Happy Reading*****"Huh, dasar bos nggak tahu diri. Nggak rela banget ada anak buahnya istirahat," gerutu Syaif. Walau demikian, dia tetap mengganti pakaiannya hendak pergi menemui sahabat karibnya. Jarang-jarang seorang Amir mengajak nongkrong.Sepeluh menit kemudian, sang manajer HRD keluar dari kamar. Di ruang keluarga, Syaif bertemu dengan orang tuanya yang sedang bersantai sambil menonton tayangan favorit keduanya."Mau ke mana, Sya?" tanya perempuan yang telah melahirkan Syaif."Keluar bentar, Bun. Ada urusan penting yang nggak boleh ditunda."Kedua orang tua Syaif saling menatap. Lalu, mereka tertawa lirih. "Apa anak Bunda sedang mengejar cinta?" Perempuan paruh baya dengan daster batik itu tersenyum manis."Sepertinya, cita-cita kita menggendong cucu akan segera terwujud, Bun," tambah sang kepala keluarga."Doain saja, Yah, Bun. Tahun ini, aku pasti akan memberikan menantu sesuai harapan kalian yang dapat memproduksi cucu sebanyak-banyaknya.""Kamu kira istrimu peternakan, S
Happy Reading*****Bukannya marah, tetapi Amir malah tersenyum dengan sangat manis. Benar-benar kekuatan cinta itu dahsyat, merubah segala sesuatu diluar kebiasaan insan yang terpapar.Teriakan dari Nur terdengar. "Siapa yang datang?" Kiran menoleh. Berusaha menutupi sosok Amir yang menjulang di depannya. Gadis itu benar-benar tak mengharapkan Nur mengetahui kehadiran si bos di rumah mereka."Bukan siapa-siapa, Bu," jawab Kiran, "pulang sana, ngapain juga ke sini?" usirnya, sepelan mungkin supaya Nur tidak mendengar apa yang di ucapkan. "Tapi, Ran. Aku belum masuk dan menyapa ibumu," sahut Amir. Langkah kaki Nur semakin dekat, terdengar. Kiran membuka pintu setengah, supaya perempuan paruh baya itu tidak melihat sosok si bos. "Pergilah, Pak. Saya mohon," ucap si gadis, memelas. "Ada tamu itu suruh masuk, Ran. Jangan dibiarkan di depan pintu gitu, ra ilok, Nduk (tidak pantas)." Nur mencoba tersenyum, meskipun tidak tahu siapa tamunya. Dia sudah berada tepat di belakang sang putr
Happy Reading*****"Kiran! Sopanlah sama tamu," bentak Nur. "Bu, aku nggak suka dia datang ke sini," teriak Kiran. "Tenang, Ran. Maaf, kalau aku nggak ngasih kabar terlebih dulu pas mau ke sini," ucap Amir, tulus."Kenapa Bapak terus menyakiti saya?" Kiran berlari sambil menahan tangis, meninggalkan Amir dan Nur di ruang tamu. Sesak di hati kian menumpuk ketika perempuan yang melahirkannya itu malah membela si bos."Maaf atas sikap Kiran, Nak. Dia anak yang baik sebenarnya, saya nggak ngerti kenapa berubah seperti itu," ucap Nur. Perempuan paruh baya itu sangat menyayangkan sikap putrinya. Walau sangat kecewa dengan Amir, Kiran tak seharusnya berbuat seperti tadi. Amir mengurungkan niat meminum teh. Dia menatap Nur dengan perasaan bersalah, hanya karena keegoisannya ingin dekat dengan Kiran. Dia membuat sang gadis bersedih dan berselisih paham dengan orang tuanya. "Semua karena kesalahan saya juga, Bu. Tolong maafkan dan maklumi sikap Kiran tadi. Saya tahu, Kiran gadis baik dan l
Happy Reading*****Menimbang beberapa hal dan kemungkinan yang akan terjadi jika orang itu ternyata bukanlah ayah kandung Kiran, Amir menghela napas panjang. "Mendekatimu, sama seperti ketika aku mengajukan kontrak kerja sama yang bernilai miliaran rupiah. Sudah sekali," gumam Amir. Pikirannya benar-benar dipaksa untuk mencari cara menemukan ayah kandung sang pujaan. Memejamkan mata sebentar untuk mendapat ide, beberapa menit kemudian, sebuah rencana yang terbilang nekad melintas. "Bismillah. Jika aku terlalu banyak pertimbangan, maka akan semakin sulit menemukan orang tersebut. Aku akan mengambil resiko ini. Jika memang bukan dia, maka aku akan mencoba akun lainnya," gumam si bos sendirian. Jemari Amir mulai sibuk mengetikkan pesan pribadi pada akun yang dicurigai milik ayahnya Kiran. Walau tidak tahu pasti, tetapi hati lelaki itu sangat condong pada sang pemilik akun."Assalamualaikum, apakah benar dengan Bapak Agus Sudrajat?" tulis Amir. Setelah mengirimkan pesan tersebut, lel
Happy Reading*****"Mama doanya jelek banget," gerutu Amir mendengar perkataan Laila tadi."Lho, bukannya Mama berdoa yang jelek-jelek, Mir. Tapi, wajah kusut dan galaumu yang membuat Mama mengambil kesimpulan itu," sahut Laila."Papa setuju sama pendapat Mama. Kalau Kiran menerima lamaran itu, nggak mungkin mukamu lecek kayak baju yang belum disetrika," tambah Wijananto. "Ish, Papa." Amir kembali menyuapkan makanan ke mulut si kecil. Akan tetapi, Naumira menggelengkan kepala."Pi, lamaran itu apa?" tanya si kecil lugu. Santai Amir melirik Wijananto dan Laila bergantian. "Coba tanya Kakek sama Nenek. Papi mau nyelesaikan satpam dulu, ya. Soalnya udah siang, keburu telat ke kantor." Lalu, lelaki itu tertawa lirih ketika wajah panik orang tuanya terlihat."Dasar anak pinter. Ngeles aja kerjaannya," gumam Laila gemas.*****Selama berada di kantor, pikiran Amir benar-benar tak tenang. Berkas pengajuan anggaran untuk produksi barang yang diserahkan Fitri saja tak tersentuh sama sekali.
Happy Reading*****"Dih, sudah bucin. Sekarang malah agak gila," sindir sang sahabat yang tidak tahu menahu apa yang telah terjadi pada Amir."Kamu nggak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku saat ini, Sya. Semalaman, aku nunggu kabar dari orang ini." Amir masih tetap menatap layar ponselnya, meskipun sang sahabat berada tepat di depannya. "Heran, deh. Ngapain juga bandingin hidupku sama hidupmu. Ya, jelas beda. Lagian, aku nggak pengen juga jadi dirimu. Ribet, tahu." Syaif memajukan bibirnya. Kaki kanannya kini diangkat di atas kaki kiri."Ya, makanya diem. Nggak usah ngerecokin aku."Lalu, si bos kembali menatap layar ponsel mengabaikan Syaif. "Alhamdulillah. Ada titik terang tentang masa lalumu, Ran," kata Amir sendirian yang jelas terdengar oleh sahabatnya."Apa, sih? Makin nggak jelas. Tadi aja galau, sekarang malah senyum sendiri." Syaif makin dibuat penasaran oleh tingkah Amir yang bersikap tidak biasa."Diem! Ntar tak ceritain," hardik si bos. Jempolnya mulai linca
Happy Reading****Amir begitu tak sabar menunggu jam makan siang. Dia terus saja melirik arlojinya. Rasanya, waktu berjalan cukup lambat. Pekerjaan yang harusnya terselesaikan dengan cepat, molor hingga berjam-jam karena fokus si bos yang selalu tertuju pada Kiran.Setengah jam kemudian ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11.30, si Bos segera keluar ruangan. Di rumah makan yang sudah disepakati, Amir datang lebih awal menunggu lelaki yang meneleponnya tadi. Setelah memesan minuman dan ayam bakar, dia mencoba menghubungi lelaki yang diajaknya janjian. Namun, baru dering pertama ada seseorang menghampirinya. "Amir, ya?" tanya lelaki yang menggunakan kemeja batik motif gajah oling khas kabupaten ujung timur pulau Jawa. Keduanya sama-sama tersenyum. "Iya, benar," jawab Amir, berdiri dari duduk dan menyalami lelaki di depannya. "Bagaimana njenengan bisa begitu mudah mengenali saya padahal kita belum pernah bertemu sama sekali."Lelaki itu tertawa. "Profil WA-mu cukup jelas, Nak. Bapak
Happy Reading*****Agus diam, memilih meminum es jeruk yang ada di hadapannya. Dia juga mempersilakan Amir untuk segera menikmati hidangan yang sudah tersaji. Keduanya tak lagi membahas masalah Kiran sampai lelaki perih baya itu pamit. Amir pun tak banyak bicara, biarlah di pertemuan selanjutnya, dia akan membahas masalah itu lagi.Makan siang yang membuat senam jantung bagi Amir. Mendengar pengakuan ayahnya Kiran, sepanjang perjalanan menuju kantor dia berpikir keras. Setiap perselisihan antara dua orang akan selalu ada pembenaran kesalahan yang dilakukan salah satu pihak apalagi pihak itu adalah orang yang bercerita. Entahlah, bagaimana bisa demi menolong seseorang, keluarga yang harus dikorbankan. Mungkin, Amir memang belum memahami permasalahan keluarga Kiran secara keseluruhan, tetapi penjelasan Agus sudah bisa membuktikan kejadian masa kecil Kiran yang menyebabkan trauma di saat dewasa. Wajar dari cerita yang diungkap, Agus membenarkan semua tindakan yang dilakukan dan men
Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa kera
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam
Happy Reading*****Tak mau masalahnya dengan sang istri membesar, Amir kembali melakukan panggilan pada Kiran. Namun, perempuan itu selalu menolak panggilannya. "Dia ini kenapa, sih?" tanya, menggerutu sendirian. "Nggak biasanya Kiran rewel gini. Apa aku melakukan kesalahan padanya, ya?""Dih, ngomong sendiri kayak orang gila. Kenapa?" Syaif sudah duduk di hadapan sahabatnya tanpa diketahui kedatangannya.Amir melirik sahabatnya yang kini sudah tidak bekerja di bawah kepemimpinannya. Lelaki itu saat ini sudah menjadi pemimpin di perusahaan papanya sendiri. "Kapan datang kok, aku nggak tahu?""Ya, karena kamu fokus sama ponsel dan ngomel sendiri. Makanya, pas aku buka pintu ruangan nggak denger. Kenapa, sih? Ada masalah sama Rara?"Amir menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala. "Terus?" tanya Syaif, penasaran. "Nggak mungkin kamu ada masalah sama Kiran?""Nggak ada masalah sama dia juga. Cuma, hari ini sikap Kiran tuh aneh banget. Dari pagi, dia kayak emosian terus. Barusa
Happy Reading*****"Hei, belum juga dia membuka cadar. Kenapa kamu sudah mengucap alhamdulillah seolah pilihanmu itu benar Fitri," sahut Wiranto."Pa, aku kenal betul suara istriku," sahut Syaif yang langsung mengarahkan tangannya membuka cadar si perempuan."Hei!" teriak semua orang."Aduh, maaf," ucap Syaif ketika mengetahui siapa perempuan di balik cadar tersebut."Kenapa? Apa dia istriku?" tanya Agung dengan mata terbuka sempurna. "Kamu lihat sendiri, deh. Maaf, ya, Gung." Syaif memasang wajah sedih penuh penyesalan.Di saat Syaif terlihat sedih, semua orang malah tertawa. Mereka tidak menyangka jika perempuan yang dipilih sang pengantin adalah istri orang lain."Ish, dasar. Nggak bisa mengenali istri sendiri. Pantas saja kamu selalu kalah dari Amir," celetuk mamanya Syaif. Agung bahkan memukul pelan lengan Syaif. "Gimana ceritanya kamu bisa mengakui istriku?""Habisnya, istrimu Makai cincin sama kayak yang aku belikan untuk Fitri," alibi Syaif untuk menutupi kesalahannya. Pa
Happy Reading*****"Kamu masih yakin kalau dia, Kiran?" tanya Laila seolah mengerti kegalauan putranya setelah mendengar dehaman perempuan bercadar yang dipilih Amir. Papinya Naumira terdiam. Sorot mata fokus mengamati perempuan yang telah dipilihnya. Semua mata ikut menatap dua orang tersebut. Kini, bukan Syaif yang menjadi pusat perhatian semua orang, tetapi Amir dan perempuan pilihannya. Setelah beberapa detik mengamati, Amir kembali berkata, "Aku yakin dia istriku, Kiran, Ma. Nggak akan kubiarkan dia mengecohku.""Kalau sampai salah gimana, Nak? Kiran pasti marah," peringat Nur. "Insya Allah, nggak akan salah, Bu. Ayo buka!" perintah Amir tak terbantahkan bahkan tangannya sudah bersiap untuk membuka cadar perempuan tersebut. "Tunggu, Mir. Jangan gegabah. Kalau sampai salah, kamu pasti malu," bisik Agung. Amir menarik garis bibirnya dan menggelengkan kepala. "Insya Allah, aku nggak akan salah. Cintaku akan selalu menuntunku untuk bisa mengenali Kiran. Di mana pun dia berada