Saat ini, matahari berada pada posisi dimana masih menyebarkan sinar yang pagi yang sejuk untuk bumi. Mobil Erlangga sudah berhenti di tempat parkir depan toko tanaman hias Sabrina. Setelah pintu mobil terbuka otomatis, Bulan langsung berlari keluar. "Mama… Mama Sabrina…." panggil gadis mungil itu berteriak. Matanya masih sembab dan masih mengeluarkan tetesan air mata. Berkali-kali gadis itu memanggil Sabrina. Akan tetapi, Sabrina masih menangis di kamar Tari. Jadi dia tidak mendengarnya. Luna yang sedang menyiram bunga terkejut melihat Bulan yang berlari sembari menangis. Dia mengira itu adalah Tari. "Mama Sabrina? Sejak kapan Neng Tari manggil mamanya 'Mama Sabrina'? Terus itu kapan ganti bajunya? Tadi 'kan sudah pakai dress, kapan ganti piyamanya?" Namun, Luna tidak berniat menghampirinya. Dia memilih melanjutkan menyiram bunga. Sementara Bela dan Ilham yang berada di dalam toko juga terkejut dan mengira itu Tari, tapi saat hendak buka suara, Bulan tidak menanggapinya. "Mam
Di ruang makan, Sabrina duduk berhadapan dengan Erlangga. Sementara Bulan bermain di kamar Tari sendirian. Tari dan Susi belum pulang. "Kamu tahu alasan Mama melakukan ini?" tanya Erlangga lirih seraya menatap mata Sabrina. Kedua tangannya menggenggam erat tangan Sabrina. Sesekali dia mencium punggung tangan Sabrina. "Aku tidak tahu pasti. Tetapi, Mama pernah bilang kalau beliau punya dendam dengan almarhum orangtuaku," jawab Sabrina yang juga menatap mata Erlangga. Tatapan mereka menyiratkan rindu yang sangat dalam. "Lalu, kenapa kamu lebih percaya padaku daripada dengan cerita Mama?" "Hati yang sudah lama terpaut, pasti akan tertarik kembali oleh benang yang menyatukan." ***"Tante,maaf ya jika menunggu lama. Aku baru saja selesai syuting. Huft, melelahkan sekali memiliki profesi seperti ini," ujar seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan privasi pada sebuah kafe, kepada seorang wanita paruh baya yang sudah berada di dalam. Wajah seukuran telapak tangan lelaki dewasa de
Sabrina berdiri dan menghampiri Tari. Bulan berada di samping Tari. "Sayang, kenapa kamu berbicara seperti itu?" "Kenapa? Tidak boleh? Kalian asyik bercengkrama dan mengungkap rindu tanpa aku. Jika aku tidak pulang, apa kalian akan mencariku?" Tari berkata sembari melipat kedua tangan di dada. Erlangga menggela napas dan berusaha menahan tawa melihat Tari yang merajuk. Padahal, Sabrina dan Bulan sedikit panik. Lalu Erlangga berjongkok di samping Sabrina dan menghadap Tari. Otomatis, Sabrina menggeser tubuhnya ke hadapan Bulan. "Sini peluk, Papa! Kamu tidak kangen sama Papa?" Tari bertahan pada sikapnya yang marah. "Maafkan, Papa, karena telah membuatmu hidup berdua dengan Mama. Ini semua salah Papa. Kamu mau 'kan memaafkan Papa?" Wajah Tari sedikit melunak. Tetapi dia masih bergeming. "Bagaimana kalau kita pergi ke pantai hari ini? Papa, Mama, Bulan dan Tari. Kita berempat. Mau?" "Horeee! Kita ke pantai!" sorak Bulan lalu melompat–lompat kegirangan. "Mau ya, Kak? Please!" tam
"Silahkan bilang saja pada Santoso! Aku tidak takut! Aku tidak sepertimu yang takut dengan kemiskinan!" Ratna menghentakkan kakinya, lalu keluar dari ruangan Fredy. Sementara Fredy mengacak rambutnya yang sedikit bercampur uban dengan kasar.Setelah Fredy mengatur napas dan mendongak ke atas. Pintu ruangan kembali terbuka. Seorang wanita memakai setelan kemeja dengan rok yang panjangnya di atas lutut masuk. Dia memeluk beberapa map. dokumen berwarna biru. Dandanannya natural dan terkesan sederhana namun elegan. "Tuan, maaf. Ini ada beberapa dokumen lagi yang harus di cek." Wanita itu bercicit ragu–ragu seraya menunduk. "Baiklah! Letakkan di atas meja." Usai menunaikan apa yang dipinta bosnya, wanita bernama Dewi itu berbalik dan keluar. Namun langkahnya terhenti saat tangannya sudah memegang knop pintu. "Tunggu!" Dewi berbalik, "Iya, Tuan? Ada hal yang lain?" "Kamu masih single 'kan?" tanya Fredy yang membuat Dewi tertegun. Sekaligus membuat wanita itu berpikir macam–macam.
Mata Dewi melebar dan tubuhnya mematung. Rasanya seperti tersengat listrik beberapa volt saat Fredy mengatakan itu. Otak Fredy juga sulit diajak kerja sama untuk saat ini. Dia tergoda dengan perempuan yang berada di depannya. Bibir ranum merah muda dengan polesan lipstick warna senada membuat naluri kelelakian Fredy ingin melahapnya. Setelah mengatakan itu, Fredy menegakkan kembali tubuhnya pada posisi kemudi. Lalu berdehem beberapa kali. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya hati keduanya sama–sama berdebar tak karuan. "Maaf!" ujar Fredy setelah mobil melaju. Dewi diam dan masih menata degupan hati juga jantung. "Biar saya antar kamu pulang. Dimana alamat rumahmu?" "Komplek Escendol, nomor rumah 19, Tuan." Setelah itu, tidak ada perkataan lain yang meluncur dari bibir kedua manusia itu. Bahkan saat sampai di depan rumahnya, Dewi buru–buru turun tanpa mengucapkan terima kasih. "Astaga, Fredy! Apa yang sudah kamu lakukan?" Pria itu memukul stir cukup keras. Dia marah pada diriny
"Uhuk! Uhuk!" Bela yang tidur di kamar mes terbangun karena merasa ada banyak asap dan membuatnya terbatuk. Sedangkan Luna masih nyenyak karena dia tidur di kasur lantai. Dia memang gadis desa asli, yang tidak bisa tidur di kasur busa empuk."Asap apa ini?" Saat matanya terbuka, dia melihat asap hitam mengepul dan menerobos celah-celah. Tak lupa dia mengecek jam dinding, rupanya masih jam 02.00 pagi."Lun, bangun!" Bela bangun dan mengguncang tubuh Luna."Ada apa?" jawab Luna yang matanya masih merem."Lihat deh, asapnya banyak banget menerobos melalui celah itu. Ayo kita lihat!""Ck! Dasar! Siapa sih yang bakar–bakar tengah malam seperti ini? Ganggu orang tidur aja," gerutu Luna. Lalu matanya membelalak dan seketika dia duduk saat otaknya mencerna perkataan mulutnya. "Bela, ini jam berapa?" tanya Luna yang beralih menatap Bela. "Jam dua." "Hah?! Jangan-jangan… itu hantu, Bel?" "Hust! Jangan ngaco deh! Ayo kita lihat!" Karena Luna takut, dia berjalan di belakang Bela. Mereka ja
Pagi–pagi sekali, Sabrina sudah berada di depan. Semalam setelah api berhasil dipadamkan, matanya sangat sulit terpejam. Akhirnya, dia memutuskan untuk keluar ke halaman setelah adzan Subuh. Matanya menatap nanar tanaman yang sebagian hangus dan sebagian menjadi abu. Dari mulai aglonema, anggrek, begonia, anthurium, sukulen, gloxinia, episcia, dan peperomia. "Ya Tuhan, hamba yakin, kalau ini adalah teguranMu karena hamba lalai dalam berbagi pada orang yang lebih membutuhkan. Maafkan hamba!" Sabrina berjongkok dan tangannya menjulur untuk memegang daun tanaman aglaonema ungu. Namun daunnya yang itu gosong dan berkerut. Tak sengaja, dia melihat sebuah batu seperti batu akik di dekat pot yang penyok. Warnanya biru sapphire polos. Sepertinya itu adalah mata cincin yang terlepas. "Sepertinya tidak asing, tapi dimana ya?" **Matahari di ufuk timur malu-malu untuk keluar dari peraduannya. Menampilkan semburat jingga yang indah disana. Erlangga sudah bersiap. Hari ini, dia sangat baha
Alis Sabrina hampir menaut melihat karyawan toko yang tadi bersikap pongah kini berlutut di hadapannya. Dia merasa tak enak karena menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Tangannya langsung menuntun gadia di depannya untuk berdiri. "Bangunlah! Kenapa Anda malah berlutut di depan saya?" "Nona, saya tidak ingin dipecat! Tolong maafkan saya!" Setelah mengatakan itu, muncul sosok pria yang berjalan dari pintu yang sama saat Nela datang. Setelan jas hitam, sepatu pantofel hitam mengkilap, serta jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pria itu diikuti sosok pria lain berbadan agak tambun. Perutnya buncit dan kepalanya bagian atas botak. Pria tambun itu juga memakai setelan jas hitam. "Aldo?" guman Sabrina melihat pria itu. "Mas, bukankah itu Aldo yang satu tim basket denganmu?" tanyanya pada Erlangga memastikan. "Iya. Dia adalah Aldo temanku, sekaligus pemilik toko perhiasan ini." "Maafkan gue, Bro!" bisik Aldo pada Erlangga saat mereka sudah dekat. Kedua i
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
Erlangga terus menatap pintu dan menunggu sosok yang diharapkan datang. Akan tetapi, setelah dua detik waktu yang terlewat dari waktu yang diberitahukan, orang itu belum juga muncul. "Bia kemana sih?" gerutunya sambil berkali-kali mengecek ponsel. "Harus berapa kali Mama bilang kalau istrimu itu tidak akan datang. Tadi pagi aja, waktu Mama ke kamarmu untuk memberitahunya, dia masih tidur pulas," sahut Ratna yang mengemas pakaian Erlangga. Erlangga hanya diam karena sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Menurutnya, Sabrina tidak seperti itu. "Tuh kan! Kamu tidak percaya dengan ucapan Mama." Ratna kembali berucap sinis. Keadaan menjadi hening. Bahkan sampai di depan rumah, ibu dan anak itu hanya bicara seperlunya. Saat memasuki rumah, Erlangga mendapati keadaan rumah yang sepi. Dia heran karena tidak biasanya seperti ini. Hanya Sumi yang menyambutnya di depan pintu. "Bi, kemana Bia dan anak-anak?" tanya Erlangga padanya sedikit sinis. "Neng Bia masih di kamar, Den
Saat senja mulai tampak, Fredy memutuskan untuk kembali. "Cepatlah sembuh! Maaf jika nanti, mungkin Papa tidak bisa mengunjungimu lagi." Pria paruh baya itu tersenyum sangat manis pada Erlangga. "Ini adalah uang terakhir tabungan Papa. Jika uang itu sudah habis, mungkin Papa tidak bisa menengokmu lagi." "Kenapa terburu-buru, Pa. Memang Papa tidak merindukan Tari dan Bulan? Mereka berdua sangat merindukanmu." Meskipun ada masalah diantara mereka, tetapi Erlangga masih enggan menerima kalau kenyataan kalau Fredy memilih untuk hidup sederhana di kota kecil yang mungkin terpencil."Papa titip pesan, bilang kalau kakeknya ini juga merindukan mereka. Tapi kamu yakin tidak ada masalah dengan istrimu? Papa hanya khawatir kalau Mamamu kembali membuat ulah." Fredy sedikit menurunkan nada bicaranya. Memang, Ratna tidak berada disana. Namun dia tetap takut ada orang lain yang mendengar. "Nanti setelah pulang, aku akan menyelidiknya, Pa." "Ya sudah, jaga dirimu dan juga keluargamu baik-baik
Tabrakan tak bisa di hindari. Mobil Erlangga terpenjal jauh dan berguling ke depan. Jika tidak ada pembatas, sudah dipastikan akan jatuh ke jurang. Beberapa saat lalu saat berada di kios sate padang, ada seseorang yang membututi mereka di belakang. Seperti kejadian saat mereka makan mie ayam bakso. Namun pria misterius itu tidak mempotret atau memfoto mereka diam-diam. Melainkan melakukan sesuatu pada mobil Erlangga. "Akhirnya punya kesempatan juga. Kalau tidak, sudah pasti Bos Elvano yang akan menggorok leherku." Hanya beberapa menit pria itu selesai mengutik mobil Erlangga. Pria yang mengenakan hodie hitam itu memotong kabel rem mobil. Erlangga dan Sabrina sama sekali tidak curiga karena tidak ada yang mencurigakan. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak yang membuat curiga. Rencana Elvano semakin sukses saat ada sopir truk dari arah yang berlawanan sedang mengantuk. Kedua mobil itu sama–sama tidak bisa menghindar dan saling bertabrakan. Erlangga sudah berusaha sekuat
Susi mengatakan itu sembari menatap Sekar dan Leon secara bergantian. Mata jelas penuh harap. Sementara Sekar dan Leon saling padang dan diam sesaat. Tanpa diduga, kemudian mereka tertawa cukup keras. Membuat Susi mengerut heran. Awalnya dia mengira akan banyak pertimbangan dari keduanya. Siapa sangka dugaannya salah. "Tentu saja kami setuju, Sayang. Kami sudah mengenal Farhan. Semenjak kamu pergi, Kakakmu sering mengajak temannya berkunjung ke rumah." Saat itu, Susi dan Aldo tidak mengumbar hubungannya pada siapapun termasuk para sahabat masing-masing. Aldo tidak mengenalkan Susi dengan sahabatnya. Waktu kuliah, Aldo adalah orang yang paling tertutup diantara ketiga sahabatnya. Pun ketiga sahabatnya itu tidak pernah mempertanyakan masalah Aldo. Prinsip mereka, tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Makanya, persahabatan itu selalu langgeng sampai sekarang."Terima kasih, Bunda, Papi. Kalau begitu aku panggil Farhan kesini ya?" tanya Susi. Terdengar memang meminta persetujua
Sekar menangis dan tangisan itu menular pada Susi. Keduanya menangis hingga menimbulkan suara. Seakan keduanya lupa dengan banyak orang yang berada di gedung ini. Leon juga terkejut saat melihat Susi berdiri disana bersama temannya Aldo. Melihat istrinya dan Susi berpelukan, Leon juga ikut memeluk mereka. Sontak, semua orang disana memandang ketiga orang yang sedang berpelukan itu. "Maafkan Bunda, Sayang!" lirih Sekar sekali lagi. "Maafkan Papi juga, Nak!" "Susi juga minta maaf, Bunda, Papi. Maafkan Susi karena hal itu, Susi marah dengan kalian." Orang-orang di sekeliling mereka merasa haru. Namun, Zaskia dan Papinya merasa aneh. Apa hubungan keluarga Richard dengan calon istri Farhan? Santoso-ayahnya Zaskia juga bertanya-tanya dalam hati. "Keluarga kalian mengenal temannya Kak Bia?" tanya Zaskia setelah menyenggol Aldo. "Susi adik angkatku," jawab Aldo datar yang tatapannya tetap tertuju pada orang tuanya dan Susi. "Apa?" Zaskia dan Santoso tertegun sejenak. Setelah puas
Erlangga memukul stir mobil saat sudah berada di depan rumahnya. Dia benar–benar tidak menyangka kalau Elvano akan mengkhianatinya seperti ini. Padahal, saat Fredy memilih untuk mengundurkan diri dan pergi bersama istri barunya, dia sudah memiliki rencana untuk membujuk Ratna agar meminta Elvano yang mengurus perusahaan itu. Biar bagaimana pun, Elvano juga berhak atas perusahaan itu. Karena dia juga sama-sama cucu dari keluarga Kusuma. Ratna dan ibunya Elvano adalah kakak beradik, meskipun dari ibu yang berbeda. Selain itu, Erlangga juga memiliki perusahaannya sendiri. Dia sama sekali tidak serakah. Namun, Elvano terlalu tidak sabar. Bahkan dia juga berani ingin merebut Sabrina darinya.Untuk mengatasi hal seperti ini, teman yang bisa diandalkan Erlangga hanya lah Aldo. Dia satu–satunya teman yang memiliki koneksi pada bidang mafia dan hacker yang mumpuni. "Pasti dia sedang sibuk dengan rencana pernikahannya. Seharusnya aku tidak menganggunya sekarang." Monolognya sembari kembal
Erlangga mengerutkan keningnya seraya menatap nomor yang tertera di layar ponselnya. Pikirannya seakan sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Pria itu berjalan keluar. Saat melawati ruangan sekretarisnya dia mengatakan, "Anggia, undur rapatnya menjadi jam sebelas siang." "Baik, Pak!" Sesampainya di dalam mobil, Erlangga kembali mendapat pesan dari nomor misterius tadi. (Kamu ingin menemuiku bukan? Aku berada di Vila dekat pesisir pantai dua kelapa.)Erlangga membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya. Kemudian dia melajukan mobilnya ke alamat yang di dalam chat. Awalnya dia ingin meminta bantuan Aldo untuk melacak nomor misterius itu. ***Sementara itu, pria yang berada di villa sedang meneguk segelas kecil vodka. Wajahnya terlihat mengerut setelah meminumnya. "Anak muda, kamu telah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang katakan, apa yang kamu inginkan?" tanya pria paruh baya yang baru saja meneguk minuman beralkohol itu. "Permintaan saya tidak banyak, Tuan Redd. Saya hanya