Dirga tahu, setiap keberuntungan itu datangnya tidak setiap hari. Barangkali mereka juga memiliki tanggal yang telah terjadwal rapi untuk menghampirinya. Namun, disaat setiap rentetan angka dan formula yang tercetak di atas kertas itu memusingkannya, Dirga mendadak membutuhkan keberuntungannya. Tidak bisakah mereka datang lebih awal dari yang dijadwalkan? Keadaan Dirga begitu darurat sampai semua bulir-bulir keringat keluar dari pori-pori.Padahal, dia sangat begitu yakin telah mempelajari rumus-rumus yang sebelumnya cukup mudah untuk bisa dia selesaikan. Hanya saja, sesuatu yang tercampur secara berlebihan di dalam pikirannya ini justru mengacaukannya.Tepat setelah keluar dari kamar Chika, secara mendadak ibunda Chika menarik lengannya sampai ke halaman belakang rumah. Hal yang membuatnya bingung itu justru mengejutkannya, sampai butuh waktu beberapa detik untuk jantungnya berdekat kembali ketika diajak mengobrol."Tante sedikit dengar apa yang kamu dan Chika bicarakan. Tapi, maksud
"Dirga, pengen burger,"Itu adalah permintaan yang lolos dari mulut Chika ketika dia hanya melihat Dirga berkutat dengan buku-buku pelajaran di ruang tamu rumahnya. Butuh waktu lama untuk mengajukan permintaan itu setelah bergelut dengan pemikirannya lantaran tak ingin mengganggu waktu belajar pribadi itu. Namun, keinginannya tak mampu Chika pendam lebih lama lagi sampai pada akhirnya mengalihkan atensi Dirga dari buku sainsnya.Tanpa menolehkan kepala, Dirga menyambar ponsel yang diletakkan di sebelah tasnya guna membuka aplikasi pesan antar. Dia menyerahkan ponselnya pada gadis itu, membiarkannya memilih apa yang ingin dimasukkan kedalam saluran pencernaannya."Lo mau yang ukuran apa?" tanya Chika."Samain aja nggak apa-apa,"Gadis itu paham, dan tentunya juga langsung melakukan pembayaran dengan menggunakan saldo laki-laki itu. Dalam hati berkata, ada bagusnya ketika Dirga memilih untuk belajar di rumahnya—kendati tak ada hubungannya dengan dirinya yang hanya sebatas adik kelas.Di
Bentangan cakrawala sore hari ini menampilkan semburat jingga yang mampu menarik banyak orang untuk tenggelam pada perasaan tenang dan damai. Seorang laki-laki yang tampak menenteng tas selempang milik gadis terkasihnya itu tak bisa berhenti melepas senyumnya ketika menyaksikan bagaimana tenangnya wajah sang gadis yang tertutup rapat dengan seutas senyuman. Dia menikmati kehidupannya yang terasa begitu damai sembari menyerap energi baik dari lingkungannya."Ternyata begini ya, hidup tenang tanpa adanya masalah," kata sang gadis."Ketenangan dalam kehidupan itu salah satu kebahagiaan yang nggak bisa diukir maupun dibayar dengan apapun," balas sang laki-laki yang turut duduk bersebelahan dengan sang kekasih. "Cukup jalanin pagi dengan minuman hangat dan sepotong roti, menghirup udara pagi. Seperti itu salah satu ketenangan dan kedamaiannya," imbuhnya.Laki-laki itu juga tak bisa membuang pemandangan indah langit sore ini. Dia merasakan bagaimana sebelah tangannya dirangkul begitu kuat o
Mungkin Chika harus mempertanyakan langsung pada yang bersangkutan perihal sikapnya yang mendadak dingin. Terlebih ketika ia ditinggal usai Dirga memarkirkan motor. Kalau tidak Chika panggil, mungkin laki-laki itu akan membiarkannya membusuk tanpa berniat membantu."Temenin jalan. Gue nggak percaya diri," kata Chika.Dengan helaan nafas terberatnya, Dirga menurut dan berdiri di belakang gadis itu dengan langkah yang begitu lambat. "Nggak bakal selesai kalau begini," ucapnya lirih.Langkah lambat yang Chika lakukan saat ini bukanlah pilihan yang dia ambil. Beruntung satu minggu memiliki waktu istirahat di rumah membuat keadaannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Ya, walau hari ini dia harus menggunakan kruk saat berjalan ke kelasnya sendiri. Dan masih beruntung juga, lantaran Dirga mau berangkat bersama. Hanya saja, hal yang baru dia dapati bukanlah kehendaknya.Dirga menggendongnya yang nyaris menjatuhkan kruk, membawa keduanya dengan langkah yang lebih cepat untuk tiba di tujuan. Kua
Satu hari telah dilewati oleh para murid di sekolah, dan tepat setelah adanya bel pertanda pulang, mereka berbondong-bondong untuk sekolah meninggalkan tempat mencari ilmu ini. Namun, Chika hanya bisa berdiam diri di tempat duduknya dengan rasa takut yang masih menyambangi diri.Gadis itu berhenti menggigit kuku ibu jarinya ketika bosan Dirga masih terus menempel kuat di kepala. Dia sampai mengabaikan tawaran bantuan dari teman sebangkunya."Chik," panggil Dirga.Respon gadis itu langsung kuat untuk menoleh ke arah Dirga yang berlari kecil menghampirinya. Dia juga seakan bisa mengambil banyak oksigen setelah laki-laki itu turut duduk di sebelahnya dengan raut wajah yang tak jauh berbeda. Secara kontan dia memegang tangan Dirga yang cukup untuk menghangatkan tangan dinginnya."Kita bahas di luar. Ayo, sekarang pulang, dan tolong bersikap biasa aja," perintah Dirga.Dirga menggendong Chika di belakang tubuhnya supaya mereka berdua bisa segera meninggalkan sekolah ini. Dan di belakang tu
Terdapat perubahan yang cukup jelas sejak beberapa hari lalu. Sesuatu yang hampir tidak pernah dilihat sebelumnya, seperti banyak diam dan melamun. Pun Dirga juga tak memiliki banyak keberanian untuk berbicara pada gadis itu. Belakangan ini, tugasnya memang hanya seperti mengantar-jemput Chika.Semilir angin yang menerbangkan tiap helai rambut Chika sama sekali tak mempengaruhi gadis itu untuk terus menatap danau di depannya. Ini salah satu bentuk syukur Dirga ketika gadis itu memintanya untuk diantar ke sebuah danau. Barangkali memang Chika bosan hanya melakukan kegiatan yang sama setiap harinya setelah hari itu."Dirga," panggil Chika untuk kali pertamanya. "Gimana kalau tiba-tiba gue masuk penjara?" tanyanya.Mendengar pertanyaan itu kontan membuat tolehan kepala Dirga terasa berat beriringan dengan rasa keterkejutan. Pandangannya langsung terarah pada pupil Chika yang terlihat adanya getaran putus asa. Dirga bertanya-tanya, jawaban apa yang ingin Chika dengar atas pertanyaannya ba
Ibu jari yang semula tampak cantik dan bersih kini berubah tidak beraturan usai digigit dengan begitu tak sabaran sembari menunggu kabar dari seseorang yang sangat dia percaya. Kedua maniknya terus diletakkan pada layar ponsel yang masih gelap. Sudah berkali-kali dia menyalakannya, barangkali Chika sempat melewatkannya. Hanya saja, sudah lebih dari dua puluh menit Dirga tak kunjung menghubunginya.Rasanya seperti kekurangan pasokan oksigen menantikan ponselnya menyala dengan sebuah pesan yang bertengger pada notifikasi. Ingin sekali dia mendatangi ruang pengawas guna menyaksikannya secara langsung."Dirga mana, sih?! Kok nggak ngehubungin gue?!"Giginya terus menggigit bibir bawahnya, salah satu kakinya terus bergerak gugup. Hingga menit ke tiga puluh, akhirnya dia mendapati pesan dari laki-laki itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Chika segera membuka pesannya, namun kedua alisnya langsung tertekuk bersamaan usai membaca pesan Dirga."Videonya kehapus? Kok bisa?"Chika terus bert
"Besok ada acara, nggak?"Adalah pertanyaan yang lolos dari mulut Dirga ketika laki-laki itu baru saja membawa motor Chika ke dalam rumah. Mendapati sosok gadis tersebut yang duduk di ruang tamu sembari memandangnya tanpa henti. Dirga memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, menanti jawaban sembari membayangkan hal yang akan dia lakukan besok.Tatapan Chika tak tampak begitu fokus, atau barangkali dia tak begitu terkesan dengan ajakan yang didapatnya. Namun, jauh dalam pikirannya saat ini, ada banyak ketakutan yang perlahan muncul ke permukaan. Menjadikannya kalut dalam perasaan tersebut.Pandangannya turun pada kakinya yang terbalut. Menarik nafasnya cukup panjang dan menyadari jika dirinya akan merepotkan andai menerima ajakan tersebut. Namun, sepersekian detik, kalimat Dirga membuatnya mengangkat wajah."Kenapa? Mau nolak karena kaki?" Dirga meletakkan kedua tangannya pada pinggang. "Lo lupa, waktu itu yang minta ke sirkuit, siapa? Yang minta dikabulin setelah gue ujian,
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu