Astaga, Dirga sampai tak menyangka jika rasa sakit Chika membuatnya menangis lama di dalam pelukannya. Wajah yang seluruhnya basah akan air mata dan keringat itu masih belum dapat dihentikan, ditambah pelukan erat gadis itu pada kekasihnya. Tak ada satu katapun yang mampu Dirga lontarkan pada Chika yang kelewat sedih sampai enggan menunjukkan wajahnya. Hanya sentuhan penuh afeksi yang bisa Dirga salurkan dari tangannya.Sedangkan presensi lainnya hanya berdiri di balik perpotongan dinding seraya mendengar tangisan Chika yang tak pernah ia dengan sedalam itu. Dimas kembali menyadari jika dirinya memang bukan seseorang yang bisa membuat Chika bisa bersandar padanya—seperti yang dilakukan Dirga saat ini. Dirinya melipat kedua tangan di depan dada, sedikit membenturkan kepala pada dinding di belakangnya dengan rasa kesal yang tak bisa dia luapkan."Maaf, karena nggak ada yang bisa gue bantu," ucap Dimas dalam hatinya.Tubuh itu melorot dengan posisi duduk dan kedua kaki tertekuk, dia mele
"Gue ikut,"Dirga menahan kepergian Chika tanpa dirinya, namun gadis itu segera melepaskan tangan sang kekasih. Dia juga menggeleng singkat sebagai penolakannya. "Jangan. Jangan nambah masalah baru, ya. Gue nggak mau lo ketangkep semisal ini gagal," kata Chika."Gue penambah masalah?"Raut wajah yang tampak serius dan suasana yang tegang itu mengisi ruang tamu rumah Dimas. Dimana terjadi perdebatan kecil diantara Chika dan Dirga ketika gadis itu hendak melaksanakan rencananya. Namun, tak semudah itu ketika Dirga bersikeras untuk tetap ikut andil dalam rencana tersebut. Menjadikan Chika bingung kepalang, lantaran tak ingin membuat laki-laki itu berada di lingkar masalah, namun juga tak ingin membuat Dirga berpikir jika dia adalah penambah masalah.Gadis itu masih belum bersuara, menatap Dirga dengan penuh keraguan dan kekhawatiran dibalik pupilnya. Dan Dimas yang berada di jarak beberapa meter dari mereka memutar maniknya jengah. Laki-laki itu merasa jika ini membuang waktu dengan perc
Dari belakang kursinya, Dimas merasakan adanya hentakan kecil yang dia yakini adalah perbuatan bocah laki-laki yang hendak memasuki usia dewasa. Dimas hanya menghela nafasnya berat dengan manik terpejam singkat. Rahangnya cukup kuat untuk menghancurkan tulang-tulang Dirga yang mungkin masih membutuhkan pertumbuhannya.Maniknya melihat pada spion tengah yang langsung menampilkan presensi Dirga menatap luar jendela. Namun, Dimas masih terus merasakan adanya hentakan dari kaki laki-laki itu."Kaki lo bisa berhenti nggak?""Kalau Chika udah balik, baru gue bisa berhenti,"Ya, dari kalimat itu sudah tercetak jelas rasa khawatir yang Dirga salurkan pada salah satu kakinya. Mengingat kekasihnya pergi seorang diri untuk melakukan hal yang bisa membahayakannya. Terlebih, dia hanya bisa menunggu sampai gadis itu kembali."Makanya, kita pantau dari sini," timpal Dimas yang mengambil laptopnya.Laki-laki itu mengakses kamera pengawas yang terdapat pada toko di sana, membuat Dirga kontan menghenti
"Bisa nggak sih, Chika aja yang ngobatin?!"Itu adalah bentuk penolakan terhadap Dirga yang tengah menyentuh wajahnya. Dengan kapas yang basah akan alkohol itu ditepuk-tepuk pada setiap goresan luka. Bahkan, desisan pertanda rasa perih sampai ragu dia udarakan di hadapan Dirga."Ngebiarin pacar gue nyentuh laki-laki lain di depan mata gue?" tanya Dirga.Wajah Dimas menjauhi kapas itu, semakin tergelitik dengan kulit mereka yang saling bersinggungan. Hanya sepersekian detik Dimas melemparkan tatapan tajamnya sebelum mengambil beberapa lembar kapas yang dituangkan alkohol guna membersihkan lukanya sendiri. Hanya dengan menggunakan kamera depan, Dimas membersihkannya secara mandiri. Sedangkan Dirga hanya menaikkan kedua bahunya singkat disertai dengan senyuman datar.Rasa penasaran Chika masih bergulir pada kejadian yang mereka dapati hari ini. Dia terdiam dengan kedua kaki yang saling bertumpu dengan ibu jari yang digigit. Mungkin memang bisa terjadi kesalahan teknis pada Dimas dan Dirg
Bebas dari sekolahnya membuat Dirga menjadi seseorang yang bermalas-malasan di atas ranjangnya dengan ponsel yang terpasang headset seraya menatap langit-langit kamar. Dia tak memiliki banyak kegiatan, namun seakan tenaganya terkuras habis hanya untuk menghembuskan setiap nafasnya. Salah satu tangannya meraih ponsel yang berada di sebelah kepala. Maniknya terbelalak saat melihat tanggal. Dengan segera Dirga membawa dirinya bangkit.Tangan meraih jaket dan kunci motor, laki-laki itu keluar dari kamarnya dengan langkah yang cepat. Melewati sang ibu dan ayah yang tengah berada di ruang tamu. "Bunda, ayah, ijin pergi dulu," kata Dirga menghalau."Kemana?""Sirkuit. Tenang aja, bukan mau balapan," kata Dirga.Semenjak memutuskan untuk mengalah pada sang ayah dan menuruti kemauannya, Dirga benar-benar meninggalkan balapannya. Namun, tetap saja balapan adalah dunianya, bahkan hingga detik ini. Dia lelah jika harus memicu kemarahan, mendapat tamparan, yang selalu membuatnya berakhir kalah. Set
"Cantik, mau kemana?"Chika menoleh mendapati ibunda Dirga yang sejak tadi berada di luar rumah untuk menyiram beberapa tanaman yang dirawat sejak kedatangannya ke sini. Kedua maniknya yang seindah permata itu tampak berbinar mendapati senyuman cerah dari tetangga sekaligus ibu dari kekasihnya. Tak ada alasan untuknya tak membalas senyuman indah tersebut."Ke sekolah, dong, tante," katanya seraya menunjukkan seragam yang dia kenakan.Senyuman wanita itu semakin lebar dan lebih indah dari sebelumnya. Entahlah, terlepas sosok itu adalah ibu kekasihnya, memang pantas Chika melayangkan banyak pujian pada salah satu wanita yang juga dia anggap sebagai ibu keduanya. Terlebih, perhatian yang selalu dia terima juga tidak jauh berbeda dengan ibu kandungnya sendiri."Minta anter Dirga, sana,"Itu kalimat yang diloloskan oleh ibunda Dirga tanpa beban sedikit pun. Dari yang Chika tangkap makna dibaliknya, memang sengaja ibunda Dirga memasang raut wajah menggodanya. Gadis itu kelabakan terkejut de
Ketika tiba di rumah dalam keadaan yang masih sama seperti terakhir ditinggalkan itu pasti akan membuat sang pemilik menghela nafas panjang, apalagi setelah seharian lelah bekerja. Itulah yang dirasakan seorang ibu tunggal tatkala melihat rumahnya masih gelap gulita, seakan tak ada kehidupan di dalamnya. Sedikit memegang pelipisnya, tangannya hendak membuka pintu, namun masih terkunci."Chika, buka pintunya,"Beberapa saat menunggu, wanita itu tak mendapat jawaban apapun. Sang ibu memperkuat gedorannya, tapi tetap tak ada jawaban dari putrinya. Lelah untuk bersuara, sang ibu merogoh ponselnya guna menghubungi Chika yang mungkin saja ketiduran dengan telinga yang tersumpal oleh alunan musik dengan volume cukup tinggi.Harapannya jelas, sang ibu ingin putrinya cepat sadar akan kedatangannya. Namun, ponsel putrinya tetap tidak menyala. Disanalah bermunculan pikiran negatif yang sulit dihindari. Sang ibu berjalan menuju jendela kamar Chika, mengetuk beberapa kali dengan suara yang lebih n
"Kalau begitu, silahkan bermain dengan para laki-laki yang menginginkan tubuhmu,"Tubuh gadis itu bergetar hebat tatkala mendapati banyak laki-laki yang masuk. Dia menelan ludah kesulitan sebelum akhirnya bersuara lantang. "Baik. Akan aku hubungi pengacara itu," kata Chika.Chika kembali mendapatkan ponsel yang tadi sempat diambil, namun bukannya menghubungi pengacaranya, gadis itu menghubungi Dimas. Beruntung, dia selalu menghafal nomor temannya itu, hal-hal seperti ini bisa terjadi kapan saja. Dan hanya Dimas yang pasti bisa menemukannya lebih cepat dari apapun.Sejujurnya, menghubungi temannya itu juga sedikit membuatnya khawatir. Tak menjamin jika Dimas akan selalu membawa ponselnya. Namun, memang keberuntungan sedang berpihak padanya, dimana Dimas segera menjawab panggilan tak dikenal ini."Malem, om. Bisa bawain bukti kejahatan pengusaha kedelai itu ke Hotel Purnama? Aku tunggu secepatnya," ucap Chika.Bahkan, dia sengaja tak memberi kesempatan untuk Dimas berbicara sebelum menu
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu