Waktu dua minggu tak terasa berlalu dengan sangat cepat.Jika Bella menghitung dengan jari hari-hari yang berlalu, ia tidak akan bisa mengimbangi cepatnya waktu berlari.Dan sekarang, menatap refleksinya di cermin, Bella sangat gugup. Damian berulang kali mengatakan betapa cantiknya ia, tetapi tetap saja kegugupannya terus meningkat di setiap detiknya.Ia memakai gaun biru tua yang dipesankan ibu mertuanya. Potongannya sederhana dan dilapisi kain tulle berlapis dengan hiasan bunga mawar kecil berwarna putih. Kain lengannya memanjang sampai sikunya dan roknya menggantung tepat di bawah lututnya. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan jepitan mutiara di sisi kepalanya.Damian sendiri memakai tuxedo dan menyisir rambutnya ke belakang. Rambutnya licin dan berkilau, dia terlihat seperti model tahun 90-an di majalah. Berkelas dan seksi.Dia sedang bicara dengan seseorang di telepon, mondar-mandir sambil membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan senjata. Bella menyisiri rambutnya dengan tangan
Pintu dibuka dengan suara derak keras. Atensi para tamu seketika berpaling ke arah Damian dan Bella. Wajah mereka dipenuhi rasa penasaran, dan mereka mulai berbisik-bisik satu sama lain. “Tarik napas, Sayangku,” bisik Damian di puncak kepalanya. Bella mengangguk, dan berjalan perlahan di sisi Damian, berusaha agar kakinya tidak mempermalukannya. Ruangan itu disinari cahaya hangat dari kandelar besar yang menggantung. Sekeliling ruangan dilapisi oleh kertas dinding hitam bermotif batu-bata, sangat kontras dengan meja putih tempat hidangan disediakan. Ada panggung kecil di sudut ruangan, sepertinya tempat penyambutan berlangsung. Para tamu saling membaur sambil membawa gelas minuman yang ditawarkan oleh pelayan. Kebanyakan yang hadir adalah laki-laki. Mereka semua mengenakan pakaian glamor dari desainer ternama. Bella tanpa sadar mengerutkan hidung mencium bau familier yang menyapa penciuman. Campuran aroma alkohol, tembakau, dan juga cologne yang digunakan oleh para tamu. Samar
Bukankah dia... gadis yang ikut dilelang di tempat Nyonya Poppy?Helena Collen, jika Bella tidak salah ingat. Dia dibawa pergi bersama gadis bernama Pearl Bridget yang berasal dari Tigris.Wanita itu menekan tangannya ke paha, bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tetapi tatapan matanya... dia terlihat ingin melarikan diri. Sementara pria yang merangkul pinggangnya sibuk membalik kartu, tidak memperhatikan—atau mungkin tidak peduli dengan—ketidaknyamanan wanita itu.Bella hanya ingat kalau dia dibawa pergi setelah harga disepakati. Ia tidak pernah menyangka bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat seperti ini.Tidak ada bekas luka di tubuh wanita itu, tetapi wajahnya sangat pucat dan lelah, dia sepertinya kurang tidur. Dia mungkin tidak disiksa secara fisik, tetapi hanya dengan melihat ekspresinya, sudah jelas mentalnya-lah yang tersiksa.Bella tanpa sadar terus memperhatikan wanita itu sampai dia mengangkat kepala. Tatapan mereka bertemu dan dia mengernyit. Bella yakin dia sama sekal
“Yah, aku tahu, organisasimu yang menyedihkan itu hampir hancur, bukan?”“Tidak, Bung. Organisasimu yang hampir hancur.”“Tidak, tapi organisasimu, dasar banci.”“Organisasimu, demi Tuhan!”Bella menghela napas dan menyandarkan kepalanya di pundak Damian. Pesta Evren telah hampir berada di penghujung acara, dan penghuni ruangan ini diisi oleh orang-orang yang saling memaki karena mabuk.Mereka tidak sempoyongan dan masih bisa bergerak ke sana ke mari tanpa tersandung, tetapi obrolan mereka sungguh kacau. Musik bahkan telah diganti dengan senandung tidur untuk anak-anak.Tidak ada yang beres di sini, begitu kata Damian sebelum larut dalam pekerjaannya.Bella mengangkat kepala dari pundak Damian dan melirik jam, sudah lewat pukul 11 malam. Di sudut ruangan, televisi layar lebar memutar acara yang menampilkan permainan ski dan kereta luncur di pegunungan Norfolk.Bella beralih menatap Damian yang sibuk membaca berkas-berkas di hadapannya. Dia telah memilah-milah dokumen dari satu map ke
Satu map lagi dan selesai.Damian meregangkan tubuhnya sejenak, merasa lelah untuk memeriksa berkas-berkas di hadapannya. Seharusnya ia bisa melakukannya di markas, tetapi ayah Evren bersikeras untuk menyelesaikannya malam ini.Sebagai seorang senior—sama seperti ayahnya—Damian tidak bisa membantah pria itu. Evren mungkin lebih lunak untuk diajak bernegosiasi, tetapi ayahnya yang seperti tiran itu berdinding baja. Apa yang keluar dari mulutnya harus dipatuhi, selama itu bukan hal yang membawa bahaya.Damian menatap ke tempat Bella sejenak, dia masih berdiri di dekat jendela, mengamati pemandangan di luar. Dhruv berdiri tak jauh di belakangnya, mengawasinya.Damian menghela napas dan kembali berkutat dalam berkasnya. Tetapi hanya berselang beberapa detik, suara tembakan mendadak terdengar. Pintu belakang terbanting terbuka dan kelompok pria yang memakai kain penutup wajah melangkah masuk.Mata Damian melebar ketika mereka mulai menembaki seluruh penjuru ruangan dengan membabi buta. Let
Damian masih ingat hari di mana ia bertemu dengan Dhruv di jalanan Alderson.Saat itu awal musim semi. Salju baru mencair dan aroma rumput segar memenuhi penciuman. Damian yang masih remaja ikut menjelajah bersama ayahnya. Mereka akan bertemu rekan Martinez yang memesan sebuah senjata rakitan.Damian agak lelah setelah seharian berlatih pistol, tetapi ia tidak ingin mengecewakan ayah angkatnya yang memintanya untuk ikut. Ia telah berjanji untuk bergabung dengan Serpenquila, jadi ia perlu tahu banyak hal. Terutama bagaimana transaksi itu berjalan.Martinez biasanya menyuruh asistennya untuk mengantar barang, tetapi hari ini berbeda. Damian yakin itu sesuatu yang sangat penting dan Martinez harus memastikan semuanya berjalan lancar dengan tangannya sendiri.Damian terus mengikuti di belakang sambil memegang erat pistolnya. Tangannya terasa membeku. Ia hanya memakai jaket tipis dan tidak menyangka cuaca di Alderson masih sedingin ini.Mereka akhirnya tiba di sebuah rumah tua yang terliha
“Damian, Nak? Ayolah! Buka matamu.”Sayup-sayup terdengar suara Martinez yang memanggil. Damian mencoba membuka matanya yang berat dan semuanya buram. Ia berkedip beberapa kali, menjernihkan penglihatan sampai melihat wajah-wajah yang mengelilingi tempatnya berbaring.“Ayah,” ucapnya parau, tenggorokannya sakit. Damian berusaha untuk bangun, tetapi rasa nyeri di kaki dan lengannya begitu menusuk. Kepalanya membawa rasa pusing yang menyakitkan, sekeliling ruangan terasa berputar.Martinez membantunya untuk duduk dan Damian memperhatikan kaki dan lengannya yang sudah dibebat seadanya. Ia lalu menatap Andrius, Bogdan, dan Tyson.“Kalian...”“Ya, kami datang setelah mendengar kekacauan yang terjadi,” jelas Andrius.Damian terduduk lemas dan menatap sekeliling ruangan. Mayat-mayat yang bergelimpangan telah menghilang, bahkan tidak ada sedikit pun noda darah di lantai, dinding, dan juga karpet. Mereka telah membereskan kekacauan yang terjadi.Berapa lama ia pingsan?Damian sontak menoleh ke
Ibunya selalu bilang bahwa takdir itu sulit ditebak, kau tidak tahu hal mengejutkan apa yang akan terjadi satu jam kedepan, satu menit ke depan, atau bahkan satu detik ke depan.Itu sebabnya Ibunya selalu memiliki harapan untuknya, bahwa Bella bisa terbebas dari perbudakan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan.Setelah bertemu Damian kembali, hidupnya terasa dijungkir-balikkan. Ada lebih banyak kebahagiaan yang datang padanya dibanding kesedihan yang selama ini mengungkungnya. Tetapi, ia tahu bahwa tidak selamanya kehidupan seseorang akan penuh dengan bunga yang mekar. Ada kalanya bahaya dan kesedihan itu datang mengintai, menghempas apa pun layaknya badai.Dan Bella tahu itulah yang terjadi malam ini.Tembakan mendesing ke segala penjuru. Suasana pesta yang tadinya tenang seketika menjadi kacau. Semua orang berlarian dengan panik, jeritan ketakutan mereka memenuhi ruangan.Bella terhuyung di tempat, bahunya sakit setelah ditubruk berulang kali. Ia berusaha untuk berla
Ya Tuhan.Apa yang selama ini telah terjadi pada Bella sampai dia tidak yakin eksistensi Damian sebagai sesuatu yang nyata?Air mata Damian tumpah, tangisnya mengencang dan wajah Bella berubah menjadi sendu.“Damian... jangan... menangis,” ucap Bella susah payah. Ia mencoba mengangkat tangannya, tetapi nihil. Ia tidak memiliki secuil pun tenaga untuk mengelap air mata di wajah Damian. Hatinya hancur melihat Damian yang selalu terlihat kuat, kini rapuh layaknya kaca.“Aku nyata, Sayang. Aku di sini, aku di sini untuk menyelamatkanmu. Aku minta maaf karena tidak bisa datang lebih cepat.” Damian terisak lebih keras dan menciumi wajah Bella. Bibirnya bergetar. “Bertahanlah Sayangku, kita akan ke rumah sakit. Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang akan menyakitimu.”Rasanya seperti mimpi.Bella menatap wajah Damian, tetapi sulit. Pandangannya terkadang jelas, terkadang buram. Setiap kali ia mencoba membuka matanya lebih lebar, rasanya ada paku yang menusuk-nusuk matanya. Ia ingin men
“Wajahmu tertembak?”Martinez buru-buru mendekat melihat Damian yang muncul di lorong. Dia terus memegangi rahang kanannya yang telah dibalut kain secara asal-asalan. Tangannya berlumuran darah.“Ya, peluru Van. Kukira... kukira lidahku terpotong.” Damian meringis. Rasa sakitnya membuat wajahnya seolah akan terbelah. Ia tidak bisa berbicara tanpa denyutan nyeri yang mengikuti di belakang. “Tapi ternyata masih utuh. Tidak apa-apa, bukan organ vital. Bagaimana dengan yang lain? Apa masih ada yang tersisa?”Martinez menghela napas. “Semuanya sudah dibereskan. Tinggal Ymar dan Lester. Ymar pasti masih berada di rumah ini, dan Andrius sedang mencarinya. Soal Lester, kita akan menemukannya nanti,” jelasnya dengan suara serak. Ia kelelahan, pakaiannya compang-camping terkena tembakan, dan lorong itu tidak memiliki penghangat yang memadai. “Aku akan meminta para anggota untuk membersihkan rumah ini. Yang lain sudah berpencar untuk memeriksa semua ruangan. Bagaimana dengan Van?”“Sudah tewas.
“Sial, sensornya bagus juga. Di mana dia mendapatkannya?”“Bukan saatnya untuk menanyakan itu, brengsek,” dengus Tyson pada Bogdan yang masih sempat-sempatnya bertanya tentang sensor yang Van gunakan di rumahnya.Setelah melumpuhkan dua penjaga yang berjaga di gerbang depan, Damian, Tyson, dan Bogdan menunggu aba-aba dari Martinez dan Andrius. Beberapa menit telah berlalu, tetapi tidak ada tanda apa pun yang terlihat. Damian berdiri dengan cemas, sudah tidak sanggup menahan diri lebih lama untuk menemukan gadisnya.Ia bersumpah akan membunuh mereka semua, jika ia sampai menemukan Bella dalam keadaan yang tidak ia inginkan.“Ck, kenapa lama sekali?” Bogdan menatap bingung. “Apa sebaiknya aku menyusul?”Damian hendak membantah ketika suara tembakan menggelegar mendadak terdengar. Mereka tersentak dan menatap ke dalam rumah Van.“Sepertinya mereka telah ketahuan. Ayo.” Damian membuka pengaman pistolnya dan bergegas berlari menuju pintu depan. Tyson segera mengikuti di belakang, sementar
Bella termangu menatap tembok pucat di hadapannya. Beberapa hari telah berlalu sejak Lester datang menemuinya waktu itu. Tetapi, ia tidak bisa berhenti memikirkan ucapannya. Ibunya ada di sini. Di rumah ini. Di tempat yang sama dengannya. Apakah itu mungkin? Entah Lester bicara jujur atau hanya mengatakan kebohongan semata, pikiran itu terus menghantuinya. Ia merindukan ibunya. Setiap malam, ia memimpikan sebuah tangan ringkih yang membelai kepalanya dengan lembut. Senandung yang terlontar dari bibir wanita itu terasa sangat nyata, sampai-sampai Bella kira ia tidak sedang bermimpi. Apakah ini semua hanya pengaruh obat-obatan? Mereka menyuntiknya setiap hari, nyaris tidak membiarkannnya untuk bergerak seinci pun dari tempat tidurnya. Bella terus bertanya-tanya apakah ia akan mati di sini? Tubuhnya lemas, nyeri, dan pucat seperti mayat. Matanya bahkan terasa sulit untuk dibuka lebar-lebar. Ia tidak bisa mengangkat tangannya, apalagi menggerakan kakinya. Mungkin, berat bada
“Hei Putri Tidur, sampai kapan kau akan terus menutup matamu?”Sebuah guncangan terasa di pundak Bella, disusul suara yang tidak asing. Aroma alkohol menerpa penciumannya dan membuat hidung Bella berkerut.“Putri Tidur? Apa aku perlu menciummu agar kau mau bangun? Atau kau ingin berhibernasi seperti seekor beruang bodoh?”Suara kasar itu kembali menyerbu pendengarannya. Bella berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, rasanya seolah ada lem yang menempel di sana.“Akhirnya Putri Tidur kita bangun juga,” kata Lester dengan seringai tipis. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap Bella dengan saksama.Bella terperanjat dari tempatnya dan hendak bangun, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia membuka mulut untuk bicara, tetapi hanya suara serak yang keluar.Ke mana suaranya pergi?Bella kira kondisinya telah membaik, tetapi mendadak saja ia merasa begitu lemas. Setelah pertemuan mengejutkannya dengan Van, ia sepertinya mengalami serangan panik dan pingsan.Ketika ia bangun, Lester
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Damian menegakkan tubuhnya dan menoleh ke luar jendela. Matanya dengan awas meneliti sekitar.Ada sesuatu yang tidak beres.Intuisinya mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Ia hanya berhenti untuk menerima telepon dari Andrius, tetapi rasanya seolah ada yang sedang mengintainya sekarang.Angin dingin berembus dari arah timur, menerbangkan rambutnya hingga jatuh ke dahi. Damian hanya terus menatap kaca spion mobil selama beberapa detik, kemudian kembali mengawasi sekitar dengan saksama.Pohon dan bangunan tua terbengkalai. Rainelle terlihat sepi tanpa penghuni, tetapi Damian yakin ada sesuatu yang tengah menunggunya jika ia melajukan mobilnya sekarang.Ia baru saja mengambil senjata di markas, dan berniat kembali ke mansion. Ia harus memberitahu ayahnya terlebih dahulu sebelum menyerang ke tempat Van. Waktunya semakin menipis, tetapi pergi tanpa persiapan apa pun sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan Bella.Damian tidak ingin membiarkan semuanya berakhir sia-
“Anda tahu saya tidak akan memberikan informasi apa pun, bukan?” Valeriy bersandar di mobil rongsokannya dan menatap Damian. “Informasi yang kuberikan waktu itu sudah cukup. Sekalipun Anda memberikan senjata rakitan lagi, saya tetap tidak bisa.”Damian tahu bahwa Valeriy memegang teguh peraturan dalam organisasinya, tetapi ini tentang hidup dan matinya. Damian akan melakukan apa pun, meskipun itu berarti ia harus melanggar kode etik yang sepatutnya ia taati. Ia tidak peduli apa pun lagi selain menyelamatkan gadisnya.“Baiklah, saya harus pergi.” Valeriy sudah hendak berbalik ketika Damian melontarkan seutas kalimat yang membuatnya membeku di tempat.“Adikmu berada di penjara Alcatraz, bukan?”Valeriy berbalik dengan mata menyipit. Mulutnya terbuka, uap berembus keluar, tetapi dia seolah kehilangan kata-kata.“Aku bisa mengeluarkannya dari sana,” lanjut Damian.Valeriy terlihat goyah dan matanya menatap Damian dengan saksama. Ekspresi Damian keras dan tatapannya yang tajam menunjukkan
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d