Satu map lagi dan selesai.Damian meregangkan tubuhnya sejenak, merasa lelah untuk memeriksa berkas-berkas di hadapannya. Seharusnya ia bisa melakukannya di markas, tetapi ayah Evren bersikeras untuk menyelesaikannya malam ini.Sebagai seorang senior—sama seperti ayahnya—Damian tidak bisa membantah pria itu. Evren mungkin lebih lunak untuk diajak bernegosiasi, tetapi ayahnya yang seperti tiran itu berdinding baja. Apa yang keluar dari mulutnya harus dipatuhi, selama itu bukan hal yang membawa bahaya.Damian menatap ke tempat Bella sejenak, dia masih berdiri di dekat jendela, mengamati pemandangan di luar. Dhruv berdiri tak jauh di belakangnya, mengawasinya.Damian menghela napas dan kembali berkutat dalam berkasnya. Tetapi hanya berselang beberapa detik, suara tembakan mendadak terdengar. Pintu belakang terbanting terbuka dan kelompok pria yang memakai kain penutup wajah melangkah masuk.Mata Damian melebar ketika mereka mulai menembaki seluruh penjuru ruangan dengan membabi buta. Let
Damian masih ingat hari di mana ia bertemu dengan Dhruv di jalanan Alderson.Saat itu awal musim semi. Salju baru mencair dan aroma rumput segar memenuhi penciuman. Damian yang masih remaja ikut menjelajah bersama ayahnya. Mereka akan bertemu rekan Martinez yang memesan sebuah senjata rakitan.Damian agak lelah setelah seharian berlatih pistol, tetapi ia tidak ingin mengecewakan ayah angkatnya yang memintanya untuk ikut. Ia telah berjanji untuk bergabung dengan Serpenquila, jadi ia perlu tahu banyak hal. Terutama bagaimana transaksi itu berjalan.Martinez biasanya menyuruh asistennya untuk mengantar barang, tetapi hari ini berbeda. Damian yakin itu sesuatu yang sangat penting dan Martinez harus memastikan semuanya berjalan lancar dengan tangannya sendiri.Damian terus mengikuti di belakang sambil memegang erat pistolnya. Tangannya terasa membeku. Ia hanya memakai jaket tipis dan tidak menyangka cuaca di Alderson masih sedingin ini.Mereka akhirnya tiba di sebuah rumah tua yang terliha
“Damian, Nak? Ayolah! Buka matamu.”Sayup-sayup terdengar suara Martinez yang memanggil. Damian mencoba membuka matanya yang berat dan semuanya buram. Ia berkedip beberapa kali, menjernihkan penglihatan sampai melihat wajah-wajah yang mengelilingi tempatnya berbaring.“Ayah,” ucapnya parau, tenggorokannya sakit. Damian berusaha untuk bangun, tetapi rasa nyeri di kaki dan lengannya begitu menusuk. Kepalanya membawa rasa pusing yang menyakitkan, sekeliling ruangan terasa berputar.Martinez membantunya untuk duduk dan Damian memperhatikan kaki dan lengannya yang sudah dibebat seadanya. Ia lalu menatap Andrius, Bogdan, dan Tyson.“Kalian...”“Ya, kami datang setelah mendengar kekacauan yang terjadi,” jelas Andrius.Damian terduduk lemas dan menatap sekeliling ruangan. Mayat-mayat yang bergelimpangan telah menghilang, bahkan tidak ada sedikit pun noda darah di lantai, dinding, dan juga karpet. Mereka telah membereskan kekacauan yang terjadi.Berapa lama ia pingsan?Damian sontak menoleh ke
Ibunya selalu bilang bahwa takdir itu sulit ditebak, kau tidak tahu hal mengejutkan apa yang akan terjadi satu jam kedepan, satu menit ke depan, atau bahkan satu detik ke depan.Itu sebabnya Ibunya selalu memiliki harapan untuknya, bahwa Bella bisa terbebas dari perbudakan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan.Setelah bertemu Damian kembali, hidupnya terasa dijungkir-balikkan. Ada lebih banyak kebahagiaan yang datang padanya dibanding kesedihan yang selama ini mengungkungnya. Tetapi, ia tahu bahwa tidak selamanya kehidupan seseorang akan penuh dengan bunga yang mekar. Ada kalanya bahaya dan kesedihan itu datang mengintai, menghempas apa pun layaknya badai.Dan Bella tahu itulah yang terjadi malam ini.Tembakan mendesing ke segala penjuru. Suasana pesta yang tadinya tenang seketika menjadi kacau. Semua orang berlarian dengan panik, jeritan ketakutan mereka memenuhi ruangan.Bella terhuyung di tempat, bahunya sakit setelah ditubruk berulang kali. Ia berusaha untuk berla
Ada sesuatu yang terasa berdenyut di bagian belakang kepala Bella. Denyut itu terus membesar setiap detiknya hingga rasanya tengkoraknya akan pecah. Bella berusaha membuka matanya yang berat, tetapi pandangannya sangat buram, lebih buruk dari sekadar melihat dari kaca berembun.Ia berkedip-kedip beberapa kali sampai pandangannya sedikit lebih baik, tetapi rasa sakit lain di tubuhnya mulai muncul. Rasanya seolah ia telah dipukul habis-habisan. Yang paling nyeri adalah kedua pergelangannya. Bella tidak bisa mengangkatnya, sepertinya tangannya benar-benar telah patah.Ia meraba papan kayu di bawahnya—kotor dan berdebu. Sekelilingnya gelap, hanya sedikit cahaya yang berhasil masuk dari celah kecil di atas jendela yang ditutupi gorden. Ia tidak tahu apa sekarang sudah malam atau cuaca sedang mendung di luar. Ia bahkan tidak tahu apa ia masih berada di Norfolk atau kota lain.Damian...Wajah pria itu melintas di benaknya. Suasana pesta yang kacau terbayang-bayang. Hati Bella mencelos mengin
“Apa kau sudah menyuntiknya dengan obat itu?”“Ya, Tuan. Dia sudah tidak sadarkan diri di ruangan itu.”“Bagus.” Van mengangguk dan melirik Fabrizio yang sedang sibuk bicara dengan seseorang di telepon. Van lantas mengisyaratkan Lester untuk pergi, sementara ia menghubungi asistennya agar terus mengawasi Helena.Van akan kembali menemuinya malam ini.Helena masih enggan bicara padanya, tetapi ia tidak peduli. Selama wanita itu berada dalam genggamannya, maka ia pasti bisa membalikkan keadaan suatu saat nanti. Jika ia berhasil menemukan putrinya kembali, ia yakin Helena mau berkompromi dan memaafkannya.Ini hanya masalah waktu.Van memasukkan ponselnya ke saku saat Fabrizio mendekat. Dia menyelipkan pistolnya ke saku dan mengangguk pada Van.“Ayo.”Van berjalan lebih dulu, sementaraFabrizio mengikutinya dari belakang. Mereka menyusuri lorong gedung tua terbengkalai itu dengan tenang, sampai akhirnya tiba di ruangan yang dituju.Van mendorong pintu terbuka secara perlahan. Ia melangkah
“Ibu, Ayah di mana? Kenapa Ayah tidak pernah pulang lagi? Apakah Ayah mencari uang di tempat yang sangat jauh?”Bella menatap ibunya dengan heran. Sudah hampir sebulan berlalu, tetapi ayahnya tidak kunjung menampakkan diri.Bella sudah bosan makan roti dari tepung biji ek, jamur tumis liar, dan jus apel. Ia ingin makan daging atau setidaknya roti gandum. Tetapi gandum cukup mahal akhir-akhir ini, jadi ibunya tidak bisa membelinya. Apalagi daging yang harganya berkali-kali lipat.Ayam mereka telah habis dimakan oleh musang dan rakun liar yang berkeliaran di sekitar hutan. Mereka tidak memiliki ternak domba atau sapi seperti warga lainnya. Bella pikir mereka juga tidak menyukai ibunya dan tidak pernah berbagi apa pun saat perayaan. Hanya keluarga Damian yang baik padanya, tetapi mereka juga bukan orang kaya.“Ayah akan pulang, Sayang. Tapi kita harus bersabar.” Helena berjongkok dan membelai wajah putrinya dengan sayang. “Kau harus bersabar sedikit lagi, ya? Ibu akan buatkan kue enak da
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d