembali menatap layar ponsel mengabaikan Syaif. "Alhamdulillah. Ada titik terang tentang masa lalumu, Ran," kata Amir sendirian yang jelas terdengar oleh sahabatnya."Apa, sih? Makin nggak jelas. Tadi aja galau, sekarang malah senyum sendiri." Syaif makin dibuat penasaran oleh tingkah Amir yang bersikap tidak biasa."Diem! Ntar tak ceritain," hardik si bos. Jempolnya mulai linca
Happy Reading****Amir begitu tak sabar menunggu jam makan siang. Dia terus saja melirik arlojinya. Rasanya, waktu berjalan cukup lambat. Pekerjaan yang harusnya terselesaikan dengan cepat, molor hingga berjam-jam karena fokus si bos yang selalu tertuju pada Kiran.Setengah jam kemudian ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11.30, si Bos segera keluar ruangan. Di rumah makan yang sudah disepakati, Amir datang lebih awal menunggu lelaki yang meneleponnya tadi. Setelah memesan minuman dan ayam bakar, dia mencoba menghubungi lelaki yang diajaknya janjian. Namun, baru dering pertama ada seseorang menghampirinya. "Amir, ya?" tanya lelaki yang menggunakan kemeja batik motif gajah oling khas kabupaten ujung timur pulau Jawa. Keduanya sama-sama tersenyum. "Iya, benar," jawab Amir, berdiri dari duduk dan menyalami lelaki di depannya. "Bagaimana njenengan bisa begitu mudah mengenali saya padahal kita belum pernah bertemu sama sekali."Lelaki itu tertawa. "Profil WA-mu cukup jelas, Nak. Bapak
Happy Reading*****Agus diam, memilih meminum es jeruk yang ada di hadapannya. Dia juga mempersilakan Amir untuk segera menikmati hidangan yang sudah tersaji. Keduanya tak lagi membahas masalah Kiran sampai lelaki perih baya itu pamit. Amir pun tak banyak bicara, biarlah di pertemuan selanjutnya, dia akan membahas masalah itu lagi.Makan siang yang membuat senam jantung bagi Amir. Mendengar pengakuan ayahnya Kiran, sepanjang perjalanan menuju kantor dia berpikir keras. Setiap perselisihan antara dua orang akan selalu ada pembenaran kesalahan yang dilakukan salah satu pihak apalagi pihak itu adalah orang yang bercerita. Entahlah, bagaimana bisa demi menolong seseorang, keluarga yang harus dikorbankan. Mungkin, Amir memang belum memahami permasalahan keluarga Kiran secara keseluruhan, tetapi penjelasan Agus sudah bisa membuktikan kejadian masa kecil Kiran yang menyebabkan trauma di saat dewasa. Wajar dari cerita yang diungkap, Agus membenarkan semua tindakan yang dilakukan dan men
Happy Reading****Tak mungkin lagi, hari ini Kiran absen ke kantor. Sudah tiga hari, dia libur dan hanya berdiam di rumah. Mau tak mau dia harus masuk dan bertemu dengan Amir sekalipun hatinya tak menginginkan. Kalau bukan karena Naumira yang menelepon tadi pagi dan mengatakan rindu, mungkin dia masih absen kerja. Puluhan chat yang dikirimkan Amir semakin menambah beban Kiran. Oleh karenanya, gadis itu tidak mau membalas satu pun. Namun, ketika si kecil menelepon, merengek untuk bisa bertemu, hatinya pun luluh."Ran, kamu kenapa, sih? Tiga hari ini nggak masuk, ditelpon nadanya lemes banget. Kalau kamu nggak ngantor, si manajer semprul itu gangguin aku terus," adu Fitri. Pasalnya selama sahabatnya itu absen kerja, Syaif gencar mencari info tentang Kiran. Fitri sedikit cemburu sebenarnya, tetapi dia tetap menceritakan semua tentang Kiran. Dari mulai makanan, minuman, warna, film dan semua yang menjadi favorit sahabatnya itu, diceritakan. "Aku enggak enak badan, Fit." Kiran pun berp
Happy Reading*****Kiran tak berani berkata apa pun walau dadanya kian sesak, lebih banyak bermain bersama dengan Rara daripada pusing dengan pertanyaan dalam hati. Namun, sikap sok akrab Amir dengan lelaki sepuh yang tak lain adalah Agus, membuat sang gadis sedikit terganggu. Si atasan duduk di sebelahnya setelah berbincang sebentar dengan tamu. Lalu, Amir berkata cukup lirih di telinga Kiran. "Aku yakin kamu kenal siapa beliau. Apa kamu nggak ingin menyapanya?"Sang gadis diam saja, lirikan tajam dan penuh benci kembali diberikan pada Amir. Perasaan di hatinya kian menyesakkan. Apa yang ada di pikirannya tadi benar. Amir yang mengundang lelaki paruh baya tersebut. Tak mau membuat kegaduhan di ruangan Amir karena ada si kecil, Kiran masih tetap bungkam hingga suara si bos kembali terdengar. "Cobalah berdamai dengan masa lalu, Ran. Semua pasti ada hikmah," kata Amir.Mata sang gadis menatap nyalang pada si bos. Kiran tidak lagi bisa menyembunyikan kemarahannya. "Oh, jadi karena su
Happy Reading*****Setelah berpikir semalam, Kiran mencoba membuka hatinya untuk memaafkan sang Ayah. Seperti kata Agung, mungkin sudah saatnya mereka sekeluarga mulai melangkah, berusaha berdamai dengan masa lalu.Pagi ini, suasana hatinya berubah lebih plong. Kiran baru akan keluar dari kamar ketika ibunya berteriak memanggil untuk sarapan. Gegas dia berlari keluar dan menuju meja makan. Nur terlihat sibuk menyiapkan makanan dan memasukkan pada rantang ketika gadis itu sampai di meja makan. "Ibu mau ke rumah sakit sekarang?" tanya Kiran sambil berusaha membantu Nur."Iya. Numpang masmu pas berangkat kerja nanti. Ibu kasihan sama adikmu, Ran. Cukup lama dia nunggu ayahmu di rumah sakit," jelas perempuan paruh baya tersebut. Perlahan, dia sudah bisa menerima kehadiran Farel menjadi bagian keluarganya. Kiran cuma bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Dia tahu persis jika Farel tidak pernah pergi dari sisi Agus selama berada di rumah sakit.Suara bel berbunyi bertepatan dengan
Happy Reading*****"Apa, Sayang," goda si lelaki, sengaja supaya pipi Kiran makin merah dan Amir makin senang melihatnya. "Jangan aneh-aneh panggilannya. Saya masih belum menerima Bapak sepenuhnya. Kalau terus seperti ini, saya akan memberikan poin minus," ancam Kiran."Berjanjilah kamu akan menepati semua perkataanmu tadi. Jika belum ada rasa yang hadir untukku, mulailah belajar membuka hati," pinta Amir ketika mereka sudah berada di halaman rumah Kiran. Lelaki itu menatap gadis di sebelahnya dengan serius."Udah malam, Pak. Saya masuk dulu, enggak enak sama tetangga." Kiran membuka pintu dan mengeluarkan kaki kanannya. "Tunggu!" pinta Amir dengan mencekal pergelangan si gadis. "Banyak-banyak doa dan minta petunjuk. Aku menunggumu. Kalau tidur nanti, jangan lupa mimpiin aku, ya." Amir memainkan kedua alisnya, naik turun."Pulang, Pak! Udah malam, nanti khilaf bisa dicoret dari kartu keluarga Wijananto." Kiran berlari setelah mengatakannya. Jangan ditanya bagaimana keadaan jantungn
Happy Reading*****"Alhamdulillah," ucap Wijananto dan Laila bersamaan. Amir juga mengucapkan kata tersebut walau salam hati. Obrolan mereka berlanjut masalah lain. Naumira lebih banyak mendominasi pembicaraan keluarga tersebut hingga Kiran tak lagi merasa canggung. Waktu terus berlalu, Wijananto mengajak Naumira pulang. Meminta putranya untuk mengantar sang calon menantu. "Hati-hati di jalan. Papa nggak mau sampai ada kabar jelek tentang kalian berdua," nasihat Wijananto mewanti-wanti putranya. "Calon mantu Mama, harus selamat sampai rumah, lho, Mir," tambah Laila."Mi, nanti kabari Rara kalau Papi nyetirnya ngebut. Biar Rara jewer sampai rumah." Si kecil juga ikut-ikutan menasihati membuat Kiran tersenyum dan merasa sangat diinginkan oleh keluarga atasannya.Amir mencebik, menatap anggota keluarganya bergantian. "Sebenarnya, anak kandung Papa sama Mama itu siapa? Rara juga kenapa ikut-ikutan ngasih nasihat gitu?" tanya Amir disertai lirikan penuh arti pada gadisnya. "Biarin,
Happy Reading*****"Papa sama Mama, bisa-bisanya minta Rara ngomong kayak gitu," gerutu Amir. Walau bibirnya berkata tidak setuju, tetapi hati lelaki itu bersorak gembira. Jika sudah seperti ini, Kiran tidak akan menolak apa yang diminta oleh Rara. "Emang kenapa? Kalau Papa yang nyuruh dan ngajarin dia?" Lelaki paruh baya itu merangkul Laila dan Naumira untuk segera duduk. "Gerakanmu kayak siput, lambat banget. Keburu uban Papa bertambah, baru bisa lihat kalian di pelaminan," ucap Wijananto enteng.Setelah Wijananto duduk, dia kembali berkata, "Mulai sekarang, kamu resmi jadi menantuku, Ran. Jangan ada lagi kata Pak atau Bu saat memanggil kami berdua. Panggil kami seperti Amir." Sang kepala keluarga menatap Kiran yang terbungkam."Ayo makan! Papa dah laper banget."Selesai berkata, Wijananto mengerakkan tangan dan datanglah beberapa karyawan membawa hidangan mereka. Naumira duduk di antara Amir dan Kiran. Menyatukan kedua tangan pasangan itu di pangkuannya. "Mami cepet pulang ke r
Happy Reading*****"Enggak usah ngegombal, Pak. Enggak pantes," protes Kiran setelah berhasil meredakan irama jantungnya. Tawa Amir terdengar. "Aku nggak ngegombal, Ran. Boleh kamu tanya sama Syaif, aku ini lelaki seperti apa. Nggak ada perempuan yang pernah aku puji seperti dirimu tadi."Kiran membasahi kerongkongannya. Pipinya terasa memanas, pasti saat ini merah akibat perkataan Amir tadi.Gugup, Kiran mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada seorang pun di ruangan itu kecuali dirinya dan Amir. Sementara lelaki itu masih tertawa."Pak, kenapa cuma kita berdua di sini. Di mana Rara dan lainnya?" tanya Kiran setelah sekian lama. "Duduk aja dulu. Bentar lagi mereka pasti datang. Kayaknya ini kejutan buat kita," kata Amir tenang. Dia menyeret satu kursi dan menyilakan gadis itu untuk duduk. "Pak." Suara Kiran bergetar saat memanggil nama Amir. Jelas sekali jika gadis itu sangat gugup saat ini. "Jika boleh jujur, aku juga gugup duduk berdua denganmu. Riasan dan segala hal yang
Happy Reading*****Mau tak mau, Kiran terpaksa menginjak kaki si bos. "Stres!" ucapnya keras. Gadia itu terlanjur kesal dengan ucapan Amir yang sembarangan. Tawa menggema seantero kantor yang sudah hampir sepi itu. "Aku stress gara-gara kamu," bisiknya di telinga si gadis. "Enggak usah macam-macam, Pak. Kalau ada yang dengar dan lihat gimana?""Nggak papa, sekalian saja sebagai pengumuman kalau kamu itu sudah diakui sebagai istriku."Kiran menahan napas, jika terus meladeni perkataan Amir. Maka, lelaki itu tidak akan pernah berhenti menggodanya. Amir berjalan mengikuti gadisnya. Sesekali membisikkan sesuatu yang membuat raut kemerahan pada pipi sang pujaan."Gimana, Sayang. Kita nikah tiga hari lagi, ya. Jangan siksa aku gini, dong, Ran.""Pak," panggil Kiran. "Makin manis kalau malu-malu gini," goda Amir. Lelaki itu makin berani saja apalagi melihat reaksi Kiran yang sangat menggemaskan. Kendaraan Amir berjalan tanpa Kiran tahu tujuannya. Gadis itu tidak berniat bertanya merek
Happy Reading*****Agung segera mengubah raut wajahnya. Berusaha tidak setenang mungkin di hadapan adiknya walau kini jantungnya bergemuruh hebat. "Mas, nggak sakit. Cuma sedikit capek aja. Kerjaan hari ini melelahkan sekali." Pemilik wajah yang hampir sama dengan Kiran itu tersenyum."Ibu ke mana, Mas? Tumben enggak di rumah?" Kiran mengedarkan pandangan ke segala arah. Namun, sosok Nur tak terlihat sama sekali. "Dari tadi ngucap salam, beliau nggak menjawab. Tumben, lho. Aku pulang enggak disambut sama beliau." Lelaki yang masih mengenakan seragam kerja itu mulai gusar. Jantungnya kian berdetak kencang. Jika berkata terus terang, kemungkinan besar, adiknya marah. Jika berbohong, Kiran pasti akan mengejar jawaban sampai dia puas. Agung itu sosok yang tidak pandai berbohong. Apa yang disembunyikan pasti akan diketahui Kiran nantinya."Hmm. Kayaknya keluar nganter jahitan," alibi Agung karena sudah tidak memiliki jawaban yang lebih logis lagi."Kenapa Ibu sering banget nganter hasil
Happy Reading*****"Bukan begitu maksudku?" jawab putri sahabatnya Laila yang tak lain adalah Rosa."Lalu, apa maksudmu? Kamu ingin memastikan bahwa hubunganku dengannya asli atau cuma candaan, kan?" tuntut Amir. Suaranya mulai meninggi membuat suasana di ruangan Wijananto memanas."Sudah ... sudah. Nggak perlu saling adu otot gitu," ucap Laila mencegah perdebatan yang mungkin akan terjadi. "Terpenting kalian sudah tahu bahwa perkataan Amir tidak mengada-ada.""Kami sebagai orang tua, nggak mungkin memaksakan perjodohan lagi, kan. Rosa dan Amir sudah sama-sama dewasa. Lagian, cinta nggak bisa dipaksakan, kan?" tambah Wijananto. Setelah mengatakan hal tersebut, pihak keluarga Rosa tidak berani lagi memaksa Amir. Bahkan sekedar membahas hubungan lelaki itu dengan Kiran, mereka tidak berani lagi.Keluarga sahabat Laila pulang dengan wajah muram penuh kekecewaan. Sementara Kiran masih diam mematung tanpa tahu harus bertanya apa. Gadis itu memilih lebih banyak berinteraksi dengan Naumira
Happy Reading*****"Ya, ini perintah," kata Amir, "perintah seorang suami yang harus dituruti oleh istrinya demi kebahagiaan anak-anak nya." Jawaban Amir sukses membuat Kiran makin emosi. Si gadis menepuk tangannya dengan keras di atas meja sehingga menimbulkan bunyi gebrakan. "Saya bukan istri Anda. Bagaimana mungkin harus menuruti semua perintah? Jangan sembarangan kalau ngomong.""Saat ini, kamu memang belum menjadi istri. Tapi, kamu adalah calon istriku. Anggap saja ini latihan ketaatan." Enteng sekali jawaban Amir yang makin membuat si gadis kesal. Kiran benar-benar tak habis pikir dengan lelaki yang berada di hadapannya ini. Dulu, sikap Amir sangat dingin, tak tersentuh oleh wanita mana pun. Namun, kini di hadapan Kiran, dia bisa berbuat dan bertindak konyol."Terserah, saya enggak bakal datang." Kiran berdiri, hendak meninggalkan Amir. Rasanya, percuma dia memberikan banyak alasan. Amir pasti akan semakin mengatakan hal yang menjengkelkan hati. "Turuti atau aku akan menculi