Ibu jari yang semula tampak cantik dan bersih kini berubah tidak beraturan usai digigit dengan begitu tak sabaran sembari menunggu kabar dari seseorang yang sangat dia percaya. Kedua maniknya terus diletakkan pada layar ponsel yang masih gelap. Sudah berkali-kali dia menyalakannya, barangkali Chika sempat melewatkannya. Hanya saja, sudah lebih dari dua puluh menit Dirga tak kunjung menghubunginya.Rasanya seperti kekurangan pasokan oksigen menantikan ponselnya menyala dengan sebuah pesan yang bertengger pada notifikasi. Ingin sekali dia mendatangi ruang pengawas guna menyaksikannya secara langsung."Dirga mana, sih?! Kok nggak ngehubungin gue?!"Giginya terus menggigit bibir bawahnya, salah satu kakinya terus bergerak gugup. Hingga menit ke tiga puluh, akhirnya dia mendapati pesan dari laki-laki itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Chika segera membuka pesannya, namun kedua alisnya langsung tertekuk bersamaan usai membaca pesan Dirga."Videonya kehapus? Kok bisa?"Chika terus bert
"Besok ada acara, nggak?"Adalah pertanyaan yang lolos dari mulut Dirga ketika laki-laki itu baru saja membawa motor Chika ke dalam rumah. Mendapati sosok gadis tersebut yang duduk di ruang tamu sembari memandangnya tanpa henti. Dirga memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, menanti jawaban sembari membayangkan hal yang akan dia lakukan besok.Tatapan Chika tak tampak begitu fokus, atau barangkali dia tak begitu terkesan dengan ajakan yang didapatnya. Namun, jauh dalam pikirannya saat ini, ada banyak ketakutan yang perlahan muncul ke permukaan. Menjadikannya kalut dalam perasaan tersebut.Pandangannya turun pada kakinya yang terbalut. Menarik nafasnya cukup panjang dan menyadari jika dirinya akan merepotkan andai menerima ajakan tersebut. Namun, sepersekian detik, kalimat Dirga membuatnya mengangkat wajah."Kenapa? Mau nolak karena kaki?" Dirga meletakkan kedua tangannya pada pinggang. "Lo lupa, waktu itu yang minta ke sirkuit, siapa? Yang minta dikabulin setelah gue ujian,
Seperti yang dijanjikan oleh Dimas sebelumnya, selama tiga hari dia benar-benar berhasil mengembalikan semua video yang terhapus. Laki-laki itu mencoba untuk melihat dan mengamatinya sebelum dia jelaskan pada Chika dan Dirga. Namun, yang membuatnya kesal ketika video sejak minggu lalu yang terlihat seperti rusak. Entahlah, apakah ini memang murni kerusakan kamera? Atau seseorang sengaja menyabotase.Berulang kali dia memeriksa sesuatu yang salah, namun memang sabotase adalah alasan yang masuk akal. Laki-laki itu segera menghubungi Chika guna memeriksanya secara langsung. Bahkan, Dimas sampai memeriksa keanehan videonya sembari menunggu Chika dan Dirga datang."Sebenarnya, siapa yang ngelakuin ini semua?" heran Dimas.Pandangannya cukup lama dia letakkan pada layar laptop dengan konsentrasi penuh. Bulir-bulir keringat telah memenuhi dahinya, sampai-sampai dia tak memiliki kesempatan hanya untuk mengambil segelas air mineral untuk menghilangkan kekeringan kerongkongannya.Hingga pada ak
"Kenapa sama dia?"Kedua tangan Dimas membawa minuman untuk gadis yang masih terdiam sejak sepuluh menit lalu. Tak ada satu katapun yang dia katakan tepat setelah Dirga memutuskan untuk keluar dari rumah Dimas. Pandangannya begitu kosong dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada."Nggak tau," jawab Chika.Sebenarnya, agak membingungkan jika Chika pikir lebih dalam. Dia mencoba untuk menyimpulkannya sendiri, merenungkan perbuatan dan perkataannya yang mungkin menyakiti Dirga. Terlebih laki-laki itu memilih untuk pergi dengan jalan kaki usai Chika mendapati motornya masih terparkir.Di sebelahnya, Dimas menangkap maksud dari ekspresi yang Chika tampilkan kini. Ya, terlihat tenang namun risau. Dia menumpu kaki sebelum memutar bola matanya jengah, merasakan sedikit kekesalan melihat Chika memasang kerisauannya untuk Dirga."Udahlah, biarin aja. Lagian dia juga nggak ngebantu," kata Dimas."Kita nggak akan tau kalau Adam pelakunya kalau buat Dirga yang bilang," timpal Chika.Gadis it
Tampaknya ruangan berukuran 5 x 6 meter ini tak cukup menampung banyaknya kupu-kupu yang berterbangan di sekitar dua remaja yang tengah duduk di ruang tamu dengan senyuman yang tak bisa dilepaskan. Suatu momen yang cukup membuat keduanya terasa sedikit canggung dengan pengakuan sebelumnya.Namun, dibandingkan sang laki-laki, sang perempuan justru lebih berani meletakkan pandangannya pada sosok yang membuatnya bahagia—sampai jantungnya ingin meletupkan jutaan konfeti. Binar mata dan senyumannya itu cukup mendeskripsikan isi hatinya saat ini yang masih betah memandang lebih lama lagi."Jangan ngelihatin gue, malah gue yang malu," kata Dirga."Ih, kenapa gitu?"Mungkin ini yang dirasakan Dirga ketika beberapa waktu lalu laki-laki itu sering menggodanya. Dan cukup menyenangkan untuk Chika bisa melakukannya sampai beberapa kali. Setidaknya Chika juga ingin merasa menang di atas laki-laki tersebut. Bahkan, keberaniannya membawa gadis itu mengikis jarak duduk di antara keduanya.Dirga sampai
"Maksudnya?"Dirga menekuk kedua alisnya lantaran tak menangkap maksud dari perkataan gadis itu. Entah kenapa, perkataan Chika itu cukup menyakitkan baginya. Terlihat jelas jika gadis itu memang hanya bermain dengan situasi yang tengah dia hadapi. Bahkan, saat ini Chika terlihat begitu santai dengan semua yang telah terjadi."Itu maksudnya, kita belum pacaran," jeda Chika, gadis itu sampai menarik nafasnya panjang. "Dan yang tadi itu supaya nyokap kita nggak mikir yang aneh-aneh,"Memang sudah Dirga duga sebelumnya. Pantas saja Dirga seperti dipaksakan untuk ikut bermain dalam sandiwara Chika tadi. Dan kini dia malah kehabisan seluruh kalimatnya dengan perasaan yang cukup kecewa. Pribadi itu menegaskan rahangnya dengan tipuan yang dilakukan gadis itu.Namun, sebelum Dirga benar-benar tersulut emosi, Chika kembali bersuara, yang mana sukses membuat Dirga terdiam."Tapi, gue ngasih kesempatan lo buat ngelakuin dengan cara lo. Gue bakal nunggu sampai lo nyatain secara resmi," kata Chika.
"Gue restuin kalian,"Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Dimas ketika pribadi itu menghampiri Dirga yang tengah duduk sendirian di depan laptop sembari memantau. Dia meletakkan sebuah kaleng minuman berkarbonasi pada remaja laki-laki tersebut."Kenapa seolah-olah lo kayak itu orang penting? Gue nggak butuh restu lo," balas Dirga dengan senyuman miringnya.Satu tegukan minuman itu telah membasahi kerongkongan Dimas sebelum menyandarkan tubuhnya dengan kaki yang bertumpu. Sesapan dan kecapan terdengar usai merasakan manisnya tegukan kedua sembari menangkap perkataan Dirga."Karena kalau Chika sampai menderita, lo orang pertama yang bakal gue salahin,""Kalau dia menderita, itu karena pilihan dia untuk ngelakuin hal yang seharusnya nggak dilakuin," kata Dirga asal.Kontan Dirga mendapati pukulan ringan pada leher belakangnya sampai mengaduh kesakitan. "Oi! Nggak ada orang yang mau menderita!""Karena itu, gue nggak akan bikin dia sampai menderita. Jadi, kalau dia menderita, gue pas
Suara bel pertanda masuk baru saja terdengar memenuhi rungu seluruh siswa dan siswi yang berjalan menuju kelas mereka. Begitu juga dengan Dirga yang hendak melangkah masuk dan sejenak berhenti di ambang pintu usai mendapati teman satu bangkunya yang telah berada di sana. Sebisa mungkin dia mempertahankan raut wajahnya untuk tidak terlihat meletakkan kebencian pada Adam.Dirga sama sekali tak tertarik untuk membuka suaranya hanya untuk mengatakan 'hai' demi membuka obrolan. Cukup dari ekor matanya saat menangkap raut wajah Adam yang terlihat fokus dengan layar ponselnya. Dirga harap itu memiliki sesuatu yang besar."Sial!" umpat Adam lirih.Rungu dan netranya mendapati itu semua sampai Adam berdiri dan pergi meninggalkan kelas. Pandangan laki-laki itu hanya mengikuti punggung Adam yang keluar dengan sedikit dengusan. Ini adalah kali pertamanya melihat Adam rampak lebih kesal dibandingkan ketika dia mendapat nilai yang lebih rendah."Gue harap, setelah ini ada pengumuman menyenangkan,"
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu