Bebas dari sekolahnya membuat Dirga menjadi seseorang yang bermalas-malasan di atas ranjangnya dengan ponsel yang terpasang headset seraya menatap langit-langit kamar. Dia tak memiliki banyak kegiatan, namun seakan tenaganya terkuras habis hanya untuk menghembuskan setiap nafasnya. Salah satu tangannya meraih ponsel yang berada di sebelah kepala. Maniknya terbelalak saat melihat tanggal. Dengan segera Dirga membawa dirinya bangkit.Tangan meraih jaket dan kunci motor, laki-laki itu keluar dari kamarnya dengan langkah yang cepat. Melewati sang ibu dan ayah yang tengah berada di ruang tamu. "Bunda, ayah, ijin pergi dulu," kata Dirga menghalau."Kemana?""Sirkuit. Tenang aja, bukan mau balapan," kata Dirga.Semenjak memutuskan untuk mengalah pada sang ayah dan menuruti kemauannya, Dirga benar-benar meninggalkan balapannya. Namun, tetap saja balapan adalah dunianya, bahkan hingga detik ini. Dia lelah jika harus memicu kemarahan, mendapat tamparan, yang selalu membuatnya berakhir kalah. Set
"Cantik, mau kemana?"Chika menoleh mendapati ibunda Dirga yang sejak tadi berada di luar rumah untuk menyiram beberapa tanaman yang dirawat sejak kedatangannya ke sini. Kedua maniknya yang seindah permata itu tampak berbinar mendapati senyuman cerah dari tetangga sekaligus ibu dari kekasihnya. Tak ada alasan untuknya tak membalas senyuman indah tersebut."Ke sekolah, dong, tante," katanya seraya menunjukkan seragam yang dia kenakan.Senyuman wanita itu semakin lebar dan lebih indah dari sebelumnya. Entahlah, terlepas sosok itu adalah ibu kekasihnya, memang pantas Chika melayangkan banyak pujian pada salah satu wanita yang juga dia anggap sebagai ibu keduanya. Terlebih, perhatian yang selalu dia terima juga tidak jauh berbeda dengan ibu kandungnya sendiri."Minta anter Dirga, sana,"Itu kalimat yang diloloskan oleh ibunda Dirga tanpa beban sedikit pun. Dari yang Chika tangkap makna dibaliknya, memang sengaja ibunda Dirga memasang raut wajah menggodanya. Gadis itu kelabakan terkejut de
Ketika tiba di rumah dalam keadaan yang masih sama seperti terakhir ditinggalkan itu pasti akan membuat sang pemilik menghela nafas panjang, apalagi setelah seharian lelah bekerja. Itulah yang dirasakan seorang ibu tunggal tatkala melihat rumahnya masih gelap gulita, seakan tak ada kehidupan di dalamnya. Sedikit memegang pelipisnya, tangannya hendak membuka pintu, namun masih terkunci."Chika, buka pintunya,"Beberapa saat menunggu, wanita itu tak mendapat jawaban apapun. Sang ibu memperkuat gedorannya, tapi tetap tak ada jawaban dari putrinya. Lelah untuk bersuara, sang ibu merogoh ponselnya guna menghubungi Chika yang mungkin saja ketiduran dengan telinga yang tersumpal oleh alunan musik dengan volume cukup tinggi.Harapannya jelas, sang ibu ingin putrinya cepat sadar akan kedatangannya. Namun, ponsel putrinya tetap tidak menyala. Disanalah bermunculan pikiran negatif yang sulit dihindari. Sang ibu berjalan menuju jendela kamar Chika, mengetuk beberapa kali dengan suara yang lebih n
"Kalau begitu, silahkan bermain dengan para laki-laki yang menginginkan tubuhmu,"Tubuh gadis itu bergetar hebat tatkala mendapati banyak laki-laki yang masuk. Dia menelan ludah kesulitan sebelum akhirnya bersuara lantang. "Baik. Akan aku hubungi pengacara itu," kata Chika.Chika kembali mendapatkan ponsel yang tadi sempat diambil, namun bukannya menghubungi pengacaranya, gadis itu menghubungi Dimas. Beruntung, dia selalu menghafal nomor temannya itu, hal-hal seperti ini bisa terjadi kapan saja. Dan hanya Dimas yang pasti bisa menemukannya lebih cepat dari apapun.Sejujurnya, menghubungi temannya itu juga sedikit membuatnya khawatir. Tak menjamin jika Dimas akan selalu membawa ponselnya. Namun, memang keberuntungan sedang berpihak padanya, dimana Dimas segera menjawab panggilan tak dikenal ini."Malem, om. Bisa bawain bukti kejahatan pengusaha kedelai itu ke Hotel Purnama? Aku tunggu secepatnya," ucap Chika.Bahkan, dia sengaja tak memberi kesempatan untuk Dimas berbicara sebelum menu
Ini menjadi tugas Dirga dan Dimas tatkala menatap Chika yang berbeda dari biasanya. Iya, memang tahu jika gadis itu pasti belum bisa melepaskan ketakutan dan keterkejutannya sejak kejadian yang menimpanya. Dimas sedih, namun Dirga jauh lebih sedih karena tak tahu harus melakukan apa untuk menghilangkan kesedihan yang menjadi trauma kekasihnya.Seluruh jari yang ada di atas pangkuan tampak memerah setelah Chika merematnya begitu kuat. Walau tanpa suara, air matanya mengalir deras membayangkan kejadian yang terbayang tadi. Begitu kuat dan lekat menempel pada ingatan."Udah jam sebelas malem, nyokap lo nungguin tuh," kata Dimas."Gue nggak mau pulang. Harus ngomong apa ke nyokap?"Memang, Dirga dan Dimas juga tak tahu jika harus disuguhkan pertanyaan tersebut. Bahkan, bisa jadi keduanya yang akan disalahkan—hanya dua laki-laki itu yang tahu kejadian sebenarnya. Terlebih, Dirga yang pasti menjadi incaran pertama ibunda Chika demi menuntut penjelasan. Bisa jadi santapan ikan piranha jika D
Seluruh pasang mata saling bertukar pandang dengan tatapan penuh kejutan, namun hanya Chika dan Dirga yang bertatapan tanpa ekspresi. Itu adalah kalimat yang mengejutkan yang diminta oleh Chika selama hidupnya. Bahkan, Dimas yang mengenalnya cukup lama juga turut dibuat terkejut dengan permintaan tersebut."Chika, kamu—""Aku serius. Aku mau tidur sama Dirga," kata gadis itu lagi.Mungkin beberapa menganggap kalimat tersebut cukup ambigu, namun ada juga yang mengartikan dengan makna lain demi menetralkan situasi yang membingungkan."Laki-laki sama perempuan tidur harus dipisah," kata ibunda Dirga.Pada dasarnya, semua orang di sana tahu jika Dirga dan Chika tengah menjalin hubungan. Hanya saja, ini kelewat mengejutkan untuk mendengar permintaan yang bahkan belum pantas untuk dilakukan diusia mereka. Dan ibunda Dirga tak meletakkan harapan apapun pada putranya yang kini tengah menatap kearahnya."Ayah bisa marah kalau tau," ucap sang ibu."Tapi, ayah lagi keluar kota, bunda," balas Dir
Keadaan jauh membaik, kejadian menyakitkan semakin terlupakan. Senyuman yang semula hilang, kini kembali bersemi. Dirga yang berhasil meyakinkan Chika mengubah kekasihnya kembali seperti semula. Keceriaan gadis itu telah mengisi hari-harinya lagi.Dirga yang memandang dari kejauhan itu hanya bisa tersenyum melihat sang ibu bersama kekasihnya. Tak perlu penjelasan lagi jika apa yang Dirga lihat itu seperti pendekatan antara kekasihnya dengan calon ibu mertuanya. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran yang agak berlebihan itu. Lantas dia berjalan keluar guna melihat keduanya lebih dekat.Dua wanita di pelataran rumah itu tengah bertanam, memindahkan tanaman rusak dan menggantikannya dengan yang baru. Ini adalah pengalaman pertama untuk gadis itu. Namun, secara tiba-tiba, seorang pengendara yang lewat melempar kantung sampah dan tak tepat pada sasarannya, yang mana membuat sampah tersebut pecah dan berantakan. Tak hanya itu, kedua wanita di sana ikut terciprat."Woi!!
Secara kompak, Dimas dan Chika bersama dan serius memasang mata dan rungu untuk menangkap ide yang dikatakan oleh Dirga. Kekasih Chika itu tampak serius menjelaskan seluruh ide yang ada di kepalanya. Ya, beberapa detik lalu, Dirga sempat tak menyangka jika dia akan menggunakan kepalanya untuk membantu dua senior pelaku kriminal ini."Kita cukup tau, kalau mereka nutupin hasil forensik," tutur Dirga."Tapi gimana kalau pihak keluarga nggak mau diajak kerjasama? Kasusnya udah lewat juga," tanya Chika.Dirga menatap sang kekasih beberapa detik tanpa bersuara, dia membuang nafas cukup panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. "Belum terlalu lama kasusnya sampai hari ini. Walau udah dikasih uang tutup mulut, mereka pasti masih belum terima kehilangan anggota keluarga," jelasnya."Mungkin bener apa yang Dirga bilang, kita bisa coba cara itu dulu," Dimas menambahkan."Gimana kalau gagal lagi?"Itu adalah pertanyaan yang cukup aneh ketika ditanyakan oleh Chika. Dimana gadis itu adalah otak uta
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu