"Maksudnya?"Dirga menekuk kedua alisnya lantaran tak menangkap maksud dari perkataan gadis itu. Entah kenapa, perkataan Chika itu cukup menyakitkan baginya. Terlihat jelas jika gadis itu memang hanya bermain dengan situasi yang tengah dia hadapi. Bahkan, saat ini Chika terlihat begitu santai dengan semua yang telah terjadi."Itu maksudnya, kita belum pacaran," jeda Chika, gadis itu sampai menarik nafasnya panjang. "Dan yang tadi itu supaya nyokap kita nggak mikir yang aneh-aneh,"Memang sudah Dirga duga sebelumnya. Pantas saja Dirga seperti dipaksakan untuk ikut bermain dalam sandiwara Chika tadi. Dan kini dia malah kehabisan seluruh kalimatnya dengan perasaan yang cukup kecewa. Pribadi itu menegaskan rahangnya dengan tipuan yang dilakukan gadis itu.Namun, sebelum Dirga benar-benar tersulut emosi, Chika kembali bersuara, yang mana sukses membuat Dirga terdiam."Tapi, gue ngasih kesempatan lo buat ngelakuin dengan cara lo. Gue bakal nunggu sampai lo nyatain secara resmi," kata Chika.
"Gue restuin kalian,"Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Dimas ketika pribadi itu menghampiri Dirga yang tengah duduk sendirian di depan laptop sembari memantau. Dia meletakkan sebuah kaleng minuman berkarbonasi pada remaja laki-laki tersebut."Kenapa seolah-olah lo kayak itu orang penting? Gue nggak butuh restu lo," balas Dirga dengan senyuman miringnya.Satu tegukan minuman itu telah membasahi kerongkongan Dimas sebelum menyandarkan tubuhnya dengan kaki yang bertumpu. Sesapan dan kecapan terdengar usai merasakan manisnya tegukan kedua sembari menangkap perkataan Dirga."Karena kalau Chika sampai menderita, lo orang pertama yang bakal gue salahin,""Kalau dia menderita, itu karena pilihan dia untuk ngelakuin hal yang seharusnya nggak dilakuin," kata Dirga asal.Kontan Dirga mendapati pukulan ringan pada leher belakangnya sampai mengaduh kesakitan. "Oi! Nggak ada orang yang mau menderita!""Karena itu, gue nggak akan bikin dia sampai menderita. Jadi, kalau dia menderita, gue pas
Suara bel pertanda masuk baru saja terdengar memenuhi rungu seluruh siswa dan siswi yang berjalan menuju kelas mereka. Begitu juga dengan Dirga yang hendak melangkah masuk dan sejenak berhenti di ambang pintu usai mendapati teman satu bangkunya yang telah berada di sana. Sebisa mungkin dia mempertahankan raut wajahnya untuk tidak terlihat meletakkan kebencian pada Adam.Dirga sama sekali tak tertarik untuk membuka suaranya hanya untuk mengatakan 'hai' demi membuka obrolan. Cukup dari ekor matanya saat menangkap raut wajah Adam yang terlihat fokus dengan layar ponselnya. Dirga harap itu memiliki sesuatu yang besar."Sial!" umpat Adam lirih.Rungu dan netranya mendapati itu semua sampai Adam berdiri dan pergi meninggalkan kelas. Pandangan laki-laki itu hanya mengikuti punggung Adam yang keluar dengan sedikit dengusan. Ini adalah kali pertamanya melihat Adam rampak lebih kesal dibandingkan ketika dia mendapat nilai yang lebih rendah."Gue harap, setelah ini ada pengumuman menyenangkan,"
"Yey! Udah bisa jalan lagi,"Suara itu adalah seruan kegembiraan Chika setelah melepas perbannya. Gadis itu juga memasang senyuman lebarnya pada laki-laki yang selama ini selalu dia repotkan. Dan secara tiba-tiba Chika memeluknya erat, menyalurkan kebahagiaannya seperti baru saja terbebas dari kekangan."Astaga, seneng banget sih, lo," kata Dirga yang terkejut."Iyalah. Gue bisa jalan, loncat, dan semacamnya," katanya seraya berputar menggunakan satu kaki yang semua diperban.Dirga menggelengkan kepalanya disertai dengan senyuman tipis, yang mana dia turut senang dengan kebahagiaan gadis itu. Pun salah satu tangannya terarah pada pucuk kepala Chika memberikan usapan penuh afeksi pada gadis yang tengah mengerutkan hidungnya lucu. Sulit untuknya tidak ikut gemas pada ekspresi Chika.Beberapa usapan, Chika seketika menahan tangan Dirga seraya memberikan tatapan yang bulat berbinar. Dirga sampai sedikit memiringkan kepalanya dengan raut wajah itu. Chika terlihat ingin berbicara."Kita uda
Suasana yang tak terduga sama sekali, Dirga hanya tertawa sepanjang lorong sampai keduanya benar-benar kembali di motor. Begitu juga dengan Chika yang keluar dengan kedua tangan yang memegangi perutnya usai berjumpa dengan ayahnya."Demi apapun, gue nggak nyangka lo bakal ngomong kayak gitu," kata Chika.Pikirannya masih belum teralihkan dari seluruh perkataan Dirga pada sang ayah tadi. Dia sampai tercengang dan hampir tak bisa menahan tawanya. Jika saja bukan di depan sang ayah, dirinya pasti telah melempar banyak pukulan pada Dirga saking gelinya mendengar seluruh kalimat Dirga.Bukan hanya Chika, bahkan yang mengatakannya secara spontan pun turut menyadari gelenyar aneh dalam tubuhnya. Dirga memang mengatakannya dengan sungguh-sungguh, namun dia tergelitik dengan seluruh perkataannya. Ah, Dirga mendadak benci dengan dirinya yang berbicara seolah dia tengah melamar Chika di hadapan ayah gadis itu."Kenapa juga kalimat kayak gitu yang keluar?" heran Dirga. Dia sejenak menutup matanya
"Permintaan kedua gue kemarin kan batal, nah mau gue ganti," kata Chika ketika mereka baru saja tiba.Gadis itu menahan lengan Dirga yang hendak meninggalkannya. Dengan senyuman lembutnya, Chika menggunakan suara yang halus ketika melihat Dirga menatapnya cukup lekat. Sedikit mengedipkan mata guna menggoda kekasihnya itu."Gue mau nonton balapan," kata Chika.Senyuman Dirga langsung terangkat setelah mendengar permintaan tersebut. Tanpa ragu Dirga segera menganggukan kepalanya guna menuruti permintaan sang kekasih. Tentu saja itu bukan hal yang sulit untuk dikabulkan, bahkan pribadi itu juga langsung mengatakan jadwal balapan berikutnya."Sabtu sore, jam tiga," katanya.Chika terlihat begitu senang dan bahagia setelah merasa begitu yakin jika permintaan yang akan dikabulkan. Pun gadis itu sekarang melepaskan tangan kekasihnya, lantas memberikan lambaian singkat.Dia juga masuk ke dalam rumah, namun gadis itu justru mendapati sang ibu yang duduk di ruang tamu seorang diri. Namun, yang
Astaga, Dirga sampai tak menyangka jika rasa sakit Chika membuatnya menangis lama di dalam pelukannya. Wajah yang seluruhnya basah akan air mata dan keringat itu masih belum dapat dihentikan, ditambah pelukan erat gadis itu pada kekasihnya. Tak ada satu katapun yang mampu Dirga lontarkan pada Chika yang kelewat sedih sampai enggan menunjukkan wajahnya. Hanya sentuhan penuh afeksi yang bisa Dirga salurkan dari tangannya.Sedangkan presensi lainnya hanya berdiri di balik perpotongan dinding seraya mendengar tangisan Chika yang tak pernah ia dengan sedalam itu. Dimas kembali menyadari jika dirinya memang bukan seseorang yang bisa membuat Chika bisa bersandar padanya—seperti yang dilakukan Dirga saat ini. Dirinya melipat kedua tangan di depan dada, sedikit membenturkan kepala pada dinding di belakangnya dengan rasa kesal yang tak bisa dia luapkan."Maaf, karena nggak ada yang bisa gue bantu," ucap Dimas dalam hatinya.Tubuh itu melorot dengan posisi duduk dan kedua kaki tertekuk, dia mele
"Gue ikut,"Dirga menahan kepergian Chika tanpa dirinya, namun gadis itu segera melepaskan tangan sang kekasih. Dia juga menggeleng singkat sebagai penolakannya. "Jangan. Jangan nambah masalah baru, ya. Gue nggak mau lo ketangkep semisal ini gagal," kata Chika."Gue penambah masalah?"Raut wajah yang tampak serius dan suasana yang tegang itu mengisi ruang tamu rumah Dimas. Dimana terjadi perdebatan kecil diantara Chika dan Dirga ketika gadis itu hendak melaksanakan rencananya. Namun, tak semudah itu ketika Dirga bersikeras untuk tetap ikut andil dalam rencana tersebut. Menjadikan Chika bingung kepalang, lantaran tak ingin membuat laki-laki itu berada di lingkar masalah, namun juga tak ingin membuat Dirga berpikir jika dia adalah penambah masalah.Gadis itu masih belum bersuara, menatap Dirga dengan penuh keraguan dan kekhawatiran dibalik pupilnya. Dan Dimas yang berada di jarak beberapa meter dari mereka memutar maniknya jengah. Laki-laki itu merasa jika ini membuang waktu dengan perc
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu