Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
"Udah gue dapetin nomornya," kata seorang laki-laki seraya mengeluarkan ponsel dari sakunya."Harganya gimana? Berapa yang dia minta?""Dua ratus juta,"Gadis bernama Chika itu terdiam dengan pipi yang menggembung, tangannya terlipat di depan dada ketika otaknya tengah bekerja. "Ibu itu cuma punya uang seratus delapan puluh lima juta," Chika menjeda ucapannya dan menatap Dimas. "Kalau begitu, gue bakal bilang seratus lima puluh juta," tambahnya."Gimana sama yang lima puluh jutanya lagi? Lo yang mau nambahin buat bantu ibu itu?" tanya Dimas yang tenggelam dalam kebingungan.Kedua alis gadis itu tertekuk bersamaan usai mendengar pertanyaan Dimas. "Bantu? Kita penipu, Dim," jawab Chika disertai seringainya.Dimas berkacak pinggang, tak tahu apa yang ingin dia katakan. Kedua bola matanya mengikuti pergerakan Chika yang berpindah tempat. Sungguh di luar kepalanya, jika Chika masih ingin melakukan kejahatan itu yang sempat mereka hentikan. Perlahan senyuman sungging Dimas tampak di wajahny
"Lima permintaan, gimana?"Chika terdiam seraya memandang salah satu tangan Dirga yang terulur. Lantas pandangannya terangkat, menatap tepat ke arah obsidian Dirga dengan tatapan menyalang."Lo cuma mau manfaatin gue. Cuma karena gue mau lo tutup mulut, lo ngelunjak!!" balas Chika dengan kekesalannya.Dirga mengerjapkan maniknya lantaran terkejut dengan ucapan Chika yang terdengar serius. Dia sempat tak mampu berbicara, kehabisan seluruh kalimatnya. Mencoba untuk berpikir ulang, laki-laki itu akhirnya merubah permintaannya itu."Kalau gitu tiga permintaan," jedanya, dia mengambil satu langkah mendekat sebelum kembali bersuara. "Tiga itu udah sedikit banget, apalagi buat rahasia besar lo," kata Dirga dengan suara yang lirih.Mendengar perubahan itu kembali membuat Chika terdiam sembari berpikir. Dengan tatapan tajamnya yang tak terputus dari Dirga, akhirnya menyetujui permintaan itu. Dia juga akui, jika memang rahasianya itu sangatlah besar, dan memang saat ini ketenangannya telah teru
Chika masih diam di tempatnya, merasakan sedikitnya buliran air yang mengenai mata. Maniknya bergerak pada tangan Dirga lainnya yang terulur untuknya. Lantas salah satu tangan gadis itu bergerak menerima uluran tangan Dirga. Namun, saat dia telah merasakan kekuatan laki-laki itu, Chika justru menariknya. Bukan hanya payung, tetapi Dirga juga jatuh tepat di sebelah gadis itu."Akh!" rintih Dirga.Sikunya adalah yang pertama mengenai tanah, pun payung tersebut juga jatuh dalam keadaan terbalik. Dan secara tiba-tiba, Chika memukul salah satu lengan Dirga."Ngapain ke sini? Mau ngeledek gue?!" tanya Chika dengan nada suara kesalnya."Ck," Dirga berdecak ringan, seolah tak setuju dengan perkataan tersebut. "Seburuk itu pikiran lo," dia menjeda kalimatnya, mengusap wajahnya yang penuh dengan air. "Gue ke sini mau nolongin lo," pungkasnya.Hanya hening yang ada diantara keduanya, hanya suara derasnya hujan yang merangsak indera pendengarannya. Chika menarik nafasnya panjang saat terlarut sua
Seorang wanita baru saja keluar dari mobilnya, memberikan kunci mobil pada petugas valet sebelum memasuki pintu utama hotel. Kedua tungkai bersepatu tinggi berwarna merah marun itu melangkah pada sebuah private room yang menjadi tempat untuknya bertemu dengan seseorang."Selamat malam,"Guna menyambut kedatangan tamunya, seorang wanita muda yang menyamar menjadi pemilik barang antik itu berdiri memberikan sapaan lebih dulu sebelum memulai obrolan mereka. Sedikit berbasa-basi memang diperlukan untuk saat ini, menghilangkan sedikit rasa canggung yang barangkali hadir."Bagaimana kalau kita langsung ke intinya saja?" tanya wanita yang akan menjadi pembeli itu.Sebuah kardus berbentuk balok itu dia angkat dari bawah meja, menunjukkan secara langsung barang yang menjadi inti dari pertemuan ini. Dengan pelan sebuah guci berwarna putih keluar dari kardus tersebut, tak lupa masing-masing tangan dari pemilik dan pembeli itu mengenakan sarung tangan, menghindari sidik jari yang akan menempel.T
Terdengar suara ujung pena yang bergesekan dengan permukaan kertas, membuat goresan tak beraturan. Semua itu karena seorang gadis yang tak mampu meletakkan fokusnya saat ini. Pandangannya kabur dan pikirannya berada di tempat lain. Helaan nafasnya terbuang cukup panjang, dia kembali menegakkan tubuh setelahnya."Ya ampun! Ngapain sih, gue?!" kejutnya saat melihat buku catatannya yang dia coret-coret.Dia hanya menatap meja belajarnya beberapa detik sebelum sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan segera gadis itu mengganti pakaiannya dan pergi membawa tas selempangnya. "Ma, keluar dulu. Mau beli perlengkapan sekolah," ucapnya tanpa menemui ibunya.Menggunakan transportasi umum, gadis itu menutup kedua telinganya dengan musik sebagai hiburannya selama dalam perjalanan. Melihat keluar jendela, membuat Chika merasa sedikit tenang. Pasalnya, ini pertama kalinya dia lakukan sendirian saat akan pergi menjenguk ayahnya. Iya, dia akan datang ke lapas.Memang sengaja menggunakan alasan lain, l
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu